Cerita Pendek: Suara-Suara di Atas Laut

spirit

Mod
w1200

”Di sini sekarang sudah banyak pabrik, Mbak….”

Seleret cahaya menerobos di sela kelopak mataku. Suara itu seolah berasal dari langit, dan langsung menerobos ke dalam liang telinga. Tapi, suara ombak yang tak pernah henti kemudian mengantarkan pada kenyataan.

“Konon, dari yang rencananya sampai lima puluh ribu karyawan, sekarang baru terisi kurang lebih tujuh ribu karyawan….”

Tentu saja bisa kubayangkan, Wareng yang mulanya berupa hamparan hijau dengan semilir angin sepoi kemudian berubah menjadi daerah bising. Yang tiap pagi dan sore dipenuhi lalu-lalang buruh pabrik yang tergesa-gesa pulang pergi. Udara begitu panas. Bau debu. Sawah-sawah berbondong-bondong diuruk untuk kemudian digantikan dengan rumah kos, tempat parkir, pertokoan, tempat hiburan, dan semua hal yang menyokong betahnya para pekerja.

Banyuputih tak lagi desa sepi yang menghanyutkan. Tapi telah menjadi kota kecil yang ingar-bingar dan sulit terlelap seperti Tawau atau Kuala Lumpur.

“Jadi, kapan Mbak Alvi pulang? Pulanglah, Mbak. Sebelum banner-banner lowongan itu dibersihkan. Apalagi kata mereka, yang diutamakan adalah warga lokal….”

“Aku akan pulang sekarang…,” sahutku lirih. Lalu, hanya bunyi ombak yang tak habis-habis.

*****

Aku baru saja bermimpi, makan sepuas-puasnya hingga perut hampir meletus. Aku sempat curiga dengan mimpi itu. Kenapa tak ada omelan si Duna Gembrot? Tapi justru hanya deru ombak yang tak habis-habis. Dan perasaan ingin muntah yang amat. Entah karena kekenyangan ataukah bau amis dan anyirnya. Dan bahkan suara-suara yang terdengar itu….

“Kalian didatangkan ke sini bukanlah untuk bersenang-senang. Kalian mesti sadar diri!” Ia menatap kami seperti seekor anjing kelaparan. Si Duna Gembrot, dialah yang bertugas mengurusi semua perkerja dalam rumah penampungan itu.

Waedah, asal Purwodadi, yang bercita-cita ingin meludahi tiap inci Kota KL. Narti, asal Tegal, yang hanya sekadar ingin mengumpulkan sebanyak-banyaknya uang. Dan Odah, asal Gunung Kidul, yang terlanjur dendam dengan tanah kelahiran sendiri, yang hanya mewariskan tanah tandus dan kemiskinan.

Dalam kondisi yang tenang begini, aku coba merangkak menuju haluan. Sayangnya, tubuh ini terlalu lemah. Dan, saat kutemukan pisau itu lagi…. Sebilah pisau berlumur noda darah yang telah mengering. Tangan kananku gemetaran. Makin lama makin hebat. Terlebih ketika suara-suara itu kembali memenuhi kedua telinga.

Tentu saja aku kenal suara itu. Waedah, yang selalu mengingatkanku pada pesan-pesan WA Wati. Kali-kali mati terkubur sampah atau jadi tempat pembuangan limbah pabrik. Dan, ia mulai sering merasa berat sendirian mengurus Emak yang mulai pikun.

“Tapi, setidaknya kamu harus lebih bersyukur. Meskipun kali-kali itu jadi mati, setidaknya pabrik-pabrik itu telah menebus dosanya dengan menghidupi banyak pekerja.”

“Lalu, para warga yang sumurnya tercemar?” selaku, gemas.

“Perkara remeh begitu mestinya bisa ditangani dengan baik. Lapor saja ke pemerintah. Biar pihak pabrik mendapatkan perhatian dalam usaha mengelola limbah. Daripada mengusir mereka, dan lalu kalian kehilangan pekerjaan….”

“Iya, maksudku juga begitu. Tapi, orang-orang yang telanjur dirugikan, kalau tak bergerak, apa ya lantas bisa memperbaiki keadaan?”

“Jadi sumur emakmu juga turut terpapar, ya? Pasti susah sekali rasanya, lantaran kalian sudah terbiasa dimanjakan dengan air bersih. Asal kau tahu saja, tiap kemarau sampai di puncaknya begini, kami sudah harus berburu air dengan menggali dasar-dasar sungai yang sudah kering.”

Aku hanya mengerucutkan bibir menanggapi komentar yang sama sekali tak memberi kelegaan itu. Dan kini, detik ini, aku mulai bisa memahami keberpihakan Waedah atas keberadaan pabrik itu. Apalagi kondisi di penampungan itu sungguh jauh api dari panggang.

“Maafkan aku, Dah. Aku yakin kau sudah tahu. Apa kami mesti diam saja, saat disuapi makanan busuk yang dibungkus rapat agar mata kami tak protes?”

Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, segera kubuang suara-suara negatif itu ke dalam deru angin laut. Pisau itu pun kembali beraksi tanpa ragu. Darah beku itu tampaknya sudah mulai bau. Aku berusaha mencucinya dengan asin laut demi menghilangkan bau amis yang sudah beranjak busuk. Tapi sia-sia. Hingga akhirnya kuputuskan untuk membuang semuanya ke laut. Termasuk kenangan buruk yang tiap detik menghantui.

“Selamat tinggal, Dah. Bukankah kau pernah bilang di tanah kelahiranmu selalu kekurangan air? Sekarang, kau tak akan kekurangan lagi.”

Kularang air mataku untuk menyatakan kesedihan.

*****

Pada coretan merah kedelapan di dinding perahu, aku masih melihat Narti dan Odah yang masih berkeras dengan keinginan awalnya.

“Kalau boleh, aku juga ingin kerja di kotamu saja,” suara itu terdengar gemetar dan putus asa.

Sejak tadi pagi, ia memang terlihat malas sekali beranjak dari tempat tidur. Bahkan, untuk sekadar mengambil jatah makan sendiri. Tak seperti biasanya, hari ini entah mengapa kami mendapatkan menu makanan spesial yang lain dari biasanya. Setelah tadi malam ia bilang akan mempertemukan kami dengan calon bos masing-masing. Dan, Nartilah yang mendapatkan giliran pertama.

“Kau kenapa?” kuambil baju-baju yang ia jadikan selimut. Cahaya telah sepenuhnya benderang. Menampakkan wajahnya yang pucat. Seperti orang sakit.

“Sakit, Vi. Semalam… aku dikenalkan dengan dua orang…,” tiba-tiba menangis, “aku ingin pulang saja….”

Kami baru menyadari apa yang sebenarnya terjadi setelah malam-malam berikutnya saat ‘bos’ kami masing-masing mendatangi kami secara bergilir. Sejak saat itulah ‘pulang’ menjadi bahan pembicaraan yang menggairahkan, namun sekaligus menegangkan. Kesamaan nasib membuat kami merasa seperti saudara.

Ketika rasa lapar kembali berbuat onar di dalam perutku, suara-suara itu pun kembali terbangun dan meneror ketenanganku.

Pisau itu kembali sudah berada di tangan kananku. Sebilah pisau dapur yang pernah menjadi pahlawan kami. Pada kilap cahaya di permukaannya aku bahkan masih bisa melihat mata Duna Gembrot yang melotot saat bertemu Malaikat Maut. Dan, debar keberanian itu kini harus bertikai dengan perasaan berdosa yang bertubi-tubi menyayat ketabahanku. Lantaran sebelum cahaya berubah angkuh tepat di atas kepala, aku sudah harus tiarap lagi ke badan perahu dalam keadaan kenyang.

Oo, perut yang budiman, seandainya saja kau masih mampu menampung mamahan kain sekadar untuk mengelabui rasa lapar….

Lihatlah. Bahkan untuk sekadar mengangkat pisau ini saja sudah seperti mengangkat segunung beban.

Apakah kau akan menganggapku pengkhianat, yang lebih buruk derajatnya dibanding Duna Gembrot, Nar?

Pisau yang sudah setengah posisi bertindak itu tiba-tiba saja terjatuh dari genggaman. Air mataku….

*****

Aku ingin semua ini disudahi saja. Tapi, sepertinya yang berdiam di dalam perutku tak mau begitu saja membiarkanku dalam ketenangan. Begitu juga suara-suara itu.

Aku tahu itu suara Odah, yang begitu antusias dengan kata ‘malam’ dan ‘laut’.

“Harus malam…,” ujarnya. “Dan kita akan lewat laut.”

Ia pun kemudian menjelaskan rutenya. Dengan kendaraan apa, dan bahaya apa yang mungkin bisa mengancam kami.

Duna Gembrot bukan lagi menjadi ancaman serius setelah kami memutuskan akan menghabisinya dengan sebuah muslihat. Pisau dapur itu kemudian menjadi salah satu saksi ketika kami harus merapikan jasadnya di bawah ranjang maksiat, lantaran di tempat itulah tubuh dan kehormatan kami diperjualbelikan.

Dingin malam, nyamuk, kecemasan, kerikil tajam, dan terutama rasa rindu pulang yang tak lagi tertahan. Dengan bantuan Subhan --penjaga pintu masuk pulau, yang sebelumnya telah kami sumpal dengan sisa-sisa harta milik kami, sedikit kepuasan, dan cerita sedih memuakkan-- kami berhasil mendapatkan sebuah perahu nelayan bermesin kecil.

“Di laut, kita akan mendapatkan kebebasan…,” ujar Odah, saat meyakinkan kami. Lantaran setidaknya kami akan terbebas dari radar pencarian para anak buah vila yang bisa ada di mana-mana.

Tawau, Sebatik, Nunukan, Bunyu, Tarakan, hingga Derawan, ah… tolong, antarkan kami ke daratan….

Ini adalah murni skenario laut, dan jelas bukan keinginan kami.

*****

Saat itu aku masih bisa mendengar suara laut….

“Yang dua sudah mayat, Pak! Tapi yang satu masih ada napas!”

“Apa kita perlu membawanya ke atas, Pak?”

“Tak usah, tak usah! Jangan-jangan mereka ini bagian dari para pengungsi itu. Biarlah para polisi saja yang nanti mengurusnya….”

“Tapi, Pak, ini hanya tinggal seorang saja yang masih hidup. Lagipula, perahu ini ada tulisannya Ta…wau. Bukankah itu…?”

“Pasti mereka anggota komplotan para pencuri ikan!”

“Apa tak sebaiknya kita lapor saja, Pak?”

“Jangan mempersulit diri. Kita belum dapat apa-apa sejak semalam.”

“Aku hanya kasihan, Pak. Lagipula, yang satu sepertinya masih hidup….”

“Bukankah sudah kau suapi dia?”

“Sudah, Pak. Tapi mulutnya menolak….”

“Buang ke laut saja. Habis perkara! Kita bawa pulang perahunya!”

“Ja… jangan, Pak….”

“Ya, sudah! Kalau begitu jangan bayak bacot!”

Apakah itu tadi suara ribut Malaikat Maut? Mengapa ia masih belum bosan mericuhi semangat kami untuk pulang? Dengan badai di malam gulita itu, ia telah berhasil mematikan satu-satunya mesin perahu dan bahkan semangat kami. Ia kirim rasa lapar dan takut untuk meneror kami kemudian. Bahkan juga dengan perasaan ingin terus membunuh….

“Eh, apa kau tak menemukan benda berharga di situ tadi?”

“Enggak, Pak, enggak. Cuma ada pisau dan beberapa potong baju yang sobek dan penuh… darah.” (f)



 
Back
Top