Cerita Mistis Goa Alas Purwa

d-net

Mod
jro-saat-menuntun-muridnya-belajar-tantra.jpg

TRIBUNJATENG.COM, DENPASAR – Jro Rudra Agni, atau yang kerap disapa Jro Arimbawa menceritakan pengalaman menarik dan unik saat mempelajari ajaran Tantra Bhairawa.

Ia telah menekuni ajaran tantra sejak 12 tahun, hingga saat ini.

“Awalnya saya belajar dari bapak saya, berupa tutur.

Setelah berjalan saya diajari mudra atau gerakan. Lalu belajar aksara, seperti aksara Swalalita, Wreastra, dan terakhir aksara Modre,” sebutnya kepada Tribun Bali, Rabu (21/10/2020).

Ia kemudian menggembleng diri, dan menempatkan aksara Wreastra dalam tubuh.

Menempatkan dasaksara, pancaksara dalam tubuh.

Mendalami pasuk wetu semua aksara, dalam tubuh disertai puasa.

Ia juga masegeh setiap hari disertai nyeraya di tempat pembakaran mayat setiap kajeng kliwon, purnama, dan tilem.

“Inilah laku yang terpenting dalam belajar tantra. Sampai kita memperoleh anugerah dari Hyang Bhatari Durga,” sebutnya.

Walau terkesan cukup seram, namun perasaannya setelah belajar tantra ini malah memberi kedamaian.

Ia mengaku hidupnya menjadi lebih baik, kesehatan terjaga.

“Kemudian hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan energi tidak baik terkendali. Intinya kita merasa lebih nyaman dalam hidup, tanpa harus mengabaikan keduniawian,” imbuhnya.

Banyak orang awam tidak terlalu paham dengan ajaran tantra.

“Ajaran tantra adalah ajaran tentang apa sesungguhnya diri itu. Apakah diri adalah tubuh atau diri adalah roh, atau badan ini adalah terbentuk dari aksara suci,” jelasnya.

Tantra, kata dia, adalah jalan menuju pemahaman diri sehingga bisa mencapai kebahagiaan dan pelepasan pada saat kita kembali pada kematian.

Tantra secara definitif, bermakna tanpa sastra yang artinya memahami ruang kosong, memahami jati diri untuk bertemu dengan Sang Hyang Suksma sejati.

Cara mempelajarinya, adalah memahami unsur pembentuk badan kasar dan badan halus serta roh.

Pembentuk badan kasar ada 5 elemen dasar.

Diantaranya pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa, atau yang kerap disebut Panca Maha Bhuta.

“Setelah paham, letakkan semua aksara dari unsur itu di dalam tubuh. Setelah itu baru kita memahami badan halus yang terbentuk dari Panca Tirta,” katanya.

Sehingga terbentuklah sepuluh energi yang bisa membuat kita bergerak.

Baru menuju alam roh, yaitu atman itu sendiri atau jiwa atau Sang Hyang Suksma sejati.

Ia menyebutkan, ada beberapa lontar yang membahas seputar tantra.

Mulai dari Lontar Saraswati, Lontar Dasaksara, Lontar Keputusan Dalem, serta Kanda Pat.

“Namun tantra sendiri, merupakan keputusan intisari dari lontar di atas,” imbuhnya.

Ia mengaku ada pasang surut dalam mempelajari ilmu tantra ini, serta kisah unik dan menarik dalam prosesnya.

“Secara nyata tentu ujian hidup dan kehidupan serta keluarga menjadi taruhannya. Tetapi semua itu bisa diatasi seiring keyakinan kita,” katanya.

Secara niskala, ia mengaku cukup banyak ujian yang harus dilalui.

Secara gaib, banyak serangan yang harus dihadapi, namun berkat sang catur sanak saudara yang ada sejak manusia lahir.

Ia mengaku menjadi lebih kuat, dan semua bisa diatasi dengan gemilang.

“Ujian itu tentunya ada pada setiap pembelajaran apapun, yang merupakan konsekuensi dalam laku keilmuan,” tegasnya.

Jro Arimbawa, kini mengajar tentang tantra dan kanda pat, serta mengadakan pengobatan rutin dan melukat.

“Bagi masyarakat yang membutuhkan, belajar pengliakan bagi siswa yang mau mempertahankan taksunya di Bali juga bisa,” jelasnya.

Seperti pengalamannya, awal belajar adalah tutur mengenai diri yang artinya kesadaran diri belajar tentang kanda pat.

Serta masegeh setiap hari, yang bertujuan menetralisir energi negatif yang ada dalam tubuh.

Setelah hal itu, baru belajar tentang intisari dari tantra tersebut.

“Segehan ini untuk diri sendiri, berupa segehan manca warna yang dihaturkan di halaman merajan. Pada saat kita sebelum sembahyang,” katanya.

Hal tersebut khusus untuk menghalau bhuta kala di angga sarira sehingga tidak menggangu.

Persyaratan lainnya, adalah mawinten ngelinggihang aksara.

“Sebelum belajar ini, wajib sebagai siswa pemula untuk mawinten,” tegasnya.

Sehingga pendalaman ritualnya lebih tinggi, sampai pada tahap pawintenan dasa guna.

Untuk mawinten, ada di Klungkung atau di Pura Melanting Jambe Pole di Padang Galak jika mendesak.

Upakara pawintenan menggunakan peras pejati pasupati lan tebasan purna jati saja.

Setelah mawinten, puasa sehari yang kerap disebut puasa mutih atau tidak makan daging merah dan daging putih.

“Semua orang bisa belajar tantra, yang penting ada keyakinan dan tulus ikhlas dalam dirinya,” jelas Jro Arimbawa.

Tidak harus ada pawisik atau bisikan khusus untuk belajar tantra ini.

“Sebab manusia telah diberi banyak kelebihan dibanding mahluk lain,” katanya.

Sebab pawisik tidak bisa diyakini sepenuhnya, di zaman kaliyuga ini.

Baginya, yang bisa diyakini adalah sastra leluhur yang diolah secara batin dan pengembangan diri yang ketat.

Kisah gaib yang pernah ia rasakan, adalah memasuki goa Alas Purwa tahun 2006.

Di sana ia bertemu dengan mahluk gaib 4 orang, dan mereka adalah 4 saudara yang memberikannya penyempurnaan ilmu yang sedang ia pelajari.

“Mereka guru sejati yang bersifat gaib, yang menuntun saya dari kandungan, lahir, hidup, dan nanti ketika kematian menjemput,” katanya.

Selain itu, pengalaman lainnya adalah ia pernah mengobati di Bangli, tepatnya di daerah Kayubihi.

Ia berangkat sore hingga larut malam.

Dan ketika pulang, ia melewati gang dan pohon bambu lalu dicegat oleh nenek-nenek yang meminta rokok.

Setelah ia berikan rokok, hanya diambil satu saja.

Namun setelah itu ia tidak bisa bergerak, mau naik motor badannya lemas mati rasa.

“Berkat kuasa Tuhan saya bisa menguasai diri saya dan selamat sampai di rumah,” ujarnya.

Bahkan ia pernah muntah darah selama tiga bulan, tanpa gejala medis dan akhirnya sembuh sendiri.

Ilmu yang ia pelajari selama ini, ia terapkan dalam kehidupan dengan menolong banyak orang.

Satu diantaranya, adalah pasien stroke yang ia obati dan berhasil.

“Setelah saya melihat pasien ini, ada kesalahan di penunggu karang, kemudian besoknya saya mohonkan di penunggu karang setelah itu diperciki tirta. Lalu besoknya pasien ini pulang dan kembali seperti sedia kala,” jelasnya.

Ia selalu mengajarkan di Taksu Rudra, sebuah komunitas yang kalau mengobati harus mengedepankan logika medis dan lain sebagainya.

Kalau di medis mentok, baru dicarikan solusi lainnya.

Ia menjelaskan, jika ingin berobat padanya cukup membawa bungkak hijau.

“Sisanya tidak mengikat, bisa canang atau pejati yang penting adalah keyakinan diri untuk sembuh,” katanya. (*).
 
Back
Top