Flood Of Sensuality

singthung

New member
Flood Of Sensuality


Oleh: Ajahn Chah


Kamogha... banjir nafsu: (kita) tenggelam di dalam penglihatan-penglihatan, di dalam suara-suara, di dalam bebauan, di dalam rasa-rasa kecapan, di dalam sentuhan-sentuhan jasmani. (Kita) tenggelam karena kita hanya melihat pada yang di luar, kita tidak melihat ke dalam diri kita. Orang-orang tidak melihat pada diri mereka sendiri, mereka hanya melihat kepada orang-orang lainnya. Mereka dapat melihat setiap orang yang lain tetapi mereka tidak dapat melihat diri mereka sendiri. Sebenarnya hal itu tidaklah sulit dilakukan, hanya saja orang-orang tidak mencobanya dengan sungguh-sungguh.

Sebagai contoh misalnya, melihat kepada seorang wanita cantik. Apa yang terjadi pada diri anda? Begitu anda melihat wajahnya, anda melihat keseluruhannya pula. Apakah demikian? Cobalah lihat ke dalam batin. Apakah sebenarnya yang suka melihat seorang wanita itu? Begitu mata melihat hanya yang sedikit, batin sudah langsung melihat keseluruhan lainnya. Mengapa ia begitu cepat?

Itu karena anda tenggelam di dalam air! Anda sedang tenggelam, anda memikirkannya, mengkhayalkannya, dan melekat kepadanya. Itu mirip seperti menjadi seorang budak... seseorang lainnya yang menguasai diri anda. Ketika mereka menyuruhmu duduk, anda harus duduk, ketika mereka menyuruhmu berjalan, anda harus berjalan... anda tidak dapat membantah mereka karena anda adalah budak mereka. Diperbudak oleh nafsu-nafsu adalah juga sama. Tak peduli bagaimana kerasnya anda berusaha, anda tampaknya tidak dapat melepaskannya. Dan jika anda mengharapkan orang lain untuk melakukannya untuk anda, anda benar-benar masuk ke dalam masalah. Anda harus melepaskannya untuk diri anda sendiri.

Oleh karena itulah Sang Buddha menyerahkan latihan Dhamma, untuk mengatasi penderitaan kepada kita. Nibbana (Nibbana ?Keadaan terbebasnya dari semua keadaan yang berkondisi.), contohnya. Sang Buddha telah tercerahkan dengan sepenuhnya, tetapi mengapa Beliau tidak menggambarkan nibbana dengan mendetail? Mengapa Beliau hanya berkata bahwa kita harus berlatih dan menemukan sendiri hal tersebut bagi kita? Mengapa demikian? Tidak haruskah Beliau menjelaskan seperti apa nibbana itu?

"Latihan yang dilakukan oleh Sang Buddha, mengembangkan kesempurnaan-kesempurnaan selama berkalpa-kalpa demi semua makhluk, lalu mengapa Beliau tidak menjelaskan nibbana agar mereka semua dapat melihatnya dan menuju ke sana pula?" Sebagian orang berpikir seperti begini. "Jika Sang Buddha benar-benar mengetahuinya maka Ia akan mengatakannya kepada kita. Mengapa Ia mesti merahasiakan sesuatu?"

Sebenarnya pikiran-pikiran semacam itu adalah salah. Kita tidak dapat melihat Kesunyataan dengan cara itu. Kita harus berlatih, kita harus mengusahakannya sendiri, untuk dapat melihat. Sang Buddha hanya menjelaskan cara untuk mengembangkan kebijaksanaan, hanya itu. Beliau mengatakan bahwa kita sendirilah yang harus berlatih. Siapapun yang mau berlatih, ia akan mencapai tujuan.

Tetapi jalan yang Sang Buddha ajarkan itu berlawanan dengan kebiasaan-kebiasaan kita. Untuk hidup sederhana, untuk mengendalikan diri... kita sesungguhnya tidak menyukai hal-hal ini, sehingga kita berkata, "Tunjukkanlah kepada kami jalan, tunjukkanlah kami jalan ke nibbana, agar orang-orang yang suka gampangnya, seperti kami ini, dapat pergi ke sana juga". Sama pula halnya dengan kebijaksanaan. Sang Buddha tidak dapat menunjukkan kebijaksanaan kepadamu, itu bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah dibawa-bawa. Sang Buddha dapat menunjukkan cara untuk mengembangkan kebijaksanaan, tetapi apakah anda mengembangkannya banyak atau sedikit, itu tergantung pada tiap-tiap individu. Jasa kebaikan dan timbunan kebajikan dari orang-orang adalah berbeda-beda.

Lihat saja pada obyek material, seperti patung-patung singa-kayu di depan aula ini. Orang-orang datang dan melihat pada patung-patung itu dan tampaknya tidak sepakat dengan apa yang dikatakan oleh salah satu orang, "Oh, betapa cantiknya", sementara yang lain berkata, "Oh betapa menyeramkan!" ini adalah satu singa, yang dapat dinilai cantik dan buruk. Contoh ini cukup untuk menjelaskannya.

Oleh karena itu, perealisasian Dhamma kadang-kadang lambat, kadang-kadang cepat. Sang Buddha dan para muridNya, semuanya sama dalam hal berlatih bagi mereka sendiri; tetapi meskipun demikian mereka tetap bergantung kepada guru-guru mereka untuk menasihati mereka dan memberi mereka teknik-teknik dalam berlatih.

Sekarang, bila kita mendengar uraian Dhamma, kita mungkin ingin mendengarnya sampai semua keraguan kita lenyap, tetapi keragu-raguan tersebut tidak pernah dapat tuntas lenyap hanya dari mendengar (Dhamma) saja. Keraguan tidaklah semata-mata dapat diatasi dengan cara mendengar atau berpikir, tetapi kita pertama-tama harus membersihkan batin kita. Untuk membersihkan batin berarti memperbaiki latihan kita. Tak peduli berapa banyak atau berapa lama kita telah mendengar kepada uraian atau khotbah-khotbah guru kita tentang kebenaran, kita tidak dapat mengetahui atau melihat kebenaran tersebut hanya dari mendengar. Jika kita melakukan hal seperti itu, maka itu hanya akan menjadi suatu perkiraan atau terkaan saja.

Namun meskipun hanya dari mendengar kepada Dhamma itu saja tidak menuntun kepada perealisasian, itu tetap bermanfaat. Ada satu kisah pada masa Sang Buddha, di mana seseorang merealisasi Dhamma bahkan merealisasi tingkat tertinggi-Arahat, ketika sedang mendengarkan uraian Dhamma. Tetapi orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang telah tinggi perkembangan batinnya, batin mereka telah mengerti akan beberapa penguasaan. Itu sama seperti sebuah bola. Ketika sebuah bola dipompa dengan udara, ia mengembung. Sekarang udara yang ada di dalam bola tersebut saling mendesak untuk keluar, tetapi tidak ada lubang baginya untuk keluar. Begitu ada jarum yang menusuk bola tersebut, udara di dalam bola tersebut keluar dengan cepat.

Sama halnya dengan ini. Batin-batin dari murid-murid yang langsung mencapai pencerahan ketika mendengar kepada Dhamma, adalah sama seperti demikian. Sejauh tidak ada katalisator yang dapat menyebabkan reaksi dari 'tekanan' ini di dalam mereka, itu sama seperti sebuah bola. Batin belum terbebas dikarenakan oleh hal kecil yang menghalangi kebenaran. Begitu mereka mendengar uraian Dhamma dan ia mengenai titik yang tepat, maka kebijaksanaan muncul. Mereka dengan seketika mengerti, dengan seketika dapat melepas, dan merealisasi kebenaran Dhamma. Demikianlah jalannya. Cukup mudah. Sang Batin meluruskan dirinya sendiri. Ia berubah, atau berbelok, dari satu pandangan ke pandangan lainnya. Anda dapat saja mengatakan bahwa itu adalah jauh, atau anda dapat mengatakan itu sangat dekat.

Ini adalah sesuatu yang harus kita lakukan bagi diri kita sendiri. Sang Buddha hanya mampu memberikan teknik-teknik atau cara-cara bagaimana untuk mengembangkan kebijaksanaan, dan demikian juga dengan guru-guru zaman sekarang. Mereka memberikan uraian-uraian/khotbah-khotbah Dhamma, mereka membicarakan tentang kebenaran, tetapi tetap mereka tidak dapat menjadikan kebenaran tersebut menjadi milik kita. Mengapa tidak dapat? Karena ada sebuah 'film' yang mengaburkannya. Anda dapat mengatakan bahwa kita telah tenggelam di dalam banjir. Kamogha ?'banjir' nafsu. Bhavogha ?'banjir' dumadi.

'Dumadi' (bhava) berarti 'alam kelahiran'. Nafsu-nafsu ragawi lahir pada penglihatan-penglihatan, suara-suara, rasa-rasa kecapan, bebauan, perasaan-perasaan, dan pikiran-pikiran, yang mengindentifikasi diri dengan hal-hal ini. Batin mencengkeram dengan cepat dan ia melekat kepada nafsu-nafsu ragawi tersebut.

Sebagian 'pencari kebenaran' merasa bosan, merasa tak sanggup, lelah terhadap latihan, dan malas. Anda tidak harus melihat sangat jauh, cukup lihat pada bagaimana orang-orang tampaknya tidak dapat memelihara Dhamma di dalam batinnya, dan seandainya mereka dimarahi, mereka akan mengingatnya sampai bertahun-tahun. Mereka mungkin mendapat marah (dimarahi) pada awal masa Retret, dan bahkan sesudah selesai masa retret, mereka masih belum melupakannya. Dalam seluruh hidupnya, mereka tetap tidak mau melupakannya jika itu tertanam cukup dalam.

Tetapi bila itu terhadap ajaran Sang Buddha, yang menyuruh kita untuk hidup sederhana, untuk dapat mengendalikan diri, dan berlatih dengan bersungguh-sungguh... mengapa orang-orang tidak mengingat hal ini di dalam hati mereka? Mengapa mereka dengan mudah melupakan hal-hal ini? Anda tidak perlu melihat jauh-jauh, cukup lihat pada latihan kita di sini. Sebagai contoh, aturan-aturan yang telah ditetapkan, seperti: sehabis makan, saat mencuci mangkuk, jangan mengobrol! Bahkan hal ini tampaknya terlalu sulit untuk dilakukan. Meskipun kita tahu bahwa mengobrol itu adalah tidak bermanfaat dan dapat menyeret kita kepada kenafsuan... orang-orang tetap suka bicara. Dalam pembicaraan itu, sebentar saja mereka sudah mulai tidak setuju dan akhirnya menjadi berbeda pendapat dan bercekcok. Tidak ada yang lebih lagi daripada ini.

Orang-orang tampaknya belum mau melakukan usaha yang cukup untuk itu. Mereka mengatakan bahwa mereka ingin melihat Dhamma, tetapi mereka ingin melihatnya dengan ketentuan/syarat-syarat mereka sendiri, mereka tidak ingin untuk mengikuti jalannya latihan tersebut. Itulah sejauh ini yang mereka lakukan. Semua aturan latihan ini adalah alat-alat yang berguna untuk dapat menembus dan melihat Dhamma, tetapi orang-orang tidak berlatih sesuai dengan aturan.

Untuk mengatakan 'latihan yang senyatanya' atau 'latihan yang bersemangat' tidaklah perlu berarti anda harus mengeluarkan seluruh energi, tetapi cukup berikan sedikit usaha ke dalam batinmu, membuat (sedikit) usaha terhadap semua perasaan yang timbul, khususnya terhadap perasaan-perasaan yang terbenam dalam kenafsuan. Mereka-mereka ini adalah musuh-musuh kita.

Tetapi orang-orang tampaknya tidak dapat melakukannya. Setiap tahun, menjelang saat hari terakhir masa retret, mereka menjadi semakin payah/memburuk keadaannya. Beberapa bhikkhu telah mencapai batas dari kesabaran mereka, 'tidak sabar lagi'. Semakin mendekati hari terakhir retret, semakin memburuk kondisi mereka, mereka tidak konsisten (mantap) lagi dalam latihan. Saya mengatakan tentang hal ini tiap tahun tapi tampaknya orang-orang tidak mengingatnya. Kami menetapkan aturan-aturan tertentu dan belum sampai setahun itu sudah diabaikan. Begitu hampir selesai retret, sudah mulai terjadi: obrolan-obrolan, kumpul-kumpul, dan sebagainya. Semuanya menjadi hancur. Inilah kecenderungan-kecenderungan yang terjadi.

Mereka benar-benar tertarik dengan latihan haruslah memikirkan mengapa hal ini terjadi. Ini karena orang-orang tidak melihat akibat-akibat yang merugikan dari hal-hal ini.

Bilamana kita telah diterima dalam kebhikkhuan, kita hidup dengan sederhana. Meskipun mereka yang telah melepaskan jubahnya dan pergi ke garis depan di mana peluru-peluru terbang melewati mereka setiap hari, mereka lebih suka itu seperti demikian. Mereka benar-benar ingin pergi. Bahaya ada di sekelliling mereka tetapi toh mereka bersiap-siap untuk pergi. Mengapa mereka tidak melihat bahaya tersebut? Mereka siap mati oleh senjata tetapi tak seorang pun yang ingin mati karena mengembangkan kebajikan/sila. Dengan melihat pada hal ini saja sudah cukup... itu karena mereka diperbudak; tidak ada yang lainnya mengertikan hal ini dan engkau akan mengetahui tentang semuanya. Orang-orang tidak melihat bahaya.

Ini benar-benar mencengangkan, bukan? Anda pikir mereka dapat melihat ini tetapi nyatanya mereka tidak dapat. Jika mereka tidak dapat melihatnya juga, maka tidak ada jalan keluar bagi mereka. Mereka diharuskan untuk berputar terus di dalam lingkaran Samsara. Inilah kejadiannya. Hanya dengan membicarakan masalah yang sederhana seperti ini, kita sudah mulai dapat mengerti.

Jika seandainya anda bertanya kepada mereka, "Mengapa engkau lahir?" mereka akan menemui banyak kesulitan dalam menjawab; itu karena mereka tidak dapat melihat atau memahaminya. Mereka tenggelam di dalam dunia nafsu inderawi dan tenggelam dalam dumadi (bhava) (Kata bahasa Thai untuk "bhava" adalah 'pop', yang merupakan istilah umum bagi pendengar khotbah Ajahn Chah. Ini umumnya dipahami dengan arti 'alam dari kelahiran-kembali'; pemakaian istilah ini di sini oleh Ajahn Chah adalah sedikit tidak biasa, yang maksudnya menekankan pemakaian yang lebih praktis daripada istilah tersebut.). Bhava adalah alam kelahiran, tempat lahir kita. Untuk mudahnya, dari manakah makhluk-makhluk lahir? Bhava adalah kondisi awal dari kelahiran. Dimana kelahiran terjadi, di situlah bhava.

Sebagai contoh, andaikata kita mempunyai kebun pohon apel yang benar-benar kita sukai. Itulah "bhava" bagi kita jika kita tidak merenungkannya dengan kebijaksanaan. Bagaimana caranya? Andaikata kebun buah kita itu berisi seratus atau seribu pohon apel... tak peduli jenis pohon apapun yang ada, apabila kita menganggap mereka sebagai pohon-pohon 'milik kita'.... maka nanti kita akan 'lahir' sebagai 'cacing' pada setiap batang pohon tersebut. Kita dengan cepat menuju ke setiap pohon meskipun badan kita masih ada di dalam rumah; kita mengirim 'alat-alat peraba/tentakel' kepada setiap pohon tersebut.

Sekarang, bagaimana kita dapat mengetahui bahwa itu adalah bhava? Itu adalah bhava (alam/biang dari suatu eksistensi) karena kemelekatan kita kepada pemikiran bahwa pohon-pohon itu adalah milik kita, bahwa kebun buah itu adalah milik kita. Jika misalnya ada orang lain datang membawa kapak dan menebang salah satu pohon tersebut, maka si pemilik yang berada di dalam rumah, ikut 'mati' bersama pohon tersebut. Dia menjadi sangat marah, dan merasa harus pergi untuk menyelesaikan masalah tersebut, untuk berkelahi dan bahkan mungkin untuk membunuhnya, pertengkaran itu adalah 'kelahiran'. 'Bidang/alam dari kelahiran' tersebut adalah kebun buah itu yang kita lekati sebagai milik kita. Kita 'lahir' tepat pada titik di mana kita menganggap mereka sebagai milik kita, lahir dari "bhava" tersebut. Meskipun jika kita mempunyai seribu pohon apel, jika seandainya seseorang menebang hanya satu, itu akan seperti memotong pemiliknya.

Apapun yang kita lekati, tepat di sana kita lahir, kita eksis tepat di sana. Kita lahir segera ketika kita 'mengetahui'. Ini adalah 'mengetahui' yang melalui ketidaktahuan: kita mengetahui bahwa seseorang telah menebang salah satu pohon kita. Tetapi kita tidak tahu bahwa pohon-pohon itu adalah sebenarnya bukan milik kita. Inilah yang dikatakan dengan 'mengetahui lewat tidak-mengetahui'. Kita terikat untuk dilahirkan ke dalam "bhava" tersebut.

Vatta, roda dari keadaan yang berkondisi, berjalan seperti ini. Orang-orang melekat kepada bhava, mereka tergantung kepada bhava. Jika mereka mengharapkan bhava, ini adalah kelahiran. Selama kita belum dapat melepas, kita menempel pada jejak dari samsara, berputar terus seperti sebuah roda. Lihatlah pada hal ini, renungkanlah ini. Apapun yang kita lekati sebagai kita atau milik kita, di sanalah tempat bagi suatu kelahiran.

Di sana pasti ada bhava (suatu bidang/tempat/alam dari kelahiran), sebelum terjadinya suatu kelahiran. Oleh karena itu Sang Buddha berkata, apapun yang engkau miliki, jangan 'memilikinya'. Biarkan ia apa adanya tetapi jangan jadikan itu sebagai milikmu. Anda harus mengerti kata 'memiliki' dan 'jangan memiliki' ini; mengetahui kesunyataan/kebenaran mereka, jangan terseret dalam penderitaan.

Tempat dari mana kita lahir; anda ingin kembali ke sana dan dilahirkan kembali, benar tidak? Kalian semua para bhikkhu dan samanera, tahukah kalian dari mana tempat kalian lahir? Kalian ingin kembali ke sana, bukan? Tepat di sana, lihatlah hal ini. Semua dari kalian sudah bersiap-siap. Semakin dekat kita pada hari terakhir retret ini, semakin kalian bersiap-siap untuk kembali dan lahir lagi di sana.

Sungguh, anda akan berpikir bahwa orang-orang dapat menghargai hal itu, hidup di dalam perut/rahim seseorang. Bagaimana tidak nyamannya itu? Coba lihat, hanya tinggal di dalam kuti cukup satu hari saja. Tutup semua pintu dan jendela maka anda akan kekurangan nafas. Bagaimana lalu dibandingkan dengan berbaring di dalam perut seseorang selama 9 atau 10 bulan? Pikirkanlah tentang hal ini.

Orang-orang tidak melihat kekurangan dari benda-benda/hal-hal. Tanyakan kepada mereka mengapa mereka hidup, atau mengapa mereka dilahirkan, dan mereka tidak dapat menjawabnya. Apakah anda semua masih ingin untuk kembali ke dalam perut lagi? Mengapa? Itu seharusnya sudah jelas/nyata, tetapi kalian tidak dapat melihatnya? Apa yang kalian lekati, apa yang kalian gantungi? Pikir-pikirkanlah untuk dirimu sendiri.

Itulah bhava. Akarnya tepat ada di sana, ia berputar di sekitar sana. Sang Buddha mengajarkan untuk merenungkan titik ini. Orang-orang berpikir tentang hal ini tetapi tetap masih belum dapat melihat/mengerti. Mereka semua sudah bersiap-siap untuk kembali ke sana lagi. Mereka tahu bahwa akan tidak begitu menyenangkan berada di sana, tetapi toh mereka tetap ingin menempelkan kepala mereka di sana, menaruh leher mereka di dalam jeratannya sekali lagi. Meskipun mereka mungkin tahu bahwa jeratan ini benar-benar tidak mengenakkan, mereka tetap ingin menaruh kepala mereka di sana. Mengapa mereka tidak mengerti ini? Ini adalah di mana kebijaksanaan datang, di mana kita harus merenungkannya.

Bila saya berbicara seperti ini, orang-orang berkata, "Jika itu masalahnya maka setiap orang harus menjadi bhikkhu... dan kemudian bagaimana dunia ini akan dapat berfungsi?" Anda tidak akan pernah mendapati setiap orang menjadi bhikkhu, jadi tidak usah kuatir. Dunia ini ada karena adanya makhluk-makhluk yang matanya tertutup debu/batinnya bernoda, jadi ini bukanlah masalah yang sepele.

Saya mulanya menjadi samanera pada usia 9 tahun. Saya mulai berlatih sejak saat itu. Tetapi pada masa-masa itu saya tidak benar-benar mengetahui tentang apa semua ini. Saya menjadi mengerti ketika saya telah menjadi seorang bhikkhu. Sejak menjadi seorang bhikkhu saya menjadi sangat hati-hati. Kesenangan-kesenangan inderawi yang digemari oleh orang-orang tampaknya tidak terlalu menarik bagi saya. Saya melihat penderitaan di dalamnya. Sama seperti melihat sebuah pisang yang enak yang saya tahu sangat manis rasanya tetapi yang juga saya tahu itu beracun. Tak peduli bagaimanapun manis atau menariknya ia, jika saya memakannya maka saya akan mati. Setiap saya merenungkan dalam cara ini... setiap kali saya ingin memakan buah pisang tersebut, saya akan melihat 'racun' tertanam di dalamnya. Dengan demikian akhirnya saya dapat mengusir ketertarikan saya terhadap hal-hal tersebut. Sekarang, pada usia saya sekarang ini, hal-hal semacam itu sama sekali tidak menggoda lagi.

Sebagian orang tidak melihat 'racun' tersebut; sebagian melihatnya tetapi tetap ingin mencoba keberuntungan mereka. "Jika tanganmu terluka janganlah menyentuh racun, ia akan meresap ke dalam lukamu".

Berbicara tentang nafsu inderawi, itu sulit untuk ditaklukkan. Sungguh-sungguh sulit untuk melihat dia sebagaimana adanya. Kita harus menggunakan alat-alat yang amat canggih. Anggaplah kesenangan-kesenangan inderawi itu seperti memakan daging yang mana ia akan tersangkut di gigimu. Sebelum anda habis makan, anda harus mencari tusuk-gigi untuk mengeluarkannya. Saat daging tersebut keluar, anda merasa sedikit enak/lega, sehingga mungkin anda berpikir bahwa anda tidak akan memakan daging lagi. Tetapi ketika anda melihatnya lagi, anda tidak dapat menahan diri lagi. Anda makan (lebih banyak) lagi dan ia menyangkut lagi. Ketika ia menyangkut, anda harus mencabutnya keluar lagi, yang memberikan sedikit rasa enak/lega lagi, hingga anda makan lebih banyak daging lagi... Itulah semua yang terjadi padanya. Kesenangan-kesenangan inderawi adalah persis seperti ini, tidak lebih baik dengan ini. Ketika serpihan daging menyangkut di gigi, anda merasa tidak enak/sakit. Anda mengambil tusuk-gigi dan mencongkelnya keluar dan merasakan sedikit lega. Tidak ada yang lebih pada itu daripada nafsu-nafsu inderawi ini... Tekanan tersebut menekan dan menekan hingga anda melepaskannya sedikit... Oh! Begitulah rasanya. Saya tidak tahu tentang apa saja semua kerepotan itu.

Saya tidak mempelajari hal-hal ini dari siapapun juga, hal-hal tersebut muncul pada diri saya dalam latihan saya. Saya duduk dalam meditasi dan merenungkan kesenangan inderawi itu seperti sebuah sarang semut merah (Keduanya, baik semut-semut merah maupun telur-telurnya, digunakan sebagai makanan di Timur-Laut Thailand. Sehingga penyerangan terhadap sarang mereka bukanlah hal yang asing). Seseorang mengambil sebatang kayu dan menyodok sarang tersebut hingga semut-semutnya keluar, merayap turun melalui kayu itu dan menuju ke muka orang itu, menggigit mata dan hidung orang tersebut. Dan mereka tetap masih belum melihat mereka sedang dalam kesulitan.

Bagaimanapun, itu bukanlah sesuatu yang di luar kemampuan kita. Dalam ajaran Sang Buddha, dikatakan bahwa jika kita telah melihat bahaya dari sesuatu, tak peduli bagaimana baiknya itu tampaknya, kita harus mengetahui bahwa itu membahayakan. Apapun yang belum kita lihat bahayanya, kita berpikir ia baik. Jika kita belum melihat bahaya dari benda-benda, kita tidak dapat melepaskannya.

Pernahkah anda mengamatinya? Tak peduli bagaimana kotornya itu, orang-orang tetap senang padanya. Jenis dari 'kerja' ini tidaklah bersih, tetapi meskipun anda tidak membayar orang-orang untuk melakukannya, mereka dengan senang hati rela melakukannya. Terhadap jenis pekerjaan kotor lainnya, meskipun jika anda membayar dengan bayaran yang tinggi, orang-orang tidak mau melakukannya. Itu juga bukan karena hal tersebut adalah pekerjaan yang bersih, itu adalah pekerjaan yang kotor. Tetapi mengapa orang-orang menyukainya? Bagaimana anda dapat mengatakan bahwa orang-orang tersebut adalah pintar bila mereka berperilaku seperti ini? Coba pikirkan.

Pikirkanlah hal ini dengan cermat. Jika anda benar-benar ingin berlatih, anda harus memahami perasaan anda. Sebagai contoh, di antara para bhikkhu, samanera, atau umat awam, kepada siapa seharusnya kalian bergaul? Jika kalian bergaul/berkumpul dengan orang yang suka bicara banyak, mereka menyebabkan kalian bicara banyak juga.

Orang-orang suka berkumpul dengan mereka yang suka mengobrol banyak dan membicarakan hal-hal yang tidak karuan. Mereka bisa duduk dan mendengarkannya selama berjam-jam. tetapi bila itu adalah mendengar Dhamma, pembicaraan tentang latihan, tak banyak yang akan didengar. Seperti bila memberikan percakapan Dhamma: Begitu saya mulai berkata... 'Namo Tassa Bhagavato'... (Baris pertama dari kata-kata penghormatan dalam tradisi Pali, disebutkan sebelum memulai suatu percakapan Dhamma resmi. 'Evam' adalah kata pali untuk mengakhiri suatu percakapan/khotbah Dhamma.) mereka semua mulai mengantuk. Mereka tidak berminat pada percakapan ini sama sekali. Ketika saya telah sampai pada 'Evam', mereka semua membuka mata dan terjaga. Setiap kali ada percakapan Dhamma, orang-orang pada mengantuk. Bagaimana mereka dapat memperoleh manfaatnya dari ini kalau begitu?

Ini adalah kesempatan kalian, sekarang kalian telah ditahbiskan. Hanya ada satu kesempatan ini, jadi perhatikanlah baik-baik. Lihatlah pada benda-benda/hal-hal dan pertimbangkan jalan mana yang akan kalian pilih. Kalian sekarang bebas. Kemana kalian akan pergi dari situ? Kalian sedang berdiri di persimpangan jalan antara jalan keduniawian dan jalan Dhamma. Jalan mana yang akan kalian pilih? Inilah saatnya untuk memutuskan. kalian sendirilah yang membuat pilihannya. Jika kalian dibebaskan, itu adalah pada titik ini.

 
Back
Top