Brahmajala Sutta

singthung

New member
BRAHMAJALA SUTTA

IN NATURE THERE ARE NEITHER REWARDS NOR PUNISHMENTS, THERE ARE CONSEQUENCES!
(Di dalam hukum alam tidak ada hadiah-hadiah ataupun hukuman-hukuman, yang ada ialah berbagai konsekuensi!)


Semi Eternalisme 3

I was dreaming of the past
And my heart was beating fast
I began to lose control,
I began to lose control ?
I didn't mean to hurt you
I'm sorry that I made you cry
Oh no, I did'nt mean to hurt you
I'm Just a Jealous guy
I was felling insecure
You might not love me anymore
I was shivering inside
I was shivering inside
I didn't mean to hurt you?
I was trying to catch your eyes
Throught that you was trying to hide
I was swallowing my pain
I was swallowing my pain
I didn't mean to hurt you
I'm sorry that I made you cry
Oh no, I didn't want to hurt you
I'm just a jealous guy, watch out
I'm just a jealous guy, look out babe
I'm just a jealous guy

John Lennon (1940 - 1980)


Begitulah penggalan syair lagu "Jealous Guy" yang dinyanyikan oleh John Lennon, sebagai suatu ungkapan tentang perasaan cemburu dalam kehidupan yang penuh dengan segala problema.

Kita semua tentunya menyadari dan sering menemukan pemberitaan dari berbagai media yang mengangkat tema tentang emosi yang satu ini di dalam interaksi hidup manusia, termasuk drama dalam novel, teater, ataupun film layar lebar dan video CD. Bahkan, hal itu dapat kita temukan dari dinamika hidup di sekeliling kita sendiri termasuk tentunya kutipan khotbah berikut,

A Jealous God

"For the Lord, whose name is jealous, is a jealous God."Exodus 34:14.

HE PASSION OF JEALOUSY IN MAN is usually exercised in an evil manner, but it is not in itself necessarily sinful. A man may be zealously cautious of his honor, and suspiciously vigilant over another, without deserving blame. All thoughtful persons will agree that there is such a thing as virtuous jealousy. ..." (A Sermon, No. 502; Delivered on Sunday Morning, March 29th, 1863, by the Rev. C. H. SPURGEON,At the Metropolitan Tabernacle, Newington)


Rasa cemburu ataupun iri adalah suatu bentuk emosi yang cenderung dikaitkan dengan emosi negatif, sehingga banyak orang yang mengemukakan bahwa emosi tersebut harus dihindari. Padahal, dengan memahami corak kehidupan manusia yang sarat dengan interaksi fisik dan mental, maka sesuai corak nyata kehidupan tentang anicca, dukkha, dan anatta, hal tersebut adalah lumrah dan wajar. Kita bukanlah satu-satunya yang dapat mengendalikan agar keadaan seperti itu tidak datang kepada diri kita, namun lebih tepat kalau dikatakan bahwa karena ketidaktahuan kita, maka ada kemungkinan pada suatu kesempatan, kita akan menghadapi situasi yang dapat memicu emosi tersebut untuk muncul dan berkembang, bahkan dapat mencapai taraf yang merusak kesehatan pribadi maupun orang yang terlibat dalam interaksi tersebut. Hal itu dapat terjadi berkaitan dengan adanya landasan indera kita yang kontak dengan objek di sekitarnya (Lihat Paticcasamuppada).

Dalam pandangan semi eternalis, terbentuk paradigma berpikir bahwa alam yang memiliki rasa cemburu adalah tidak kekal, sedang alam yang tak memiliki rasa cemburu adalah alam yang kekal. Pandangan seperti ini cenderung mengarahkan sikap anti terhadap perasaan tersebut, sehingga menimbulkan reaksi yang tak sepantasnya atau berlebihan. Terlebih lagi, jika dikaitkan dengan kecenderungan mengarahkan manusia untuk mengejar kekekalan itu sendiri sehubungan dengan dualisme tersebut.

Selanjutnya, bagaimana kita mengendalikan emosi tersebut agar menjadi netral atau bahkan bermanfaat adalah merupakan hal yang penting untuk dapat dikembangkan selaku siswa Buddha. Saat kita memasuki situasi yang mengarahkan emosi kita pada kemungkinan lahirnya rasa cemburu, kita memang dapat menghindarinya sebagaimana seseorang menghindari jalan yang gelap, walaupun harus mengorbankan waktu demi keselamatannya. Kita juga dapat menghadapinya dengan menyadari bahwa hal yang kita temui sedang mengarahkan emosi kita pada munculnya rasa cemburu, dan selanjutnya dapat bersikap sepantasnya tanpa reaksi yang berlebihan, sebagaimana seorang menyadari bahwa jalan gelap yang akan dilaluinya tidaklah berbahaya atau bahkan sebaliknya. Tentang mengendalikan emosi tersebut sehingga menjadi bermanfaat memang bukan hal yang mudah, namun seperti seorang yang tahu bahwa jalan gelap yang dilaluinya akan mengecoh orang-orang yang berpikir bahwa ia tak mungkin melaluinya, demikianlah mengubah cemburu menjadi motivasi adalah bukan suatu hal yang mustahil.

Psikologi modern telah secara luas meneliti dan mencari jawaban atas banyak hal yang menjadi tekanan bagi pemikiran manusia, sehingga diharapkan lebih banyak manusia yang sehat jasmani dan rohani. Sekali lagi, Buddha sejak kurun waktu yang lama dalam sejarah kehidupan kita, telah memberitahukan segenggam daun kebenaran yang berkhasiat untuk menyembuhkan rasa sakit akibat ego diri (atta) atau paling tidak menawarkan dahaga penderitaan kita agar menjadi lebih ringan. Beliau membabarkan Brahmajala Sutta agar menimbulkan pengertian bahwa sumber hilangnya kendali diri, menggigilnya batin, dan kesesakan jiwa yang menelan pahitnya kehidupan, sebagaimana syair yang dinyanyikan John Lennon pada awal bahasan ini, pada dasarnya berada teramat dekat, tepat di dalam diri kita, menyatu dengan pandangan kita tentang bagaimana pengertian benar dapat ditumbuhkan.

Memasukkan pandangan semi eternalis, khususnya tentang bahasan alam cemburu dalam Brahmajala Sutta, mengisyaratkan kita untuk waspada di dalam belantara pandangan yang mungkin kita masuki dalam kehidupan kita. Berkeras untuk menolak perasaan tersebut adalah suatu usaha yang melelahkan. Sebaliknya, pasrah untuk menerima perasaan tersebut adalah ketidakberdayaan. Mengerti bahwa telah ditunjukkan jalan tengah ideal untuk mengelola perasaan kita adalah usaha untuk merealisir Nibbana.

Ada suatu cerita menarik yang menggambarkan bahwa perasaan kita bisa terombang-ambing oleh perubahan semesta ini, yaitu kisah tentang seorang Bapak yang iri terhadap tetangganya yang memiliki sepeda motor. Sehingga, ia berjuang untuk membelikan putranya. Setelah mendapatkannya ternyata putranya mengalami kecelakaan saat mengendarai sepeda motor tersebut, sehingga kakinya harus diamputasi. Hal ini mengubah kebahagiaan memiliki sepeda motor menjadi sebuah penyesalan. Selanjutnya, ia merasa iri terhadap tetangganya yang memiliki anak-anak yang sempurna, namun ketika ada panggilan untuk mengikuti wajib militer, anak tetangganya diwajibkan pergi ke medan perang untuk mempertaruhkan jiwa, sedangkan putranya dikecualikan karena cacat kakinya tersebut. Nah, kini penyesalannya berubah kembali menjadi rasa syukur, karena di hari tuanya ia tak harus ditinggalkan oleh putra tunggalnya.

Cemburu adalah merupakan reaksi psikologis terhadap keadaan yang bisa terjadi kapan saja, dalam berbagai situasi nyata yang terus-menerus berubah. Kita tidak perlu terlalu berlebihan dalam menyikapi fenomena ini, apalagi sampai dijadikan isu yang mengundang konflik, misalnya saja dengan mengomeli atau mendiskreditkan orang lain karena alasan telah cemburu terhadap sesuatu hal. Menghindari, menghadapi, dan mengelola emosi tersebut adalah mungkin dilakukan oleh kita, sesuai dengan kemampuan pribadi masing-masing, sebagaimana umat Buddha diajarkan untuk menyadari dan mengenali bentuk-bentuk pikiran dan perubahannya dalam introspeksi diri, di keheningan meditasi.

 
BRAHMAJALA SUTTA


IN NATURE THERE ARE NEITHER REWARDS NOR PUNISHMENTS, THERE ARE CONSEQUENCES!
(Di dalam hukum alam tidak ada hadiah-hadiah ataupun hukuman hukuman, yang ada ialah berbagai konsekuensi!)


Semi Eternalisme 2

Hercules kecil lahir di alam dewa dan memiliki kemampuan dewa pada umumnya. Namun, ketika ia dicekoki ramuan yang membuatnya kehilangan sifat kedewaannya oleh musuh besar Dewa Zeus (ayahnya), ia harus tinggal di bumi sebagai manusia biasa yang tidak lagi kekal. Hanya saja karena setetes ramuan yang tidak terminum ia akhirnya dapat kembali ke alam para dewa yang kekal.

Adam tinggal di taman Firdaus dengan segala kebahagiaan dan kenikmatan sorgawi yang kekal. Hanya karena tergoda untuk memakan buah terlarang yang diberikan oleh Hawa, maka Adam dan Hawa harus jatuh ke bumi dalam kehidupan fana.

Pat Kay adalah panglima penjaga pintu kayangan dengan segala kemasyurannya. Pada suatu kesempatan Pat Kay melecehkan seorang dewi kayangan yang menyebabkan ia harus menjalani hukuman untuk terlahir di alam dunia. Sialnya ia dilempar ke kandang babi dan menjadi siluman babi.

Lutung kasarung adalah kera yang menjalani hukuman di dunia dan berasal dari alam dewata. Ia akan kembali kewujud aslinya jika ada seorang wanita di bumi yang mencintainya sepenuh hati.


Demikianlah beberapa cerita yang telah banyak dikenal oleh masyarakat luas dan berinti sari pengertian adanya dua alam, yaitu alam tak ternoda yang kekal dan alam ternoda yang tidak kekal. Setelah itu semakin banyak kisah klasik ataupun modern dengan mengambil sari adanya dua alam tersebut sebagai pengembangan yang kreatif untuk konsumsi masyarakat banyak.

Pembagian alam dalam dua bagian tersebut merupakan dualisme yang amat disenangi oleh pikiran dan perasaan sebagai bagian dari penjabaran kehidupan dalam mata-rantai ketidaktahuan yang panjang. Hal itu bisa kita lihat dari kecenderungan anak-anak bahkan juga orang dewasa yang suka mengkonsumsi cerita ataupun film yang bertemakan; Langit versus Bumi, Malaikat versus Setan, Jagoan versus Penjahat, Polisi versus Perampok, David versus Goliath, Tom versus Jerry, Juwita versus Siti Sirik, Superman versus Lex Luthor, Mc Gyver versus Murdoc, dan akhirnya dalam dunia nyata, Bush versus Osama bin Laden.

Contoh nyata dunia psikologis modern dari hal tersebut misalnya, munculnya pandangan skeptis bahwa angka delapan adalah baik dan angka empat adalah buruk tanpa alasan yang realistis dan rasional. Dalam hal ini ada yang dianggap sebagai sisi yang berlawanan dari sisi yang lain, yaitu angka empat melawan angka delapan untuk dipilih. Padahal kita seharusnya menerima kecenderungan tersebut sebagai pilihan yang dikaitkan dengan kolerasi fonetik mandarin yang merupakan unsur bunyi dengan arti yang disenangi. Untuk kasus ini empat berkolerasi bunyi "se" berpadanan arti "mati", sedangkan delapan berkolerasi bunyi "fat" yang berpadanan arti "makmur". Namun, stigma yang muncul di masyarakat adalah angka yang satu lebih mewakili "kesialan" sedangkan yang lain adalah "keberuntungan". Demikian pula angka tiga belas yang secara nyata dihindari untuk penomoran rumah, kamar hotel dan lantai gedung pada lift, semakin hal tersebut disampaikan kepada masyarakat semakin terjadi kenyataan untuk menghindari penggunaan nomor tersebut. Namun, hal tersebut harus kita lihat sebagai dampak logis isu yang disebarluaskan di masyarakat apalagi di Indonesia yang kental dengan spontanitas mistis dan klise.

Penulis mencoba menyadarkan hal tersebut dengan suatu pertanyaan yaitu, jika kepada orang yang mengutarakan diskriminasi nomor-nomor tersebut ditawarkan nomor empat atau nomor delapan untuk mengantri pemeriksaan dokter bagi suatu penyakit yang parah, mana yang akan dipilih? Atau jika kepadanya ditawarkan untuk menerima upah pekerjaan dengan pendapatan sebesar delapan juta atau tiga belas juta, mana yang akan dipilih? Dari penjelasan di atas, kita menyadari bahwa banyak orang yang terjebak dualisme dan kebingungan untuk bersikap serta ketidakmampuan untuk membuat putusan sehingga bergantung kepada suatu pernyataan sumbang apapun itu adanya.

Selain itu, hal tersebut juga merupakan pemikiran yang jauh dari analisa akademis dan konyolnya berhasrat tinggi untuk dikomunikasikan dengan orang lain sehingga membentuk keyakinan diri semu secara massal serta berpengaruh terhadap dunia nyata sebagai dampak domino. Kita bisa lihat orang enggan membeli rumah nomor tiga belas bisa karena percaya, bisa juga karena tekanan situasi suara sumbang tadi di sekitarnya, atau untuk alasan yang lebih rasional yaitu karena ia merasa akan sulit untuk menjual kembali di kemudian hari.

Demikian pula, hotel menghindari nomor tertentu bisa jadi dengan alasan untuk mengakomodasi stigma tersebut agar tercapai pengisian kamar yang optimum atau bisa saja pemiliknya memang percaya membuta akan isu tersebut. Contoh lain adalah pemilihan hari, jodoh dan keputusan hidup yang dikaitkan dengan nomor tertentu dalam kalender akibat kaidah pemilihan baik dan buruk, cocok dan tidak cocok yang bukan didasari pertimbangan logis dan komprehensif terhadap situasi kehidupan. Memang benar yang dikatakan Guru kita bahwa tidak ada jaring yang menyamai jaring ketidak tahuan yang amat sukar untuk dilepaskan.

Selanjutnya, setelah pikiran dibentuk untuk melihat dunia dalam dualisme Pandawa versus Kurawa yang bahkan kerap kali amat kontroversial, akhirnya sikap dan perilaku hidup mulai menyimpang ke arah yang puritan atau sebaliknya anarkis sebagai wujud dua kutub ekstrim yang lahir dari pelopornya, yaitu pikiran. Ekstrim pertama akan melakukan berbagai macam penyiksaan diri sebagai usaha memurnikan jiwa dari noda-noda agar dapat mencapai kehidupan suci dan kekal yang menjadi tujuannya (Menghindari nomor-nomor tertentu dan mencari nomor-nomor tertentu dengan alasan mengikuti stigma tersebut dalam praktiknya banyak menguras energi pemikiran dan waktu).

Sebaliknya ekstrim yang lain akan menyenangi penaklukan fihak lain dengan berbagai tindakan pemuasan nafsu semata (Para pelaku usaha bahkan birokrasi pelayanan pemerintah untuk penomoran kendaraan yang mengerti adanya kemelekatan terhadap stigma tersebut akan menjual suatu produk dengan harga yang "aduhai" bagi nomor tertentu). Sejujurnya kita juga harus menyadari adanya kebutuhan akan nomor-nomor tertentu yang timbul karena alasan kemudahan untuk mengingat dan citra diri bagi pribadi-pribadi tertentu yang dapat dimaklumi.

Apa sebenarnya yang mendasari munculnya pandangan tersebut? Menurut Dhamma, adalah ketidaktahuan kita sebagai manusia untuk merealisasi apa adanya kehidupan kita, sejalan dengan itu kita masuk kedalam sentimen yang berkembang di dalam kehidupan sehingga akhirnya semakin dalam melekati dan menjiwainya.

Yang membuat parah keadaan tersebut adalah keengganan untuk mendengarkan Dhamma akibat doktrinasi yang dogmatis untuk menolak pencerahan ataupun penjelasan yang realistis dan rasional terhadap kehidupan, bahkan membodohi manusia dengan segala macam hadiah dan hukuman yang menimbulkan kekerdilan mental dan akhirnya berujung pada fanatisme yang membuta dalam menyikapi kehidupan ini. Sebagai umat Buddha yang berlindung kepada Tiratana, maka turut memperluas pemikiran tersebut adalah sama dengan mengingkari ajaran Guru kita untuk mengembangkan kesadaran yang baik dan bertanggung jawab bagi pelaksanaan Dhamma dan Vinaya sebagai bentuk penghormatan tertinggi bagi Kebenaran Dhamma yang merupakan Guru kita setelah Buddha Parinibbana.

Hal-hal yang disebutkan di atas itulah yang harus diwaspadai oleh para umat Buddha agar tidak mengharapkan "pensucian diri" dari "pengorbanan" makhluk hidup lainnya. Mengerti tentang pandangan semi eternalisme ini menjadikan kita memahami pembagian dunia dalam putih dan hitam atau siang dan malam dalam lingkaran Yin dan Yang. Dalam Dhamma, lingkaran tumimbal lahir akhirnya harus diputuskan sejalan dengan pemahaman hukum sebab-akibat saling bergantungan Paticcasamuppada, sehingga akhirnya merealisir nibbana sebagai suatu pandangan terang untuk mengatasi dualisme tak berkesudahan.

Guru Agung kita telah memberikan teladan yang jelas dalam ajaran maupun perilaku hidupnya, yaitu mengalahkan kebodohan, keserakahan, dan kebencian daripada mengalahkan beribu-ribu musuh di dalam beribu-ribu pertempuran. Adalah bodoh bagi kita untuk mengagumi tokoh-tokoh lain yang memberi contoh dengan penyiksaan diri ataupun sebaliknya penaklukan secara anarkis terhadap orang lain. Ingatlah Jalan Mulia Berunsur Delapan yang senantiasa membimbing kita ke pencerahan Nibbana.

 
BRAHMAJALA

IN NATURE THERE ARE NEITHER REWARDS NOR PUNISHMENTS, THERE ARE CONSEQUENCES!
(Di dalam hukum alam tidak ada hadiah-hadiah ataupun hukuman-hukuman, yang ada ialah berbagai konsekuensi!)


Ekstensionisme 1

Dunia terbatas, dengan bumi tempat berpijak yang datar dan bertopang empat pilar dibatasi sebuah kubah yang menutupinya dengan cakrawala sebagai tempat perpotongan pada tepian bumi. Pada kubah tersebut diletakkan matahari, bulan, dan bintang-bintang yang menghiasi sesuai dengan fungsinya. Kubah tersebut berputar sekali sehari. Di balik kubah tersimpan air yang akan jatuh sebagai hujan pada saat kubah terbuka. Kesemuanya itu dirancang oleh yang Maha seperti yang ditulis dalam kitab yang disucikan sejalan dengan konsepsi terbatas manusia akibat kurangnya pengetahuan tentang alam semesta dan isinya yang masih membutuhkan penyelidikan lebih jauh bahkan sampai zaman modern ini.

Satu fakta sejarah yang harus kita terima dengan pahit adalah pandangan manusia tentang dunia terbatas seperti yang disebutkan di awal paragraf. Demikianlah, kitab suci menuliskan suatu gambaran yang lebih merupakan rekaan manusia ketimbang sabda dari sesuatu yang Maha. Dikatakan rekaan manusia, karena memang lebih mendekati bagaimana manusia pada saat itu memandang keberadaan benda-benda langit tersebut daripada memahami realitas yang ada. Hal tersebut diperparah dengan sikap argumentatif yang kental dengan nuansa tidak toleran terhadap premis-premis yang empiris. Dikatakan pahit karena beberapa nyawa harus dipertaruhkan demi memberikan kelurusan terhadap kenyataan dunia.

Manusia dengan segala keterbatasannya berusaha menggambarkan keberadaannya dalam berbagai macam spekulasi yang dilematis. Maksudnya, jika manusia tidak menganggap kitab suci sebagai suatu kebenaran yang mutlak karena mempertanyakan kesahihannya, maka manusia kehilangan kepercayaan diri untuk menghadapi dunia yang penuh dengan segala hal-hal yang baik maupun yang buruk termasuk tentunya masalah yang mengundang polemik di antaranya. Di sisi lain, memegang erat keyakinan terhadap sesuatu yang hanya karena telah dituliskan dalam kitab suci, juga sama bodohnya dengan memelihara kelembaman berpikir dan kesulitan untuk menerima kenyataan hidup yang ada. Bahkan, beberapa tokoh yang berusaha menunjukkan realitas dunia terpaksa masuk dalam keadaan yang bertentangan terhadap sekelompok orang yang terjerat dalam keyakinan membuta terhadap segala sesuatu yang telah 'disucikan' dalam kitab Tuhan.

Galileo adalah seorang di antaranya yang harus kehilangan eksistensi dirinya demi eksistensi pandangan yang seharusnya eksis sebagaimana apa adanya. Kegigihannya untuk mempertahankan teori Heliosentris dianggap menggusur pandangan Geosentris dari Ptolemeus yang dianggap sejalan dengan kitab suci. Saat itu, ia menyatakan bahwa bumi bukanlah pusat tata surya dan sebaliknya 'hiasan langit' matahari menggantikan kedudukan bumi sebagai pusat tata surya, setelah dibuktikan melalui pengamatan teleskop. Pada masa itu, penjelasan tersebut amat sulit diterima akibat kepercayaan yang membuta terhadap suatu keyakinan yang terbatas pada sesuatu yang tidak terbatas. Galileo harus berhadapan dengan orang-orang yang anti terhadap pandangan yang mempertanyakan sesuatu yang tertulis dalam kitab suci, apalagi kalau pernyataan selanjutnya adalah suatu konsep yang bertentangan dengan apa yang telah dicantumkan di dalamnya. Katakanlah akhirnya beliau mengalahkan dirinya sendiri untuk merasa bahagia bahwa apa yang ia yakini sebagai kebenaran hanya bisa diterima oleh orang lain di kemudian hari tanpa keberadaannya.

Salah satu kecerobohan mental manusia adalah berpikir dalam dualisme keterbatasan dan sesuatu yang tanpa batas. Kita sering menempatkan diri dalam suatu wilayah terbatas dengan suatu wilayah tak terbatas di luar diri kita. Selanjutnya, kita mulai membentuk gambaran-gambaran yang mendukung premis tersebut. Dalam situasi tertentu, manusia bahkan rela untuk membenarkan bahwa nasibnya telah di atur dalam suatu keterbatasan yang asing baginya. Nilai ini merupakan kemiskinan mental yang memunculkan sikap toleran terhadap kebodohan, kelalaian, dan ketidaksempurnaan diri manusia. Bahkan, dengan pembenaran bahwa kita tidak boleh mendahului Tuhan, manusia sering menempatkan dirinya pada posisi yang jauh dari tanggung jawab terhadap berbagai hal yang seharusnya dapat ia sikapi dengan percaya diri dari setiap konsekuensi yang harus ia terima sebagai bagian dari kehidupan yang saling bergantungan.

Mengacu pada tulisan John Gray dalam buku "7 Habits of Highly effective people", kita memiliki kebebasan untuk membuat keputusan bagi hidup kita namun kita tidak bisa dengan bebas memilih konsekuensi yang bakal kita hadapi. Pandangan ini, seharusnya bisa memicu diri kita untuk siap menghadapi hidup dengan segala keputusan yang harus diambil dan tetap tegar jika konsekuensi yang kita terima tidaklah seperti yang kita harapkan. Bukan sebaliknya, kita terbiasa berpretensi terhadap konsekuensi dari suatu keputusan dan tidak berani menerima realitas dunia. Dengan kata lain, kita cenderung masuk dalam krisis sikap, yaitu: sikap asal mengambil suatu putusan namun selanjutnya tidak siap menerima konsekuensi yang terjadi. Di sisi lain, kita 'siap' menerima konsekuensi yang bakal terjadi tetapi dengan cara tidak memutuskan sesuatu yang harus disikapi walaupun realitas telah mengatakan kebenarannya.

Demikianlah suatu pandangan ekstensionisme secara ironis tidak berani keluar dari zona nyamannya untuk menghadapi kebenaran universal yang diungkap oleh seorang Maha Bijaksana sekalipun seperti yang telah dibabarkan oleh Guru Agung kita lebih kurang 2500 tahun yang lalu. Kemiskinan mental malah akan membuat aksi pretensi bahkan anarki dengan menuduh suatu ungkapan kebenaran sebagai kuasa setan yang harus diperangi dan dihancurkan dengan cara yang jelas-jelas tidak beradab. Padahal kemuliaan suatu pandangan teruji oleh waktu dengan cara tidak goyah oleh suatu pandangan lain dan tidak merasa terancam oleh perubahan yang natural. Sebagaimana suatu kebenaran menggantikan kebenaran sebelumnya dan dapat diterima dengan tangan terbuka sebagai penyingkapan tabir ketidaktahuan kita, maka kita tidak perlu mempertahankan suatu pandangan yang keliru hanya karena kita obyek yang menerimanya dan bukan subyek yang mengemukakannya. Hal tersebut hanyalah menandakan kekentalan ego yang dapat meracuni kehidupan manusia.

Berkenaan dengan reaksi mental tersebut, rekan penulis memberikan suatu teori "Two-Zero Sum" untuk menggambarkan bagaimana kecenderungan kita untuk tidak menerima kebenaran dari pihak lain dikarenakan memiliki konsep pikiran keakuan yang akan menderita 'Dua-Kosong'. Maksudnya, pernyataan benar orang lain adalah Satu-Kosong buat kita dan sekaligus berarti pernyataan salah kita akan membuat skor menjadi 'Dua-Kosong' Demikianlah teori "Total dua-kosong" menggambarkan suatu kecenderungan tentang sulitnya kita menerima pernyataan kebenaran orang lain yang sekaligus merupakan kewajiban bagi kita untuk membuang pandangan salah yang berkembang dalam pikiran.

Jika kita menyerahkan diri kita dalam suatu pandangan tentang dunia yang terbatas, maka kita ibarat seekor katak yang rela merasa nyaman dalam tempurung yang kita buat sendiri. Kita tidak bahagia untuk meloncat keluar dan menikmati kebebasan bermain hujan di atas indahnya hijau daun dan merah bunga teratai, berkaca pada cermin kebenaran kolam yang jernih dan teduh, serta menghirup harumnya musim semi, termasuk tentunya kewaspadaan akan hadirnya ular yang lapar. Namun, apalah artinya tempurung dunia terbatas yang tetap akan memakan waktu si katak sampai ajalnya tanpa bisa menerima realitas hidup, jika dibandingkan dengan kebebasan dan segala konsekuensi dari usaha penyelaman Nibbana.


An astonished observer, having poked his head through the sphere of stars, looks out towards the driving mechanism of the cosmos. This medieval representation of the universe illustrates the long-held view that the stars were fixed to a sphere which rotated round the Earth once a day, driven by a prime mover.

(Chapter 12. Overview of the Universe)


Sumber: The Universe, Iain Nicolson & Patrick Moore. Macmillan publishing company

 
BRAHMAJALA SUTTA

IN NATURE THERE ARE NEITHER REWARDS NOR PUNISHMENTS, THERE ARE CONSEQUENCES!
(Di dalam hukum alam tidak ada hadiah-hadiah ataupun hukuman-hukuman, yang ada ialah berbagai konsekuensi!)​


Ekstensionisme 4


Ketika seorang pendaki puncak Himalaya mewartakan keberhasilannya menancapkan bendera penaklukan di ketinggian bersalju, maka pendengar yang skeptis akan merespon bahwa cerita itu hanya bualan belaka. Mencoba untuk meyakinkan si pendengar dengan memperkenalkan teman-teman yang berhasil dipandu ke puncak dunia tersebut, ia malah diceramahi bahwa banyak saksi-saksi palsu di kehidupan kita ini. Menghadapi ketidakpercayaan tersebut ia pun mengeluarkan foto dirinya di puncak Himalaya dari sakunya.

Si pendengar lagi-lagi menanggapi dengan pikiran kritis bahwa di jaman yang serba canggih ini, banyak sekali foto hasil rekayasa. Dengan maksud mengatasi keraguan tersebut, ia terpaksa pulang ke rumahnya untuk menunjukan rekaman film saat penaklukan puncak Himalaya dilakukan. Kali ini si pendengar dengan gengsi konyolnya berkilah, "Kalau film tersebut harus dipercaya telah membuktikan kebenaran isinya sebagaimana apa adanya, maka film Spiderman yang saya tonton minggu lalu juga telah membuktikan bahwa Spiderman benar-benar ada dong!"

Pandangan manusia dalam kehidupan dunia modern semakin bertumpu pada logika dan argumentasi analistisnya sebagai reaksi dari ketidaksetujuan terhadap kepercayaan membuta dengan belajar dan memperdalam analisa. Namun, saat ketidakseimbangan terjadi dengan mengabaikan kontemplasi spiritual melalui ajaran agama, manusia menjadi lebih dominan dengan reaksi yang argumentatif logis ketimbang pemahaman holistik yang proporsional sehingga pendekatan empati yang tetap tenang menjadi tersisihkan. Kemelekatan kuat yang berorientasi pada logika semata ternyata menimbulkan fenomena bahwa seseorang hanya percaya pada informasi yang bisa diterjemahkan dengan logika. Jadi, kalau logika yang sesungguhnya terbatas sudah mengatakan bahwa suatu hal diragukan atau bahkan tidak mungkin terjadi akibat ketidaktahuan, maka pendekatan informatif seperti apapun menjadi sulit dikomunikasikan.

Konyolnya, ketika ketidakpercayaan sudah melekat sebagaimana suatu kepercayaan mencengkram, maka pembahasan yang logis pun akan bisa berakhir pada argumentasi yang tidak logis seperti lanjutan dari cerita pembuka yang penulis tempatkan di akhir bahasan artikel ini.. Penjelasannya adalah karena semua itu lebih berupa ekspresi gengsi untuk tetap konsisten bahwa sejak awal ia telah terlanjur mengambil sikap tidak percaya. Akhirnya, kepandaian manusia untuk berargumentasi terkadang melebihi kepandaian manusia untuk empati terhadap suatu bahasan yang dilontarkan pihak lain, apalagi jika disertai isu, suku, agama, ras, dan antargolongan. Sebaliknya, ada pula orang yang mudah percaya begitu saja tanpa menganalisa dengan logikanya sehingga cenderung menjadi korban kepercayaan membuta terhadap suatu ajaran, agama, informasi, iklan, dan siasat orang lain yang akan mengambil keuntungan darinya, atau paling tidak ia mudah menjadi media penyebaran informasi pandangan-pandangan yang berkembang, benar ataupun keliru.

Sebagai gambaran sederhana dalam kenyataan hidup adalah ilustrasi pembahasan tentang penemuan vaksin TBC yang secara umum (commonsense) kita sepakati dapat menurunkan tingkat kematian sampai prosentase tertentu, kemudian penemuan motor sebagai alat transportasi juga berperan mengurangi prosentase kematian lebih kecil lagi karena penyediaan vaksin yang lebih cepat daripada menggunakan transportasi yang tradisional. Jika, pembahasan dilanjutkan dengan alternatif penggunaan pesawat terbang sebagai solusi yang lebih cepat untuk mengantarkan vaksin TBC dari Jakarta ke Bali, maka commonsense dalam pembicaraan yang komunikatif adalah bahwa kita setuju menggunakan alternatif tersebut disertai dengan konsekuensi lainnya yang mengikuti seperti besarnya biaya, dan faktor-faktor lainnya. Bisa juga kita tidak setuju dengan alternatif tersebut karena berbagai alasan ketidakmampuan mengkondisikan faktor-faktornya. Namun commonsense bahwa alternatif itu lebih singkat waktu daripada penggunaan motor untuk mengurangi tingkat kematian sehubungan dengan waktu ketersediaan vaksin, tetap diterima kedua belah pihak yang berkomunikasi.

Lain halnya jika suatu bahasan sudah tidak komunikatif, maka ketika alternatif penggunaan pesawat terbang diajukan, akan langsung disikapi dengan jawaban seperti, "Ah, biarpun naik pesawat terbang sekalipun, kalau Tuhan tidak mengijinkan maka pesawat tersebut tidak akan sampai lebih cepat dari motor entah karena kecelakaan ataupun sebab apapun sebagai rahasia-Nya, dan tingkat kematian bisa jadi malah menjadi lebih besar ketimbang jika dari awal sudah diantar dengan motor!" Pernyataan yang benar memang, namun tidak ada komunikasi yang baik antara pihak yang memberikan masukan dan pihak yang menerima masukan. Kedua belah pihak hanya menyatakan kebenaran namun kebenaran-kebenaran tersebut hanya kembali kepada masing-masing pihak. Tidak terjadi komunikasi yang bermanfaat.

Resistensi semacam ini, juga banyak kita jumpai dalam diskusi-diskusi spiritual. Ketika satu pihak sedang berbicara tentang pentingnya menuntun diri dalam sila sebagai perilaku yang baik, samadhi sebagai sikap yang tenang, dan panna sebagai nilai kebijakan yang mengarah pada kebebasan Nibbana dengan cetena/kamma sebagai pelopornya, maka pihak lain membalas dengan penjelasan tentang pentingnya untuk menyerahkan diri terhadap suatu penyelamatan dengan cara percaya terhadap kekuatan eksternal yang mungkin disebut Tuhan, Karma, Dewa, Nabi, ataupun nama-nama serta simbol-simbol yang diyakini. Hal itu ibarat cerita tentang seorang pemuka agama yang tetap bersikukuh bahwa fosil-fosil seperti Oetzi (5.300 tahun), yang diterbitkan Kompas, Sabtu 16 Juli 2005 yang telah membuktikan adanya kehidupan di muka bumi jauh sebelum yang tertera di kitab suci adalah sengaja dikuburkan oleh Tuhan untuk menguji iman manusia, apakah lebih percaya terhadap fosil-fosil atau terhadap-Nya.

Dalam kegelapan (moha) untuk merealisir kesunyataan , maka seseorang yang tidak nyaman dengan pandangan tentang dunia yang terbatas dan dunia yang tidak terbatas, selain juga tidak bisa mempertahan kedudukannya dalam pandangan tentang dunia ada yang terbatas dan tidak terbatas, akhirnya mengerahkan segenap logika untuk menerjemahkan dunia kedalam pandangan yang bukan terbatas atau juga bukan tidak terbatas. Seorang staf majalah pernah diberikan umpan balik dalam suatu milis untuk membuktikan bahwa Pencipta alam semesta itu tidak ada, ketika ia menyanggah teori prima causa (Pencipta Tunggal). Umpan balik tersebut mengandung kekonyolan, dimana sesuatu yang digambarkan secara salah, ketika disanggah malah melahirkan suatu umpan balik untuk membuktikan sesuatu yang telah dinyatakan salah itu adalah tidak ada.

Hal itu ibarat mengajukan kepada khalayak bahwa adalah Kuda Sembrani (banyak lagi contoh-contoh tokoh yang lain) yang menyelesaikan persoalan kehidupan umat manusia. Selanjutnya, ketika disanggah oleh orang banyak maka disodorkan umpan balik dengan meminta mereka untuk membuktikan bahwa Kuda Sembrani itu tidak ada. Jadi, khalayak ditarik kedalam konklusi/kesimpulan; jika tidak dapat membuktikan bahwa Kuda Sembrani tidak ada, itu berarti Kuda Sembrani ada. Namun, perlu kita ingat sebagaimana telah kita bahas, banyak pula orang, khususnya anak-anak yang percaya begitu saja tentang keberadaan tokoh-tokoh seperti itu, seiring gencarnya pengaruh informasi melalui segala media yang ada. Paling tidak, hal itu mempengaruhi ide antara percaya dan tidak percaya.

Akhirnya, jalan terakhir yang bisa dilakukan adalah hanya dengan mengajak si pendengar untuk mengalami penaklukan Himalaya di awal cerita. Adalah suatu berkah baginya ketika lawan bicaranya setuju, karena itu berarti si pendengar adalah orang yang harus membuktikan terlebih dahulu suatu hal, baru kemudian dapat mempercayainya. Di ujung cerita, di atas ketinggian Himalaya yang beku, dengan tubuh yang menggigil, si pendengar berteriak berat melawan desir angin yang deras, "Apakah ini yang kamu maksud dengan puncak Himalaya yang terkenal itu? Kamu pikir kamu dapat dengan begitu mudahnya meyakinkan saya dengan sembarang puncak bersalju? Dengar, kalau kamu mau berargumen dengan saya tentang kebenaran ini, saya bahkan tidak melihat di puncak ini tertulis kata Himalaya!

Ketika kita berhadapan dengan diskusi yang mengarahkan kita ke puncak Himalaya, dan kemudian menyudutkan kita ke dalam pembuktian yang tak pernah bisa kita berikan (Sebagaimana kita tak pernah bisa memberikan Nibb?na kepada orang lain kecuali ia sendiri merealisasikannya), Pastikanlah kita tidak terjun dari puncaknya dalam artian analogis menjadi benci, marah, atau ikut-ikutan ngawur. Paling tidak, itu kita lakukan untuk alasan kesehatan jiwa kita.


brahmajala1.jpg

Pandangilah titik hitam. Setelah beberapa saat, area kelabu di sekitarnya akan menyusut. Adakah kita temukan batasannya?

 
BRAHMAJALA SUTTA

IN NATURE THERE ARE NEITHER REWARDS NOR PUNISHMENTS, THERE ARE CONSEQUENCES!
(Di dalam hukum alam tidak ada hadiah-hadiah ataupun hukuman-hukuman, yang ada ialah berbagai konsekuensi!)


Pandangan berbelit-belit 2

Seorang kartunis yang merasa kehidupan di dunia ini terlalu monoton dalam proses perputaran bumi pada porosnya melalui subuh, pagi, siang, sore, senja, malam, dan kemudian subuh kembali, mencoba mencari motivasi batin?

Ia berpikir alangkah menantangnya jika saya bisa membuat gambar kartun yang sarat dengan nilai spiritual dengan sentuhan realitas masa kini. Ia merasa hal tersebut akan menggugah emosi manusia untuk memahami sehatnya kelakar agamis.

Ia pikir, karikatur seorang tokoh agama yang populer akan menjadi best seller.
Ia rasa, karikatur tersebut akan dapat diterima para pecintanya.
Ia pikir, makna spiritual yang ada akan bermanfaat bagi para penganutnya.
Ia rasa, penganutnya akan mendapatkan hiburan yang menggelikan.
Ia pikir, sejarah yang saya kartunkan ini akan mencerdaskan kaumnya.
Ia rasa, konflik dunia saat ini akan cocok diwarnakan ke dalam kartun tersebut.

Demikianlah, pikiran dan perasaan saling mendukung kartunis itu untuk membuat tokoh agama yang dikartunkan dengan kelakar vulgar yang mengundang lahar...

Teman kantor penulis ada yang berkomentar bahwa dalam keyakinannya memang tidak diperbolehkan untuk melukiskan tokoh spiritualnya dalam gambar dan hanya boleh dilambangkan melalui tulisan semata. Untuk memahami hal tersebut, maka kita harus mengerti mengapa ketentuan seperti itu menjadi suatu hal yang penting untuk diindahkan.

Kalau kita menelusuri bahwa huruf dan gambar diciptakan karena adanya kebutuhan untuk menyampaikan pesan dengan segala ketidaksempurnaannya, maka huruf dan gambar memiliki fungsinya masing-masing. Menggunakan tulisan untuk menunjuk kepada suatu objek tentulah tidak setegas menggambarkannya yang lebih detail terhadap objek. Tulisan menuntut penerima pesan untuk membayangkan arti dan itu bisa berbeda-beda satu dengan lainnya sehingga memberi ruang bagi tafsir, sementara suatu gambar adalah pendekatan langsung terhadap objek itu sendiri.

Di lain pihak, orang-orang tentunya akan lebih melihat makna apa yang hendak disampaikan dari suatu tulisan ataupun gambar tertentu, apakah suatu rangkaian huruf mewakili makna yang baik atau sebaliknya, dan apakah suatu gambar menyiratkan makna positif atau negatif. Jika rangkaian huruf menimbulkan intimidasi maka gambar yang bermakna positif menjadi lebih baik. Begitu pula jika suatu gambar bermakna negatif maka rangkaian huruf yang positif menjadi lebih baik. Namun, perlu diingat, bahwa tidak semua orang dapat menerima suatu gambaran yang baik dan benar, apalagi jika digambarkan dengan keliru.

Khusus untuk beberapa hal yang sensitif ada beberapa alasan mengapa kita harus bijaksana dalam melukiskan apa yang ada dalam imajinasi kita:

Pertama, membuat gambar suatu tokoh agama dengan atribut yang muncul dari curahan emosi kreatif namun tak logis historis, dapatlah dimaklumi bila kemudian menimbulkan reaksi pikiran dan perasaan yang tak indah.

Kedua, menggambarkan suatu tokoh penting tanpa dasar referensi dan data yang kuat, berpotensi besar terhadap segala kekurangan yang mungkin timbul sehingga hal ini sangat dihindari.

Ketiga, ada etika yang harus dihargai agar kita dapat hidup berdampingan dalam damai dan harmoni, termasuk tentunya menghargai domain pihak lain yang tidak menginginkan terjadinya kultus individu akibat penggambaran tokoh-tokoh tertentu.

Kita bisa mengekspresikan kata ataupun tulisan yang kadang lahir dari akumulasi pikiran atau perasaan yang dominan. Jika pikiran yang lebih dominan, maka rangkaian pengalaman dan analisa logis menjadi warna komunikasi. Lain halnya jika perasaan yang lebih dominan, maka rangkaian khayalan dan emosi yang tercurahkan. Namun, kita bisa berada pada grey area yang membuat kita mengekspresikan sesuatu hal yang rancu. Banyak orang yang mengatakan "Saya rasa" pada suatu pembicaraan yang menuntut pemikiran atau sebaliknya mengatakan "Saya pikir" pada saat mengekspresikan perasaannya.

Sehubungan dengan tema majalah Dhammacakka kali ini perihal seni dan budaya, kita biasa mendengarkan orang dengan budaya Barat menggunakan kata "I Think" (I think it's ok) untuk menyatakan pemikirannya terhadap suatu hal dan menggunakan kata "I Feel" (I Feel good) untuk mencurahkan perasaannya. Sementara kita banyak menemukan orang dengan budaya Timur yang menggunakan kata "Saya rasa" ketika menyatakan pemikirannya dan juga dalam mengekspresikan perasaannya (Saya rasa boleh juga dan saya merasa baik). Secara tak langsung, ada kecenderungan untuk menggunakan perasaan dalam pengambilan keputusan daripada menggunakan pemikiran. Maka tak heran kita memiliki budaya yang lebih "mengambil hati" terhadap suatu masalah yang timbul, sehingga reaksi terhadap masalah tersebut lebih bernuansa emosi daripada solusi. Sebaliknya, ada juga orang yang mengatakan, "Saya pikir-pikir, dia itu mengesalkan sekali" menggantikan, "Saya kesal sekali dengannya!" Sehingga banyak pula orang yang stress karena "memikirkan perasaannya". Dalam budaya Barat, hal tersebut biasa diungkapkan dengan kata, "I'am really angry with him!" bukan menggunakan "I think he makes me angry!"

Demikianlah, dominasi pikiran dan perasaan manusia tentunya amat erat kaitannya dengan perkembangan seni dan budaya suatu bangsa.

Pandangan berbelit-belit manusia bisa didasari dari perasaan yang dominan sehingga melahirkan kecenderungan menghindari pencerahan ketika terlibat dalam suatu situasi yang menuntutnya untuk memberikan pandangan. Adalah proses pikiran dan perasaan yang mencerap hukum tumimbal lahir sekaligus melekatinya dalam ketidak mengertian akan baik dan buruk, takut akan kelahiran kembali akibat pengaruh perasaan, sehingga jika ditanya ia menjawab;


saya tidak mengatakan demikian
saya tidak mengatakan pendapat lain
saya tidak menyatakan perbedaan
saya tidak menolak pendapatmu
saya tidak mengatakan itu begini atau begitu


Buddha Dhamma tentunya berdasarkan pada pencerahan dalam mengambil suatu sikap dan keputusan dengan menyadari bahwa manusia terdiri dari aspek mental (Nama) dan fisik (Rupa) yang masing-masing dapat diuraikan menjadi empat bagian, yaitu:

- Mental/Nama: terdiri dari pikiran, perasaan, pencerapan, dan kesadaran.
- Fisik/Rupa: terdiri dari unsur, energi (panas), air (cair), udara (gerak), dan padat (materi).

Kesalingbergantungan antara kedua aspek tersebut di atas menjadi dasar pengertian kita bahwa dalam perilaku kehidupan seseorang, keluarga, bangsa, dan dunia, amatlah ditentukan oleh pola konsumsi dan pengolahan batinnya. Sehingga aspek gizi dan pendidikan selalu menjadi kunci kemajuan budaya suatu peradaban manusia.

Keseimbangan mental dalam mengolah pikiran dan perasaan sehubungan dengan topik artikel pandangan berbelit-belit kali ini, tentunya menjadi fokus bahasan bahwa dominasi pikiran akan membuat seseorang mengerahkan segenap inderanya untuk menganalisa suatu objek sementara perasaan yang dominan akan menyebabkan seseorang menggunakan emosinya dalam menyampaikan kesannya terhadap objek tersebut, seperti contoh di bawah ini.

Orang Timur biasa mengatakan, "Saya rasa kedua orang tersebut sama" sementara Orang Barat tidak akan mengatakan, "I fell they are the same!" tetapi mereka mengatakan, "I think they are the same!" untuk menyampaikan pemikirannya, atau secara objektif menggunakan indera matanya untuk menyampaikan penglihatannya dengan kalimat di bawah ini.


Looks like President Clinton and Vice President Gore, right?
Wrong... It's Clinton's face twice, with two different haircuts.


 
BRAHMAJALA SUTTA

BRAHMAJALA SUTTA IN NATURE THERE ARE NEITHER REWARDS NOR PUNISHMENTS, THERE ARE CONSEQUENCES!
(Di dalam hukum alam tidak ada hadiah-hadiah ataupun hukuman-hukuman,
yang ada ialah berbagai konsekuensi!)


Pandangan berbelit-belit 4

Si Fanatik bertutur bahwa segala sesuatu haruslah ada penciptanya, bahkan kalau perlu ia akan memutarbalikkan pernyataan awalnya sendiri dengan menambahkan bahwa hanyalah si pencipta yang tidak diciptakan.

Si Atheis berkomentar bahwa pembicaraan tentang si pencipta adalah omong kosong belaka, apalagi jika dikaitkan dengan pernyataan yang tidak konsisten dari si Fanatik. Oleh karena itu, kebenaran menjadi amat subjektif sesuai dengan pemikiran setiap individu. Benturan kepentingan antar-pribadi pun menjadi amat rawan terjadi.

Si Bodoh memperparah keadaan dengan tidak mempedulikan apakah si pencipta itu ada ataupun tiada namun dalam aksi yang tidak membangun makna hidup atau bahkan merusaknya dengan teror kebodohan. Ia tidak cukup cerdas secara emosi untuk memiliki kerinduan akan penciptanya dan ia pun tidak cukup intelek untuk mengupas kesalingtergantungan dalam hidup, apalagi ia tak mampu secara spiritual membuka mata batinnya untuk menyimpulkan benang merah di antara kedua hal tersebut.

Bagi orang yang fanatik terhadap si pencipta, maka hidupnya akan dicurahkan untuk melayani meskipun untuk itu ia harus mengorbankan kepentingan orang lain. Bahkan, dari pengalaman penulis, ada seorang teman yang akan menganggap telah terjadi mukjijat jika ia berdoa pada si pencipta agar motornya yang rusak dapat segera teratasi lalu beberapa saat kemudian ia bertemu dengan seorang teknisi motor yang datang ke lokasi tempat ia memperbaiki kendaraannya itu. Ia telah menjadikan hampir segala harapan di dalam hidupnya yang terkabul sebagai mukjizat. Padahal, kalau saja ia bisa berfikir sewajarnya, maka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kita bisa mendapatkan arti dari mukjizat, sebagai kejadian (peristiwa) ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia: seperti kisah Nabi Musa yang dapat membelah laut dengan pukulan tongkatnya.

Di lain pihak, orang yang atheis bisa saja menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar cerita yang kental dengan fanatisme seperti contoh di atas dan meramaikan suasana dengan membantah bahwa hal tersebut terjadi karena kebetulan semata. Istilah umumnya, hidup pas-pasan; Pas butuh uang, pas dapat kiriman dollar; pas perut lapar pas ada santapan nikmat yang disajikan; pas membutuhkan pekerjaan, pas ada proyek besar ditawarkan; pas badan sudah letih, pas waktu istirahat tiba; pas sedang berdoa memohon bantuan untuk keluar dari kesulitan, pas montir motor mampir untuk mengisi bensin di dekat tempat ia mengalami hari naasnya.

Namun di antara keduanya, kebodohan atau yang dikenal dalam istilah Buddhism sebagai moha adalah penyakit yang paling berbahaya bagi kehidupan. Harga yang harus dibayar atas ketidakpedulian kita terhadap hal-hal yang seharusnya kita ketahui dan kerjakan dalam kehidupan kita kadang menjadi sangat mahal, setara dengan hidup itu sendiri. Bahkan dalam sutta dituliskan bahwa lebih berharga kehidupan sehari dari orang yang mengenal Dhamma, daripada kehidupan seratus tahun bagi orang yang tidak mengenal Dhamma.

Jika si Fanatik bisa menjadi orang yang amat baik karena ia sudah menjadikan dirinya sebagai tokoh pahlawan dari dalang Pencipta yang ia bentuk dalam pikirannya, maka si Atheis juga bisa menjadi orang yang berpengaruh positif dalam kehidupan karena sifatnya yang murni mandiri dengan pikiran yang bebas dari ketergantungan mendasar terhadap misteri Penciptaan, sehingga ia bertanggung jawab penuh atas segala perbuatannya di dalam kehidupan. Lain halnya dengan si Bodoh yang tidak memberikan perhatian terhadap segi positif teori teo centris maupun human centris,. Sehingga, berbeda dengan penganut teo sentris yang bahkan berani untuk tidak konsisten dengan pernyataannya akan penciptaan seperti contoh di awal tulisan ataupun dengan penganut human sentris yang berani menentang keberadaan tokoh prima causa alam semesta bahkan dengan taruhan nyawanya, si Bodoh lebih cenderung zero centris yang aman dalam perpotongan spiritual garis sumbu Y yang mengarah ke loka (baca: alam) hayal di atas dengan garis sumbu X yang mengarah ke loka nyata di sekeliling. Padahal titik perpotongan ke dua garis spiritual itu jelas menjadi tempat yang paling banyak mendapat sorotan.

Si Bodoh bukan merasa riskan bahkan lebih berusaha cuek, sehingga jika ditanya apakah ada loka lain ia menjawab;

-saya tidak mengatakan demikian
-saya tidak mengatakan pendapat lain
-saya tidak menyatakan perbedaan
-saya tidak menolak pendapatmu
-saya tidak mengatakan itu begini atau begitu


Demikianlah si Bodoh bahkan bisa menjadi teroris yang berkobar bahwa Si Pencipta mensahkan tindakannya membombardir orang-orang yang berseberangan kepentingan dengannya lewat interpretasi tekstual kitab suci ataupun yang diterima dari tokoh-tokoh tertentu. (nyaman karena ada kambing hitam untuk tindakannya) sekaligus menganggap angin lalu pesan universal untuk saling mengasihi (dalam hal ini ia tidak menganggap ada ataupun mempedulikan Si Pencipta dengan caranya menghancurkan ciptaanNya) Bisa jadi fenomena tersebut adalah suatu bentuk dari paranoid massal yang lebih mudah terusik oleh beberapa isu pemicu pertikaian.

Konflik berkepanjangan antara beberapa negara termasuk yang bernuansa SARA, sampai saat tulisan ini dituangkan masih terdengar dan diberitakan melalui berbagai media yang ada. Kita hanya perlu merenungkan bahwa pada dasarnya semua itu diawali dari kebodohan yang berkembang menjadi keserakahan dan berpuncak pada kebencian antar sesama serta berakhir dalam penderitaan yang berpotensi untuk dijalani dalam kehidupan selanjutnya di alam ini maupun di alam sana.

Sehubungan dengan peristiwa serupa di tanah- air kita, waktu kerusuhan yang melibatkan konflik antar manusia sehingga menimbulkan kehancuran yang amat besar, pada suatu pertemuan para pemuka agama, seorang bhikkhu dikomentari bahwa beliau tidak melakukan pembacaan doa kepada Sang Pencipta agar memberikan pengampunan dan jalan terang bagi para pelaku tindak kriminal massal tersebut. Bhikkhu yang bijaksana tersebut menguraikan bahwa permohonan seperti itu bukan merupakan bentuk ajaran yang diwariskan oleh Guru Agung dalam Dhamma-Nya yang mulia dan luhur dalam membangun pengertian yang benar bagi setiap insan yang mendambakan kebahagiaan dan perdamaian dunia.

Beliau merendahkan hati dengan menyampaikan bahwa seandainya beliau harus melakukan hal tersebut demi kepuasan situasional semata, maka doa yang terucap adalah memaklumi dan menerima apa-apa yang telah diciptakan termasuk tentunya kejadian buruk yang telah kita alami dan memohon agar mulai saat ini dan selanjutnya hanya manusia yang baik saja yang diciptakan di atas bumi ini, sehingga dengan demikian doa tersebut mengakomodasi persoalan yang didambakan agar segera menjadi tuntas. Hal ini tentunya dan memang pada saat itu mengundang tawa, namun selain itu juga mengundang pencerahan batin bahwa di sekitar kita selalu ada kebodohan yang kita ciptakan sendiri dan bukan diciptakan dari luar diri kita untuk kita mohonkan penyelesaiannya. Jadi apa gunanya memohon perubahan dari luar diri kita ketimbang kita mengupayakan perbaikan diri dengan melaksanakan sila, samadhi, dan panna, untuk sesuatu yang memang berasal dari dalam diri kita masing-masing.

Untuk itu, obat penawar dahaga bagi segala penyakit batin yang terakumulasi menjadi paranoid massal itu harus diberikan kepada setiap pribadi yang membutuhkannya. Seperti air yang akan menghilangkan dahaga bagi setiap makhluk tanpa pilih kasih, maka Dhamma yang telah sempurna dibabarkan oleh Buddha Gotama akan menjadi penawar duka dan luka batin yang amat sulit untuk diobati. Sulit dikarenakan kita selalu mencoba mengubah apa-apa di luar diri kita dan berharap agar semua itu sesuai dengan kepuasan kita. Padahal kita seharusnya mengolah batin kita agar mampu mengubah pikiran yang buruk menjadi baik sekaligus menerima hal yang kita anggap buruk di luar diri kita yang tidak dapat kita ubah menjadi baik. Kebajikan yang dapat dikembangkan manusia adalah ketika ia; mengubah apa yang patut ia ubah atas nama kebahagiaan banyak pihak, menerima hal-hal yang tak dapat ia ubah atas nama kedamaian banyak pihak, dan dapat membedakan apa yang patut diubah dan apa yang seharusnya diterima atas nama kebijaksanaan.

Pada jaman modern dengan kompleksitas permasalahan hidup yang sarat konflik, hampir setiap saat kita bersentuhan dengan persoalan yang membutuhkan perhatian terhadap gerak-gerik pikiran kita sendiri. Saat pikiran kita tak mampu menjangkau pencerahan hidup, kita cenderung menggantungkan hidup pada suatu kekuatan di luar diri kita yang karenanya menghadirkan kebutuhan akan theisme, atau sebaliknya membentuk kepercayaan teramat tinggi pada diri sendiri yang karenanya menghadirkan kebutuhan akan atheisme, sementara bagi pikiran-pikiran yang bingung di antaranya melahirkan pandangan yang berbelit-belit akibat kebodohan yang karenanya menghadirkan apatisme.

 
BRAHMAJALA

IN NATURE THERE ARE NEITHER REWARDS NOR PUNISHMENTS, THERE ARE CONSEQUENCES!
(Di dalam hukum alam tidak ada hadiah-hadiah ataupun hukuman-hukuman, yang ada ialah berbagai konsekuensi!)


Semi Eternalisme 4

Sekembalinya dari ziarah ke India, empat orang sahabat terlihat asyik berbicara tentang pengalaman mereka yang tak terlupakan. Kadang terdengar nada-nada kekecewaan Sanguin dan Koler, kadang terlihat gerak tawa pingkal Pleg dan Melan, kadang mereka berangkulan erat begitu menghargai kebersamaan, begitu akrab, begitu harmonis?.

Sampai suatu pertanyaan Sanguin menggugah perhatian tiga temannya yang lain, "Tahu nggak kenapa jembatan yang ada di depan kita itu pada bagian tengahnya agak lekuk ke dalam?" Melan pun menyeletuk, "Kelihatannya karena lebih banyak kendaraan yang jalan ditengahnya!" Koler, "Menurut ilmu fisika semakin suatu benda mengalami gesekan, maka semakin aus benda tersebut!" Pleg, "Ah, itu mah sudah dari sononya!"

Usai melewati jembatan Sunter tersebut, mereka melihat sekawanan unggas yang sedang berenang di kali yang mengarah ke depan Mall tersebut. Sanguin, "Nah, kalau bebek-bebek itu kenapa bisa mengapung di atas air, meskipun sedang diam?" Melan, "Kan kakinya berselaput, bisa saja dia sedang mendayung!" Koler, "Ilmiahnya, badan bebek yang kecil dibungkus dengan bulu-bulunya yang banyak dan mengandung zat lilin yang secara kimiawi tidak bereaksi menyerap air, sehingga menyebabkan kondisi mengapung!" Pleg, "Ah, itu mah sudah dari sononya!"

Gerah mendengar komentar Pleg namun mereka tidak sempat menimpali, karena Sanguin segera nyerocos kembali, "Terus? kenapa yah di sekitar kali Sunter banyak pohonnya?" Melan, "Rasanya sih sudah diatur sama Pemerintah Daerah setempat!" Koler, "Menurut Biologi tumbuhan membutuhkan air, jadi daerah yang banyak air tentunya lebih subur dibanding daerah yang kering!" Pleg, "Ah, itu mah sudah dari sononya!"

Isengnya Sanguin masih berlanjut, "Kenapa yah semakin siang semakin panas yah?" Melan, "Mataharinya ada di atas kepala sih!" Koler, "Dari sudut pandang astronomi, bumi berbentuk bulat. Sedangkan, jarak matahari tegak lurus ke bagian bumi yang kita pijak adalah jarak terdekat dan kita menyebutnya siang hari. Logikanya, semakin kita dekat dengan sumber panas maka semakin terasa panasnya!" Pleg, "Ah, itu mah sudah dari sononya!"

Tepat di depan pintu gerbang Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, mereka akhirnya berhenti sejenak karena Sanguin rupanya punya pertanyaan terakhir, "Kok, jalan yang kita lalui sekarang lebih cepat sampai yah?" Melan,"Soalnya, kita kebanyakan bahas pertanyaan kamu sih!" Koler, "Matematikanya, jalan yang kita lewati sekarang adalah dapat diibaratkan jarak sisi miring dari siku-siku jalan yang biasa kita lalui, jadi ingat dong rumus Phytagoras!" Pleg, "Ah, itu mah sudah dari sononya!"

Orang-orang disekitarnya yang ikut kebagian mendengar, memandang heran dengan jawaban Pleg. "Kamu ini bagaimana sih?, masa semuanya dijawab sudah dari sononya. Kamu kekurangan perbendaharaan kata yah?" Hampir serentak dan senada teman-temannya bertanya. "Habis? kaki saya semakin sering dipakai jalan dan bergesekan dengan aspal, semakin tebal! Kuda Nil? bulunya jarang, badannya gedenya minta ampun, tetap aja mengapung di air! Lalu? rambut di batok kepala saya yang kering ini lebih banyak dibanding dengan yang ada di ketiak saya yang basah ini! Terus? kalau matahari siang lebih dekat ke bumi, kenapa bisa kalau matahari pagi lebih besar dibanding siang hari? Kan semakin besar suatu objek seharusnya berarti ia semakin dekat dengan kita! Ada lagi? kalau memang jarak terdekat adalah sisi miring, buat apa sih jalan ke Puncak dibikin muter-muter? Ayo? Semuanya,"Haaahhh?"


Itulah kira-kira problema logika dalam hidup yang selalu memiliki argumentasi dan berubah seiring pengetahuan yang berkembang. Sesuatu yang tidak logis pada suatu masa, pada masa yang lain bisa menjadi logis. Hal itu seperti kita membicarakan bahwa manusia dapat mengelilingi dunia dalam 80 hari yang kini menjadi logis dari pada kita membahasnya pada saat sebelum ditemukannya mesin uap dan pesawat terbang.

Berkenaan dengan hal tersebut, kita mungkin saja masuk ke dalam pandangan bahwa apa-apa yang berkenaan dengan logika dan pikiran adalah tidak kekal, sedangkan apa-apa saja yang berkenaan dengan batin adalah kekal. Selanjutnya, hal itu bermanifestasi dalam beragam bentuk nilai, sikap, dan perilaku seperti yang telah kita ketahui pada edisi pengantar Brahmajala Sutta pada Majalah Dhammacakka No.27 yang menerangkan bagaimana lingkaran-lingkaran pengaruh tersebut sangat penting dalam interaksi saling ketergantungan antar makhluk di dunia ini.

Logika, sewajarnya dilihat sebagai suatu tatanan nalar yang logis, yang berguna bagi kita untuk menerjemahkan kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal. Namun, logika bukanlah segalanya dalam kaitan dengan interaksi antarmanusia. Lebih dari itu, pengalaman dan emosi juga memainkan peran dalam kehidupan. Banyak hal yang tidak dapat diterjemahkan oleh logika pada saat keaktualannya, sehingga dengan hanya mengandalkan logika semata, kita akan terbentur dengan rasa penasaran dan ketidaktahuan. Bagi orang yang terlatih dalam kesabaran, maka dimensi waktu akan memberikan suatu pencerahan tersendiri. Saat suatu masa berlalu, ketidaktahuan terkuak dalam jawaban yang bisa diterima. Pemahaman akan hal ini telah dikuasai oleh Guru Agung kita, ketika Beliau mengelola dimensi waktu terhadap Kisa Gotami untuk merealisir pencerahan atas kematian anak yang amat dicintainya, daripada memaksakan kebenaran secara prematur (Discovery of Nature).

Pemahaman akan Dhamma, selayaknya menjadikan kita mengerti akan ketidakmengertian kita terhadap beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai ajaib, balik mata, hipnotis, ilusi, mukjizat, sihir, sirep, sulap, tenung, dan lebih halus lagi adalah avijja dan moha dalam kehidupan kita masing-masing.

Mengurai hubungan antara pemikiran dan emosi kita dengan "kontak"-nya terhadap objek semesta adalah usaha pemahaman terhadap Dhamma, khususnya Abidhamma yang bertujuan menepis kabut ketidaktahuan kita. Apalagi, di era yang serba menggeser perhatian kita kepada perubahan yang cepat, sehingga kekuatan konsentrasi terhadap objek, menjadi perhatian yang penting. Sebagai contoh, kita sekarang akan makin sering melihat bagaimana kawan kita yang sedang berbicara dengan kita, tiba-tiba dialihkan perhatiannya dari kita, hanya karena dering telepon genggam disakunya, dan tentunya termasuk sambil ber-sms-ria

Hal seperti itu, tentunya hampir tidak pernah terjadi pada abad sebelumnya di mana perhatian tersebut teralihkan umumnya oleh sesuatu yang tidak terlalu tiba-tiba, seperti kedatangan orang lain atau objek lainnya.

Menyadari kondisi tersebut di atas, kita dihadapkan pada suatu keadaan yang mengharuskan kita untuk memaklumi segala pengalihan tersebut dengan munculnya ketidaktahuan baru di dalamnya. Untungnya, pengendalian diri akan tetap melindungi kita dari reaksi-reaksi yang mungkin timbul dan mencegah kita terseret ke dalam arus perubahan yang tak terkendali oleh diri kita. Dalam hal ini, sila (vinaya) sekali lagi adalah lingkaran nilai yang ampuh untuk mempengaruhi lingkaran sikap dan perilaku, menangkal segala obsesi logika dan antilogika yang terus berpotensi menimbulkan jurang derita dalam kehidupan.

Akhirnya, sementara Abhidhamma lebih menyentuh nilai dari analisa dan uraian pengalaman intuitif, sedangkan Vinaya lebih menyentuh aspek sikap bagi seorang samana, maka Sutta memegang peranan penting dalam penekanan perilaku yang baik bagi umat Buddha mencakup juga sebagian aspek yang ada dalam Vinaya dan Abhidhamma. Sehingga, kata-kata yang enak didengar, mencerahkan, dan menuntun ke Nibbana selalu menjadi warna bagi umat Buddha dalam menyegarkan kehidupan di sekitarnya. Hal itu sangatlah penting bagi kemajuan batin orang yang berinteraksi dengan kita dan menjauhkan mereka dari pandangan keliru yang berkembang sekaligus melindungi diri kita dari fenomena yang membingungkan.

 
BRAHMAJALA SUTTA

IN NATURE THERE ARE NEITHER REWARDS NOR PUNISHMENTS, THERE ARE CONSEQUENCES!
(Di dalam hukum alam tidak ada hadiah-hadiah ataupun hukuman-hukuman, yang ada ialah berbagai konsekuensi!)


Ekstensionisme 3

Jika kita diberi secara terbatas sebanyak tiga permintaan, maka kita dapat pertama-tama meminta "kesehatan" karena hal itu adalah yang paling didambakan oleh para umat manusia. Selanjutnya, kita dapat meminta kekayaan karena di masa sekarang ini, ada kecenderungan untuk mengaitkan kekayaan dengan "kesenangan" (kebahagiaan tidak dapat sepenuhnya dibeli dengan materi). Terakhir, kita sebagai makhluk berakal dan cenderung serakah, akan meminta tiga permintaan lagi, karena masih banyak hal-hal yang belum kita minta secara detail seperti, ingin punya pasangan hidup yang rupawan, ingin punya anak yang sehat, ingin dipuja-puji, ingin dihormati, ingin disegani, ingin panjang umur, ingin ini itu-ini itu, banyak sekali?(seperti lagu dalam film kartun Doraemon), suatu keinginan tak terbatas! Dalam hal ini, terbatas dan tidak terbatas menjadi kabur batasannya berkaitan dengan keinginan manusia yang tak pernah terpuaskan sehingga akhirnya menerima sebagian konsep dunia yang terbatas dan sekaligus pula menerima sebagian konsep dunia yang tidak terbatas.

Alexander The Great seorang raja dari Masedonia, dalam sejarah dikatakan menganggap ujung timur Negara India yang ditaklukkannya sebagai ujung dunia, ketika ia berhadapan dengan tebing curam berbatas lautan?.Sebagian orang-orang yang lain, sebaliknya menganggap dunia ini tak ada batasnya karena terlanjur menganggap dunia ini datar tak bertepi?

Pada zaman Buddha Gotama, sebagian orang mempunyai pemikiran tentang dunia yang terbatas, sedangkan sebagian yang lain memiliki pandangan tentang dunia yang tidak terbatas. Di antaranya, ada orang-orang yang tidak menemukan kepuasan dalam pandangan tentang dunia yang terbatas dan sekaligus juga tidak menemukan kepuasan di dalam pandangan tentang dunia yang tidak terbatas. Mereka hanya dapat menerima sebagian hal yang dapat dipercaya dalam pandangan tentang dunia yang terbatas dan sebaliknya juga hanya dapat menerima sebagian hal yang mereka anggap benar dalam pandangan tentang dunia yang tidak terbatas. Sehingga, terbentuklah pandangan yang bercirikan anggapan tentang adanya dunia terbatas dan tidak terbatas. Akibatnya, banyak kita lihat paham yang saling kontradiktif bahkan di dalam satu ajaran sekalipun. Hal ini berbeda dengan Dhamma yang disabdakan Buddha Gotama, sebagai sebuah uraian yang indah pada awal, indah pada pertengahan, dan indah pada akhirnya.

Memang tidaklah cukup mudah untuk memahami pemikiran-pemikiran tersebut, apalagi di dalam segala keterbatasan untuk mendeteksi sumber-sumber pandangan yang memiliki argumentasi dari setiap pemikirannya. Namun, sebagai contoh sederhana yang dapat penulis ketengahkan adalah hasil pembicaraan dengan kakak perempuan penulis yang mengatakan bahwa dirinya secara pribadi mengakui memberi predikat Buddhis pada keyakinannya, namun beliau belum dapat menerima konsep hukum karma yang banyak disampaikan secara umum dalam gambaran kelahiran kembali di berbagai alam kehidupan. Hal ini tak ubahnya dengan para umat berpredikat Buddhis namun tetap berpandangan tentang adanya pencipta tunggal alam semesta. Dari sisi positif, kita dapat memperkirakan bahwa pemikiran tentang karma yang mereka terima, bisa jadi terlalu memaksa kedalam persepsi (sanna) sebagai suatu fatalisme yang terjadi begitu saja dari kehidupan manusia ke kehidupan hewan ataupun dewa, sehingga pemahaman seutuhnya tentang "kamma dan tumimbal lahir" belum menyentuh batin. Kalau kita cermati lebih mendalam, maka akan muncul pertanyaan, bagaimana seorang Buddhis yang nota bene berorientasi pada Dhamma yang mengajarkan kepada kita tentang Anatta (tanpa aku) bisa mempunyai pemikiran bahwa ada tokoh pencipta dalam peran kehidupan manusia di muka bumi. Jawabannya adalah bahwa sebagian orang berpikir dalam dualisme. Di satu sisi mereka yakin akan kebebasan penentuan hidupnya yang berada dalam genggaman tangannya sendiri akibat kebutuhan eksistensi diri (di sisi ini, mereka adalah seorang Buddhis). Namun, di sisi lain, berkenaan dengan tanggung jawab sehubungan dengan keterbatasan kemampuannya terhadap kompleksitas dunia, mereka membutuhkan jawaban terhadap apa-apa yang tak terpecahkan. Dari itulah lahir jawaban Tuhan yang mengambil peran misteri (di sisi ini, ia menerima konsep penciptaan).

Pemikiran tersebut memang amat halus dan tidak mudah untuk dideteksi oleh kesadaran kita jika tidak kita kondisikan kehidupan kita dengan baik melalui dana, sila, samadhi, dan panna. Karena itu, Buddha Gotama menguraikannya sebagai jaring brahma. Contoh lain yang dapat kita lihat atau dengar di masa kini adalah adanya kecenderungan sinkretisme agama dengan menyamakan begitu saja semua agama secara mentah-mentah. Buddhisme, bukan dalam konteks mencari eksklusivisme diri, menolak dengan tegas paham yang melontarkan ide adanya Tuhan pencipta yang tanpa batas dan sebaliknya bukan pula memberikan pandangan yang terbatas pada kehancuran materi sebagai suatu batas akhir kehidupan. Dikatakan bukan dalam konteks mencari eksklusivisme diri, karena memang Buddhisme adalah suatu pandangan yang dengan lugas mengoyak jaring brahma dan menembus kesunyataan alam semesta tanpa berusaha membuai manusia dalam penghiburan semu, meskipun untuk itu harus membayar harga sebuah kebenaran (konsekuensi) yang membuat Dhamma berada di seberang perspektif pandangan mayoritas lainnya. Sejak dahulu, ketidak mampuan untuk melakukan pendekatan pemikiran tersebutlah yang akhirnya menimbulkan antipati dari pihak lain, dan dalam kenyataannya banyak menimbulkan kesulitan bagi perkembangan Buddha Dhamma itu sendiri.

Di masa sekarang, setelah ilmu pengetahuan berkembang pesat, banyak orang mulai mempelajari ilmu tentang alam semesta yang tak terbatas untuk dijelajahi, di samping tentunya ilmu agama yang mengajarkan kita agar bisa membatasi diri untuk menghargai keberadaan saat ini. Namun, kita masih juga melihat adanya paham-paham yang berorientasi kepada pengejaran materi sebanyak-banyaknya ataupun paham yang menjauhi materi, seperti misalnya yang diberitakan terjadi di Badui dalam.

Belakangan ini, persepsi yang muncul dari media milis juga cukup kontroversial karena mengulas komentar terhadap keabsahan Tipitaka. Sekali lagi, persepsi menjadi dominan dan mengusik persepsi lainnya untuk berada di sisi yang membela tekstual Tipitaka atau sebaliknya setuju untuk meragukan apa yang tertulis di sana. Di sisi lain, bagi orang yang menyikapi dengan lebih bijak mungkin akan berusaha untuk melihat apa yang merupakan sebab dari timbulnya persepsi-persepsi seperti itu serta kondisi yang dapat mendamaikannya sehingga dengan demikian dapat mengatasi kemelekatan atau kehilangan pandangan hidup. Membatasi keyakinan dengan percaya secara membuta terhadap suatu bahasan tertulis adalah sama fatalnya dengan melepaskan keyakinan tanpa batas terhadap suatu bahasan tertulis. Jika kita memang akan lebih bahagia dengan membahas bagaimana biografi sebenarnya dari suatu objek dengan didukung dasar dan bukti yang otentik, maka hal tersebut masih dapat kita benarkan. Namun, jika pembahasan tersebut lebih dilandaskan pada suatu spekulasi, maka hal itu dapat dikatakan sebagai membentuk "spekulasi" terhadap yang telah ada dengan menciptakan spekulasi baru.

Berpijak pada Dhamma yang mengupas tentang asal mula dukkha yang bersumber pada keserakahan, kebencian, dan kebodohan, kita selalu dihadapkan pada ketidaktahuan baru untuk diatasi tanpa keserakahan dan kebencian, dan itu tepat berada di dalam diri kita sendiri. Kita seharusnya maju mengatasi rintangan hidup seperti seekor kuda yang terlatih dengan baik, daripada membatasi diri dari kemajuan jaman atau terlibat persepsi tanpa batas zaman. Bahkan, mungkin saja seperti bahasan kita kali ini, seseorang membuka persepsi tanpa batas terhadap masa lalu yang terbatas (sulit dibuktikan), sehingga mengundang polemik dalam Dhamma.

brahmajala.jpg

Apakah sebatas spiral atau lingkaran tanpa batas, ataukah sebatas spiral dan lingkaran tanpa batas?

 
BRAHMAJALA SUTTA

BRAHMAJALA SUTTA IN NATURE THERE ARE NEITHER REWARDS NOR PUNISHMENTS, THERE ARE CONSEQUENCES!
(Di dalam hukum alam tidak ada hadiah-hadiah ataupun? hukuman-hukuman, yang ada ialah berbagai konsekuensi!)


Pandangan berbelit-belit 3

Kong Hu Cu dan Lao Tze sedang berdiskusi mengenai fenomena kehidupan dengan teori kebijakan mereka masing-masing.

Kong Hu Cu menyampaikan bahwa untuk terciptanya harmoni dalam kehidupan, dibutuhkan aturan etis yang harus dipatuhi. Sementara Lao Tze menekankan bahwa keterlibatan pihak tertentu malah memperkeruh stabilitas yang seharusnya dapat tercipta dari keseimbangan kehidupan.

Sementara Kong Hu Cu memberikan contoh pada ketidakteraturan dunia yang berakibat kekacauan jika tidak adanya aturan yang diterapkan, Lao Tze memberikan contoh bahwa seperti air yang keruh, agar kita menenangkannya dengan tidak ikut mengacaukannya sehingga air menjadi jernih.


Seorang teman penulis mengirim sms agar penulis dapat memberikan respon dengan mengirim sms ke alamat surat tertentu untuk menunjukkan sikap protes terhadap Undang-Undang Anti Pornografi yang sedang marak diperbincangkan. Penulis merasa bahwa pada saat tersebut adalah terlalu prematur untuk memberikan suatu respon dan terbayang bahwa mungkin sekali ada banyak pihak yang serta-merta memberi respon balik dengan ataupun tanpa pengertian yang cukup terhadap wacana tersebut.

Menilik kata porno itu sendiri, penulis melihat suatu makna yang berkonotasi negatif di luar makna netral semisal, seks, telanjang, bugil, sensual, dan lain-lain. Porno, secara eksplisit menunjuk kepada suatu hal yang cabul dan nyatanya didistribusikan secara umum sehingga membuatnya berbeda dari sekedar suatu dokumentasi pribadi. Malahan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pornografi ditekankan sebagai semata-mata untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks. Jadi, untuk suatu isu mengenai aturan ataupun tata-tertib yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat beradab seperti juga isu tentang Undang-Undang Anti Korupsi, penulis merasa bahwa seharusnya kita berada pada pihak yang mendukung terlaksananya tata-tertib tersebut. Namun, kelihatannya ada fenomena demokratis yang kental dengan menentang suatu undang-undang yang mengatur? problem aktifitas kehidupan masyarakat agar terkendali. Apakah itu menandakan bahwa telah terjadi demokralisasi terhadap suatu aksi etik? Adakah Dhamma Guru Agung kita menyentuh esensi mendasar pola pikir , sikap, dan perilaku kita dalam hal ini?

Dua ekstrim dalam kehidupan kiranya bisa bermanifestasi dalam perdebatan antara keharusan untuk membuat peraturan-peraturan yang bermanfaat bagi ketertiban hidup manusia dan sinisme terhadap setiap bentuk peraturan yang sekiranya dianggap patut untuk diberlakukan. Tidak cukup hanya berbeda pendapat, bahkan manusia terkadang beradu pandangan, dan beradu otot.? Ada hal yang mendasar sebagai wujud kepedulian dan pengabaian dari satu pihak terhadap pihak lain, sementara kebebasan menjadi isu penting untuk diperjuangkan dan juga dipertentangkan. Singkat kata, manusia mengatasnamakan kebebasan yang kerap masuk ke dalam wilayah anti terhadap seperangkat aturan yang dianggap memasungnya. Padahal pihak lain menganggap peraturan dan tata tertib dibuat untuk menjamin adanya kebebasan dari banyak pihak pula.

Sebelum mengulas pesan spiritual tentang pentingnya mengendalikan hidup dalam segala kekacauan yang ada, penulis ingin menyampaikan suatu sindrom yang belakangan penulis alami dan amati, yaitu suatu respon yang cepat terhadap suatu pertanyaan sehingga perhatian/sati yang dicurahkan berkurang. Sindrom ini, penulis anggap sebagai suatu titik tolak sikap ataupun perilaku yang ceroboh dalam menyikapi pertanyaan yang timbul.

Pengalaman yang pertama adalah ketika penulis baru saja pulang dari berbelanja dengan pembantu rumah tangga. Seorang teman dari pembantu tersebut menyapanya, "Darimana?" dan si pembantu dengan serta-merta menjawab, "Habis Berbelanja!"

Pengalaman yang kedua adalah ketika penulis sedang terlibat percakapan pertelpon dengan seorang sahabat. Penulis dalam suatu kesempatan bertanya, "Sedang di mana kamu?" Sahabat penulis dengan cepat membalas, "Sedang makan!"


Yang jelas, sipenjawab bukan salah menerima pertanyaan dalam pendengarannya tetapi ia menjawab berdasarkan apa yang ia pikir dan bukan berdasarkan apa yang ia dengar. Dari dua contoh pengalaman tersebut, kita dapat melihat hal yang sangat mungkin terjadi pada siapa saja dalam pergaulannya. Namun, apakah kita peduli atau tidak terhadap krisis tersebut adalah suatu bentuk latihan yang harus disikapi masing-masing bagi kemajuan spiritual setiap orang.

Jika pembaca merasa bahwa hal tersebut di atas adalah hal yang sepele mungkin ada benarnya, demikian pula sebagaimana sahabat penulis yang merasa bahwa telah terjadi suatu sindrom yang disebut sebagai ? Memikirkan apa yang dipikir orang lain tentang pikiran kita terhadap pemikirannya? maka hal tersebut juga dapat dimaklumi. Penulis berusaha menyadari dengan melihat bahwa pada dasarnya hal tersebut timbul akibat kekurangan waspadaan indera kita terhadap objek yang datang, sehingga kita merespon tidak dengan perhatian tetapi dengan kecenderungan berpikir.dari pikiran kita Dalam skala yang umum, akhirnya kita akan terbiasa merespon suatu isu dengan cepat dan belum tentu tepat. Berkaitan dengan kasus di atas, maka akan sangat dimungkinkan kita lalu dengan enteng mengirim sms untuk banyak isu yang muncul yang belum tentu kita pahami materinya seperti yang penulis juga alami. Dalam banyak hal, kita mengeluarkan biaya dan upaya yang tidak sedikit untuk merespon hal-hal serupa.

Selanjutnya, penulis merujuk kepada sabda Buddha Gotama perihal Pandangan Berbelit-belit yang disebabkan karena seseorang tidak mengerti baik atau buruk dan tahu bahwa ada orang yang lebih cerdik dari dirinya, serta takut merasa bersalah/menyesal akan kesalahannya, sehingga ketika ditanya ia akan menjawab;

- Saya tidak mengatakan demikian
- Saya tidak mengatakan pendapat lain
- Saya tidak menyatakan perbedaan
- Saya tidak menolak pendapatmu
- Saya tidak mengatakan itu begini atau begitu

Orang tersebut akan terlalu memikirkan apa yang dipikirkan orang lain terhadapnya namun lepas perhatiannya terhadap apa yang sedang berlangsung dan ia hadapi. Selanjutnya, argumentasi seperti di atas akan menjadi dasar penghiburan baginya ketika lingkungan mempertanyakan responnya.

Dhamma mulia dari Guru para dewa dan manusia memang tiada bandingannya sehingga mampu menembus pemahaman yang rumit sekalipun dari suatu pikiran yang berbelit-belit dalam jaring brahma. Jika Kong Hu Cu dengan etika yang indah dan Lao Tze dengan pemahaman mendalam terhadap filosofi hidup sedang dalam diskusi yang menarik, maka Dhamma telah dibabarkan oleh Guru Agung agar kita membentengi diri kita dengan seperangkat etika kehidupan dan kewaspadaan untuk menjaganya. Kehidupan memang memerlukan aturan agar tertib namun peraturan hanya merupakan bagian dari kehidupan yang dinamis, Kita tidak dapat menyalahkan suatu aturan yang sudah pasti tak bakal mampu mengantisipasi semua masalah dalam hidup yang terus-menerus berubah, tetapi itupun tidak berarti bahwa suatu aturan malah akan memperkeruh permasalahan hidup sehingga kita menjadi alergi untuk membuat tata-tertib demi kepentingan hidup yang harmonis.

Seperti sebuah waduk yang dibangun untuk mengendalikan air, demikianlah umat Buddha membangun pikirannya sehingga dapat mengendalikan dan menyalurkan hal-hal yang positif. Namun, umat Buddha juga tetap harus waspada terhadap segala dinamika perubahan dalam hidup ini seperti pengawas bendungan yang harus selalu waspada mengukur ketinggian air dan cuaca walaupun suatu waduk telah dibuat dengan sebaik-baiknya. Oleh karenanya, kita menjalankan sila sebagai etika hidup dan selalu melatih kesadaran melalui samadhi sebagai landasan menuju kebijaksanaan.

Sederhana dalam hidup, berpikir, dan bertindak dapat kita awali dengan merespon secara proporsional terhadap lingkungan sekitar kita. Janganlah bertindak lebih cepat dari pikiran kita atau sebaliknya berpikir terlalu cepat daripada tindakan kita. Maka, penulis berharap para pembaca dapat menjawab segala tantangan dan pertanyaan hidup dengan pasti dan pas. Sebelum kita merespon suatu permasalahan, kita akan secara bijak melihat terlebih dulu masalah yang sedang kita hadapi. Setelah itu, barulah kita merespon dengan proporsional, apakah kita menerima ataupun menolak diharapkan kita telah mengerti esensinya dan bukan sekadar merespon karena euforia semata terhadap masalah yang timbul.

Akhirnya, Kong Hu Cu dan Lao Tze dapat mencapai kesepahaman, bahwa berupaya menjernihkan air memang membutuhkan ketenangan dengan tanpa mengartikannya secara pasif tanpa upaya. Lao Tze akan mewadahi air agar tidak tercampur dengan lingkungan sementara Kong Hu Cu dapat memasukan tawas ke dalamnya, paling tidak itulah kompromi dalam idealisme penulis untuk menyikapi pertentangan yang ada. Masyarakat dapat berusaha tenang dan tidak anarkis terhadap gejolak, sementara pemerintah mengayomi dengan kebijaksanaan yang teduh.

 
BRAHMAJALA SUTTA


IN NATURE THERE ARE NEITHER REWARDS NOR PUNISHMENTS, THERE ARE CONSEQUENCES!
(Di dalam hukum alam tidak ada hadiah-hadiah ataupun hukuman-hukuman, yang ada ialah berbagai konsekuensi!)


ETERNALISME 1

Seorang pemuka spiritual menuntun seekor kambing untuk dikorbankan, karena beranggapan bahwa hal tersebut merupakan perintah yang harus dilaksanakan berdasarkan kitab suci ataupun penafsiran atas ajaran yang menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan tanda kebaikan umat manusia pada Yang Mahakuasa sehingga akan mendapatkan berkah dan keselamatan (surga).

Pada saat kambing tersebut diletakan di meja persembahan dan pisau telah dihunuskan untuk mengakhiri hidup hewan malang tersebut, si kambing menangis dan mengucurkan air mata. Si pemuka spiritual terhenyak dan bertanya, "Kenapa kau menangis?"

Si kambing menjawab, "Saya telah berulang kali terlahir sebagai seekor kambing karena pada suatu kehidupan yang lalu sebagai seorang penjagal, saya banyak memotong hewan korban untuk dipersembahkan dengan berbagai alasan yang saya yakini. Saya sungguh menyesal mengetahui bahwa karena perbuatan-perbuatan itu saya harus menerima akibat yang pedih dan mesti mati di meja persembahan oleh orang yang juga meyakini tindakannya sebagai sesuatu yang benar."

Si pemuka spiritual berpikir sejenak, "Ah... kasihan memang, namun kamu adalah seekor kambing yang harus dipotong agar bermanfaat bagi orang banyak, dan lagi pula aku wajib menjalankan perintah ajaran yang saya anut agar dapat masuk surga! Sudahlah... aku akan berdoa dan membuat ini menjadi cepat agar kau tak merasakan sakit yang berkepanjangan!. Jika benar kamu telah berulang kali terlahir, semoga kamu cepat terlahir kembali sehingga aku akan punya kambing potong lagi untuk korban tahun depan!"

Demikianlah si pemuka spiritual menempelkan pisaunya pada leher kambing tersebut dan niat hatinya telah menekan ke ujung jari tangannya, namun sekarang si kambing tertawa sehingga membuat ia terkejut, "Apa yang lucu dengan ini? Mengapa kau tertawa?"

Ia bertanya penuh keheranan. "Saya memang telah terlahir berulang kali sebagai seekor kambing namun ini adalah yang terakhir dan setelah ini saya akan terlahir sebagai manusia karena banyaknya manfaat yang saya berikan dari kehidupan saya!"

Si pemuka spiritual hampir saja mengabaikan hal tersebut dan ingin meneruskan niatnya namun kali ini si kambing tertawa lebih keras lagi sampai terpingkal-pingkal dan keluar air matanya sambil melanjutkan, "Maafkan saya..., saya tak tahan lagi akan kelucuan ini, karena sebaliknya engkau akan terlahir kemudian sebagai seekor kambing setelah kehidupan ini akibat begitu banyak perbuatan bodoh yang engkau lakukan dengan memotong hewan korban dan mengharapkan imbalan surga atasnya!" Seketika pisaupun terjatuh dari tangan si pemuka spiritual tersebut.

Itulah kira-kira pengembangan kisah yang disampaikan pada pengantar cerita film Little Buddha dengan pemeran utama Keanu Reeves dan sempat menjadi film bagus tentang kisah lanjutan kehidupan Dalai Lama dari Tibet. Film tersebut bercerita perihal bagaimana seseorang yang telah meninggal terlahir kembali dengan tubuh jasmani baru namun tetap menyimpan kekuatan ingatan orang yang terdahulu.

Dalam pandangan eternalis ada jiwa atau dunia yang kekal yang berlangsung terus-menerus dari dahulu kala dan akan tetap begitu sekarang, juga selamanya. Oleh karena itu, tak perlu diherankan jikalau ada orang yang kemudian ngotot mengejar jiwa atau apapun yang dianggap merupakan terusan dari kehidupan Dalai Lama.

Di dalam kehidupan sehari-hari kita juga akan menemukan pandangan seperti ini dalam pikiran kita yang bisa saja terpicu oleh bacaan, film, cerita orang, ataupun proses pikiran itu sendiri dan faktor interaktif lainnya.Kata takdir yang sering digunakan di dalam kehidupan sekitar kita kiranya cukup dekat dengan pemahaman ini jika itu bukan karena keterlibatan Yang Mahakuasa. (Jika karena keterlibatan Yang Mahakuasa, maka termasuk dalam pandangan semi eternalisme, yang akan dibahas pada edisi lain)

Contoh lain adalah tentang Osel Torres, bocah ajaib dari Spanyol, Mozart, dan tokoh-tokoh yang mengaku bahwa dirinya adalah kelahiran dari orang-orang yang dahulu pernah hidup. Namun, yang menjadi bias adalah jika kemudian orang-orang tersebut memploklamirkan, mengatakan, menyampaikan, membisikkan, mengisyaratkan, bahwa dirinya merupakan kelahiran dari Para Arahat atau bahkan Para Buddha dari masa lampau.

Dalam suatu kesempatan Buddha Gotama menyampaikan kepada Ananda hal yang berkaitan dengan keadaan setelah mangkatnya Buddha, dari pertanyaan yang mungkin muncul akibat pikiran spekulatif. Penjelasan Beliau adalah, setelah mangkat maka tidaklah dapat digambarkan Buddha telah tiada ataupun masih ada (Parinibb?na).

Majjima Nik?ya juga mencatat pembicaraan menarik antara Sang Buddha dengan seorang pertapa kelana,Vacchatgotta.

Pertapa Vacchagotta bertanya,"Tetapi, Gotama di manakah bhikkhu yang batinnya bebas bertumimbal lahir?"

Sang Buddha menjawab, "Vaccha, untuk mengatakan bahwa ia bertumimbal lahir dalam kasus ini tidaklah tepat."

"Lalu, Gotama, ia tidak bertumimbal lahir."

"Vaccha, untuk mengatakan bahwa ia tidak bertumimbal lahir dalam kasus ini tidaklah tepat."

"Lalu, Gotama, ia bertumimbal lahir dan tidak bertumimbal lahir."

"Vaccha, untuk mengatakan bahwa ia bertumimbal lahir dan tidak bertumimbal lahir dalam kasus ini tidaklah tepat."

"Lalu, Gotama, ia tiada bertumimbal lahir dan tidak tak bertumimbal lahir."

"Vaccha, untuk mengatakan bahwa ia tiada bertumimbal lahir dan tidak tak bertumimbal lahir dalam kasus ini tidaklah tepat."

Vaccha gagal memikirkan hal itu, kemudian Sang Buddha memberikan umpan balik kepada Vaccha sebagai berikut:

"Apa yang kau pikir, Vaccha? Andaikan api menyala di hadapanmu? Apakah kamu tahu bahwa api menyala di hadapanmu?

"Gotama, jika api menyala di hadapanku, aku akan tahu bahwa api menyala di hadapanku."

"Tetapi andaikan, Vaccha, seseorang menanyaimu, `Bergantung pada apakah api yang menyala di hadapanmu?' Apakah jawabanmu Vaccha?"

"Aku akan menjawab, O Gotama, `Ia bergantung pada bahan bakar rumput, dan kayu api yang menyala di hadapanku ini."

"Tetapi, Vaccha, jika api di hadapanmu padam, apakah kamu tahu bahwa api di hadapanmu itu padam?"

"Gotama, jika api di hadapanku padam, aku akan tahu bahwa api di hadapanku padam."

"Tetapi, Vaccha, jika seseorang bertanya kepadamu, `ke arah manakah api itu pergi, Timur atau Barat, Utara atau Selatan?' Apakah yang akan kau katakan, Vaccha?"

"Pertanyaan ini tidak sesuai dengan kasusnya, Gotama, karena api bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu, dan jika semua bahan bakar habis, dan ia tidak dapat yang lain, jadi tanpa bahan, ia dikatakan padam."

"Tepat sama, Vaccha, semua bentuk, sentuhan, pemahaman, kegiatan batin, kesadaran telah ditinggalkan, dicabut, dibuat seperti tonggak palmira, menjadi padam, dan tidak dapat bersemi pada waktu yang akan datang."

"Para makhluk suci, Oh Vaccha yang sudah bebas dari apa yang disebut lima perpaduan, adalah dalam, tak terukur bagaikan samudera luas. Untuk mengatakan bahwa ia bertumimbal lahir, tidak sesuai dengan kasusnya. Untuk mengatakan ia tidak bertumimbal lahir, dan tidak tak bertumimbal lahir, tidak sesuai dengan kasusnya."


Orang tidak dapat mengatakan bahwa Arahat bertumimbal lahir karena semua nafsu keinginan yang menyebabkan tumumbal lahir sudah dicabut, tidak pula orang dapat mengatakan bahwa Arahat itu dihancurkan. (Sang Buddha dan Ajaran-ajaran-Nya, Bagian 2., Oleh Alm.Ven Narada Mah?thera, Yayasan Dhammadipa ?ram?, hal 225 - 226)

Kesimpulan dari tulisan ini, adalah; Buddha Gotama pada sejarah kehidupannya (623-588 SM) mengajarkan kepada kita tentang pencapaian Nibb?na dan konsekuensinya adalah tidak akan terlahir kembali, sehingga jika kita menyatakan suatu ajaran sebagai ajaran Buddha, adalah tidak konsekuen dengan mengatakan adanya kelahiran kembali dari seorang Buddha, termasuk para Arahat yang juga adalah Savaka Buddha.

Sebagai penutup, cobalah pandang gambar di bawah ini! Dapatkah dikatakan, "Saya melihat bulatan-bulatan putih terus-menerus secara permanen!"? Ataukah kita melihat perubahan bulatan putih dan hitam terus-menerus ...?!

 
Brahmajala Sutta


IN NATURE THERE ARE NEITHER REWARDS NOR PUNISHMENTS,THERE ARE CONSEQUENCES!
(Di dalam hukum alam tidak ada hadiah-hadiah ataupun hukuman-hukuman,
yang ada ialah berbagai konsekuensi!)


ETERNALISME 3

Rama, Sinta dan Laksmana sedang berada di hutan Dandaka ketika mereka melihat seekor kijang kencana elok yang merupakan penyamaran dari Marica (mata-mata dari kerajaan Alengka). Sinta tertarik akan keindahan hewan tersebut dan meminta Rama menangkapkan untuknya. Rama pun memerintahkan Laksmana untuk menjaga Sinta sementara ia mengejar rusa tersebut. Setelah sekian lama Rama tidak kembali, maka Laksmana pun menyusul karena didesak oleh Sinta. Saat Laksmana pergi menyusul Rama, Rahwana dengan mudah menculik Sinta. Rama yang adalah Wisnu (dikutip dari buku Wayang dan filsafat Nusantara, Ir. Sri Mulyono) dengan perjuangan berat dan dibantu Anoman berhasil menyelamatkan Sinta walaupun akhirnya Sinta harus membakar dirinya demi membuktikan kesuciannya.


Wisnu adalah sejatinya Kresna dan Arjuna. Arjuna dan Kresna adalah Dwi Tunggal. Satu tetapi dua. Dua namun sesungguhnya tunggal, kedua-duanya inkarnasi Wisnu, demikianlah masih menurut buku dalam paragraf sebelumnya. Arjuna diriwayatkan sebagai seorang yang banyak memiliki atribut dan kemampuan selain tentunya berparas rupawan, sedangkan Kresna adalah seorang yang bijaksana dan teliti memberi masukan kepada Arjuna yang banyak pertimbangan.

Dalam kenyataan, ada yang menceritakan bahwa beberapa orang beranggapan; Buddha Gotama sebagai titisan dari Wisnu. Khususnya pada penulisan di harian Kompas tanggal, 2 April 2003, pada artikel renungan Nyepi dan Saraswati, Raka Santeri menuliskan "Meskipun lahir dan meninggal sebagai Hindu, ajarannya kemudian dikukuhkan dan berkembang menjadi agama Buddha, agama yang pernah menjadi koreksi total bagi Hindu"

Sebagai pelaksana Dhamma, kita dapat melihat sebuah kemelekatan dalam konteks kepemilikan yang eksklusif agamis. Mungkin kita setuju bahwa pangeran Sidharta sebelum mencapai penerangan sempurna, lahir dalam tradisi Hindu. Namun, amatlah dipaksakan jika seseorang yang dalam hidupNya telah mencapai penerangan yang sempurna dikatakan lahir dan meninggal dalam suatu sistim konseptual ajaran tertentu. Untuk inipun, penulis berusaha melihat ke dalam diri sendiri, apakah tidak possessive (dengan dasar rasa ingin memiliki) mengklaim Beliau meninggal bahkan dengan cara Buddha sekalipun.

Kembali pada cerita di awal, kita setuju bahwa banyak orang tertarik dengan penuturan kisah-kisah tersebut. Yang menjadi perhatian kita adalah adanya kemelekatan pandangan terhadap suatu pribadi yang dianggap dewa dan menitis sebagai manusia yang pada akhirnya meninggal dan kembali mencapai kedewaan dan seterusnya menitis kembali sebagai tokoh yang lain. Pemikiran tentang adanya sesuatu "atta" yang eternal yang terus-menerus bereinkarnasi harus dimengerti sebagai tidak adanya pribadi yang sama dan sekaligus tidak dapat dikatakan berbeda sama sekali. Ibarat nyala api di tungku masak yang menyala karena beberapa faktor pendukung. Jika seseorang (salah satu faktor pendukung) mengkondisikan nyala api tersebut berpindah dari tungku ke api unggun di pekarangan rumah (dapat menyala juga karena berberapa faktor pendukung) untuk memberi kehangatan yang romantis bersama orang yang dicinta, maka kita mengerti, bahwa api yang menyala di pekarangan bukanlah api yang ada di tungku masak, namun api unggun di pekarangan tersebut menyala karena adanya api di tungku masak dan usaha yang dilakukan untuk memindahkan nyala api tersebut.

Manusia lahir dengan kesatuan yang secara umum sama yaitu nama dan rupa (unsur batin dan jasmani). Unsur nama dikelompokan menjadi; perasaan, pencerapan, pikiran, dan kesadaran. Orang Indonesia, Amerika, Arab, India, Tionghoa tak jauh berbeda dalam hal menangis, tertawa, mengeluh, kecewa, dan bahagia meskipun kita menuliskan, menggambarkan, dan mengkomunikasikan dengan cara yang beragam. Demikian pula makhluk-makhluk tak lepas dari poses lahir, tua, dan lapuk, meskipun menjalani sejarah hidup yang berbeda-beda. Oleh karena itu, selalu ada pesan moral yang senapas untuk dapat disampaikan dengan segala sarana dan kemampuan yang ada, seperti khotbah Dhamma, pelakonan wayang, seminar, tulisan, dan gurauan, serta teladan sikap hidup, demi tercapai kebebasan yang hakiki.

Nilai dalam Pembabaran Dhamma selalu mencakup, Anicca-Dukkha-Anatta dari pengertian yang konseptual sampai dengan penembusan kesunyataan, meskipun pembabarnya terus berganti sepanjang masa. Nilai pelakonan dalam pewayangan punya penyampaian moral yang mendorong manusia untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan apapun sumber ajarannya, walaupun dalang dan sindennya berganti-ganti sepanjang masa. Nilai kebaikan pun selalu diupayakan dalam berbagai seminar, tulisan, gurauan, serta teladan hidup, meskipun pelakunya terus berganti sepanjang masa.

Eternalisme sebagai salah satu paham yang telah berkembang dan mewarnai pemikiran manusia harus disadari dan bukan dimusuhi. Apalagi, label-label pada ajaran, filsafat, dan agama tertentu tidaklah seharusnya menimbulkan pertentangan yang mengarah kepada konflik. Ada yang menuliskan, "Jika kita menolak ide seseorang, hendaknya kita pastikan bahwa kita hanya menolak idenya dan bukan orangnya!" Memang hal tersebut sangatlah tipis batasannya, karena terkadang kita menolak ide seseorang akibat bawah sadar kita telah menolak sipemberi ide sejak awalnya, tentunya hal tersebut merupakan kemerosotan bagi batin kita.

Untuk menghadapi keadaan di dunia yang penuh keragaman fisik dan pemikiran, hendaklah kita sebagai umat Buddha merenungkan, bahwa Dhamma yang dibabarkan Buddha adalah kesunyataan yang lebih mengarahkan kita pada suatu keadaan yang penuh damai daripada suatu keadaan yang paling benar (karena hal itu berarti menempatkan diri kita pada suatu sisi dari sisi seberang lainnya, yaitu paling salah) Jadi saat kita memotivasi seseorang, termasuk diri kita agar berani hidup, kita benar-benar mengembangkan kesadaran bahwa, kita benar mencintainya (mengembangkan metta) dan bukan hanya mencintai kebenaran kita (mengembangkan ego).

Saat tulisan ini dituangkan, dunia sedang tersita perhatiannya pada perang pasukan koalisi denan Irak yang bersumber dari perbedaan kepentingan seperti kisah Rama, Sinta, dan Rahwana. Jelaslah terlihat nyata, bahwa mengalahkan diri sendiri tidaklah begitu mudah untuk dilakukan ketimbang mengalahkan orang lain. Namun, Dhamma adalah jalan tengah yang memberi semangat bagi yang kehilangan motivasi hidup sekaligus memberi nilai yang baik bagi yang bersemangat.

Untuk itu salah satu langkah nyata bagi dunia, misalnya memberikan bantuan bagi korban akibat perang atau penyakit SARS melalui Palang Merah Indonesia dengan nomor rekening, 4503777111, BCA Bidakara mungkin merupakan langkah bijak bagi kita di samping kita memberikan Dhamma dana kepada orang lain untuk berbuat kebajikan.


Kesimpulan:

Beraneka-ragam faham di sekitar hidup kita, bahkan yang bernuansa Buddhis. Beberapa contoh misalnya, Reinkarnasi (kerinduan akan adanya jiwa yang berkelanjutan), Kosong adalah isi, isi adalah kosong (filsafat agama), sudah karmanya (pasrah), dan lain-lain, pada suatu waktu akan terasa mengisi kebutuhan romantisme beragama saja.

Lebih dari itu, kita harus dengan kesadaran penuh menyadari bahwa, kemampuan kita untuk mengembangkan kebajikan dan kedamaian amatlah penting. Ingatlah bahwa seseorang yang terus menerus terobsesi ingin mencapai Arahat, hanya akan terbebas saat ia melepaskan keinginannya tersebut!


Sabbe sankhara anicca dan sabbe sankhara dukkha (segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal dan segala sesuatu yang berkondisi adalah penuh ketidakpuasan) mungkin diakui beberapa paham keyakinan lain, namun umat Buddha tak akan lupa, Sabbe Dhamma anatta (Segala sesuatu yang berkondisi maupun yang tidak berkondisi adalah tanpa aku) sehingga tidak ada celah untuk berspekulasi tentang pencapaian kesucian, apalagi tentang kelahiran dan kemangkatan seorang Buddha.
 
BRAHMAJALA SUTTA


IN NATURE THERE ARE NEITHER REWARDS NOR PUNISHMENTS, THERE ARE CONSEQUENCES!

(Di dalam hukum alam tidak ada hadiah-hadiah ataupun hukuman-hukuman, yang ada ialah berbagai konsekuensi!)​

Semi Eternalisme 1

Sewaktu makhluk yang menganggap dirinya sebagai pencipta bertemu dengan makhluk yang dianggap sebagai ciptaannya, terjadilah dialog seperti berikut ini:

Makhluk pencipta, "Akulah yang menciptakan alam semesta beserta isinya, dan kamu adalah salah satu ciptaanku"

Makhluk yang dicipta, "Oh, pastilah Pencipta dapat membuat segala ciptaan tersebut menjadi baik dan terkendali."

Makhluk pencipta, "Tentu saja, aku adalah yang Maha Kuasa, sehingga tak ada sesuatupun yang tak mampu kulakukan."

Makhluk yang dicipta, "Kalau begitu, mengapa masih banyak hal yang tidak baik sedang berlangsung dalam kehidupan manusia, seperti kebodohan, keserakahan, kebencian, kemiskinan, kejahatan, teror, dan segala macam penderitaan?

Makhluk pencipta, "Aku Maha Tahu tapi kamu tidak, sehingga kamu tak akan mengerti segala rahasia dari penciptaan-Ku

Makhluk yang dicipta, "Wah, jika demikian pastilah Pencipta sudah tahu, bahwa Aku akan menanyakan hal berikut ini dan punya jawabannya, "Apakah Pencipta mampu menciptakan sebuah batu yang sangat kecil namun amatlah berat, sedemikian berat sehingga Pencipta tidak kuasa untuk menggenggamnya?"

Makhluk pencipta, "Sebagai makhluk Maha Pengasih, maka aku tidak akan melakukan hal tersebut demi kebaikanmu....!"



Semi eternalisme menggambarkan adanya pandangan tentang alam yang kekal, yang pada bagian pertama ini dituliskan sebagai alam pencipta. Namun, di sisi lain pandangan ini juga harus menerima konsekuensi adanya alam yang diciptakan sebagai alam yang tidak kekal. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena hidup senyatanya tidak dapat mengelak dari realita perubahan itu sendiri. Dualisme akhirnya terbentuk dalam konsep.


Salah satu kisah yang mengutarakan dengan kental perihal penciptaan adalah tentang manusia pertama. Pada suatu masa, manusia pertama ada di alam yang kekal namun karena "kuasa" -Nya, diturunkan ke alam yang tidak kekal ini. Mengikuti alur dialog di awal penulisan, maka anggap saja manusia berada di alam tidak kekal ini adalah karena arti sumbang "kasih" yang mengalahkan "kuasa" untuk mempertahankan kebaikan di alam kekal. Suatu kelemahan dari kepercayaan tentang adanya pencipta yang melahirkan pemujaan membuta dan kebodohan selain tentunya memancing kontroversi argumentasi faham yang berseberangan dengannya.


Kisah lain yang didapat penulis dari milis adalah kisah tentang penciptaan tiga ekor hewan dan manusia dalam bentuk roh sebagai berikut:


Pencipta, "Wahai sapi, Aku akan menjadikanmu makhluk yang besar dan kuat. Kerjamu adalah membajak sawah dan untuk yang betina diperah susunya bagi kesehatan manusia. Kamu kuberi umur empat puluh tahun. Bagaimana pendapatmu?" (Sungguh suatu ilustrasi yang begitu demokratis dari teori penciptaan)

Roh sapi, "Waduh, empat puluh tahun? Untuk membajak dan diperah susunya? Dua puluh tahun rasanya sudah cukup!"

Pencipta menyetujui dan melanjutkan, "Wahai Anjing, Aku akan menjadikanmu makhluk yang memiliki penciuman dan pendengaran yang tajam. Kerjamu adalah menjaga rumah majikanmu dan menyambutnya saat pulang. Kamu akan makan dari apa yang disisakan atau disediakan padamu. Kamu kuberi umur dua puluh tahun. Bagaimana pendapatmu?

Roh anjing, "Waduh, dua puluh tahun untuk menjaga rumah dan menyambut majikan dengan makanan yang tak terjamin? Sepuluh tahun saja sudah cukup rasanya bagiku!"

Pencipta menyetujui dan melanjutkan, "Wahai Monyet, aku akan menjadikanmu makhluk yang lincah dan lucu. Kerjamu adalah menari dan memasang wajah lucu untuk menghibur manusia. Kamu kuberi umur dua puluh tahun. Bagaimana pendapatmu?"

Roh monyet, "Waduh, menari dan memasang muka lucu selama dua puluh tahun untuk menghibur manusia? Sepuluh tahun saja saya rasa cukup untuk itu!"

Pencipta menyetujui dan melanjutkan pada roh manusia yang merupakan ciptaan terbaik-Nya, "Wahai manusia, aku akan menjadikanmu makhluk yang cerdas dalam intelektual, emosi, dan spiritual. Kerjamu adalah makan, bermain, dan tidur, demikian seterusnya. Kamu kuberi umur dua puluh tahun. Bagaimana pendapatmu?

Roh manusia, "Waduh, makan, bermain, dan tidur? Mana cukup kalau hanya dua puluh tahun untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan itu? Begini saja Pencipta?, tadi?, sapi, anjing dan monyet masing-masing mengembalikan dua puluh, sepuluh, dan sepuluh tahun?, jadi supaya optimal penggunaan umur tersebut, bagaimana kalau semua itu dijatahkan buat manusia saja?"

Sambil menggeleng-geleng kagum dalam hati terhadap ciptaan-Nya yang sudah begitu proaktif dan intuitif, bahkan semasa masih dalam bentuk rohnya, Penciptapun mengabulkan permintaan tersebut karena kasih-Nya.


Kesimpulan konyol dari cerita di atas tentunya adalah fenomena umum kehidupan manusia yang pada dua puluh tahun pertama hanyalah makan, bermain, dan tidur. Selanjutnya, pada dua puluh tahun berikutnya harus bekerja keras dan diperah potensinya. Untuk sepuluh tahun kemudian, saat tubuh dan pikiran mulai lemah, menjaga rumah dan menyambut keluarga yang pulang serta menerima apa yang disisakan atau disediakan oleh keluarganya mewarnai masa itu. Akhirnya, sepuluh tahun berikutnya, ketika sudah tua, bertingkah dan memasang wajah lucu adalah kegiatan sehari-hari untuk menghibur anak cucu.


Menyadari bahwa komunikasi yang baik antara otak kanan yang kreatif imajinatif dengan otak kiri yang logis analistis serta pemahaman akan bentuk-bentuk pikiran (citta) dalam Abhidhamma, memberikan keseimbangan mental yang baik dalam pengambilan keputusan dan sikap hidup serta merupakan suatu cara kehidupan sesuai dengan jalan tengah dan bukan mengkotak-kotakkan alam semesta ini ke dalam dualisme pencipta dan yang diciptakan sebagai pandangan semi eternalisme.


Melengkapi gambaran semi eternalisme dari kemampuan imajiner dan nalar otak manusia, maka ada baiknya kita perhatikan komunikasi yang mungkin terjadi antara kedua bagian otak tersebut.


Otak kanan, " Ada pencipta yang begitu Maha Kuasa membuat alam semesta dan isinya dengan rahasia bagi segala pertanyaan tentang-Nya karena kasih-Nya. Adalah disebabkan imajinasi kita pula untuk mempertanyakan siapa yang menciptakan pencipta tersebut sehingga akan ada hal-hal yang spektakuler dan dramatis untuk mewarnai daya khayal kita."

Otak kiri, "Jika begitu, maka pencipta itu pasti berhadapan dengan pertanyaan, "Apakah Ia kuasa menciptakan alam semesta dengan rahasia dan kasih-Nya, sehingga Ia sendiri tidak memiliki peran apapun (nihil) di dalam segala sesuatunya!"


Dua kutub ekstrim antara melekat pada keberadaan dan melepas pada kenihilan banyak mewarnai kehidupan kita dengan segala manifestasi faham yang unik dan sarat dengan pertentangan. Adalah hal yang bijak bagi umat Buddha untuk berpegang pada jalan tengah dan selalu waspada terhadap pengaruh faham-faham tersebut. Cinta kasih perlu kita kembangkan untuk menghindari konfrontasi- Belas kasih dibutuhkan agar kita peduli- Empati adalah suatu wujud menghargai, kebersamaan, dan toleransi- Namun Keseimbangan batin menjaga kekokohan pandangan agar tak terjerat Jaring Brahma Semi Eternalisme

 
Brahmajala Sutta



IN NATURE THERE ARE NEITHER REWARDS NOR PUNISHMENTS, THERE ARE CONSEQUENCES!


(Di dalam hukum alam tidak ada hadiah-hadiah ataupun hukuman-hukuman, yang ada ialah berbagai konsekuensi!)​



* ETERNALISME 4

Sun Go Kong, si kera sakti yang dituliskan terlahir dari batu serta memiliki kesaktian untuk merubah diri dan benda harus diakui merupakan kreasi pikiran yang inovatif. Ia keluar dari dimensi pragmatisme dan empirisme serta menembus batas logika, tetapi kental dengan nuansa Buddhis dalam filosofi ajarannya. Namun, pada beberapa buku ada juga yang menyajikannya sebagai dewa yang dipuja, sehingga batas antara kenyataan dan fiksi menjadi begitu dekat. Mungkin ini pula yang membuat akhir kisah kehidupan kera sakti menjadi tidak jelas.



Dalam catatan sejarah, seorang Pendeta Buddhis, Tong Hsuan Tsang, melaksanakan tugas mulia untuk mengambil kitab suci. Namun cerita kemudian beredar dengan menyajikan hal-hal yang tidak berlandaskan kenyataan. Misalnya, dengan memakan daging pendeta tersebut akan membuat hidup seseorang menjadi kekal.

Khayalan dan kenyataan adalah dua hal yang berhubungan namun harus dibedakan demi menjaga kesadaran dalam kehidupan. Bila kita tidak mampu membedakan hal tersebut maka kira akan menjadi penafsir daripada perealisir. Perlu disadari pula, bahwa kenyataan mempengaruhi khayalan dan sebaliknya khayalan mempengaruhi kehidupan nyata sehingga manusia mempunyai pilihan dalam kehidupan yang multidimensional. Salah satu dari bentuk khayal itu adalah pandangan tentang adanya pribadi yang kekal (eternalisme) baik yang berkenaan dengan diri sendiri ataupun pribadi super lainnya (Tuhan). Untuk menggambarkan hal tersebut, khususnya dalam film, "Bruce almighty" yang diputar di layar lebar, pada dasarnya tidaklah jauh dari menyampaikan konsekuensi sebagai "God" yang dapat diterjemahkan sebagai "Dewa", "Tuhan", "Malaikat" atau "Pribadi Supranatural" yang dapat berjalan di atas air (berkolerasi dengan Yesus berjalan di atas laut), membelah semangkok sup (berkolerasi dengan Musa membelah lautan) dan pada akhirnya akan menempati area nalar tersendiri di dalam analogi pikiran dari masing-masing penonton. Keleluasaan imajinasi dalam pikiran merupakan sesuatu yang berharga dan hasilnya tidak seharusnya menjadi sesuatu yang diperdebatkan dalam alur logika dan nalar. Sebaliknya, logika dan nalar tidak boleh dirancukan dengan pemikiran yang tidak analistis namun lebih berdasarkan perasaan, hati, dan bentuk-bentuk mental saja.


Dalam kehidupan, orang yang sedang hidup bahagia akan menghayalkan sebuah kehidupan abadi yang dapat dipertahankan selama-lamanya. Sebaliknya orang yang menderita berharap akan terjadi perubahan secepatnya. Sumber kebahagiaan dan penderitaan sesungguhnya berada pada cara berpikir dalam menyikapi kehidupan yang saling bergantungan.


Dari pengalaman pribadi penulis, suatu pertanyaan yang sering diangkat kepermukaan yang menggambarkan betapa kuat dan meluasnya pandangan eternalis yang saat ini masih eksis di dalam kehidupan sekitar kita, yaitu suatu bentuk pertanyaan sebagai berikut, "Jadi menurut pandangan agama Buddha, siapakah yang menciptakan alam semesta dan isinya ini?" Suatu belenggu yang kuat dan merupakan bagian dari ketidaktahuan yang pekat dalam "Nature", sedangkan "Discovery" dari hal tersebut telah dibabarkan dengan jelas oleh Guru Maha Agung dan Bijaksana kurang lebih dua ribu lima ratus tahun yang lalu dalam rangkaian sila, samadhi, dan panna yang mengantarkan kita pada penembusan kesunyataan melalui Sutta, Vinaya dan Abidhamma.


Jika saja kita dengan kesadaran penuh, mengerti pada muncul dan lenyapnya pikiran kita, makhluk-makhluk, dan segala fenomena alam semesta, maka pernyataan bahwa kita dan alam semesta beserta isinya diciptakan akan berlalu dengan sendirinya sebagaimana suatu akibat kehilangan sebab yang mendahuluinya.


Perumpamaan yang dapat kita kaji pada penulisan akhir dari empat pandangan eternalisme ini adalah merupakan sari pengetahuan dari khotbah Y.M.Pa???avaro Mah?thera yang penulis cerna dan kembangkan, yaitu tentang bagaimana kita secara duniawi menjelaskan kepada orang lain terhadap bentukan yang "tercipta" di sekeliling kita dan bukan tentang sesuatu yang "dicipta" tanpa syarat.


Sebuah rumah yang dengan sempurna dan indah dibangun oleh seorang atau sekelompok orang dikomunikasikan sebagai dibangun oleh suatu subjek tertentu dalam konteks harus memenuhi segala syarat yang sesuai dengan dimensi waktu dan ruang, hubungan kausal antara bahan mentah, bahan pendukung, serta usaha pembuatan rumah itu sendiri meliputi faktor-faktor fisik dan psikologis yang terus-menerus berproses (anicca, dukkha, anatta) sehingga tidak sesuai dengan realitas alam sesungguhnya jika kita lalu mencari suatu sebab absolut yang kemudian kita konsepkan dengan pikiran kita.


Demikian pula manusia terlahir, tidak sesuai untuk kita katakan sebagai akibat dari suatu sebab tunggal, tetapi kita terlahir tak lepas dari adanya dimensi waktu dan ruang, hubungan kausal antara materi pokok (sperma dan sel telur), dan materi pendukung serta faktor-faktor fisik dan psikologis yang juga terus-menerus berproses tanpa henti.


Manusia sering berada dalam kemalasan pikiran dan memberi toleransi bagi diri-sendiri untuk terus mengabaikan kenyataan alam semesta dan sering mengembangkan pandangan-pandangan salah yang mempengaruhi lingkungannya dan membuat kegoyahan pandangan serta jauh dari pencerahan demi kemajuan lahir dan batin. Pengabaian terhadap kebenaran ini muncul dalam banyak bentuk yang pada umumnya rawan dengan konflik, dan semakin lama semakin berkembang menjadi kebodohan massal sehingga akhirnya merupakan kegelapan universal dalam semesta alam, bahkan manusia tak segan melakukan kekejaman atas nama kebenaran yang pada dasarnya merupakan ironi kehidupan. Dalam kemalasan dan ketidak berdayaan manusia melanjutkan dengan mengatakan, "Demikianlah kehidupan!" seakan hal tersebut wajar saja untuk terjadi atau merupakan kesesuaian yang eternal.


Pokok persoalan yang menjadikan kita berkomunikasi dan membuat konsep penciptaan memang merupakan bagian yang unik dari benang merah antara kenyataan dan khayalan yang berperan besar dalam pikiran kita, dan untuk itu tak ada yang perlu untuk dipersalahkan kecuali kita sadari, pahami, dan maklumi. Untuk selanjutnya kebijaksanaan kita gunakan untuk menempatkan kenyataan dan khayalan pada proporsinya masing-masing.


Roda Dhamma telah diputar indah pada awal, indah pada pertengahan, indah pada akhirnya, dan tak mungkin dihentikan walaupun mungkin suatu masa nanti dilupakan, saat misi penyebaran Dhamma terselimuti avijj? di seluruh semesta alam (Discovery of Nature).


Oleh karena itu, bangunlah, jangan lengah, janganlah kita berkhayal dalam kenyataan hidup untuk memutar balik roda waktu "eternalisme" sesuka hati, seperti yang dilakukan Pat-Kay untuk menyelamatkan seorang gadis cantik agar dapat dipikatnya dalam film tentang kera sakti pada awal cerita.


Penulisan terakhir tentang eternalisme diharapkan dapat menghapus segala macam fenomena pandangan yang bersumber dari akar pandangan tentang adanya pribadi aku yang kekal baik di dalam ataupun di luar diri kita. Selanjutnya, kita dapat dengan mandiri, puas akan keberadaan kita yang terbatas (lahir, tua, sakit, dan mati) dengan kebijaksanaan dan kebajikan menorehkan sejarah hidup kita jauh dari alam sengsara dan dekat dengan alam bahagia menuju kesempurnaan akhir nibbana (hancurnya keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin)

 
Back
Top