"Empat Kebenaran Mulia" - Ajahn Chah

singthung

New member
Empat Kebenaran Mulia

Oleh : Venerable Ajahn Chah


Hari ini saya diundang oleh pemimpin vihara untuk memberikan bimbingan kepada kalian, jadi saya meminta kalian semua untuk duduk dengan tenang dan tata pikiran kalian. Karena terbatasnya kemampuan untuk memahami bahasa masing-masing, kita harus mempergunakan seorang penterjemah, jadi jika kalian tidak memperhatikan dengan seksama, kalian mungkin saja tidak akan mengerti.

Tinggal di sini sungguh menyenangkan. Kedua-duanya, sang guru dan kalian, para muridnya, sungguh ramah, semuanya bersahabat dan mudah tersenyum, sesuai dengan ciri-ciri orang yang mempraktekkan Dhamma yang sejati. Begitu juga dengan kompleks kalian ini, sungguh mengagumkan, tetapi ia begitu besar! Saya menghargai dedikasi kalian dalam merenovasinya dengan tujuan agar tersedia sebuah tempat untuk mempraktekkan Dhamma.

Setelah menjadi guru selama bertahun-tahun sampai sekarang, saya sudah melalui saat-saat sulit saya sendiri. Saat ini, secara keseluruhan ada sekitar empat puluh vihara yang merupakan cabang dari vihara saya, Wat Nong Pah Pong (note: pada saat buku ini dicetak tahun 1992, ada sekitar seratus vihara, besar dan kecil, yang merupakan cabang dari Wat Nong Pah Pong), tetapi meskipun demikian, hingga hari ini saya masih mempunyai murid-murid yang sulit untuk dibimbing. Beberapa orang sudah tahu, tetapi tidak mau berlatih, beberapa orang lagi tidak tahu dan tidak mencoba untuk mencari tahu. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan mereka. Mengapa manusia memiliki pikiran seperti ini? Menjadi orang yang tidak mau tahu, tidaklah begitu bagus, tetapi walaupun saya menyuruh mereka, mereka tetap tidak mau mendengarkan. Saya tidak tahu apa lagi yang bisa saya perbuat. Orang-orang begitu penuh dengan keragu-raguan di dalam praktek mereka, mereka selalu ragu-ragu. Mereka semua ingin pergi ke Nibbana, tapi mereka tidak mau berjalan pada jalurnya. Ini adalah suatu teka-teki. Bila saya menyuruh mereka untuk bermeditasi, mereka takut, atau jika tidak takut maka mereka hanya mengantuk. Mereka lebih suka melakukan hal-hal yang tidak saya ajarkan. Ketika saya bertemu Yang Mulia Kepala Vihara di sini, saya menanyakan kepadanya bagaimana sifat-sifat para muridnya. Beliau berkata bahwa mereka sama saja. Inilah sulitnya menjadi seorang guru.

Ajaran yang akan saya persembahkan kepada kalian hari ini, adalah suatu cara untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pada saat ini, di dalam kehidupan yang sekarang ini. Beberapa orang bilang bahwa mereka terlalu banyak pekerjaan sehingga tidak punya waktu untuk mempraktekkan Dhamma. ?Apa yang bisa kami lakukan?? tanya mereka. Saya balik bertanya kepada mereka,?Bukankah kalian bernafas selagi kalian bekerja?? ?Ya, tentu saja kami bernafas!? ?Jadi, bagaimana kalian bisa punya waktu untuk bernafas ketika kalian begitu sibuk?? Mereka tidak tahu harus menjawab apa. ?Jika kalian hanya memiliki sati saja ketika kalian sedang bekerja, maka kalian akan memiliki banyak waktu untuk berlatih.?

Berlatih meditasi adalah seperti bernafas. Ketika sedang bekerja kita bernafas, ketika sedang tidur kita bernafas, ketika sedang duduk kita bernafas? Mengapa kita punya waktu untuk bernafas? Karena kita melihat pentingnya nafas, kita selalu dapat menyediakan waktu untuk bernafas. Dengan cara yang sama, jika kita melihat pentingnya berlatih meditasi, kita akan punya waktu untuk berlatih.

Adakah di antara kalian yang pernah menderita?... Apakah kalian pernah bahagia?... Tepat di sinilah kebenaran itu berada, di sinilah tempat di mana kalian harus mempraktekkan Dhamma. Siapa sebenarnya yang bahagia? Pikiranlah yang bahagia. Siapa yang menderita? Pikiranlah yang menderita. Di mana pun hal-hal ini muncul, di situ pula mereka akan berakhir. Pernahkah kalian merasakan kebahagiaan?... Pernahkah kalian mengalami penderitaan?... inilah masalah kita. Jika kita mengetahui penderitaan (note: Dukkha: ?Penderitaan? adalah kata terjemahan yang paling tidak memadai, tetapi ia adalah kata yang paling banyak dipergunakan. Dukkha secara harfiah berarti ?tak dapat ditolerir?, ?tak berlanjut?, ?sulit untuk dipertahankan?, dan juga dapat diartikan ?tidak sempurna?, ?tidak memuaskan?, atau ?tidak memiliki kemampuan untuk memberikan kebahagiaan yang sempurna?), yang menyebabkan penderitaan, berakhirnya penderitaan dan jalan menuju berakhirnya penderitaan, kita dapat menyelesaikan masalah.

Ada dua jenis penderitaan: penderitaan biasa dan yang luar biasa. Penderitaan biasa adalah penderitaan yang merupakan sifat alami yang tak terpisahkan dari kondisi-kondisi: berdiri adalah penderitaan, duduk adalah penderitaan, berbaring adalah penderitaan. Ini adalah penderitaan yang tidak bisa dipisahkan dari semua fenomena yang berkondisi. Bahkan Sang Buddha sendiri mengalami hal-hal ini, beliau merasakan kenyamanan dan rasa sakit, tetapi beliau mengenali mereka sebagai kondisi-kondisi alam ini. Beliau tahu bagaimana mengatasi perasaan-perasaan nyaman dan sakit yang biasa dan alamiah ini, melalui pemahaman akan sifat sejati mereka. Karena beliau memahami ?penderitaan alamiah? ini, perasaan-perasaan itu tidak membuat beliau menjadi sedih.

Jenis penderitaan yang benar-benar penting adalah jenis yang kedua, penderitaan yang menyelinap masuk dari luar, ?penderitaan yang luar biasa.? Jika kita sakit, kita mungkin perlu mendapatkan suntikan dari dokter. Ketika jarum menembus kulit, ada rasa sakit yang alamiah. Bila jarum itu dicabut, rasa sakit pun hilang. Ini seperti jenis penderitaan yang biasa, tidak ada masalah, setiap orang mengalaminya. Penderitaan yang luar biasa adalah penderitaan yang muncul dari apa yang kita sebut upadana, menggenggam segala sesuatu. Ini seperti disuntik dengan jarum suntik yang penuh dengan racun. Ini tidak lagi merupakan jenis rasa sakit yang biasa, ia adalah rasa sakit yang berakhir dengan kematian. Ini sama dengan penderitaan yang muncul dari penggenggaman terhadap segala sesuatu.

Pandangan salah, tidak mengetahui sifat ketidakkekalan dari semua hal yang berkondisi, adalah suatu jenis masalah yang lain. Segala sesuatu yang berkondisi adalah alam samsara (note: Samsara: Dunia khayalan). Tidak menginginkan segala sesuatunya berubah ? jika kita berpikir seperti ini, kita pasti menderita. Bila kita berpikir bahwa tubuh ini adalah diri kita atau milik kita, kita akan takut ketika melihatnya berubah. Lihatlah nafas kita: sekali ia masuk, ia harus keluar, setelah keluar dia harus masuk kembali lagi. Ini adalah sifat alaminya, beginilah caranya kita bertahan hidup. Segala sesuatunya tidak berfungsi dengan cara yang lain dari ini. Beginilah kondisi-kondisi itu adanya, tetapi kita tidak menyadarinya.

Anggap saja kita kehilangan sesuatu. Jika kita berpikir bahwa benda itu benar-benar milik kita, kita akan selalu memikirkannya. Jika kita tidak dapat memandangnya sebagai sesuatu yang berkondisi sesuai dengan hukum alam, kita akan mengalami penderitaan. Tetapi jika kalian menarik nafas, bisakah kalian hidup? Segala sesuatu yang berkondisi harus berubah secara alami dengan cara ini. Dengan melihat hal ini, berarti telah melihat Dhamma, melihat aniccam, perubahan. Kita hidup dengan bergantung pada perubahan ini. Bila kita mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kita dapat melepaskan mereka.

Praktek Dhamma adalah untuk mengembangkan suatu pemahaman akan sifat-sifat sejati dari segala sesuatu, agar penderitaan tidak muncul. Jika kita berpikir secara salah, kita bertentangan dengan dunia ini, bertentangan dengan Dhamma dan dengan kebenaran. Anggap saja kalian jatuh sakit dan harus pergi ke rumah sakit. Kebanyakan orang berpikir, ?Tolong jangan biarkan saya mati, saya mau sembuh.? Ini adalah pemikiran yang salah, ia akan mengarah kepada penderitaan. Kalian harus berpikir terhadap diri kalian sendiri seperti ini, ?Jika saya sembuh, maka saya sembuh, jika saya mati, maka saya mati.? Inilah pemikiran yang benar, karena kalian pada akhirnya tidak dapat mengatur kondisi-kondisi. Jika kalian berpikir seperti ini, apakah kalian meninggal atau sembuh, kalian tak dapat melakukan kesalahan, kalian tidak perlu khawatir. Menginginkan untuk sembuh dengan cara apa pun dan takut kepada pemikiran akan kematian? ini adalah pikiran yang tidak memahami kondisi-kondisi. Kalian seharusnya berpikir, ?Jika saya sembuh, itu bagus, jika saya tidak sembuh, itu juga bagus.? Dengan cara ini, kita tidak bisa salah, kita tidak perlu takut atau menangis, karena kita telah menyesuaikan diri kita sendiri ke dalam sifat-sifat sejati dari segala sesuatunya.

Sang Buddha melihat dengan jelas. Ajaran beliau selalu relevan, tidak pernah ketinggalan zaman. Ia tak pernah berubah. Di masa kini, ia tetap seperti apa adanya, ia belum berubah. Dengan membawa ajaran ini ke dalam hati, kita bisa memperoleh imbalan berupa ketenangan dan kesejahteraan.

Di dalam ajaran-ajaran tersebut, ada perenungan terhadap ?tanpa diri?: ?ini bukanlah diriku, ini bukanlah milikku?. Tetapi orang-orang tidak suka mendengarkan ajaran seperti ini, karena mereka telah terikat pada pandangan akan adanya suatu diri. Ini adalah sebab-sebab penderitaan. Kalian seharusnya memperhatikan hal ini.

 
Hari ini, seorang wanita bertanya tentang bagaimana mengatasi kemarahan. Saya bilang kepadanya kalau lain kali dia marah, agar dia memasang jam alarm dan meletakkannya di hadapannya. Lalu memberikan waktu dua jam kepada dirinya sendiri agar amarahnya bisa pergi. Jika amarah itu memang benar-benar miliknya, dia mungkin dapat menyuruhnya pergi dengan: ?Dalam waktu dua jam, enyahlah!? Tetapi ia tidaklah benar-benar milik kita yang bisa kita perintah. Kadang-kadang dalam waktu dua jam, ia tetap tidak pergi, pada saat yang lain dalam waktu satu jam saja, ia telah pergi. Menganggap kemarahan sebagai suatu milik pribadi akan menyebabkan penderitaan. Jika ia benar-benar milik kita, ia tentu akan mematuhi perintah kita. Jika ia tak mematuhi kita, itu berarti ia hanyalah sebuah tipuan. Jangan terjerumus olehnya. Apakah pikiran senang atau sedih, jangan terjerumus olehnya. Apakah pikiran mencintai atau membenci, jangan terjerumus olehnya, semuanya adalah tipuan.

Adakah di antara kalian yang pernah marah? Ketika kalian marah, apakah terasa menyenangkan atau tidak? Jika ia tidak menyenangkan, lalu mengapa kalian tidak membuang jauh-jauh perasaan tersebut, mengapa harus repot-repot menyimpannya? Bagaimana kalian bisa mengatakan bahwa kalian bijaksana dan pintar, bila kalian berpegang pada hal-hal seperti ini ? Sejak kalian dilahirkan, sudah berapa kali pikiran memperdaya kalian ke dalam kemarahan? Ada saat-saat di mana pikiran bahkan bisa mengakibatkan seluruh keluarga bertengkar, atau menyebabkan kalian menangis sepanjang malam. Namun, kita terus menerus marah, kita tetap memegang segala sesuatunya dan menderita. Jika kalian tidak melihat penderitaan, kalian akan terus menerus menyimpan penderitaan, tanpa ada kesempatan untuk mundur. Dunia samsara adalah seperti ini. Jika kita tahu sifat sejatinya, maka kita bisa menyelesaikan persoalan.

Ajaran Sang Buddha menyatakan bahwa tidak ada cara yang lebih baik untuk mengatasi penderitaan, dari melihat bahwa ?ini bukanlah diriku?, ?ini bukanlah milikku?. Ini adalah metoda yang terbaik. Tetapi kita biasanya tidak memperhatikan hal ini. Ketika penderitaan muncul, kita hanya menangisinya saja tanpa belajar darinya. Mengapa demikian? Kita harus memperhatikan hal-hal ini dengan baik dan cermat, untuk mengembangkan Buddho, Yang Mengetahui.

Perhatikanlah, beberapa dari kalian mungkin tidak sadar bahwa ini adalah ajaran tentang Dhamma. Saya akan memberikan kalian beberapa Dhamma yang ada di luar kitab suci. Kebanyakan orang membaca kitab suci, tetapi tidak melihat Dhamma. Hari ini saya akan memberikan kalian sebuah ajaran yang ada di luar kitab suci. Beberapa orang mungkin tidak mengetahui maksudnya atau tidak memahaminya.

Misalnya ada dua orang yang sedang berjalan bersama-sama dan melihat seekor bebek dan seekor ayam. Salah satu dari mereka berkata, ?Mengapa ayam itu tidak sama dengan bebek itu, mengapa pula bebek itu tidak sama dengan ayam itu?? Dia ingin ayam itu menjadi seekor bebek dan bebek itu menjadi seekor ayam. Itu tidak mungkin. Jika ia tidak mungkin, maka meskipun orang itu mengharapkan bebek itu menjadi seekor ayam dan ayam itu menjadi seekor bebek seumur hidupnya, itu tidak akan terjadi, karena ayam adalah seekor ayam dan bebek adalah seekor bebek. Selama orang itu berpikir demikian, dia akan menderita. Orang lain mungkin akan melihat bahwa ayam itu adalah seekor ayam dan bebek itu adalah seekor bebek, dan begitulah mereka adanya. Tidak ada masalah. Dia melihat dengan benar. Jika kalian ingin bebek itu menjadi seekor ayam dan ayam itu menjadi seekor bebek, kalian akan benar-benar menderita.

Dengan cara yang sama, hukum aniccam menyatakan bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal. Jika kalian menginginkan segala sesuatunya kekal, kalian akan menderita. Bilamana ketidakkekalan menunjukkan dirinya, kalian akan kecewa. Orang yang melihat bahwa segala sesuatunya secara alami adalah tidak kekal, akan merasa tenang, tak akan ada pertentangan. Orang yang menginginkan segala sesuatunya menjadi kekal akan mengalami pertentangan, bahkan mungkin tidak bisa tidur karenanya. Ini artinya mengabaikan aniccam, ketidakkekalan, ajaran Sang Buddha.

Jika kalian ingin mengetahui Dhamma, di mana kalian seharusnya melihat? Kalian harus melihat di dalam tubuh dan pikiran. Kalian tidak akan menemukannya di rak-rak lemari buku. Untuk benar-benar melihat Dhamma, kalian harus melihat di dalam tubuh dan pikiran kalian sendiri. Hanya ada dua hal ini saja. Pikiran tidak terlihat oleh mata fisik kita, ia harus dilihat dengan ?mata batin?. Sebelum Dhamma bisa disadari, kalian harus tahu di mana harus melihat. Dhamma yang berada di dalam tubuh harus dilihat di dalam tubuh. Dan dengan apa kita melihatnya pada tubuh? Kita melihatnya pada tubuh dengan menggunakan pikiran kita. Kalian tak akan menemukan Dhamma dengan melihat ke tempat-tempat yang lain, karena baik kebahagiaan maupun penderitaan muncul tepat di sana. Atau kalian sudah pernah melihat kebahagiaan muncul di pepohonan? Kebahagiaan dan penderitaan adalah perasaan yang muncul di dalam tubuh dan pikiran kita sendiri.

Oleh karena itu, Sang Buddha memberitahukan kita untuk mengetahui Dhamma tepat di sini. Dhamma berada di sini, kita harus melihat tepat di sini. Guru mungkin menyuruh kalian untuk melihat Dhamma di dalam buku-buku, tetapi jika kalian berpikir bahwa di situlah Dhamma benar-benar berada, kalian tak akan pernah melihatnya. Setelah melihat di buku-buku, kalian harus merenungkan ajaran-ajaran itu di dalam. Lalu kalian bisa memahami Dhamma. Di manakah Dhamma yang sejati itu berada? Ia berada tepat di sini di dalam tubuh dan pikiran kita. Ini adalah inti dari latihan perenungan.

Bila kita melakukan ini, kebijaksanaan akan muncul di dalam batin. Bila ada kebijaksanaan di dalam batin kita, maka ke mana pun kita memandang, di situ akan ada Dhamma, kita akan melihat aniccam, dukkham, dan anatta di setiap saat. Aniccam berarti tidak kekal atau fana. Dukkham ? jika kita melekat pada segala sesuatu yang fana, maka kita pasti menderita, karena mereka bukanlah kita atau milik kita (anatta). Tetapi kita tidak memperhatikan ini, kita selalu memandang mereka sebagai diri kita dan milik kita.

Ini artinya kalian tidak melihat kebenaran dari konvensi. Kalian seharusnya memahami konvensi-konvensi. Sebagai contoh, kita semua yang sedang duduk di sini memiliki nama-nama. Apakah nama-nama kita dilahirkan bersama kita atau apakah mereka diberikan kepada kita setelah itu? Mengertikah kalian? Ini adalah konvensi. Apakah konvensi itu bermanfaat? Tentu saja ia bermanfaat. Misalnya, ada empat orang, A, B, C, dan D. Mereka harus memiliki nama-nama sendiri untuk kemudahan dalam berkomunikasi dan bekerja bersama-sama. Jika kita ingin berbicara kepada Tuan A, kita bisa memanggil Tuan A dan dia yang akan datang, bukan yang lain. Inilah manfaat dari konvensi. Tetapi bila kita memperhatikan hal ini dengan lebih cermat, kita akan melihat bahwa sebenarnya tidak ada seorang pun di sana. Kita akan melihat yang transenden. Hanya ada tanah, air, angin dan api, keempat unsur-unsur. Hanya ada unsur-unsur ini saja di tubuh kita.

Tetapi kita tidak melihatnya dengan cara ini karena kekuatan kemelekatan dari Attavadupadana (note: satu dari Empat Dasar Kemelekatan: Kamupadana, kemelekatan terhadap objek-objek indera; silabbatupadana: kemelekatan terhadap upacara-upacara dan ritual; ditthupadana: kemelekatan terhadap pandangan-pandangan, dan attavadupadana, kemelekatan terhadap pandangan akan adanya suatu diri). Jika kita memperhatikan dengan jelas, kita akan melihat bahwa tidak ada apa pun yang benar-benar seperti yang biasa kita sebut sebagai orang. Bagian yang padat adalah unsur tanah, bagian yang cair adalah unsur air, bagian yang panas disebut unsur api. Ketika kita menguraikan segala sesuatunya, kita melihat bahwa hanya ada tanah, air, angin dan api. Di manakah orang tersebut bisa ditemukan? Tidak ada satu pun.

Itulah sebabnya mengapa Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak ada praktek yang lebih tinggi lagi dari pemahaman terhadap ?ini bukanlah diriku dan bukan milikku?. Mereka hanyalah konvensi-konvensi. Jika kita memahami segala sesuatu dengan jelas seperti ini, kita akan damai. Jika kita menyadari di saat ini, kebenaran dari ketidakkekalan, bahwa segala sesuatunya bukanlah diri kita ataupun milik kita, maka ketika mereka tercerai berai, kita akan berdamai dengan mereka, karena bagaimanapun juga mereka bukanlah milik siapa-siapa. Mereka hanyalah unsur-unsur tanah, air, angin dan api.

Memang sulit bagi orang-orang untuk memahami hal ini, tetapi meskipun begitu, ia tidaklah berada di luar kemampuan kita. Jika kita bisa melihat hal ini, kita akan mendapatkan kepuasan, kita tidak akan begitu marah, tamak atau tenggelam dalam khayalan. Dhamma akan selalu berada di hati kita. Tidak perlu lagi ada kecemburuan dan dendam, karena setiap orang hanyalah tanah, air, angin dan api. Tidak lebih dari itu. Bila kita menerima kebenaran ini, kita akan melihat kebenaran dari ajaran Sang Buddha.

Jika kita dapat melihat kebenaran ajaran Sang Buddha, kita mungkin tidak perlu lagi memiliki begitu banyak guru! Tidak perlu lagi mendengarkan ajaran-ajaran setiap hari. Bila kita mengerti, maka kita hanya melakukan apa yang diminta dari kita. Tetapi yang menyebabkan orang-orang begitu sulit untuk diajar adalah karena mereka tidak menerima ajaran tersebut dan berdebat dengan guru-guru dan ajarannya. Di hadapan sang guru, mereka berkelakuan sedikit lebih baik, tetapi di belakangnya, mereka berubah menjadi pencuri! Orang-orang sungguh sulit untuk dibimbing. Orang-orang di Thailand adalah seperti ini, itulah sebabnya mereka memerlukan begitu banyak guru.

 
Berhati-hatilah, jika kalian tidak berhati-hati, kalian tak akan melihat Dhamma. Kalian harus penuh perhatian, mengambil ajaran dan mempertimbangkannya baik-baik. Apakah bunga ini indah?... Apakah kalian melihat keburukan di dalam bunga ini?... Untuk berapa hari dia akan tetap indah?... Akan seperti apa ia mulai dari sekarang?... Mengapa ia berubah juga?... Dalam tiga atau empat hari, kalian harus mengambilnya dan membuangnya, benar kan? Ia kehilangan semua keindahannya. Orang-orang terikat pada keindahan, terikat pada sesuatu yang bagus. Jika ada yang bagus, mereka langsung terjerumus ke dalamnya sepenuhnya. Sang Buddha menganjurkan kita untuk memandang hal-hal yang indah sebagai hal-hal yang indah saja, kita seharusnya tidak menjadi terikat kepada mereka. Jika ada perasaan yang menyenangkan, kita seharusnya tidak terjerumus olehnya. Kebaikan adalah sesuatu yang tidak pasti, keindahan juga tidak pasti. Tidak ada yang pasti. Tidak ada apa pun di dunia ini yang merupakan sebuah kepastian. Ini adalah kebenaran. Hal-hal yang tidak benar adalah yang mengalami perubahan, seperti keindahan contohnya. Satu-satunya kebenaran yang dimilikinya adalah proses perubahannya yang teratur. Jika kita percaya bahwa sesuatu itu indah, ketika keindahannya memudar, batin kita juga kehilangan keindahannya juga. Ketika segala sesuatunya tidak lagi baik, pikiran kita kehilangan kebaikannya juga. Bila mereka hancur atau rusak, kita menderita karena kita telah melekat kepada mereka seolah-olah mereka adalah milik kita. Sang Buddha menyuruh kita untuk melihat bahwa hal-hal ini hanyalah bangunan-bangunan dari sifat alamiah. Keindahan muncul dan dalam beberapa hari saja, ia akan memudar. Melihat hal ini adalah sama dengan memiliki kebijaksanaan.

Oleh sebab itu, kita seharusnya menyadari ketidakkekalan. Jika kita memikirkan sesuatu itu indah, kita seharusnya berkata pada diri sendiri bahwa ia tidaklah indah, jika kita memikirkan sesuatu itu jelek, maka kita juga seharusnya berkata pada diri sendiri bahwa ia tidaklah demikian. Cobalah memandang segala sesuatunya seperti ini, secara teratur merenungkannya dengan cara ini. Kita akan melihat kebenaran di dalam hal-hal yang tidak benar, melihat kepastian di dalam segala sesuatu yang tidak pasti.

Hari ini saya telah menjelaskan cara untuk memahami penderitaan, apa yang menyebabkan penderitaan, berakhirnya penderitaan dan jalan menuju berakhirnya penderitaan. Bila kalian mengetahui penderitaan, kalian seharusnya membuangnya. Mengetahui sebab-sebab penderitaan, kalian seharusnya membuangnya. Berlatihlah untuk melihat berakhirnya penderitaan. Lihatlah aniccam, dukkham, dan anatta dan penderitaan pun akan berakhir.

Bila penderitaan berakhir, ke mana kita pergi? Untuk apa kita berlatih? Kita berlatih untuk melepaskan, bukan untuk mendapatkan sesuatu. Siang ini, ada seorang wanita yang berkata kepada saya bahwa dia menderita. Saya bertanya kepadanya, dia ingin menjadi apa, dan dia berkata bahwa dia ingin mencapai pencerahan. Saya bilang, ?Selama anda ingin mencapai pencerahan, maka anda tidak akan pernah tercerahkan. Janganlah menginginkan apa pun?.

Bila kita mengetahui kebenaran dari penderitaan, kita membuang penderitaan. Bila kita mengetahui sebab-sebab penderitaan, maka kita tidak menciptakan sebab-sebab itu, tetapi sebaliknya kita berlatih untuk menghentikan penderitaan. Praktek menuju berakhirnya penderitaan adalah untuk melihat bahwa ?ini bukanlah suatu diri?, ?ini bukanlah saya atau mereka?. Melihat dengan cara ini, akan mengakhiri penderitaan. Mirip seperti kita yang telah mencapai tujuan perjalanan kita dan berhenti. Inilah pengakhiran. Ini yang disebut mendekati Nibbana. Menjelaskannya dengan cara lain, kemajuan adalah penderitaan, kemunduran adalah penderitaan dan penghentian adalah penderitaan. Tidak maju, tidak mundur dan tidak berhenti?. adakah sesuatu yang tertinggal? Tubuh dan pikiran berakhir di sini. Ini adalah berakhirnya penderitaan. Sulit untuk dimengerti, bukan? Jika kita rajin dan konsisten mempelajari ajaran ini, kita akan melampaui segala sesuatunya dan mencapai pemahaman, akan ada pengakhiran. Ini adalah ajaran pokok dari Sang Buddha, ia adalah titik penyelesaian. Ajaran Sang Buddha selesai pada titik di mana ada pelepasan secara total.

Hari ini saya mempersembahkan ajaran ini kepada kalian semua dan juga kepada Yang Mulia Guru. Jika ada yang salah di dalamnya, saya mohon maaf. Tetapi jangan terburu-buru menilai apakah ia benar atau salah, dengarkan saja ia terlebih dahulu. Jika katakanlah saya memberikan kalian buah dan memberitahukan kalian bahwa buah tersebut enak rasanya, kalian seharusnya memperhatikan kata-kata saya, tetapi janganlah mempercayai saya begitu saja, karena kalian belum memakannya sendiri. Ajaran yang saya berikan hari ini juga sama. Jika kalian ingin tahu apakah ?buah? tersebut manis atau masam, kalian harus mengirisnya sedikit dan memakannya, maka kalian akan tahu apakah ia manis atau masam. Lalu kalian bisa mempercayai saya, karena pada saat itu kalian telah melihatnya sendiri. Jadi, tolong jangan buang ?buah? ini dulu, simpan dan makanlah, untuk mengetahui citarasanya sendiri.

Sang Buddha tidak mempunyai guru, kalian tahu. Seorang pertapa pernah bertanya kepada beliau, siapa guru beliau, dan Sang Buddha menjawab bahwa beliau tidak memiliki guru (note: Segera setelah mencapai penerangan sempurna, Sang Buddha yang sedang berjalan menuju Benares, didekati oleh seorang pertapa yang sedang berkelana, yang berkata, ?Air mukamu sangat cerah, kawan, kelakuanmu tenang? siapa gurumu?? Sang Buddha menjawab bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa mengaku sebagai guru beliau, karena beliau mencapai pencerahan adalah sepenuhnya dengan usaha sendiri. Pertapa tersebut tidak dapat memahami jawaban beliau, dan berlalu sambil mengomel, ?Kalau begitu, baguslah untukmu, kawan, baguslah untukmu?). Pertapa tersebut hanya berlalu begitu saja sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sang Buddha terlalu jujur. Dia berbicara kepada orang yang tidak mampu mengetahui atau menerima kebenaran. Itulah sebabnya saya menyuruh kalian untuk tidak mempercayai saya. Sang Buddha mengatakan bahwa hanya mempercayai begitu saja pihak lain adalah kebodohan, karena tidak ada pengetahuan yang jelas di dalam. Itulah sebabnya Sang Buddha berkata ?Saya tidak mempunyai guru?. Ini adalah kebenaran. Tetapi kalian seharusnya melihat hal ini dengan cara yang benar. Jika kalian memahaminya dengan keliru, kalian tidak akan menghormati guru kalian. Jangan lalu pergi dan berkata ?Saya tidak punya guru?. Kalian harus mengandalkan guru kalian untuk memberitahukan kalian apa yang benar dan salah, dan selanjutnya kalian harus berlatih sesuai dengan apa yang telah diajarkan guru kalian.

Hari ini adalah hari keberuntungan bagi kita semua. Saya telah memiliki kesempatan untuk bertemu dengan kalian semua dan Yang Mulia Guru. Kalian tak akan berpikir bahwa kita bisa bertemu seperti ini karena kita tinggal begitu berjauhan. Saya kira pasti ada beberapa alasan istimewa sehingga kita dapat bertemu dengan cara ini. Sang Buddha mengajarkan bahwa segala sesuatu yang muncul pasti memiliki penyebabnya. Janganlah melupakan ini. Pasti ada beberapa penyebab. Barangkali di kehidupan yang lampau, kita adalah saudara di dalam keluarga yang sama. Itu mungkin saja. Guru yang lain tidak datang, tetapi saya datang. Mengapa demikian? Mungkin kita sendiri sedang menciptakan sebab-sebab pada saat ini. Ini juga adalah suatu kemungkinan.

Saya meninggalkan ajaran ini untuk kalian semua. Semoga kalian rajin dan berusaha keras dalam berlatih. Tidak ada yang lebih baik dari mempratekkan Dhamma, Dhamma adalah penyangga seluruh dunia ini. Orang-orang menjadi bingung akhir-akhir ini, karena mereka tidak mengetahui Dhamma. Jika ada Dhamma bersama kita, maka kita akan merasa puas. Saya senang mendapat kesempatan untuk membantu kalian dan Yang Mulia Guru dalam mengembangkan praktek Dhamma. Saya meninggalkan kalian dengan pengharapan yang baik dari lubuk hati. Besok saya akan berangkat, saya tidak tahu pasti akan ke mana. Ini hanyalah sesuatu yang alamiah saja. Bila ada yang datang maka pasti ada kepergian, bila ada kepergian maka pasti ada yang datang. Beginilah dunia ini adanya. Kita seharusnya tidak terlalu senang atau sedih dengan perubahan-perubahan di dunia. Ada kebahagiaan dan kemudian ada penderitaan; ada penderitaan dan selanjutnya ada kebahagiaan; ada pencapaian dan kemudian ada kehilangan; ada kehilangan dan lalu ada pencapaian. Ini adalah sifat-sifat sejati segala sesuatunya.

 
Di zaman Sang Buddha, ada murid-murid Sang Buddha yang tidak suka kepada beliau, karena Sang Buddha menasehati mereka supaya rajin dan penuh perhatian. Mereka-mereka yang malas menjadi takut kepada Sang Buddha dan membenci beliau. Ketika beliau wafat, ada satu kelompok murid yang menangis dan menyesali bahwa mereka tidak akan lagi memiliki seorang Sang Buddha untuk menuntun mereka. Kelompok yang ini masih belum pintar. Kelompok murid yang lain merasa senang dan lega karena mereka tidak lagi mempunyai seorang Sang Buddha yang mengawasi mereka dan yang selalu menentukan apa yang harus mereka kerjakan. Kelompok murid yang ketiga selalu tenang. Mereka merenungkan bahwa apa pun yang muncul akan berakhir, sebagai konsekuensi yang alami. Ada tiga kelompok ini. Kelompok yang mana yang akan kalian ikuti? Apakah kalian ingin menjadi kelompok yang senang atau apa? Kelompok murid yang menangis ketika Sang Buddha wafat, belum menyadari Dhamma. Kelompok yang kedua adalah mereka yang membenci Sang Buddha. Beliau selalu melarang mereka melakukan hal-hal yang mereka inginkan. Mereka hidup dalam ketakutan akan cercaan dan teguran Sang Buddha, jadi ketika beliau wafat, mereka merasa lega.

Di saat-saat sekarang, hal-hal ini tidaklah begitu berbeda. Mungkin saja guru di sini memiliki beberapa murid yang membenci beliau. Mereka mungkin tidak menunjukkannya di luar, tetapi ia ada di dalam pikiran. Adalah normal bagi orang-orang yang masih memiliki kekotoran batin untuk berperasaan seperti ini. Bahkan Sang Buddha saja ada yang membenci beliau. Saya sendiri juga mempunyai murid-murid yang membenci saya. Saya menyuruh mereka untuk melepaskan tindakan-tindakan jahat mereka, tetapi mereka malah memelihara perbuatan jahatnya. Jadi, mereka membenci saya. Banyak yang seperti ini. Semoga kalian semua yang cerdas, menjadikan diri kalian sendiri tegar dan kokoh dalam mempraktekkan Dhamma.

* Note: Pembicaraan ini diadakan di Institut Manjushri di Cumbria, Inggris, pada tahun 1977.

* Dikutip dan diterjemahkan dari buku: ?The Teachings Of Ajahn Chah?, sub judul: ?Living Dhamma ? The Four Noble Truths
 
Back
Top