singthung
New member
Empat Kebenaran Mulia
Oleh : Venerable Ajahn Chah
Oleh : Venerable Ajahn Chah
Hari ini saya diundang oleh pemimpin vihara untuk memberikan bimbingan kepada kalian, jadi saya meminta kalian semua untuk duduk dengan tenang dan tata pikiran kalian. Karena terbatasnya kemampuan untuk memahami bahasa masing-masing, kita harus mempergunakan seorang penterjemah, jadi jika kalian tidak memperhatikan dengan seksama, kalian mungkin saja tidak akan mengerti.
Tinggal di sini sungguh menyenangkan. Kedua-duanya, sang guru dan kalian, para muridnya, sungguh ramah, semuanya bersahabat dan mudah tersenyum, sesuai dengan ciri-ciri orang yang mempraktekkan Dhamma yang sejati. Begitu juga dengan kompleks kalian ini, sungguh mengagumkan, tetapi ia begitu besar! Saya menghargai dedikasi kalian dalam merenovasinya dengan tujuan agar tersedia sebuah tempat untuk mempraktekkan Dhamma.
Setelah menjadi guru selama bertahun-tahun sampai sekarang, saya sudah melalui saat-saat sulit saya sendiri. Saat ini, secara keseluruhan ada sekitar empat puluh vihara yang merupakan cabang dari vihara saya, Wat Nong Pah Pong (note: pada saat buku ini dicetak tahun 1992, ada sekitar seratus vihara, besar dan kecil, yang merupakan cabang dari Wat Nong Pah Pong), tetapi meskipun demikian, hingga hari ini saya masih mempunyai murid-murid yang sulit untuk dibimbing. Beberapa orang sudah tahu, tetapi tidak mau berlatih, beberapa orang lagi tidak tahu dan tidak mencoba untuk mencari tahu. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan mereka. Mengapa manusia memiliki pikiran seperti ini? Menjadi orang yang tidak mau tahu, tidaklah begitu bagus, tetapi walaupun saya menyuruh mereka, mereka tetap tidak mau mendengarkan. Saya tidak tahu apa lagi yang bisa saya perbuat. Orang-orang begitu penuh dengan keragu-raguan di dalam praktek mereka, mereka selalu ragu-ragu. Mereka semua ingin pergi ke Nibbana, tapi mereka tidak mau berjalan pada jalurnya. Ini adalah suatu teka-teki. Bila saya menyuruh mereka untuk bermeditasi, mereka takut, atau jika tidak takut maka mereka hanya mengantuk. Mereka lebih suka melakukan hal-hal yang tidak saya ajarkan. Ketika saya bertemu Yang Mulia Kepala Vihara di sini, saya menanyakan kepadanya bagaimana sifat-sifat para muridnya. Beliau berkata bahwa mereka sama saja. Inilah sulitnya menjadi seorang guru.
Ajaran yang akan saya persembahkan kepada kalian hari ini, adalah suatu cara untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pada saat ini, di dalam kehidupan yang sekarang ini. Beberapa orang bilang bahwa mereka terlalu banyak pekerjaan sehingga tidak punya waktu untuk mempraktekkan Dhamma. ?Apa yang bisa kami lakukan?? tanya mereka. Saya balik bertanya kepada mereka,?Bukankah kalian bernafas selagi kalian bekerja?? ?Ya, tentu saja kami bernafas!? ?Jadi, bagaimana kalian bisa punya waktu untuk bernafas ketika kalian begitu sibuk?? Mereka tidak tahu harus menjawab apa. ?Jika kalian hanya memiliki sati saja ketika kalian sedang bekerja, maka kalian akan memiliki banyak waktu untuk berlatih.?
Berlatih meditasi adalah seperti bernafas. Ketika sedang bekerja kita bernafas, ketika sedang tidur kita bernafas, ketika sedang duduk kita bernafas? Mengapa kita punya waktu untuk bernafas? Karena kita melihat pentingnya nafas, kita selalu dapat menyediakan waktu untuk bernafas. Dengan cara yang sama, jika kita melihat pentingnya berlatih meditasi, kita akan punya waktu untuk berlatih.
Adakah di antara kalian yang pernah menderita?... Apakah kalian pernah bahagia?... Tepat di sinilah kebenaran itu berada, di sinilah tempat di mana kalian harus mempraktekkan Dhamma. Siapa sebenarnya yang bahagia? Pikiranlah yang bahagia. Siapa yang menderita? Pikiranlah yang menderita. Di mana pun hal-hal ini muncul, di situ pula mereka akan berakhir. Pernahkah kalian merasakan kebahagiaan?... Pernahkah kalian mengalami penderitaan?... inilah masalah kita. Jika kita mengetahui penderitaan (note: Dukkha: ?Penderitaan? adalah kata terjemahan yang paling tidak memadai, tetapi ia adalah kata yang paling banyak dipergunakan. Dukkha secara harfiah berarti ?tak dapat ditolerir?, ?tak berlanjut?, ?sulit untuk dipertahankan?, dan juga dapat diartikan ?tidak sempurna?, ?tidak memuaskan?, atau ?tidak memiliki kemampuan untuk memberikan kebahagiaan yang sempurna?), yang menyebabkan penderitaan, berakhirnya penderitaan dan jalan menuju berakhirnya penderitaan, kita dapat menyelesaikan masalah.
Ada dua jenis penderitaan: penderitaan biasa dan yang luar biasa. Penderitaan biasa adalah penderitaan yang merupakan sifat alami yang tak terpisahkan dari kondisi-kondisi: berdiri adalah penderitaan, duduk adalah penderitaan, berbaring adalah penderitaan. Ini adalah penderitaan yang tidak bisa dipisahkan dari semua fenomena yang berkondisi. Bahkan Sang Buddha sendiri mengalami hal-hal ini, beliau merasakan kenyamanan dan rasa sakit, tetapi beliau mengenali mereka sebagai kondisi-kondisi alam ini. Beliau tahu bagaimana mengatasi perasaan-perasaan nyaman dan sakit yang biasa dan alamiah ini, melalui pemahaman akan sifat sejati mereka. Karena beliau memahami ?penderitaan alamiah? ini, perasaan-perasaan itu tidak membuat beliau menjadi sedih.
Jenis penderitaan yang benar-benar penting adalah jenis yang kedua, penderitaan yang menyelinap masuk dari luar, ?penderitaan yang luar biasa.? Jika kita sakit, kita mungkin perlu mendapatkan suntikan dari dokter. Ketika jarum menembus kulit, ada rasa sakit yang alamiah. Bila jarum itu dicabut, rasa sakit pun hilang. Ini seperti jenis penderitaan yang biasa, tidak ada masalah, setiap orang mengalaminya. Penderitaan yang luar biasa adalah penderitaan yang muncul dari apa yang kita sebut upadana, menggenggam segala sesuatu. Ini seperti disuntik dengan jarum suntik yang penuh dengan racun. Ini tidak lagi merupakan jenis rasa sakit yang biasa, ia adalah rasa sakit yang berakhir dengan kematian. Ini sama dengan penderitaan yang muncul dari penggenggaman terhadap segala sesuatu.
Pandangan salah, tidak mengetahui sifat ketidakkekalan dari semua hal yang berkondisi, adalah suatu jenis masalah yang lain. Segala sesuatu yang berkondisi adalah alam samsara (note: Samsara: Dunia khayalan). Tidak menginginkan segala sesuatunya berubah ? jika kita berpikir seperti ini, kita pasti menderita. Bila kita berpikir bahwa tubuh ini adalah diri kita atau milik kita, kita akan takut ketika melihatnya berubah. Lihatlah nafas kita: sekali ia masuk, ia harus keluar, setelah keluar dia harus masuk kembali lagi. Ini adalah sifat alaminya, beginilah caranya kita bertahan hidup. Segala sesuatunya tidak berfungsi dengan cara yang lain dari ini. Beginilah kondisi-kondisi itu adanya, tetapi kita tidak menyadarinya.
Anggap saja kita kehilangan sesuatu. Jika kita berpikir bahwa benda itu benar-benar milik kita, kita akan selalu memikirkannya. Jika kita tidak dapat memandangnya sebagai sesuatu yang berkondisi sesuai dengan hukum alam, kita akan mengalami penderitaan. Tetapi jika kalian menarik nafas, bisakah kalian hidup? Segala sesuatu yang berkondisi harus berubah secara alami dengan cara ini. Dengan melihat hal ini, berarti telah melihat Dhamma, melihat aniccam, perubahan. Kita hidup dengan bergantung pada perubahan ini. Bila kita mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya, maka kita dapat melepaskan mereka.
Praktek Dhamma adalah untuk mengembangkan suatu pemahaman akan sifat-sifat sejati dari segala sesuatu, agar penderitaan tidak muncul. Jika kita berpikir secara salah, kita bertentangan dengan dunia ini, bertentangan dengan Dhamma dan dengan kebenaran. Anggap saja kalian jatuh sakit dan harus pergi ke rumah sakit. Kebanyakan orang berpikir, ?Tolong jangan biarkan saya mati, saya mau sembuh.? Ini adalah pemikiran yang salah, ia akan mengarah kepada penderitaan. Kalian harus berpikir terhadap diri kalian sendiri seperti ini, ?Jika saya sembuh, maka saya sembuh, jika saya mati, maka saya mati.? Inilah pemikiran yang benar, karena kalian pada akhirnya tidak dapat mengatur kondisi-kondisi. Jika kalian berpikir seperti ini, apakah kalian meninggal atau sembuh, kalian tak dapat melakukan kesalahan, kalian tidak perlu khawatir. Menginginkan untuk sembuh dengan cara apa pun dan takut kepada pemikiran akan kematian? ini adalah pikiran yang tidak memahami kondisi-kondisi. Kalian seharusnya berpikir, ?Jika saya sembuh, itu bagus, jika saya tidak sembuh, itu juga bagus.? Dengan cara ini, kita tidak bisa salah, kita tidak perlu takut atau menangis, karena kita telah menyesuaikan diri kita sendiri ke dalam sifat-sifat sejati dari segala sesuatunya.
Sang Buddha melihat dengan jelas. Ajaran beliau selalu relevan, tidak pernah ketinggalan zaman. Ia tak pernah berubah. Di masa kini, ia tetap seperti apa adanya, ia belum berubah. Dengan membawa ajaran ini ke dalam hati, kita bisa memperoleh imbalan berupa ketenangan dan kesejahteraan.
Di dalam ajaran-ajaran tersebut, ada perenungan terhadap ?tanpa diri?: ?ini bukanlah diriku, ini bukanlah milikku?. Tetapi orang-orang tidak suka mendengarkan ajaran seperti ini, karena mereka telah terikat pada pandangan akan adanya suatu diri. Ini adalah sebab-sebab penderitaan. Kalian seharusnya memperhatikan hal ini.