Dhamma Ratan?

singthung

New member
Dhamma Ratan?​



Dhamma Ratan? terdiri dari sembilan Dhamma-Lokuttara―yaitu Empat Magga, Empat Phala, dan Nibb?na―dan Pariyatti―yaitu semua ajaran Buddha dalam bentuk Tipitaka atau Kitab Suci Buddhis, beserta praktik Dhamma Pa?ipatti seperti yang tertulis dalam kitab-kitab. Juga menjelaskan tentang kemuliaan Tiga Permata. Kita akan memulai bab ini dengan sebuah diskusi tentang kemuliaan Tiga Permata secara tidak terlalu singkat juga tidak terlalu panjang-lebar, namun mencakup seluruh ciri dan kemuliaan yang penting.

Sembilan Kemuliaan Agung Buddha

Buddha memiliki kualitas mulia yang tidak terbatas. Tetapi, yang penting diingat oleh para umat manusia, dewa dan brahm?, hanya sembilan kemuliaan yang dimulai dengan Araham, yang diajarkan oleh Bhagav? secara khusus dalam berbagai khotbah-Nya. (Hal yang sama berlaku pada Dhamma, yaitu enam Kemuliaan Agung Dhamma dan sembilan Kemuliaan Agung Sangha).

Sembilan Kemuliaan Agung Buddha Dalam Bahasa P?li

Iti pi so Bhagav? Araham Samm?sambuddho Vijj?caranasampanno Sugato Lokavidu Anuttaropurisadammas?rathi Satth?devamanuss?nam Buddho Bhagav?.

Terjemahannya:
(Terjemahan dalam bahasa Myanmar oleh Ashin Vepull?bhidhaja Aggamah?pandita, ketua Vih?ra Vejayant?, Kozaungtaik Myingyan, sangat panjang dan lengkap. Hanya bagian-bagian yang penting saja yang dikutip di sini.)

Buddha yang telah mencapai Pencerahan Sempurna setelah memenuhi tiga puluh jenis Kesempurnaan P?rami, dan telah menghancurkan semua kotoran memiliki ciri mulia sebagai berikut:

(1) Araham
(a) Murni sempurna dari kotoran, sehingga tidak berbekas, bahkan yang samar-samar sekalipun, yang dapat menunjukkan keberadaannya,
(b) Tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kejahatan, bahkan pada saat tidak ada seorang pun yang mengetahui,
(c) Telah mematahkan jeruji lingkaran kelahiran,
(d) Layak dihormati oleh semua makhluk di tiga alam, manusia, dewa dan brahm?.

(2) Samm?sambuddho
Telah mencapai Pencerahan Sempurna, dalam arti Beliau benar-benar memahami Dhamma oleh kecerdasan dan Pandangan Cerah dan mampu menjelaskannya kepada makhluk-makhluk lain.

(3) Vijj?caranasampanno
Memiliki tiga pengetahuan, yaitu, Pengetahuan tentang kehidupan lampau semua makhluk, mata-dewa, dan padamnya semua noda moral, yang mana pengetahuan ini terdiri dari delapan pengetahuan beserta praktik moralitas yang sempurna yang dijelaskan dalam lima belas cara.

(4) Sugato
Karena Buddha mencapai Nibb?na melalui Empat Magga Nana, karena Buddha hanya mengatakan hal-hal yang benar dan bermanfaat.

(5) Lokavidu
Karena Beliau mengetahui kondisi-kondisi yang muncul dalam diri semua makhluk, penyebab kelahiran mereka dalam berbagai alam kehidupan, dan fenomena jasmani dan batin yang berkondisi.

(6) Anuttaropurisadammas?rathi
Karena Beliau tidak ada bandingnya dalam hal menjinakkan mereka yang layak dijinakkan.

(7) Satth?devamanuss?nam
Karena Beliau adalah guru para dewa dan manusia, yang menunjukkan Jalan menuju Nibb?na kepada para dewa dan manusia.

(8) Buddha
Karena Beliau telah mencapai Pencerahan Sempurna, mengetahui dan mengajarkan Empat Kebenaran Mulia.

(9) Bhagav?
Karena Beliau memiliki enam kualitas mulia, yaitu, keagungan (issariya), pengetahuan akan sembilan faktor spiritual, yaitu Magga-Phala Nibb?na (Dhamma), kemasyhuran dan pengikut (yasa), keagungan kesempurnaan fisik (siri), kekuasaan dan prestasi (k?mma), dan ketekunan (payatta).

Penjelasan dari Ciri-ciri Mulia di Atas

Meskipun Buddha memiliki ciri-ciri mulia yang tidak terhingga banyaknya, namun hanya sembilan di atas yang dinyatakan dalam khotbah-khotbah-Nya kepada para pendengar yang terdiri dari para dewa dan manusia sebagai ciri-ciri kemuliaan Buddha. Masing-masing dari sembilan ciri ini mewakili sekelompok kualitas kemuliaan Buddha. Makna dari sembilan ciri-ciri mulia tersebut dijelaskan berikut ini dengan tidak terlalu ringkas juga tidak terlalu panjang.

(1) Araham
Di sini, ciri mulia dalam pengertian singkat dan pemilik ciri mulia ini harus dibedakan. Yang pertama merujuk pada kondisi alami yang muncul dalam proses batin Buddha, sedangkan yang kedua merujuk pada faktor tertentu dari lima kelompok kehidupan di mana ciri mulia tersebut muncul.

Ada lima kualitas penting yang termasuk dalam ciri mulia Araham, yaitu:

(a) Artinya, Buddha yang melalui Jalan Lokuttara, Lokuttara Magga, telah menghancurkan semua kotoran batin kiles?, yang berjumlah lima belas ribu, tanpa meninggalkan bekas. Kotoran dapat diumpamakan sebagai musuh yang selalu berusaha melawan kepentingan dan kesejahteraan seseorang. Kotoran batin yang muncul dalam faktor batin-jasmani seorang Bakal Buddha, disebut, ari, musuh.

Ketika Buddha, setelah bermeditasi dengan objek (Musabab Yang Saling Bergantung) Mah?vajir? Vipassan? (seperti telah dijelaskan sebelumnya), mencapai Pencerahan Sempurna di atas Singgasana Kemenangan, Empat Jalan Lokuttara memungkinkan-Nya menghancurkan semua kotoran batin tersebut kelompok demi kelompok. Oleh karena itu, Dhamma Lokuttara, Empat Jalan Ariya, adalah ciri mulia yang disebut Araham, sedangkan faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.

(b) Kemudian, turunan kata Araham dari kata dasarnya araha, yang berarti ?Seorang yang telah menjauhkan dirinya dari kotoran.? Seperti dijelaskan pada (a) di atas, Buddha telah menghancurkan semua kotoran beserta kecenderungannya yang paling halus yang dapat membentuk suatu kebiasaan, tanpa meninggalkan bekas, bahkan tidak dalam bentuk samar-samar yang dapat membuktikan keberadaannya. Kotoran dan kecenderungan tersebut tidak mungkin muncul dalam diri Buddha. Dalam pengertian inilah Buddha dikatakan telah menjauhkan diri dari kotoran dan kecenderungan.

Beliau telah membuangnya secara total. Membuang semua kotoran beserta kecenderungannya adalah ciri mulia Araham, sedangkan faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut. Ciri mulia ini diturunkan dari Empat Jalan Ariya.

(Ciri mulia yang dijelaskan pada (a) dan (b) di atas tidak dimiliki oleh para Arahanta lainnya, mereka tidak berhak disebut Araha?. Alasannya adalah: semua Arahanta telah menghancurkan seluruh seribu lima ratus kiles?, tetapi tidak seperti Buddha, kesan yang samar-samar dari kecenderungan atas kebiasaan-kebiasaan mereka masih ada.

Kesan samar-samar ini adalah beberapa kecenderungan yang halus yang masih ada dalam batin para Arahanta biasa yang secara tanpa sengaja dapat muncul dalam diri mereka seperti halnya orang-orang awam. Hal ini karena kecenderungan itu tetap hidup karena perbuatan tertentu yang dilakukan berulang-ulang dalam kehidupan lampau para Arahanta yang bersangkutan, yang tetap berbekas bahkan setelah mereka menghancurkan semua kotoran.

Sebuah contoh dari fenomena ini dapat ditemukan pada Yang Mulia Pilindavaccha, seorang Arahanta yang hidup pada masa kehidupan Buddha. Ia hidup sebagai seorang brahmana dalam kelompok brahmana yang angkuh dalam lima ratus kehidupan berturut-turut. Anggota-anggota kelompok brahmana tersebut menganggap semua orang di luar kelompok mereka sebagai orang jahat dan bakal Pilindavaccha memiliki kebiasaan memanggil semua orang di luar kelompoknya sebagai ?penjahat?. Kebiasaan ini terpendam dalam dirinya dalam rangkaian banyak kehidupan sehingga bahkan setelah menjadi seorang Arahanta, Yang Mulia Pilindavaccha secara tidak sengaja masih memanggil orang lain ?Engkau penjahat?. Ini bukanlah karena kotoran keangkuhan namun hanya karena kebiasaan masa lampau.

(c) Araham dapat diterjemahkan sebagai ?seorang yang tidak memiliki tempat rahasia untuk berbuat kejahatan? (a+raha). Ada beberapa orang yang berpenampilan seperti orang yang bijaksana atau orang baik namun diam-diam melakukan perbuatan jahat. Sedangkan Buddha, karena Beliau telah menghancurkan semua kotoran secara total beserta kecenderungan terhadap kebiasaan-kebiasaan, tidak ada lagi tempat rahasia untuk melakukan perbuatan jahat. Kualitas mulia tidak memiliki tempat rahasia untuk melakukan perbuatan jahat ini adalah ciri mulia Araham, sedangkan faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.

(d) Araham juga berarti ?seorang yang telah menghancurkan jeruji roda kehidupan? (ara+hata). Kehidupan di tiga alam indria, alam materi halus dan alam tanpa materi diumpamakan sebagai ?kereta pembawa menuju lingkaran kelahiran?. Kelompok-kelompok kehidupan, khandh?, yang muncul terus-menerus, dan dasar-dasar indria, ?yatana serta unsur-unsur, dh?tu, diumpamakan sebagai ?roda kehidupan,? yang merupakan bagian terpenting dari kereta pembawa menuju kelahiran. Di dalam roda tersebut terdapat kebodohan dan kemelekatan akan kelahiran sebagai pusat sedangkan aktivitas kehendak, pu???bhisa?kh?ra yang terungkap dalam kehendak-kehendak baik atau perbuatan-perbuatan baik merupakan jeruji roda tersebut yang mengakibatkan kelahiran kembali di alam indria dan alam materi halus. Demikian pula, kehendak-kehendak jahat, apunn?bhisankh?ra yang menyebabkan timbulnya perbuatan-perbuatan jahat yang menyentuh empat alam sengsara, ap?ya, merupakan jeruji roda yang mengakibatkan kelahiran kembali di empat alam sengsara. Dan demikian pula, kehendak-kehendak baik ?nenj?bhisankh?ra yang menyentuh alam tanpa materi yang menyebabkan perbuatan-perbuatan baik merupakan jeruji roda yang mengakibatkan kelahiran kembali di alam tanpa materi.

Dari munculnya tiga jenis kehendak ini, kebodohan dan kemelekatan akan kelahiran disebut pusat roda karena pusat roda adalah asal dari perputaran roda, dengan demikian merupakan penyebab dari lingkaran sams?ra. Kekuatannya (diumpamakan) diteruskan ke tepi roda atau ban, sebagai ujungnya (yang berakhir pada usia tua dan kematian), oleh jeruji kehendak-kehendak. (Dalam penyajian pertama ini, inti dari dua belas faktor Musabab Yang Saling Bergantung adalah kebodohan dan kemelekatan sebagai pusat roda, usia tua dan kematian sebagai ban, dan tiga jenis kehendak sebagai jeruji roda sams?ra. Faktor-faktor lainnya dari Musabab Yang Saling Bergantung diumpamakan sebagai kereta yang membawa menuju lingkaran kelahiran.

Karena adanya kotoran moral (?sava) maka muncullah kebodohan (avijj?). Kebodohan bersumber atau disebabkan oleh kotoran moral. Karena itu, kotoran moral dapat dilihat sebagai sebagai sumbu yang terhubung dengan pusat kebodohan dan kemelekatan akan kebodohan.

Demikianlah, di dalam roda sams?ra dengan sumbu kotoran moral yang tersambung ke pusat kebodohan dan kemelekatan akan kelahiran, dengan jeruji tiga jenis kehendak dan ban usia tua dan kematian, yang telah berputar sejak sams?ra yang tidak berawal, yang membawa kereta kehidupan di tiga alam. Buddha, saat mencapai Pencerahan Sempurna, telah menghancurkan hingga berkeping-keping jeruji roda dengan berdiri di atas kedua kaki usaha batin dan jasmani, berdiri tegak di atas moralitas, sila, dan memegang erat kapak Magga Nana (jasa yang memadamkan kamma) di tangan keyakinan.

Oleh karena itu, penghancuran jeruji roda sa?s?ra oleh kapak Empat Magga Nana adalah ciri mulia Araham, sedangkan faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.

Penjelasan lain:

Lingkaran kelahiran yang tidak berawal disebut roda sams?ra. Roda ini, jika dilihat makna tertingginya, adalah seperangkat yang terdiri dari dua belas faktor Musabab Yang Saling Bergantung.

Kebodohan sebagai sumber penyebab kelahiran kembali adalah pusat dari roda tersebut. Usia tua dan kematian yang merupakan akhir dari kehidupan tersebut adalah ban dari roda tersebut. Sepuluh faktor lainnya, dengan berpusat pada pusat roda (kebodohan) dan ban (usia tua dan kematian) sebagai dua sekutunya, adalah jeruji dari roda tersebut.

Buddha telah secara total menghancurkan jeruji roda sams?ra tersebut. Oleh karena itu penghancuran sepuluh faktor Musabab Yang Saling Bergantung oleh empat serangan pedang Magga Nana adalah ciri mulia Araham dalam pengertian keempat. Faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.

(e) Araham juga berarti ?Ia yang layak mendapat penghormatan dari manusia, dewa, dan brahm??. Ini karena Buddha adalah pribadi mulia yang layak menerima persembahan istimewa dalam bentuk empat kebutuhan bhikkhu dari seluruh tiga alam. Itulah sebabnya, saat Buddha muncul di dunia ini, semua dewa dan manusia yang berkuasa tidak memberikan persembahan dan penghormatan kepada makhluk lain, tetapi hanya kepada Buddha.

Beberapa contoh penting atas fakta ini: Brahm? Sahampati memberikan persembahan istimewa dalam bentuk sebuah karangan bunga yang berukuran sebesar Gunung Sineru kepada Buddha. Para dewa dan raja lainnya seperti Bimbis?ra, Kosala, dan lain-lain, memberikan persembahan sebesar kemampuan mereka kepada Buddha, lebih jauh lagi, setelah Buddha meninggal dunia, Raja Asoka menghabiskan sembilan puluh enam crore uang untuk membangun delapan puluh empat ribu vih?ra di seluruh benua selatan Jambudipa sebagai penghormatan kepada Buddha.

Oleh karena itu, moralitas, sila, konsentrasi, sam?dhi, kebijaksanaan, pann?, Pembebasan, vimutti dan pengetahuan yang tiada bandingnya yang mengarah kepada Pembebasan, Vimutti Nana Dassana, adalah kualitas mulia yang membuat Buddha layak dihormati oleh manusia, dewa, dan brahm?, merupakan ciri mulia Araham. Faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut. (Pembaca diharapkan untuk menghubungkan lima penafsiran ini dengan arti Araham yang dijelaskan sebelumnya.)

(2) Samm?sambuddha

(Samm?, sungguh, benar-benar, sam, oleh diri sendiri, buddho, mengetahui segala sesuatu yang layak diketahui.)

Buddha menemukan kebenaran dengan kecerdasan-Nya sendiri dan Pandangan Cerah tanpa bantuan siapa pun. Para Pacceka Buddha juga menemukan Kebenaran dengan kecerdasan dan Pandangan Cerah mereka sendiri, namun karena mereka tidak mampu mengajarkan Kebenaran yang mereka temukan kepada orang lain, maka mereka tidak layak mendapat gelar Samm?sambuddha. Mereka hanya disebut Sambuddha. Para siswa Ariya mengetahui Kebenaran hanya dengan bantuan guru dan mereka mampu membabarkannya kepada orang lain, tetapi karena mereka tidak menemukan Kebenaran itu sendiri, maka mereka juga tidak disebut Samm?sambuddha. Mereka hanya disebut Samm?buddha. Para Buddha adalah Sambuddha, yang mengetahui Kebenaran dan segala sesuatu melalui Pencerahan Sempurna yang dicapai oleh diri sendiri. Mereka juga Samm?buddha karena mereka dapat mengajarkan Empat Kebenaran kepada para siswa mereka sesuai kapasitasnya masing-masing, dan dalam bahasa yang dapat mereka pahami. Oleh karena itu, kombinasi kedua kualitas ini membuat Buddha layak mendapat gelar Samm?sambuddha.

Oleh karena itu, Empat Magga Nana yang memungkinkan Buddha mengetahui segala sesuatu tanpa bantuan siapa pun melalui Kemahatahuan yang tertinggi adalah ciri mulia yang disebut Samm?sambuddha. Faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.

(3) Vijj?caranasampanno

Seseorang yang memiliki tiga pengetahuan atau delapan pengetahuan dan lima belas bentuk praktik moralitas yang sempurna.

Tiga pengetahuan diajarkan oleh Buddha dalam Bhayabherava Sutta (Majjhima Nik?ya. Mullapann?sa), delapan pengetahuan diajarkan oleh Buddha dalam Ambattha Sutta (Digha Nik?ya). Dua cara mengajar dalam tiga kelompok dan delapan kelompok digunakan oleh para Buddha melalui pertimbangan yang penuh welas asih atas kerangka batin para pendengar dalam setiap kesempatan.

Tiga Pengetahuan

(i) Pengetahuan akan kehidupan lampau, Pubbe Niv?sa Nana.
(ii) Pengetahuan akan mata-dewa, Dibbacakkhu Nana.
(iii) Pengetahuan akan padamnya kotoran moral, ?savakkhaya Nana.

Delapan Pengetahuan

(i) sampai (iii) di atas dan
(iv) Pengetahuan Pandangan Cerah, Vipassan? Nana
(v) Kekuatan pikiran, Manomayiddhi Nana
(vi) Berbagai macam kekuatan batin, Iddhividha Nana
(vii) Pengetahuan akan telinga dewa, Dibbasota Nana.
(viii)Pengetahuan dalam membaca pikiran makhluk lain, Cetopariya Nana.

(i) Pengetahuan akan kehidupan lampau: dengan pengetahuan ini, Buddha dapat melihat kehidupan lampau diri-Nya sendiri dan makhluk-makhluk lain.

(ii) Pengetahuan akan mata-dewa: dengan pengetahuan ini Buddha dapat melihat segala sesuatu yang berada sangat jauh, benda-benda yang tersembunyi, dan benda-benda yang sangat halus bagi mata manusia biasa.

(iii) Pengetahuan akan padamnya kotoran moral: yaitu Arahatta-Phala Nana yang memadamkan seluruh empat kotoran moral.

(iv) Pengetahuan Pandangan Cerah: pemahaman akan ketidakkekalan, penderitaan, dan tanpa-diri dari semua fenomena batin dan jasmani yang berkondisi.

(v) Kekuatan pikiran: kemampuan untuk mengubah wujud melalui penguasaan pikiran yang dicapai melalui latihan Jh?na.

(vi) Berbagai macam kekuatan batin: kemampuan dalam menciptakan banyak bentuk, manusia atau lainnya.

(vii) Pengetahuan akan telinga dewa: kemampuan dalam mendengarkan suara yang berasal dari tempat yang sangat jauh, suara dalam ruang tertutup dan suara yang terlalu kecil bagi telinga manusia biasa.

(viii) Pengetahuan dalam membaca pikiran makhluk lain: Buddha dapat mengetahui pikiran makhluk lain dalam enam belas cara yang berbeda-beda.

Dari delapan pengetahuan di atas, pengetahuan keempat, pengetahuan Pandangan Cerah, adalah pengetahuan yang menyentuh alam indria. Pengetahuan ketiga, Pengetahuan padamnya ?sava adalah Pengetahuan Lokuttara. Enam pengetahuan lainnya menyentuh pada alam materi halus, kekuatan Jh?na yang disebut Rup?vacara Kriy? Abhinn? Nana.

Lima Belas Bentuk Praktik Moralitas Yang Sempurna, Carana

(i) Moralitas pengendalian diri, Sila Sanvara.
(ii) Pengendalian indria, Indriyesugutta Dv?rat?.
(iii) Mengetahui hal-hal layak sehubungan dengan makanan, Bojane Mattannuta.
(iv) Selalu sadar, J?gariy? Nuyoga.
(v-xi) Tujuh kekayaan orang-orang bajik.
(xii-xv) Empat Jh?na materi halus

(i) Moralitas pengendalian diri: menjalani sila-sila pengendalian diri seorang bhikkhu, P?timokkha Sanvara Sila.

(ii) Pengendalian indria: selalu menjaga pintu-pintu mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan pikiran dengan penuh perhatian sehingga tidak memperbolehkan segala bentuk kejahatan masuk.

(iii) Mengetahui hal-hal layak sehubungan dengan makanan: mengetahui kelayakan atas makanan yang diterima dan dalam memakannya. Dalam menerima d?na makanan, Buddha mempertimbangkan tingkat pengabdian si penyumbang. Jika pengabdiannya begitu kuat namun persembahan yang ia berikan sangat kecil, Buddha akan menerimanya dan tidak memandang rendah persembahan itu.

Walaupun persembahan itu besar, namun jika pengabdian si penyumbang lemah, Buddha hanya menerima sebagian kecil saja dari persembahan itu, dengan pertimbangaan lemahnya pengabdian si penyumbang. Jika persembahan itu cukup besar dan pengabdian si penyumbang juga cukup kuat, Buddha menerima hanya dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan-Nya. Inilah yang disebut dengan mengetahui hal-hal layak sehubungan dengan penerimaan makanan. Dalam memakan makanan yang dikumpulkan, Buddha tidak makan sampai kekenyangan, tetapi berhenti makan empat atau lima suap sebelum perut-Nya penuh. Lebih penting lagi, Beliau tidak pernah makan tanpa melakukan perenungan pada waktu makan.

(iv) Selalu sadar: selalu sadar bukan berarti selalu terjaga dan tidak tidur sama sekali. Buddha melewatkan hari dengan cara, pada jaga pertama dan jaga terakhir malam hari dalam meditasi, sewaktu berjalan atau duduk, melenyapkan rintangan-rintangan. Terjaga dengan tujuan ini disebut Selalu sadar. Dari dua puluh empat jam sehari, Buddha hanya tidur sebentar untuk memulihkan tenaga-Nya, sisa waktunya dilewatkan dalam meditasi dan praktik kebhikkhuan.

(v-xi) Tujuh kekayaan orang-orang bajik:

(a) Keyakinan di dalam Tiga Permata, Saddh?
(b) Perhatian, Sati
(c) Rasa malu untuk berbuat jahat, Hiri
(d) Rasa takut akan akibat perbuatan jahat, Ottappa
(e) Memelajari (ajaran), B?hussacca
(f) Tekun, Viriya
(g) Kebijaksanaan, Pann?

(xii-xv) Empat Jh?na materi halus: Merujuk pada empat Jh?na dari alam materi halus.

Lima belas bentuk praktik sempurna dari moralitas di atas mengarah langsung menuju Nibb?na, unsur keabadian, yang saat masih sebagai orang awam, atau sebagai siswa, belum dapat dicapai sebelumnya, karena itu disebut carana.

Pengetahuan (vijj?) dan praktik moralitas yang sempurna (carana) adalah saling melengkapi. Yang pertama bagaikan mata, sedangkan yang kedua bagaikan kaki. Untuk mencapai tempat yang dituju, mata tidak akan dapat mencapai tempat tersebut tanpa adanya kaki, demikian pula kaki tanpa mata. Oleh karena itu pengetahuan dan praktik moralitas yang sempurna harus dilatih secara bersama-sama.

(Akan muncul pertanyaan, ?Bukankah pengetahuan dan praktik moralitas yang sempurna dapat dicapai oleh para siswa Ariya?? Jawabannya adalah ya dan tidak. Para Ariya dapat mencapainya tetapi mereka tidak memiliki ciri mulia Vijj?caranasampanna yang hanya dimiliki oleh Buddha, alasannya adalah sebagai berikut:

Ada dua faktor dalam ciri mulia ini, sempurna dalam pengetahuan, dan sempurna dalam praktik moralitas. Kesempurnaan pengetahuan Buddha adalah sumber bagi Kemahatahuan. Kesempurnaan dalam praktik moral adalah sumber bagi welas asih-Nya. Dengan memiliki dua Kesempurnaan ini, Buddha dengan pengetahuan-Nya mengetahui apa yang bermanfaat bagi tiap-tiap individu dan apa yang tidak. Lebih jauh lagi, Buddha, dengan Kesempurnaan-Nya dalam praktik moralitas memancarkan welas asih-Nya kepada semua makhluk yang menyebabkan makhluk-makhluk menjauh dari apa yang tidak bermanfaat bagi mereka dan mengambil apa yang bermanfaat bagi mereka. Kesempurnaan dalam pengetahuan dan Kesempurnaan dalam praktik moralitas bersama-sama membuat ajaran-Nya menjadi ajaran Pembebasan. Juga memastikan para siswa-Nya melakukan praktik yang benar.)

Oleh karena itu, gabungan Kesempurnaan pengetahuan dan Kesempurnaan praktik moralitas disebut ciri mulia Vijj?caranasampanno. Faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut. (Kembali ke makna dari ciri mulia ini yang dijelaskan sebelumnya untuk direnungkan dan dibacakan.)

 
4) Sugato


Komentar menjelaskan ciri mulia ini dalam empat cara:

(a) Su, baik, gata, berjalan, perjalanan, yaitu, pencapaian Jalan Ariya, artinya, ?seseorang yang telah mencapai Jalan Ariya,? ini adalah makna pertama; Jalan Ariya adalah tanpa cacat atau tanpa noda dan oleh karena itu sangat baik. Buddha disebut sugata karena Beliau mencapai tempat berteduh dari semua bahaya, melalui Jalan yang baik sekali, dalam sikap yang tidak terikat. (Dalam arti ini, Jalan Ariya adalah ciri mulia dan faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.)

(b) Su, Nibb?na tujuan mulia, gata, menuju ke sana melalui pengetahuan. Nibb?na adalah tujuan mulia karena merupakan akhir dari segala usaha dan merupakan Kedamaian Tertinggi. Mencapai tujuan mulia tersebut melalui Magga Nana dalam satu kali duduk adalah ciri mulia Buddha. (Di sini, Jalan Ariya adalah ciri mulia dan faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.) Dalam kedua makna ini, menuju Nibb?na artinya menetapkan Nibb?na sebagai objek pikiran. Menuju artinya adalah hanya dengan pengetahuan, bukan, berarti tindakan pergi secara fisik menuju suatu letak geografis tertentu sebagai tujuan.

(c) Su, Samm?, baik, gata, pergi menuju Nibban? melalui pengetahuan Jalan, Magga Nana. Di sini, keterangan tambahan ?baik? menunjukkan kebebasan dari kotoran. Kepergian itu baik karena kotoran yang telah dihancurkan oleh empat Pengetahuan Jalan tidak dapat muncul lagi dalam diri Buddha.

Dalam tiga pengertian di atas, makna intinya adalah sama: menetapkan Nibb?na sebagai objek pikiran melalui Empat Magga.

Ini adalah penjelasan pertama dari Sugata dari makna yang telah disebutkan sebelumnya.

(d) Su, Samm?, baik, gata, mengatakan yang benar pada saat yang tepat. Di sini gada adalah akar kata tersebut yang berubah menjadi gata. Kata-kata sesuai atau mengatakan yang benar dijelaskan lebih jauh lagi sebagai berikut:

?Ada enam jenis ucapan di antara orang-orang. Dari enam ini, empat harus ditolak, yaitu, tidak didekati, dan hanya dua yang harus diucapkan.?

(i) Jenis ucapan yang tidak benar, yang tidak bermanfaat dan tidak disukai oleh pihak lain:
(Yaitu, mengatakan seorang yang baik sebagai seorang jahat.) Buddha menghindari ucapan semacam ini.

(ii) Jenis ucapan yang benar, tetapi tidak bermanfaat dan tidak disukai oleh pihak lain.
(Yaitu, memanggil seorang jahat dengan panggilan ?orang jahat?, bukan dengan tujuan untuk mengkoreksinya namun hanya karena kebencian.) Buddha juga menghindari ucapan semacam ini.

(iii) Jenis ucapan yang benar, yang bermanfaat, tetapi tidak disukai oleh pihak lain yang mendengarnya.
(Misalnya, mengatakan Devadatta adalah seorang yang akan terlahir kembali di Alam Niraya?yang diucapkan oleh Buddha karena welas asih terhadapnya.) Buddha mengatakan ucapan jenis ini saat situasi menuntut-Nya demikian.

(iv) Jenis ucapan yang tidak benar, yang tidak bermanfaat, tetapi disukai.
(Misalnya, mengutip Veda dan menyatakan bahwa perbuatan jahat seperti membunuh akan mengarahkan seseorang menuju kelahiran yang baik.) Buddha juga menghindari ucapan semacam ini.

(v) Jenis ucapan yang benar, tetapi tidak bermanfaat bagi pihak lain, dan disukai. (Misalnya, pernyataan yang benar yang dapat memecah belah pihak lain.) Buddha juga menghindari ucapan semacam ini.

(vi) Jenis ucapan yang benar, yang bermanfaat bagi pihak lain, dan disukai.
(Misalnya khotbah tentang d?na, moralitas, dan lain-lain, yang disampaikan pada situasi yang tepat.) Buddha mengucapkan kata-kata semacam ini pada saat yang tepat.

Dari enam jenis ucapan ini Buddha hanya mengucapkan jenis ketiga dan keenam saja.

Sehubungan dengan jenis ketiga di atas, jika sebuah pernyataan adalah benar dan bermanfaat bagi pihak lain, walaupun tidak disukai, Buddha akan mengucapkannya karena akan bermanfaat bagi orang-orang lain yang mendengarnya, dan demi kebaikan dunia ini.

Demikian pula, jika sebuah pernyataan benar dan bermanfaat bagi pendengarnya, Buddha akan mengucapkannya tidak peduli apakah para pendengarnya suka atau tidak. Karena itu Buddha disebut Sugata, Ia yang mengucapkan kata-kata yang benar dan bermanfaat. Kata-kata yang benar dan bermanfaat adalah ciri mulia, dan faktor-faktor batin-jasmani lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.

Abhaya R?jakum?ra Sutta Secara Singkat

Dari enam jenis ucapan yang dijelaskan dalam Majjhima Nik?ya, 1, gahapati Vagga, 8, Abhaya R?jakum?ra Sutta. Kisah singkatnya adalah sebagai berikut:

Pada suatu ketika, Bhagav? sedang berdiam di Vih?ra Veluvana di R?jagaha. Pada masa itu, Pangeran Abhaya, putra Raja Bimbis?ra mendatangi gurunya, Nigantha N?taputta dan bersujud kepadanya, kemudian duduk di tempat yang semestinya. Kemudian Nigantha N??aputta berkata kepada Pangeran Abhaya.
?Pergilah, Pangeran, datangilah Samana Gotama dan tuduhlah Ia dengan kepalsuan ajaran-Nya. Jika engkau dapat menuduh-Nya, engkau akan memperoleh kemasyhuran sebagai seorang yang mampu menuduh seorang Samana Gotama dengan kepalsuan ajaran-Nya.?

?Tetapi, Yang Mulia,? jawab Pangeran Abhaya, ?Bagaimanakah aku menuduh Samana Gotama, yang sangat berkuasa, dengan kepalsuan ajaran-Nya??

?Pangeran, pergilah ke Samana Gotama dan katakan, ?Yang Mulia, mungkinkah Engkau mengatakan sesuatu yang tidak dapat diterima atau tidak disukai oleh orang lain?? Dan jika Samana Gotama menjawab, ?Pangeran, Tath?gata dapat mengatakan sesuatu yang tidak dapat diterima atau tidak disukai oleh orang lain,? maka engkau harus berkata, ?Yang Mulia, kalau begitu, apakah bedanya antara Yang Mulia dengan orang awam lain? Karena orang awam juga mengatakan sesuatu yang tidak dapat diterima atau tidak disukai oleh orang lain.?? (1)

?Jika sebaliknya, Samana Gotama menjawab, ?Pangeran, Tath?gata tidak akan mengatakan sesuatu yang tidak dapat diterima atau tidak disukai oleh orang lain?, maka engkau harus berkata kepada Samana Gotama, ?Yang Mulia, kalau begitu, mengapa Yang Mulia berkata kepada Devadatta, ?Engkau, Devadatta, akan menuju Alam Niraya; Devadatta, yang akan menderita di Alam Niraya hingga akhir kappa; Devadatta yang tidak dapat ditebus?? Jika aku boleh menambahkan, Yang Mulia Devadatta sangat marah dan sedih atas pernyataan itu.??(2)

?Pangeran, jika engkau mengkonfrontasi Samana Gotama dengan pertanyaan itu yang tidak akan dapat dihindari-Nya, Samana Gotama akan tidak berkutik bagaikan seseorang yang menelan kail.?

(Memerlukan waktu empat bulan bagi Niga?tha N??aputta untuk memikirkan pertanyaan di atas untuk mencela Bhagav?. Kemudian ia mengajarkannya kepada muridnya Pangeran Abhaya. Sebelum kemunculan Buddha, terdapat enam guru yang memimpin alirannya masing-masing, menyebut diri mereka sebagai Buddha. Orang-orang yang tidak dapat membedakan kebenaran dan ketidak-benaran, mendatangi guru-guru tersebut. Hanya setelah kemunculan Buddha di dunia ini, banyak pengikut yang memiliki jasa masa lampau meninggalkan mereka dan menjadi para siswa Buddha.

Niga?tha N??aputta marah dengan pikiran bahwa?Samana Gotama telah merebut para pengikutku. Ia berpikir keras bagaimana menjatuhkan Buddha, ?Aku harus mencari pertanyaan untuk mengkonfrontasi Samana Gotama, sebuah pertanyaan yang begitu tepat sehingga Samana Gotama akan terjebak dan tidak dapat menghindar.? Ia menerima persembahan makanan baik dari muridnya Pangeran Abhaya dan melewatkan hari-harinya memikirkan pertanyaan yang dapat menjatuhkan Samana Gotama. Ketika sebuah pertanyaan muncul, ia menyadari adanya kelemahan dalam pertanyaan itu yang dapat dengan mudah dijawab oleh Buddha. Dan ketika pertanyaan lain muncul dalam pikirannya, ia juga menemukan kelemahan lain dalam pertanyaan itu sehingga terpaksa membatalkannya. Dan demikianlah ia melewatkan empat bulan berpikir keras untuk menemukan ?kacang yang benar-benar keras yang sulit dipecahkan?. Akhirnya ia menemukan pertanyaan itu, ?Apakah Buddha mungkin mengatakan sesuatu yang tidak diterima atau tidak disukai oleh orang lain??

Niga?tha N??aputta yakin bahwa ia telah menemukan sebuah pertanyaan yang sulit dipecahkan oleh Samana Gotama baik dalam hal pengajuan pertanyaan itu maupun jawabannya. Ia kemudian memikirkan orang yang tepat yang akan mengkonfrontasi Buddha. Ia teringat Pangeran Abhaya yang ia yakini cukup bijaksana. Maka ia mengajarkan pertanyaan itu kepada pangeran dan membujuknya agar mengajukannya kepada Buddha.)

Pangeran Abhaya adalah seorang yang suka mencari kesalahan orang lain dan oleh karena itu, ia dengan senang hati melaksanakan apa yang diperintahkan oleh gurunya. ?Baiklah, Guru,? ia menjawab, dan setelah bersujud kepada Niga?tha N??aputta, ia meninggalkannya. Ia pergi ke Vih?ra Veluvana tempat Bhagav? berada, dan setelah bersujud kepada Bhagav?, ia duduk di tempat yang semestinya.

Kemudian ia menatap matahari yang sedang terbenam. Ia berpikir, ?Perlu empat bulan bagi guruku untuk merumuskan pertanyaan ini. Jika pertanyaan yang begitu dalam ini diajukan dan dijelaskan secara terperinci, tidak akan cukup waktu untuk hari ini. Aku akan mengkonfrontasi Buddha besok di istanaku.? Maka ia berkata kepada Bhagav?, ?Yang Mulia, demi kesejahteraanku, sudilah Yang Mulia menerima persembahan makan dariku untuk Yang Mulia dan tiga orang bhikkhu (di istanaku) besok.?

(Jumlah tiga orang bhikkhu yang diundang oleh Pangeran Abhaya adalah berdasarkan dua pertimbangan: (1) Jika ada banyak bhikkhu hadir saat ia mengajukan pertanyaan, meskipun pertanyaan ini hanya terdiri dari beberapa kata, tetapi akan mengakibatkan diskusi besar oleh para bhikkhu dan khotbah lain akan disampaikan, sehingga perdebatan sengit akan terjadi, (2) Jika tidak ada bhikkhu yang menyertai Buddha, orang-orang akan berpikir, ?Pangeran Abhaya ini adalah orang yang kikir. Ia tahu bahwa setiap hari Bhagav? mengumpulkan d?na makanan disertai oleh ratusan bhikkhu, namun ia hanya mengundang Bhagav? seorang.?)

Bhagav? menerima undangan Pangeran Abhaya dengan berdiam diri. Mengetahui bahwa undangannya diterima, Pangeran Abhaya bangkit dari duduknya, bersujud kepada Bhagav?, dan kembali ke istananya.

Keesokan paginya Bhagav? pergi ke istana Pangeran Abhaya dan makan di sana. Setelah makan, Pangeran Abhaya duduk di tempat yang lebih rendah dan bertanya kepada Bhagav? seperti yang diajarkan oleh Niga?tha N??aputta:

?Yang Mulia, apakah Yang Mulia mungkin mengatakan sesuatu yang tidak diterima atau tidak disukai oleh orang lain?? Bhagav? berkata kepada Pangeran Abhaya, ?Pangeran Abhaya, sehubungan dengan pertanyaanmu, tidak ada jawaban langsung ?ya? atau ?tidak?. Ucapan yang engkau sebutkan itu mungkin atau tidak mungkin diucapkan oleh Tath?gata. Jika dengan mengucapkannya, akan bermanfaat (bagi pihak lain), maka Tath?gata akan mengucapkannya. Jika tidak bermanfaat, Tath?gata tidak akan mengucapkannya.?

Dengan satu pernyataan ini Bhagav? menangkis pertanyaan itu bagaikan gunung yang tetap berdiri setelah disambar oleh petir, dan dengan demikian mengalahkan pertanyaan sulit yang memakan waktu empat bulan bagi Niga?tha N?taputta untuk merumuskannya.

Selanjutnya, Pangeran Abhaya tidak mampu lagi menantang Bhagav?, ia berkata, ?Yang Mulia, dengan pertanyaan ini, Niga?tha telah dihancurkan!? ?Pangeran, mengapa engkau berkata, ?Yang Mulia, dengan pertanyaan ini, Niga?tha telah dihancurkan!??? Pangeran Abhaya menceritakan seluruh kisah tentang kunjungannya ke Niga?tha N??aputta dan tugas yang dibebankan oleh gurunya.

Pada waktu itu Pangeran Abhaya membawa bayinya yang hanya dapat berbaring di pangkuannya. (Sang pangeran memangku bayinya dengan tujuan tertentu. Ketika kaum spiritualis melakukan perdebatan mengenai ajaran, mereka biasanya memegang sesuatu di tangan mereka seperti buah, bunga, atau buku. Saat perdebatan berlangsung, dan jika salah satu pihak menang, ia akan mencemooh lawannya. Tetapi jika perdebatan itu berjalan dengan berat dan sepertinya akan kalah, ia akan berpura-pura mencium bunga, atau memakan buah, atau membaca buku yang ia pegang, seolah-olah tidak mendengarkan argumentasi lawan. Di sini, Pangeran Abhaya membawa bayinya untuk tujuan yang sama. Ia berpikir, ?Samana Gotama adalah seorang yang bijaksana yang telah memenangkan banyak perdebatan mengenai ajaran-Nya. Ia adalah satu-satunya yang mampu membantah ajaran-ajaran lain. Baik sekali jika aku dapat menang. Tetapi jika aku terpojok, aku akan mencubit bayi ini dan berkata, ?O teman, bayi ini menangis! Marilah kita akhiri perdebatan ini sekarang dan melanjutkannya lain kali.?)?

Bhagav? yang memiliki kebijaksanaan yang tidak terbatas dibandingkan dengan Pangeran Abhaya, menggunakan bayi itu untuk menaklukkan pangeran. Dan bahkan sebelum Pangeran Abhaya sempat mencubit bayinya, Bhagav? bertanya kepada Pangeran Abhaya sebagai berikut, ?Pangeran Abhaya, bagaimanakah menurutmu? Engkau boleh menjawab apa pun yang engkau anggap benar. Seandainya, bayi yang berada di pangkuanmu, karena kelalaianmu atau kelalaian perawatnya, memasukkan sepotong kayu, atau pecahan tembikar atau pecahan botol, ke dalam mulutnya, apakah yang akan engkau lakukan kepadanya (bayi itu)??

Dan Pangeran Abhaya menjawab, ?Yang Mulia, aku akan sesegera mungkin mengeluarkan sepotong kayu, atau pecahan tembikar atau pecahan botol, dari dalam mulut bayi ini. Jika sulit mengeluarkannya dalam tindakan pertama, kemudian aku akan memegang bayi dengan tangan kiri, dan dengan jari tanganku yang ditekuk, aku akan mencabut sepotong kayu, atau pecahan tembikar atau pecahan botol, dari dalam mulutnya, meskipun tindakan itu akan mengakibatkan pendarahan. Aku melakukannya karena cinta dan welas asihku kepadanya.?

?Pangeran Abhaya, dengan perumpamaan yang sama?ada enam jenis ucapan:

(1) Tath?gata tidak mengucapkan kata-kata yang tidak benar, yang tidak bermanfaat dan yang tidak disukai oleh pihak lain.

(2) Tath?gata tidak mengucapkan kata-kata yang benar tetapi tidak bermanfaat dan tidak disukai oleh pihak lain.

(3) Tath?gata akan mengucapkan, sesuai tuntutan situasi, kata-kata yang benar, yang bermanfaat walaupun tidak disukai oleh pihak lain.

(4) Tath?gata tidak mengucapkan kata-kata yang tidak benar, yang tidak bermanfaat, walaupun disukai oleh pihak lain.

(5) Tath?gata tidak mengucapkan kata-kata yang benar, yang tidak bermanfaat, walaupun disukai oleh pihak lain.

(6) Tath?gata akan mengucapkan, jika bermanfaat bagi para pendengar, kata-kata yang benar, yang bermanfaat, dan disukai oleh pihak lain.

?Pangeran Abhaya, dari enam jenis ucapan ini, Tath?gata menjauhi empat dan hanya mengucapkan dua jenis di antaranya. Hal ini karena Aku memiliki niat baik dan welas asih terhadap semua makhluk.?

(Intinya adalah bahwa Buddha hanya mengucapkan kata-kata yang bermanfaat dan benar terlepas dari apakah pihak lain menyukainya atau tidak.)

(Komentar menyebutkan jenis keempat di atas sebagai atth?niya kath?, kata-kata yang tidak masuk akal, yaitu, kata-kata yang tidak benar, dan tidak bermanfaat, tetapi disukai oleh pihak lain, dan menggambarkannya dalam kisah seorang tua yang kasar. Kisah ini diceritakan sebagai berikut.)

Kisah Seorang Dusun

Seorang tua dari sebuah dusun sedang meminum alkohol di sebuah kedai minuman di sebuah kota. Sekelompok penipu bergabung dengannya, mereka bersekongkol untuk mendapatkan harta orang tua itu dengan suatu tipu-daya. Mereka sepakat, ?Kita akan menceritakan pengalaman kita masing-masing secara bergantian. Siapa yang mengatakan bahwa ia tidak percaya akan menyerahkan semua miliknya kepada si pencerita dan juga akan menjadi budaknya.? Dan mereka berkata kepada orang tua itu, ?Paman tua, apakah engkau setuju dengan peraturan ini?? Orang tua itu menjawab, ?Baiklah, anak-anak.?

Kemudian orang pertama dari kelompok penipu itu mengisahkan ceritanya sebagai berikut:

?Teman-teman, ketika ibuku mengandungku, ia memiliki keinginan untuk memakan buah apel. Dan karena tidak seorang pun yang memetikkan apel untuknya, ia mengutusku untuk memetik buah apel tersebut. Kemudian aku yang berada di dalam kandungan ibuku pergi ke pohon apel. Karena aku tidak dapat memanjat pohon, aku memegang kedua kakiku dan melemparnya ke atas pohon seperti tongkat kayu. Kemudian aku berjalan dari satu dahan ke dahan lainnya dan memetik buah apel. Setelah itu aku sadar bahwa aku tidak dapat turun dari pohon, oleh karena itu, aku pulang ke rumah untuk mengambil tangga agar dapat turun. Aku memberikan buah itu kepada ibuku. Buah itu sebesar kendi air.

Semua buah apel diturunkan dari pohon berada di dalam kantungku yang terbuat dari kain kulit yang sedang kupakai. Dari semua buah apel yang kukumpulkan, ibuku memakan enam puluh butir di antaranya dalam satu kali duduk hingga ia memuaskan keinginannya selama masa kehamilan. Sisa dari buah yang belum termakan oleh ibuku dibagikan kepada para penduduk tua dan muda. Ruang depan (ruang tamu) rumah kami lebarnya enam belas lengan, kami menyimpan buah apel di sana setelah menyingkirkan semua perabot. Buah-buahan itu penuh hingga ke langit-langit rumah. Buah yang masih berlebihan itu terpaksa ditumpuk di luar rumah hingga membentuk sebuah bukit yang tingginya delapan puluh lengan. Sekarang, teman-teman, bagaimana menurut kalian? Apakah kalian memercayai kisah ini atau tidak??

Orang tua kasar itu tetap diam. Kelompok peminum itu menjawab (bahwa mereka percaya). Kemudian mereka bertanya kepada si orang tua tersebut, ?Apakah engkau memercayai ceritanya?? Orang tua itu menjawab, ?Ini negeri besar. Cerita itu bisa dipercaya di negeri yang sebesar ini.?

Orang-orang yang sedang minum itu bergantian menceritakan kisahnya. Dan ketika tiba giliran si orang tua. ?Sekarang, dengarkan kisahku,? ia berkata. ?Bukan saja di kota kalian ini terdapat rumah-rumah besar dan mewah, rumah-rumah di desaku juga besar dan mewah. Aku ingin kalian mengetahui bahwa keluarga kami bermata pencaharian dengan bertani kapas. Kami memiliki ratusan are ladang kapas.

Di tengah-tengah ladang kapas yang luas, kami memiliki sebatang pohon kapas besar yang tumbuh hingga setinggi delapan puluh lengan. Ada lima dahan di pohon tersebut. Dari lima dahan tersebut, empat di antaranya tidak berbuah, namun dahan kelima yang menghadap ke timur berbuah kuntum kapas sebesar kendi air. Dari kuntum itu yang terdiri dari enam bidang muncul enam bunga kapas.

Aku mencukur kepalaku, dan setelah meluluri tubuhku dengan salep, aku pergi ke ladang kapas dan ketika aku melihat enam bunga kapas besar dari kuntum yang sama, aku sangat gembira. Aku mengulurkan tanganku dan memetiknya. Kemudian, ajaib, dari enam bunga kapas yang berada di tanganku itu muncul enam budak laki-laki yang kuat. Enam budakku itu meninggalkanku dan lari ke tempat lain. Aku sudah lama tidak bertemu dengan mereka. Sekarang aku telah menemukan mereka, mereka bukan lain adalah kalian berenam. Engkau, Anakku, adalah Nanda budakku. Dan engkau adalah Ponna budakku. Dan engkau adalah Vaddham?na budakku. Dan engkau adalah Citta budakku. Dan engkau adalah Mangala budakku. Dan engkau adalah Potthiya budakku.? Kemudian orang tua itu bangkit dan berdiri mencengkeram enam gulungan rambut keenam orang tersebut kuat-kuat dengan tangannya.

Enam orang penduduk yang sedang minum tersebut tidak dapat membantah bahwa cerita tersebut tidak benar, karena jika mereka tidak memercayai, mereka akan, berdasarkan kesepakatan, menjadi budak orang tua itu, demikian pula sebaliknya jika mereka memercayai cerita tersebut. Orang tua tersebut membawa enam orang itu ke pengadilan dan mereka secara resmi dijadikan budak dan mereka tetap menjadi budak seumur hidup orang tua itu.

Cerita yang tidak masuk akal tersebut mungkin cerita yang menghibur, namun tidak benar dan tidak bermanfaat. Ucapan yang demikian tidak pernah diucapkan oleh Buddha.

Kemudian Pangeran Abhaya berkata kepada Bhagav?, ?Yang Mulia, ketika para pangeran bijaksana, brahmana bijaksana, perumah tangga bijaksana, dan para bhikkhu bijaksana mendatangi Engkau dan mengajukan berbagai pertanyaan, apakah Engkau sudah mengetahui jawabannya sebelumnya sesuai pertanyaan mereka? Atau apakah jawaban itu muncul dalam pikiran-Mu seketika??

Bhagav? berkata kepada Pangeran, ?Pangeran Abhaya, Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu. Engkau boleh menjawab sesukamu. Bagaimanakah menurutmu? Apakah engkau seorang ahli dalam hal kereta??

?Benar, Yang Mulia, aku adalah seorang ahli dalam hal kereta dan komponen-komponennya.?
?Pangeran, bagaimanakah menurutmu? Jika seseorang bertanya kepadamu, ?Bagian dari kereta ini disebut apa?? Apakah engkau sudah mengetahui jawabannya sebelumnya, atau apakah engkau akan menjawabnya seketika??

?Yang Mulia, aku terkenal sebagai ahli kereta. Aku ahli dalam semua komponen dari sebuah kereta. Semua komponen dari kereta terlihat jelas dalam pikiranku. Oleh karena itu, semua pertanyaan sehubungan dengan kereta ada dalam ujung jariku.?

?Pangeran, demikian pula, ketika para pangeran bijaksana, brahmana bijaksana, perumah tangga bijaksana, dan para bhikkhu bijaksana mendatangi-Ku dan mengajukan berbagai pertanyaan, semua jawaban muncul dalam pikiran-Ku seketika. Hal ini karena Tath?gata mengusai Dhammadh?tu, yaitu Kemahatahuan, Pengetahuan Penembusan tentang segala sesuatu.?

Ketika kata-kata ini diucapkan dengan cara yang ramah, Pangeran Abhaya menjadi sangat terkesan. Ia memohon agar Bhagav? sudi menjadi pelindungnya, Dhamma menjadi pelindungnya, Sangha menjadi pelindungnya, dan menjadi seorang siswa Buddha.

(Kelak Pangeran Abhaya menjadi seorang bhikkhu, dan menjalani latihan bhikkhu dengan tekun, ia mencapai kesucian Arahatta dengan empat pengetahuan Patisambhid?, enam kemampuan istimewa Chalabhinn? dan pengetahuan akan lima keistimewaan, yaitu, penembusan, kecakapan, kecekatan, keluasan, dan kecerdasan. (Baca penjelasan dalam Apad?na P?li, Vol. 2)

 
(5) Lokavidu

Loka, lima kelompok yang dilekati (up?d?nakkhand?), (dalam pengertian lain), dunia makhluk-makhluk (satta loka), dunia fenomena berkondisi (sankhara loka), dunia sebagai landasan bagi berbagai alam kehidupan (ok?sa loka). Vidu, seorang yang memiliki pengetahuan analitis dan pemahaman total.

Visuddhimagga menjelaskan lokavidu dalam dua metode:

(1) Metode pertama, loka diterjemahkan sebagai lima kelompok yang dilekati. Lima ini dipahami sebagai: (a) menderitakan (dukkha), (b) bermula dari kemelekatan (tanh?), (c) berakhir saat Nibb?na tercapai, dan (d) bahwa Jalan Ariya adalah jalan sebenarnya yang menuju Nibb?na, padamnya kelompok-kelompok kehidupan. Dengan demikian lokavidu berarti Buddha yang memiliki pengetahuan lengkap tentang lima kelompok yang dilekati.

Dalam memahami dunia lima kelompok yang dilekati, Buddha mengetahui tidak saja lima kelompok tetapi juga mengetahuinya dalam empat aspek yang membuat pengetahuan-Nya lengkap dan sempurna. Empat aspek ini adalah: (a) Beliau memahami bahwa lima kelompok yang dilekati itu adalah penuh penderitaan (dukkha), (b) Beliau memahami aspek asal-mula dari lima kelompok tersebut bahwa kemelekatan adalah asal-mula dari lima kelompok ini, (c) Beliau memahami Nibb?na, padamnya lima kelompok, (d) Beliau memahami jalan menuju pemadaman tersebut, yaitu, Jalan Ariya. Dengan demikian, Buddha memiliki pemahaman lengkap atas lima kelompok yang dilekati ini. Itulah sebabnya Buddha disebut lokavidu. Dalam pengertian metode pertama ini, pemahaman lengkap atas empat aspek dari lima kelompok yang dilekati adalah ciri mulia lokavidu. Lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.

(2) Walaupun penafsiran dalam metode pertama cukup lengkap tentang dunia lima kelompok, metode tersebut tidak menjelaskan loka secara lengkap. Oleh karena itu Komentar memberikan penafsiran kedua.

Dalam metode kedua, loka diartikan sebagai dunia makhluk-makhluk hidup (satta loka), dunia fenomena berkondisi (sankh?ra loka) dan dunia yang terdiri dari landasan-landasan bagi berbagai alam kehidupan (ok?sa loka). Loka berarti yang muncul dan lenyap, yang menjalani kemunculan dan kelenyapan. Dari sudut pandang Abhidhamm?, kelompok-kelompok dari makhluk-makhluk hidup disebut indriyabaddha khandh? (kelompok yang berhubungan dengan indria). Kelompok-kelompok dari benda tidak hidup disebut anindriyabaddha khandh? (kelompok-kelompok yang bebas dari indria).

(a) Kelompok-kelompok dari makhluk-makhluk hidup cenderung melekat terhadap objek-objek terlihat, dan seterusnya, dan dengan demikian disebut satta. Karena kelompok-kelompok ini membentuk dasar bagi kebajikan dan kejahatan yang muncul dan lenyap, mereka (juga) disebut (loka). Dengan demikian kita memiliki istilah sattaloka.

(b) Kelompok-kelompok dari benda tidak hidup seperti alam semesta yang tidak berbatas (cakkaval?), landasan bagi keberadaan makhluk-makhluk hidup (bhumi), istana, dan lain-lain, adalah landasan bagi makhluk-makhluk hidup agar dapat muncul, apakah mereka yang cenderung merasa takut seperti halnya kaum awam, Pemenang Arus, dan Yang Sekali Kembali, atau yang bebas dari rasa takut seperti mereka Yang Tak Kembali dan Arahanta, yang disebut ok?sa. Dan karena landasan-landasan ini adalah tempat bagi muncul dan lenyapnya makhluk-makhluk hidup, maka disebut loka. Dengan demikian kita memiliki istilah ok?saloka.

(c) Baik makhluk-makhluk hidup maupun benda-benda mati dikondisikan oleh penyebab dan disebut sankh?ra. Dunia cenderung muncul dan lenyap, dan dengan demikian disebut loka. Dengan demikian kita memiliki istilah sankh?ra loka. Sankh?ra loka ini dipahami penuh oleh Buddha.

Kita akan membahas lebih jauh seperti yang dijelaskan dalam Visuddhimagga (2) Eko loko sabbe satt? ?h?rathitik? ?Semua makhluk memiliki faktor-faktor berkondisinya sendiri, ini adalah sebuah dunia di dalam dunia itu sendiri? (Di sini dikutip dari Patisambhid?magga). Oleh karena itu loka di sini berarti sankh?ra loka. (Hal ini karena meskipun merujuk pada semua makhluk, intinya adalah sifat berkondisi yang menyebabkan muncul dan lenyapnya semua makhluk.)

Buddha memiliki pengetahuan total mengenai dunia berkondisi yang Beliau pahami: (1) sebagai faktor tunggal yang menyebabkan semua hal berkondisi, (2) sebagai dua hal berkondisi, batin dan jasmani, (3) sebagai tiga hal berkondisi dalam tiga jenis perasaan, (4) sebagai empat hal berkondisi dalam empat faktor kondisi, (5) sebagai lima hal berkondisi dalam lima kelompok kehidupan yang dilekati, (6) sebagai enam hal berkondisi dalam landasan-indria internal, (7) sebagai tujuh hal berkondisi dalam tujuh jenis kesadaran, (8) sebagai delapan hal berkondisi dalam delapan kondisi duniawi, (9) sebagai sembilan hal berkondisi dalam sembilan landasan kehidupan makhluk-makhluk, (10) sebagai sepuluh hal berkondisi dalam sepuluh landasan-indria jasmani, (11) sebagai dua belas hal berkondisi dalam dua belas landasan-indria, (12) sebagai delapan belas hal berkondisi dalam delapan belas unsur.

(1) Seperti halnya Buddha memiliki pengetahuan penuh atas dunia yang berkondisi, demikian pula Beliau mengetahui penuh tentang dunia makhluk-makhluk hidup dalam hal: (i) Beliau mengetahui kecenderungan masing-masing pribadi, ?saya, (ii) Beliau mengetahui kecenderungan tersembunyi dari masing-masing individu, anusaya, (iii) Beliau mengetahui kebiasaan dari masing-masing individu, carita, (iv) Beliau mengetahui sifat dan watak dari masing-masing individu, adhimutti. Beliau mengetahui individu-individu yang memiliki sedikit debu kotoran di mata kebijaksanaan mereka, dan Beliau mengetahui individu-individu yang memiliki debu kotoran yang tebal di mata kebijaksanaan mereka. Beliau mengetahui individu-individu yang memiliki kemampuan yang tajam seperti dalam hal keyakinan dan pendirian, dan Beliau mengetahui individu-individu yang memiliki kemampuan yang tumpul. Beliau mengetahui individu-individu yang memiliki kebajikan seperti keyakinan dan kebijaksanaan yang dapat membantu mereka dalam mencapai Pengetahuan Jalan, dan mengetahui individu-individu yang tidak memiliki kebajikan. Beliau mengetahui individu-individu yang bebas dari kekurangan dalam perbuatan-perbuatan, kotoran dan akibat-akibat kehidupan lampau mereka yang menghalangi pencapaian pengetahuan Jalan dan individu-individu yang tidak terbebas.

(1) ?saya: Kecenderungan

?saya artinya adalah kecenderungan batin atau watak dari setiap individu. Misalnya, seekor rusa hutan secara alami cenderung untuk hidup di dalam hutan, ia mungkin akan pergi ke padang rumput untuk mencari makan tetapi rumahnya adalah di hutan. Demikian pula, setiap individu menuruti pikirannya akan berbagai objek indria, tetapi setelah mengembara dari satu objek ke objek lainnya, batin mereka yang cenderung bepergian dalam lingkaran kelahiran akan selalu berada dalam pandangan salah, sedangkan batin mereka yang cenderung bebas dari lingkaran kelahiran, adalah murni dan selalu berada dalam pengetahuan. Oleh karena itu, pandangan salah dan pengetahuan disebut ?saya, kecenderungan.

Kecenderungan pandangan salah, ditthi?saya terdiri dari dua jenis: kecenderungan ke arah pandangan salah pemusnahan, uccheda ditthi dan kecenderungan ke arah pandangan salah keabadian, sassata ditthi.

Kecenderungan pengetahuan, pann? ?saya juga terdiri dari dua jenis: Pengetahuan Pandangan Cerah yang menuju pengetahuan Jalan, Vipassan? Pann? ?saya dan pengetahuan Jalan itu sendiri yang merupakan pengetahuan dalam melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, Yath?bhuta N?na ?saya.

Dalam mengetahui kecenderungan masing-masing individu, Buddha mengetahui: (a) bahwa individu tersebut cenderung melekat pada lingkaran kelahiran dan memiliki kecenderungan ke arah pandangan salah pemusnahan, (b) bahwa individu tersebut cenderung melekat pada lingkaran kelahiran dan memiliki kecenderungan ke arah pandangan salah keabadian, (c) bahwa individu tersebut cenderung ke arah kebebasan dari lingkaran kelahiran, makhluk murni dan memiliki pengetahuan Pandangan Cerah, dan (d) bahwa individu tersebut cenderung ke arah kebebasan dari lingkaran kelahiran dan memiliki pengetahuan Jalan.

(2) Anusaya: Kecenderungan Tersembunyi

Ini adalah kotoran yang belum dilenyapkan oleh Magga Nana dan masih dapat terlihat jelas jika situasi mendukung. Anusaya ini ada tujuh jenis, yang disebut unsur-unsur kecenderungan tersembunyi, yaitu: K?mar?ga (nusaya) unsur benih dari keserakahan, (ii) Bhavar?g?saya, unsur benih dari kemelekatan akan kelahiran, (iii) Patigh?nusaya, unsur benih dari kebencian, (iv) M?n?nusaya, unsur benih dari keangkuhan, (v) Ditth?nusaya, unsur benih dari pandangan salah, (vi) Vicikicch?nusaya, unsur benih dari keraguan, (vii) Avijj?nusaya, unsur benih dari kebodohan.

Dalam mengetahui kecenderungan tersembunyi dari tiap-tiap individu, Buddha mengetahui: bahwa individu ini penuh dengan unsur benih keserakahan, bahwa individu ini penuh dengan benih unsur kemelekatan akan kelahiran, bahwa individu ini penuh dengan unsur benih dari kebencian, ? unsur benih dari keangkuhan, ? unsur benih dari pandangan salah, ? unsur benih dari keraguan, ? unsur benih dari kebodohan.

Anusaya kiles?, harus dipahami, ada tiga tingkat menurut munculnya kecenderungan tersebut, yaitu: (i) benih tersembunyi dari kotoran, (ii) kotoran yang telah muncul dengan tiga tahap kemunculannya (up?da), perkembangan (atau kehadiran sesaat (thiti), dan lenyapnya (bhanga), (iii) kotoran yang telah terwujud dalam perbuatan atau ucapan jahat.

(Sebuah ilustrasi)

Misalkan beberapa orang awam yang memiliki kotoran yang belum dilenyapkan oleh Magga Nana, memberikan persembahan. Bahkan sewaktu melakukan kebajikan tersebut ketika pikiran baik (Mah?kusala citta) muncul dalam pikirannya, jika ia menjumpai objek-objek indria yang menyenangkan, situasi ini cenderung akan memberikan pikiran yang berhubungan dengan kenikmatan indria (unsur benih keserakahan) dalam diri si penyumbang (karena masih sebagai seorang awam), ia belum melenyapkan keserakahan.

Ketika kontak lebih jauh lagi terjadi dengan objek indria yang menyenangkannya itu, unsur benih keserakahan tersebut akan berkembang menjadi pikiran kotor yang disebut pariyutth?na kilesa. Kemudian jika ia mencegah dengan perhatian benar, pikiran kotor keserakahan tersebut dapat disingkirkan. Tetapi, jika sebaliknya, bukannya dengan perhatian benar, ia dikendalikan oleh perhatian salah, pikiran kotor akan berubah menjadi perbuatan jahat, baik dalam bentuk tindakan ataupun ucapan. Ini adalah tahap ledakan dari kotoran keserakahan vitikamma kiles?. Ini adalah contoh dari bagaimana kotoran keserakahan berkembang dari kecenderungan tersembunyi atau unsur benih menjadi tindakan nyata dalam tiga tingkat pengembangan. Pinsip yang sama juga berlaku pada kotoran lainnya seperti kebencian, dan lain-lain.

(3) Carita: Perbuatan-perbuatan Kebiasaan

Carita artinya adalah perbuatan baik atau perbuatan jahat. Dalam pengertian lain, merujuk pada enam jenis perbuatan kebiasaan yang sering muncul dalam kehidupan saat ini, yaitu, kemelekatan atau keserakahan (r?ga), kebencian atau kemarahan (dosa), kebodohan (moha), keyakinan (saddh?), kebijaksanaan (buddhi) dan kenangan (vitakka).

(Dua kata P?li carita dan v?san? harus dapat dibedakan. Kesan samar-samar dari perbuatan-perbuatan kebiasaan, apakah baik atau buruk, dalam kehidupan lampau yang masih ada dalam kehidupan saat ini, disebut v?san?. Jenis perbuatan, di luar enam jenis yang telah dijelaskan di atas, yang cenderung muncul berulang-ulang dalam kehidupan saat ini disebut carita.)

Buddha mengetahui carita dari tiap-tiap individu seperti: individu ini dikuasai oleh perbuatan baik (sukha carita), individu ini dikuasai oleh perbuatan jahat (dukkha carita), individu ini dikuasai oleh perbuatan yang didorong oleh keserakahan (r?ga carita), individu ini dikuasai oleh perbuatan yang didorong oleh kebencian (dosa carita), individu ini dikuasai oleh perbuatan yang didorong oleh kebodohan (moha carita), individu ini dikuasai oleh perbuatan yang didorong oleh keyakinan (saddh? carita), individu ini dikuasai oleh perbuatan yang didorong kebijaksanaan (buddhi carita), individu ini dikuasai oleh perbuatan yang didorong kenangan (vitakka carita). Lebih jauh lagi, Buddha juga mengetahui sifat dari enam jenis perbuatan ini, kondisi-kondisi yang mengotori, kondisi-kondisi yang membersihkan, kondisi-kondisi yang penting, hasilnya, dan akibat-akibat dari enam jenis perbuatan tersebut.

(4) Adhimutti: watak

Adhimutti artinya watak alami dari tiap-tiap individu: ada dua jenis adhimutti, yaitu, pilihan alami akan atau kecenderungan ke arah kejahatan (hinadhi mutti), dan pilihan akan, atau kecenderungan ke arah hal-hal mulia (pantit?dhi mutti), orang-orang (pada umumnya) bergaul dengan orang-orang lain yang bersifat sama, mereka yang berwatak jahat akan bergaul dengan orang berwatak jahat, mereka yang berwatak mulia akan bergaul dengan orang berwatak mulia pula.

Buddha mengetahui jenis kecenderungan dari tiap-tiap individu, apakah seseorang berwatak jahat atau berwatak mulia.

Lebih jauh lagi, Buddha mengetahui tingkat watak dari tiap-tiap individu, apakah tinggi, rendah atau sangat rendah. Karena watak tergantung pada tingkat keyakinan, usaha, perhatian, konsentrasi, dan pengetahuan, yang merupakan lima kelompok kualitas.

Demikianlah, Buddha mengetahui segalanya mengenai makhluk-makhluk hidup dalam hal empat kecenderungan (?saya), tujuh kecenderungan tersembunyi (anusaya), tiga kehendak (abhisankh?ra) atau enam jenis kebiasaan (carita), dan jenis serta tingkatan kecenderungan atau watak.

(1) Seperti halnya Buddha memiliki pengetahuan lengkap tentang dunia makhluk-makhluk hidup, Beliau juga memiliki pengetahuan lengkap tentang dunia benda-benda mati?tempat bagi makhluk-makhluk hidup seperti alam semesta ini (cakkav?la), istana, hutan dan gunung, dan lain-lain. Penjelasannya:

Alam semesta disebut cakkav?la atau lokadh?tu dibatasi oleh empat sisi dengan gunung-gunung tinggi bagaikan pagar batu. (cakka, melingkar, v?la, gunung-gunung yang melingkar). Istilah cakkav?la berasal dari alam semesta yang dikelilingi oleh gunung-gunung batu. Alam semesta lebarnya 1.203.450 (satu juta dua ratus tiga ribu empat ratus lima puluh) yojan? dari timur ke barat dan dari selatan ke utara. Keliling alam semesta ini adalah 3.610.350 (tiga juga enam ratus sepuluh ribu, tiga ratus lima puluh) yojan?.

Dalam alam semesta ini, ketebalan bumi adalah 240.000 (dua ratus empat puluh ribu) yojan?, bagian atas bumi ini terdiri dari tanah dan bagian bawah adalah struktur batu-batuan.

Bumi ini ditopang oleh sejumlah besar air yang tebalnya 480.000 (empat ratus delapan puluh ribu) yojan?. Di bawah lapisan air ini terdapat lapisan udara yang tebalnya 960.000 (sembilan ratus enam puluh ribu) yojan?. Dan di bawah lapisan udara adalah ruang yang tidak terbatas. Ini adalah struktur dasar dari alam semesta.

Di tengah-tengah permukaan bumi, muncul Gunung Sineru, yang bagian bawahnya, yang berada di dalam samudra hingga sedalam 84.000 (delapan puluh empat ribu) yojan? dan menjulang setinggi 84.000 (delapan puluh empat ribu) yojan? di atas air.

Melingkari Gunung Sineru, terdapat sebarisan gunung-gunung yang membentuk lingkaran yang disebut Yugandh?ra, (setengahnya) 42.000 (empat puluh dua ribu) yojan? di bawah laut dan (setengahnya) 42.000 (empat puluh dua ribu) yojan? menjulang di atas air. (1)

Di luar lingkaran (pertama) Pegunungan Yugandh?ra, terdapat lingkaran (kedua) pegunungan yang disebut Isadhara, yang 21.000 (dua puluh satu ribu) yojan? di bawah laut, dan 21.000 (dua puluh satu ribu) yojan? menjulang di atas air. (2)

Di luar lingkaran (kedua) Pegunungan Isadhara, terdapat lingkaran (ketiga) pegunungan yang disebut Karavika, yang 10.500 (sepuluh ribu lima ratus) yojan? di bawah laut, dan 10.500 (sepuluh ribu lima ratus) yojan? menjulang di atas air. (3)

Di luar lingkaran (ketiga) Pegunungan Karavika, terdapat lingkaran (keempat) pegunungan yang disebut Sudassana, yang 5.250 (lima ribu dua ratus lima puluh) yojan? di bawah laut, dan 5.250 (lima ribu dua ratus lima puluh) yojan? menjulang di atas air. (4)

Di luar lingkaran (keempat) Pegunungan Sudassana, terdapat lingkaran (kelima) pegunungan yang disebut Nemindhara, yang 2.625 (dua ribu enam ratus dua puluh lima) yojan? di bawah laut, dan 2.625 (dua ribu enam ratus dua puluh lima) yojan? menjulang di atas air. (5)

Di luar lingkaran (kelima) Pegunungan Nemindhara, terdapat lingkaran (keenam) pegunungan yang disebut Vinataka, yang 1.312 (seribu tiga ratus dua belas) yojan? di bawah laut, dan 1.312 (seribu tiga ratus dua belas) yojan? menjulang di atas air. (6)

Di luar lingkaran (keenam) Pegunungan Vinataka, terdapat lingkaran (ketujuh) pegunungan yang disebut Assakanna, yang 656 (enam ratus lima puluh enam) yojan? di bawah laut, dan 656 (enam ratus lima puluh enam) yojan? menjulang di atas air. (7)

Antara Gunung Sineru dan antara lingkaran-lingkaran pegunungan yang mengelilinginya terdapat tujuh lingkaran sungai yang disebut Sid?.

Di dalam samudra yang terletak di sebelah selatan Gunung Sineru terdapat benua selatan yang disebut Jambudipa, berasal dari pohon jambu yang tumbuh di bagian depan benua tersebut, dan benua ini dikelilingi oleh lima ratus pulau-pulau yang lebih kecil.

Demikian pula, di sebelah barat Gunung Sineru terdapat benua barat yang disebut Aparagoy?na, di sebelah utara terdapat benua utara Uttarakuru, dan di sebelah timur terdapat benua timur yang disebut Pubba Videha, masing-masing dikelilingi oleh lima ratus pulau-pulau yang lebih kecil.

Di benua selatan Jambudipa, Gunung Himavant? yang tingginya lima ratus yojan? dan panjang serta lebarnya masing-masing tiga ribu yojan?. Dihiasi oleh delapan puluh empat ribu puncak.

Pohon jambu yang tumbuh di bagian depan Benua Jambudipa berdimensi: pucuknya selebar lima belas yojan?, dari tanah hingga batangnya tempat dahan-dahan besarnya mencuat, tinggi batangnya adalah lima belas yojan?, dahan-dahannya masing-masing sepanjang lima puluh yojan?, masing-masing dengan kerimbunan dedaunan yang lebarnya seratus yojan?, tingginya seratus yojan?.

Enam pohon berikut ini memiliki dimensi yang sama dan akan bertahan hingga akhir alam semesta ini: pohon bunga terumpet di Alam Asura, Alam Dewa T?vatims? lama, di kaki Gunung Sineru, pohon kapas sutra di Alam Garuda, Nudea sessilifolia di Benua barat, pohon pengharapan di Benua Utara, pohon juhan di Benua Timur, dan pohon Indian Coral di Alam Dewa T?vatimsa.

Lingkaran pegunungan yang membatasi alam semesta ini, 82.000 (delapan puluh dua ribu) yojan? di bawah laut dan 82.000 (delapan puluh dua ribu) yojan? menjulang di atas air.

Benua Jambudipa berbentuk trapesium (bentuk rumbai yang terdapat pada bagian depan pedati), Benua Barat berbentuk cermin kuningan (lingkaran), Benua Timur berbentuk sabit, dan Benua Utara berbentuk persegi. Penghuni benua-benua tersebut disebutkan memiliki wajah dengan bentuk yang sama dengan bentuk masing-masing benua. (Visuddhimagga Mah?tik?, Vol. 1)

Dalam tiap-tiap alam semesta terdapat (istana) bulan yang berdiameter empat puluh sembilan yojan?, (istana) matahari yang berdiameter lima puluh yojan?.

Alam Dewa T?vatims?, Alam Asura, Niraya Avici, Benua Jambudipa, masing-masing luasnya sepuluh ribu yojan?. Tempat-tempat ini disebut Empat Wilayah seluas sepuluh ribu (yojan?).

Benua Utara luasnya tujuh ribu yojan?, Benua Timur juga seluas tujuh ribu yojan?, Benua Barat luasnya delapan ribu yojan?.

Semua ciri di atas merupakan satu kesatuan alam semesta. Ruang kosong di mana terdapat tiga alam semesta yang saling bersinggungan disebut wilayah gersang Lokantarika.

Dalam setiap alam semesta, tiga alam sengsara, yaitu, dunia binatang, alam ?peta?, dan alam asurak?ya, terletak di bumi, berdampingan dengan alam manusia. Di bawah lapisan bumi terletak delapan Alam Niraya, satu di bawah lainnya, dan masing-masing dikelilingi oleh alam penderitaan yang terus-menerus yang lebih kecil yang disebut ussada Niraya. Alam Niraya, alam binatang, peta, dan asurak?ya disebut alam sengsara ap?ya.

Alam manusia terletak di bumi. Alam empat raja dewa terletak di puncak Gunung Yugandhara, pada ketinggian setengah dari Gunung Sineru. Alam dewa T?vatims? terletak di puncak Gunung Sineru. Oleh karena itu dua alam dewa tersebut juga terletak di bumi ini. Di atas Alam Dewa T?vatims? terletak Alam Dewa Y?m?, di atasnya lagi terletak Alam Dewa Tusit?, di atasnya lagi terletak Alam Dewa Nimm?narati, di atasnya lagi terletak Alam Dewa Paranimmitavasavatti. Alam-alam dewa ini beserta alam manusia disebut tujuh alam indria yang bahagia (k?ma sugati bhumi). Tujuh alam bahagia ini dan empat alam sengsara ap?ya seluruhnya disebut sebelas alam indria (k?ma bhumi).

Di atas enam alam dewa yang berada dalam wilayah alam indria, terdapat tiga alam brahm?, yaitu, Brahm?p?risajj? (pengikut brahm?), Brahm?purohita (menteri brahm?) dan Mah?brahm? (brahm? agung), yang merupakan tiga alam brahm? yang berhubungan dengan Jh?na Pertama dari alam materi halus (Rup?vacara). Alam-alam ini berada dalam bidang alam yang sama.

Di atas tiga alam brahm? yang berhubungan dengan Jh?na Pertama dari alam materi halus, terdapat tiga alam brahm? yang berhubungan dengan Jh?na Kedua dari alam materi halus dalam bidang alam yang sama, yaitu, Paritt?bh? (brahm? dengan cahaya terbatas), Appam?n?bh? (brahm? dengan cahaya tak terbatas), dan Abhassar? (brahm? dengan cahaya gilang-gemilang).

Di atas tiga alam brahm? yang berhubungan dengan Jh?na Kedua dari alam materi halus, terdapat tiga alam brahm? yang berhubungan dengan Jh?na Ketiga dari alam materi halus dalam bidang alam yang sama, yaitu, Parittasubh? (brahm? dengan keagungan terbatas), Appam?nasubha (brahm? dengan keagungan tidak terbatas), dan Subhakinna (brahm? dengan keagungan yang gilang-gemilang).

Di atas alam-alam tersebut, terdapat dua alam brahm? (juga berhubungan dengan alam materi halus) dalam bidang alam yang sama, yaitu, Vehapphala (?berbuah lebat?) dan Asann?satta (makhluk-makhluk tidak memiliki perasaan). Di atas alam-alam ini terdapat Avih? (?bermandikan kemakmuran sendiri?), Atapp? (?tiada siksaan?), Sudass? (?indah dilihat?), Sudassi (?berpandangan jernih?) dan Akanittha (?Tertinggi?)―lima alam suci, terletak satu di atas yang lain, berturut-turut adalah, Vehapphala, Asann?satta, dan lima alam suci yang berhubungan dengan Jh?na Keempat dari alam materi halus. Dengan demikian seluruhnya ada enam belas alam brahm? yang berhubungan dengan alam materi halus.

Di atas enam belas alam brahm? yang berhubungan dengan alam materi halus, terdapat empat alam brahm? yang berhubungan dengan alam tanpa materi, yaitu, ?k?s?nanc?yatana (Ruang Tanpa Batas), Vinn?nanc?yatana (Kesadaran Tanpa Batas), ?kincann?yatana (Kekosongan), dan Nevasann?v?sann?yatana (Bukan Persepsi Pun Bukan Nonpersepsi), terletak satu di atas lainnya berturut-turut.

Demikianlah, ada enam belas alam brahm? materi halus dan empat alam brahm? tanpa materi, seluruhnya berjumlah dua puluh alam brahm?. Jika ditambahkan dengan sebelas alam indria, maka seluruhnya menjadi tiga puluh satu alam dalam satu alam semesta. Demikianlah penjelasan singkat mengenai lokasi alam-alam ini.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Buddha memiliki pengetahuan lengkap atas alam semesta-alam semesta yang tidak terbatas yang menjadi landasan bagi keberadaan makhluk-makhluk hidup. Pengetahuan yang jelas dan lengkap atas dunia makhluk-makhluk hidup, dunia fenomena berkondisi dan dunia benda-benda mati adalah ciri mulia dari lokavid?. Lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik dari ciri mulia tersebut. (Merujuk pada makna singkat yang telah dijelaskan sebelumnya).

(6) Anuttaropurisadammas?rathi

Visuddhimagga menjelaskan Anuttaropurisadammas?rathi dalam dua pengertian yang terpisah: anuttaro dijelaskan sebagai satu ciri mulia dan dammasarathi sebagai ciri mulia lainnya. Dan juga memberikan, sebuah penafsiran lainnya, sebuah makna gabungan sebagai satu ciri mulia. Kita akan membahas dua penafsiran tersebut berikut ini:

(a) Anuttaro: Buddha yang tiada bandingnya dalam moralitas, dan lain-lain, dalam semua dunia sehingga Beliau menguasai seluruh dunia makhluk-makhluk hidup. Penjelasan lebih lanjut, Buddha menguasai dalam hal moralitas, dalam konsentrasi, dalam kebijaksanaan, dalam Pembebasan, dan dalam pengetahuan yang menuju Pembebasan. Keunggulan ini adalah ciri mulia dari anuttaro, lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik dari ciri mulia tersebut.

(b) Purisadammas?rathi, ?Ia yang menjinakkan mereka yang layak dijinakkan.? (purisadamma, makhluk-makhluk yang layak dijinakkan, s?rathi, penjinak, yaitu, guru atau instruktur yang ahli). Mereka yang layak dijinakkan termasuk, manusia, dewa, dan brahm?. Misalnya, Buddha menjinakkan Raja N?ga Apal?la, Raja N?ga Culodara, Raja N?ga Mahodara, Raja N?ga Arav?la, Raja Gajah Dhanap?la, dan lain-lain, dan membuat mereka meninggalkan kekejaman mereka dan berlindung di dalam Tiga Perlindungan. Kemudian Buddha menjinakkan Saccaka, si petapa pengembara, putra Niga?tha, Ambattha, si anak muda, Brahmana Pokkharas?ti, Sonadanta, dan Kutadanta, dan lain-lain. Beliau juga menjinakkan para dewa yang berkuasa seperti ?lavaka, Suciloma, Kharaloma dan bahkan Sakka, raja para dewa.

Buddha tidak hanya menjinakkan para individu dari kekejaman mereka menjadi para siswa-Nya, tetapi juga mengangkat mereka yang bajik yang telah memiliki moralitas yang suci untuk mencapai Jh?na Pertama, atau para Ariya yang adalah para Pemenang Arus, untuk mencapai tiga Magga yang lebih tinggi dengan mengajarkan metode latihan sehingga ?penjinakkan?-Nya juga termasuk mengarahkan mereka yang sudah setengah jinak menuju Kearahattaan. Oleh karena itu purisadammas?rathi artinya adalah mengubah makhluk-makhluk jahat agar mantap di dalam moralitas yang lebih rendah, dan membimbing mereka yang telah memiliki moralitas rendah (yaitu, setengah jinak) agar mencapai manfaat yang lebih tinggi menuju Arahatta-Phala. Pengetahuan dalam memberikan pengajaran kepada makhluk-makhluk lain adalah ciri mulia dammas?rathi, lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.

Dalam penafsiran gabungan annutaro dan purisadammas?rathi, hanya satu ciri mulia yang dihitung, yaitu, ?Buddha, yang tiada bandingnya dalam menjinakkan mereka yang layak dijinakkan.? Penjelasannya, ketika seorang penjinak kuda melatih seekor kuda, ia tidak akan mampu melatihnya seperti yang ia inginkan dalam waktu sehari. Ia harus melatihnya berulang-ulang berhari-hari. (Hal ini juga berlaku bagi binatang lainnya, seperti, gajah, sapi, dan lain-lain.) Bahkan saat seekor kuda yang dianggap sudah jinak, belum tentu benar-benar jinak. (Demikian pula dengan binatang lainnya). Tetapi Buddha dapat menjinakkan seseorang dalam satu kali duduk (yaitu, dalam sebuah khotbah atau suatu percakapan) untuk mencapai delapan Vimokkha Jh?na atau mencapai Arahatta-Phala. Ketika seorang siswa telah mencapai Arahatta-Phala, ia menjadi benar-benar jinak dan tidak akan pernah lagi memperlihatkan perbuatan yang tidak patut. Oleh karena itu Buddha sungguh tiada bandingnya dalam menjinakkan mereka yang belum jinak. Pengetahuan mengajar mereka yang bodoh adalah ciri mulia annutaropurisadammas?rathi, lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemiliki ciri mulia ini.




 
(7) Satth?devamanuss?nam


Ini artinya Buddha yang membimbing umat manusia dan para dewa agar mereka dapat memperoleh kesejahteraan pada saat ini, kesejahteraan pada masa depan, dan kebahagiaan tertinggi Nibb?na. Demikianlah sesungguhnya. Buddha mengajarkan, menasihati dan menginstruksikan semua makhluk agar mendapatkan kesejahteraan saat ini, kesejahteraan masa depan, dan kebahagiaan tertinggi Nibb?na, masing-masing sesuai dukungan jasa masa lampau mereka masing-masing. Oleh karena itu, Pengetahuan dalam membantu para dewa dan manusia untuk memperoleh kesejahteraan saat ini, kesejahteraan masa depan dan kebahagiaan tertinggi Nibb?na adalah ciri mulia satth?devamanuss?nam. Lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.

Penjelasan lain: Buddha adalah bagaikan seorang pemimpin dari serombongan pedagang yang melakukan perjalanan jauh. Penjelasan lebih jauh:

Seorang pemimpin pedagang yang bijaksana memimpin kelompoknya agar aman dalam sebuah perjalanan yang sulit dan berbahaya. Ada lima jenis perjalanan yang sulit dan berbahaya, yaitu, (i) perjalanan yang melalui ruas jalan yang terkenal dengan para perampoknya, (ii) perjalanan yang melalui daerah yang banyak dihuni oleh binatang buas dan ganas seperti singa dan macan, (iii) perjalanan melalui daerah gundul di mana makanan tidak tersedia, (iv) perjalanan melalui daerah kering dan gersang di mana air tidak tersedia, (v) perjalanan melalui daerah yang dikuasai oleh yakkha (siluman). Bagaikan seorang pemimpin rombongan pedagang yang memimpin perjalanan itu dengan aman melalui perjalanan yang sulit dan berbahaya, demikian pula Buddha memberikan perlindungan kepada para pengembara yang melakukan perjalanan hidup dalam perjalanan yang sulit dan berbahaya yang ditandai dengan kelahiran berulang, usia tua, penyakit dan kematian, kesedihan, ratapan, sakit secara fisik, dukacita dan penderitaan hebat, nafsu (kemelekatan), kebencian, kebodohan, keangkuhan, pandangan salah, dan perbuatan jahat, dan memimpin mereka menuju Nibb?na yang aman. Oleh karena itu, ajaran Buddha yang mengantarkan makhluk-makhluk menuju Nibb?na adalah ciri mulia satth?devamanuss?nam, lima kelompok kehidupan Buddha adalah pemilik ciri mulia tersebut.

(Ciri mulia satth?devamanuss?nam bukan hanya mencakup umat manusia dan para dewa saja. Istilah devamanuss?nam digunakan untuk menegaskan bahwa makhluk-makhluk yang berada di alam kehidupan yang baik dan yang dapat dibebaskan. Akan tetapi, Buddha juga memberikan petunjuk dan bimbingan yang sesuai bagi binatang sehingga mereka juga dapat memperoleh manfaat dan dengan demikian akan memperoleh bekal yang cukup untuk mencapai Magga-Phala dalam kehidupan berikut mereka. Komentar memberikan contoh Manduka Devaputta yang dikisahkan berikut.)

Kisah Manduka Devaputta

Pada suatu ketika Bhagav? sedang berdiam di sebuah vih?ra, di dekat Danau Gaggar? dekat Kota Camp? yang menjadi sumber d?na makanan setiap hari. Suatu pagi, dalam rutinitas harian-Nya Buddha memasuki pencerapan Welas asih, Beliau melihat bahwa jika Beliau memberikan khotbah pada malam hari itu, seekor kodok akan datang dan tercerap dalam suara Dhamma tersebut, dan akan terbunuh secara tidak sengaja dan terlahir kembali di alam dewa, dan bahwa dewa itu akan mendatangi Tath?gata disertai oleh banyak pengikutnya, dan mereka akan dilihat oleh banyak hadirin yang akan mendapatkan pengetahuan akan Empat Kebenaran dan dengan demikian mengakhiri penderitaan. Setelah melihat hal ini melalui pencerapan welas asih, Bhagav? pergi ke Kota Camp? untuk mengumpulkan d?na makanan pada pagi hari. Setelah selesai makan pagi, Bhagav? pulang ke vih?ra, menerima penghormatan dari para bhikkhu, dan kemudian Beliau masuk ke dalam Kuti Harum-Nya, melewatkan hari itu di dalam kebahagiaan pencerapan Arahatta-Phala.

Malam harinya, empat kelompok orang berkumpul di Dhammasala di dekat Danau Gaggar?, Bhagav? keluar dari kuti-Nya, duduk di Dhammasala, dan membabarkan khotbah.

Pada waktu itu, seekor kodok keluar dari danau, mendengarkan suara Bhagav?, dan mengetahui bahwa ?Ini adalah suara Dhamma,? ia tercerap di dalamnya. (Meskipun binatang tidak memiliki kemampuan untuk memahami makna dari khotbah tersebut, namun setidaknya mereka dapat mengenali suara Dhamma atau kebenaran dan kejahatan.)

Kemudian seorang penggembala sapi datang ke tempat itu dan karena sangat terkesan dengan kemegahan Buddha dalam membabarkan khotbah dan kesunyian para hadirin dalam mendengarkan khotbah tersebut, ia berdiri di sana bersandar pada tongkat di tangannya. Ia tidak menyadari bahwa tongkatnya itu berdiri di atas kepala kodok tersebut.

Kodok itu meninggal dunia di tempat itu juga saat ia masih tercerap dalam suara merdu Dhamma. Karena ia meninggal dunia dalam keadaan penuh kesadaran dan keyakinan akan kemuliaan Dhamma, ia terlahir kembali di Alam Dewa T?vatims? dengan sebuah istana emas yang luasnya dua belas yojan? sebagai tempat tinggalnya, dilayani oleh banyak bidadari surga. Kemudian ia merenungkan kondisi barunya, ?Bagaimanakah aku terlahir di alam dewa ini? Aku hanyalah seekor kodok dalam kehidupan lampauku. Jasa apakah yang mengirimku ke sini, seekor binatang menjadi kondisi mulia ini?? dan ia melihat jasa bahwa ia tercerap dalam suara khotbah Buddha yang merupakan suara Dhamma.

Kemudian, sewaktu ia berada di dalam istananya, ia mendatangi Bhagav? disertai oleh para dewa pelayannya. Ia dan para dewa pelayannya turun dari istananya disaksikan oleh para manusia yang hadir di sana dan berdiri dengan penuh hormat di hadapan Bhagav?.

Bhagav? mengenali dewa yang adalah kodok yang meninggal dunia beberapa saat yang lalu. Juga, untuk menunjukkan kepada para hadirin, bagaimana cara kerja kamma, dan untuk memperlihatkan kemampuan batin Tath?gata yang luar biasa (dalam melihat kehidupan lampau semua makhluk), Beliau berkata kepada dewa itu dalam syair berikut:

?Dikelilingi oleh banyak pengikut,
memancarkan cahaya gemerlap ke sekeliling,
dengan aura tubuh yang sangat cemerlang,
siapakah ini yang memberikan penghormatan kepada-Ku??

Dan dewa itu, yang beberapa saat lalu, adalah seekor kodok menjawab,

?(Yang Mulia), dalam kehidupanku sebelum ini,
aku adalah seekor kodok,
lahir dan besar di dalam air,
bahkan selagi aku tercerap dalam suara Dhamma-Mu,
tongkat seorang penggembala sapi membunuhku.?

?(Yang Mulia,) segera setelah kematianku,
karena ketenangan pikiranku dalam mendengarkan suara Bhagav?,
aku terlahir kembali sebagai dewa. Dan sekarang (Yang Mulia),
lihatlah keagunganku, memiliki banyak pengikut,
penampilan pribadiku dan segalanya,
dan, terlebih lagi, kecemerlanganku mencapai dua belas yojan?!?

?O Gotama, mereka yang telah lama
mendengarkan Dhamma yang Engkau ajarkan
akan mencapai Kedamaian Nibb?na melalui Pengetahuan Jalan
dan terbebas dari segala penderitaan.?

Kemudian Bhagav? membabarkan khotbah yang sesuai dengan watak para hadirin, mempertimbangkan jasa masa lampau mereka yang menjadi pendukung untuk mencapai pencerahan. Pada akhir khotbah tersebut, delapan puluh empat ribu makhluk berhasil menembus Empat Kebenaran dan mengakhiri penderitaan. Dewa yang dulunya adalah seekor kodok mencapai tingkat Pemenang Arus. Ia bersujud kepada Bhagav?, berbalik dengan Bhagav? di sebelah kanannya, dan juga memberi hormat kepada Sangha,kemudian ia kembali ke alam dewa bersama banyak dewa pelayan yang menyertainya.

(8) Buddha

Beliau disebut Buddha karena Ia mengetahui segala hal yang perlu diketahui. Dalam pengertian lain, Beliau adalah Pengenal Kebenaran dan juga memperkenalkan Empat Kebenaran kepada makhluk-makhluk yang layak mengetahuinya. Karena itu Beliau disebut Buddha.

Perbedaan ciri mulia kedua Samm?sambuddha dan ciri mulia kedelapan, Buddha, terletak pada bahwa Buddha merujuk pada Empat Kebenaran sedangkan Samm?sambuddha merujuk pada kebijaksanaan yang mahatahu, Sabbannuta Nana. Akan tetapi, jika ciri mulia Buddha diartikan sebagai pengetahuan tertinggi yang sama dengan Samm?sambuddha, maka yang pertama merupakan aspek penembusan (Pativedha Nana) dari kebijaksanaan Buddha sedangkan yang kedua merupakan aspek keterampilan (Desan? Nana) dari kebijaksanaan Buddha dalam mencerahkan makhluk-makhluk lain.


(9) Bhagav?

Ciri mulia dari Buddha ini dijelaskan dalam berbagai cara dalam Mah? Niddesa P?li. Komentar juga menjelaskannya dalam enam cara yang berbeda, sedangkan Visuddhimagga Mah?tik? menyajikan tujuh penafsiran yang berbeda. Di sini kita akan membahas metode pertama yang dijelaskan dalam penjelasan P?li yang juga merupakan metode ketiga dalam penjelasan Komentar.

Buddha disebut Bhagav? karena Beliau memiliki enam kualitas mulia (yang tidak dimiliki oleh para siswa) yaitu,: (i) Issariya, (ii) Dhamma, (iii) Yasa, (iv) Siri, (v) K?mma, dan (vi) Payatta.

(i) Issariya: Keunggulan

Merupakan kekuatan dalam pembawaan Buddha yang halus yang mampu memperlakukan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya. Issariya terdiri dari dua jenis, Lokuttaracittissariya dan Lokicittissariya, kekuatan kehendak Lokuttara dan kekuatan kehendak Lokiya.

Sehubungan dengan kekuatan kehendak Lokuttara, Buddha memiliki kekuatan yang tidak tertandingi. Dalam memperlihatkan Keajaiban Ganda, untuk menciptakan aliran air dari bagian tertentu tubuh-Nya, Beliau memasuki pencerapan pendahuluan ?pokasina dan kemudian bertekad, ?Terciptalah aliran air,? yang merupakan proses pikiran yang terpisah (Adhitth?na vithi). Kemudian Beliau memasuki pencerapan pendahuluan ?pokasina lagi. Kemudian proses pikiran istimewa (abhinn? vithi) muncul yang menyebabkan air mengalir dari berbagai bagian tubuh-Nya sesuai kehendak-Nya.

Demikianlah, untuk menghasilkan aliran air dari berbagai bagian tubuh-Nya sesuai keinginan-Nya, Bhagav? harus melalui empat proses pikiran yang berbeda-beda. Demikian pula, untuk menciptakan pancaran api dari berbagai bagian tubuh-Nya sesuai keinginan-Nya, Bhagav? memasuki pencerapan pendahuluan tejokasi?a dan kemudian bertekad, ?Terciptalah kobaran api,? yang merupakan proses pikiran yang terpisah. Kemudian Ia memasuki pencerapan pendahuluan tejokasi?a lagi. Kemudian proses pikiran istimewa muncul yang menyebabkan api berkobar dari berbagai bagian tubuh-Nya sesuai kehendak-Nya.

Singkatnya, untuk menciptakan air mengalir dari tubuh-Nya, Buddha harus melewati empat proses pikiran terpisah. Demikian pula untuk menciptakan api berkobar dari tubuh-Nya. Penguasaan kekuatan kehendak Buddha adalah bahwa dalam melalui proses pikiran dalam memasuki pencerapan pendahuluan, Beliau dapat menghentikan proses pikiran itu dalam sejumlah momen-pikiran yang Beliau kehendaki. Serangkaian momen-pikiran (bhavanga citta) yang berperan antara momen-pikiran yang terpisah juga terbatas sebanyak dua. (Bandingkan hal ini dengan kasus para siswa yang memerlukan banyak momen-pikiran.) Penguasaan dalam mengatur proses-pikiran yang terpisah-pisah ini dan momen-pikiran sesuai
kehendak adalah keterampilan istimewa dari kekuatan kehendak Buddha. Ini adalah kekuatan dalam mengendalikan pencerapan Lokiya Jh?na.

Demikian pula dalam hal kesadaran Lokuttara Arahatta-Phala, Buddha memiliki kekuatan kehendak yang tidak tertandingi. Berkat kekuatan ini, Beliau memasuki pencerapan Arahatta-Phala pada saat-saat yang tidak lazim, seperti pada sela waktu dalam menyampaikan suatu khotbah, saat di mana para pendengar akan mengucapkan ?S?dhu? (?Baik?). Sesungguhnya, tidak ada waktu yang terlalu singkat yang tidak digunakan oleh Buddha untuk berdiam di dalam pencerapan Arahatta-Phala (Baca Atthasalini Mulatik?). Demikianlah bagaimana Buddha memiliki pengendalian yang menakjubkan atas kekuatan kehendak dalam hal kesadaran Lokuttara.

Di dalam kitab, delapan keistimewaan kekuatan kehendak Lokiya dijelaskan secara umum. Delapan ini dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

(a) Anim?: Buddha dapat mengubah wujud-Nya menjadi sekecil mungkin, bahkan hingga sekecil sebuah atom. Ini adalah kekuatan yang Beliau pergunakan dalam menaklukkan Brahm? Baka, saat mereka mengadu kesaktian untuk menjadi tidak terlihat.

(b) Mahim?: Beliau dapat mengubah wujud-Nya menjadi sebesar mungkin, bahkan hingga sebesar Gunung Sineru (dalam berbagai ukuran hingga sebesar yang dapat menutupi seluruh alam semesta), dan masih terlihat proporsional dan agung. Ini adalah kekuatan yang Beliau pergunakan untuk mengesankan raja asura (yang berpikir bahwa ia harus melihat ke bawah untuk menatap Buddha karena ukuran tubuhnya yang sangat besar).

(c) Laghim?: Beliau dapat melayang sesuai keinginan-Nya dan berjalan di angkasa berkat kekuatan ini yang menyebabkan tubuh-Nya menjadi sangat ringan, seringan batin-Nya (yang melayang).

(d) Patti: Beliau dapat melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang jauh sesuai keinginan-Nya. Orang-orang biasa yang tidak memiliki kekuatan ini tidak dapat melakukan perjalanan secara fisik ke tempat jauh secepat pikiran mereka. Buddha dapat pergi bahkan ke alam dewa dan brahm? dengan seketika.

(e) P?kamma: Beliau dapat melakukan apa pun yang Beliau inginkan. Di dalam delapan kelompok, Beliau bertekad agar terlihat sebagai salah satu dari mereka (misalnya, di antara para dewa di alam dewa, ia tampil sebagai dewa, dan sebagainya,) (Baca bab sebelumnya tentang wafatnya Buddha). Dalam membabarkan Dhamma kepada para penghuni alam semesta lain, Beliau mengubah wujud, suara, dan lain-lain seperti raja-raja dari tempat-tempat itu.

(f) Isit?: Mengatasi keinginan-keinginan makhluk-makhluk lain. Semua rutinitas Buddha dilakukan melalui kekuatan ini, semua makhluk harus memenuhi keinginan Buddha.

(g) Vasit?: Menguasai kekuatan batin dan pencerapan. Ini adalah kekuatan yang digunakan untuk menjinakkan individu-individu yang berkuasa dan angkuh seperti N?ga Uruvela, mengatasi semua kekuatan mereka dalam segala hal seperti meniupkan api, asap, dan lain-lain.

(h) Yattham?vas?yit?: Beliau memiliki pengendalian total atas pencerapan Jh?na dan dalam memperlihatkan kesaktian, mampu menghentikannya sesuai kehendak-Nya. Ini adalah kekuatan yang digunakan dalam memperlihatkan Keajaiban Ganda api dan air yang memancar dari berbagai bagian tubuh-Nya dengan api berkobar dari bagian atas tubuh-Nya dan air mengalir dari bagian bawah tubuh-Nya, dan kemudian mendadak, selagi para hadirin memandang dengan takjub, mengobarkan api dari bagian bawah tubuh-Nya dan mengalirkan air dari bagian atas tubuh-Nya, dan sebagainya.

Delapan kekuatan di atas dari kehendak kesadaran Lokiya termasuk dalam pengetahuan Iddhividha Abhinn? yang mendukung pencapaian kekuatan batin. Buddha tidak tertandingi dalam pengetahuan ini.

Delapan kekuatan Lokiya dan penguasaan dalam kehendak Lokiya dan kehendak Lokuttara yang dijelaskan di atas disebut yang pertama dalam enam kualitas agung, yaitu, Issariya, keunggulan.

Syair untuk Menghormati Kualitas Mulia Keunggulan Ini

?O Yang Mulia! Kesadaran Arahatta-Phala-Mu ditandai dengan penguasaan kekuatan kehendak Lokuttara serta delapan bentuk penguasaan kekuatan kehendak Lokiya seperti mengubah wujud menjadi sangat kecil. O Yang Mulia! Ini adalah pujian rendah dariku kepada-Mu!?

(ii) Dhamma: Pengetahuan Atas Sembilan Faktor Lokuttara

Kualitas agung ini adalah pengetahuan Buddha dalam hal pencapaian-Nya yang istimewa atas Sembilan Faktor Lokuttara, yaitu, Empat Magga, Empat Phala dan Nibb?na, yang menghancurkan semua kotoran secara total sehingga tidak ada bekas yang samar-samar sekalipun yang diakibatkan karena kebiasaan masa lampau-Nya. Makna ini sangat jelas.

Syair untuk Menghomati Kualitas Mulia Dhamma

?O Yang Teguh dan Tabah! Engkau terkaruniai oleh Empat Ariya Magga,
Empat Ariya Phala, dan Nibb?na.
yang menghancurkan semua kotoran,
tidak meninggalkan bekas yang samar-samar sekalipun.
O Sumber Dhamma Yang Agung.
Ini adalah pujian rendah dariku kepada-Mu!?

(iii) Yasa: Kemasyhuran dan Pengikut

Reputasi mulia yang mengelilingi Buddha bukanlah sekadar bualan kosong namun sungguh benar hingga yang sekecil-kecilnya, dan memang sepatutnya demikian. Reputasi Buddha adalah murni, tidak tercampur-aduk. Ada individu tertentu yang memiliki reputasi yang terkenal, mereka layak dengan reputasi itu, namun reputasi mereka tidak menembus tiga alam (manusia, dewa, dan brahm?).

Reputasi Buddha sedemikian sehingga mereka yang mencapai Penyerapan Tanpa Bentuk (Arupa Jh?na) dapat tetap berada di Alam Brahm? Tanpa Bentuk (Arupa Brahm?) dan merenungkan sembilan ciri agung Buddha. Karena kemasyhuran Buddha mencapai hingga ke Alam Brahm? Tanpa Bentuk, tidak perlu lagi disebutkan bahwa kemasyhuran ini mencapai alam bentuk dan alam indria.

Syair untuk Menghomati Kualitas Mulia Kemasyhuran dan Pengikut

?O Yang Teguh dan Tabah!
Engkau memiliki kemasyhuran agung.
Menyebar di tiga alam,
yang patut bagi-Mu.
O Teladan bagi reputasi pribadi!
Ini adalah pujian rendah dariku kepada-Mu!?

(iv) Siri: Kemegahan Kesempurnaan Jasmani

Kualitas agung kesempurnaan jasmani Buddha adalah sedemikian sehingga semua manusia, dewa, dan brahm? tidak puas-puasnya menatap penampilan-Nya yang agung tersebut. Karena Beliau memiliki tiga puluh dua tanda-tanda manusia luar biasa serta delapan puluh tanda-tanda kecil. Mereka yang datang untuk bertemu dengan Bhagav? terpaksa pergi hanya karena waktu tidak mengizinkan untuk tinggal lebih lama meskipun mereka masih belum memuaskan mata mereka memandang keagungan jasmani Bhagav?.

Syair untuk Menghomati Kualitas Mulia Kesempurnaan Jasmani

?O Yang Megah
Engkau memiliki kesempurnaan jasmani
dalam segala hal.
Yang membuat-Mu menjadi pusat perhatian semua manusia dewa
dan brahm?,
O Yang terindah dari semua manusia!
Ini adalah pujian rendah dariku kepada-Mu!?

(v) K?ma: Kekuatan Pencapaian

Buddha telah mencapai semua yang ingin Beliau capai. Tujuan kokoh, usaha tekun yang mendasari kekuatan pencapaian ini, disebut k?ma. Sejak masih sebagai Bodhisatta Sumedh?, Beliau menerima kepastian akan menjadi seorang Buddha pada masa depan dari Buddha Dipankara, Beliau memusatkan pikiran-Nya untuk menghantarkan banyak makhluk menuju Pembebasan.

?Semoga Aku tercerahkan dan semoga Aku mampu menghantarkan banyak makhluk menuju pencerahan.? (Buddho Bodheyyam)

?Semoga Aku terbebas dari lingkaran kelahiran, dan semoga Aku mampu menghantarkan banyak makhluk menuju keterbebasan.? (Mutto Moceyyam)

?Semoga Aku menyeberang ke pantai yang aman dan semoga Aku mampu menghantarkan banyak makhluk menuju seberang.? (Tinno T?reyyam)

Hasrat yang penuh kesungguhan, tujuan yang kokoh, tidak pernah surut dari dalam diri Buddha. Karena tujuan itulah yang menghantarkan-Nya menuju pencapaian Pencerahan Sempurna melalui Magga-Phala, dan memenuhi hasrat-Nya yang penuh kesungguhan. Demikianlah Beliau mencapai Pencerahan Sempurna, terbebas dari lingkaran kelahiran, dan telah menyeberang ke pantai aman Nibb?na.

Ada banyak orang yang pernah memiliki keinginan untuk memperoleh kesejahteraan diri sendiri dan kesejahteraan makhluk-makhluk lain. Tetapi, begitu kesejahteraannya terpenuhi, mereka cenderung lupa akan kesejahteraan makhluk-makhluk lain, atau tidak mampu memenuhi keinginannya sehubungan dengan makhluk-makhluk lain. Buddha mencapai Kebuddhaan diperkuat dengan Pengetahuan Jalan dengan mengabdikan diri-Nya dalam tugas yang telah ditetapkan sejak awal yaitu membantu makhluk-makhluk lain. Usaha ini adalah penyebab utama dari pencapaian-Nya dalam membantu banyak makhluk agar dapat melihat Empat Kebenaran, membantu mereka menyeberang ke pantai aman Nibb?na. Oleh karena itu, hasrat yang penuh kesungguhan (adhigama chanda) yang bertanggung jawab atas pencapaian mulia dari misi Buddha baik bagi diri-Nya sendiri maupun makhluk-makhluk lain disebut k?ma.

Syair untuk Menghomati Kualitas Mulia Pencapaian

?O Yang Teguh dan Tabah!
Engkau sejak lama memiliki hasrat untuk mendapatkan kesejahteraan
bagi diri-Mu sendiri juga kesejahteraan makhluk-makhluk lain.
Hasrat yang teguh yang telah terpenuhi sekarang.
O Yang telah mencapai!
Ini adalah pujian rendah dariku kepada-Mu!?

(vi) Payatta: Ketekunan

Payatta artinya adalah ketekunan yang tidak tertandingi. (Mempertimbangkan lima rutinitas Buddha yang dilakukan setiap hari tanpa mengenal lelah.) Usaha-Nya yang tidak mengenal lelah dalam melaksanakan lima rutinitas seorang Buddha meningkatkan cinta dan penghargaan terhadap dunia makhluk-makhluk hidup. Usaha Benar (Samm? V?yama) yang membuat-Nya berhak menerima penghormatan hangat dari seluruh dunia makhluk-makhluk hidup adalah kualitas mulia Payatta.

Syair untuk Menghomati Kualitas Mulia Pencapaian

?O Yang Tekun!
Engkau memiliki Usaha Benar,
Keteguhan yang mendapat penghormatan tertinggi dari seluruh dunia.
O Yang Teguh dan Tabah!
Ini adalah pujian rendah dariku kepada-Mu!?

Pernyataan Lain Tentang Ciri-ciri Mulia Buddha

Ciri-ciri mulia Buddha adalah tidak terbatas. Di antaranya, sembilan (atau sepuluh) ciri-ciri yang paling penting disebutkan dalam kitab bertujuan untuk memudahkan agar dipahami dan diingat oleh umat manusia, dewa, dan brahm?.

Ciri-ciri Mulia Buddha Secara Singkat

Semua ciri-ciri mulia Buddha dapat dibagi menjadi dua kelompok besar: (1) Ciri-ciri mulia yang menyatakan pencapaian Buddha bagi diri-Nya sendiri (attahita sampatti) dan (2) Ciri-ciri mulia yang merupakan bukti atas pelayanan Buddha terhadap kesejahteraan banyak makhluk (parahita patipatti).

Kelompok pertama ini terdiri dari dua aspek: (i) Keberhasilan Buddha dalam mengatasi kecenderungan-kecenderungan yang mengotori, dan (ii) Penguasaan berbagai jenis Pengetahuan. (Kekuatan pembawaan mulia Buddha berasal dari dua sumber ini.)

Kelompok kedua juga terdiri dari dua aspek: (i) Kerasnya usaha dalam membabarkan Dhamma kepada banyak makhluk, yang murni karena welas asih, tanpa sedikit pun diwarnai oleh pengharapan atas keuntungan atau kemasyhuran, dan (ii) Kesabaran yang tidak terbatas dalam mengharapkan kesejahteraan makhluk lain bahkan kepada mereka yang memusuhi-Nya dan dalam menunggu matangnya waktu bagi para pendengar untuk memahami ajaran-Nya. Penerimaan Buddha atas persembahan yang diberikan dalam bentuk empat kebutuhan bhikkhu adalah bentuk lain dari melakukan pelayanan kepada penyumbang yang akan memperoleh jasa. Demikianlah sembilan ciri mulia seperti Araham, diajarkan untuk menjelaskan dua aspek di atas yaitu pencapaian-Nya sendiri dan pelayanan-Nya terhadap kesejahteraan makhluk lain.

Sembilan ciri mulia dikelompokkan dalam dua aspek di atas dengan cara sebagai berikut:

Araham jelas menyatakan keberhasilan Buddha dalam melenyapkan semua kotoran.

Samm?sambuddha dan Lokavidu jelas menyatakan bahwa Buddha memiliki berbagai jenis Pengetahuan. (Di sini, akan muncul pertanyaan, ?Bukankah Lokavidu juga berarti mencapai Pencerahan Sempurna?? Jawabannya adalah, ?Ya.? Tetapi, ada perbedaannya, Samm?sambuddho berarti keberhasilan dalam mencapai Pencerahan Sempurna oleh diri-Nya sendiri sedangkan Lokavidu menjelaskan keberhasilan Buddha dalam mencapai Pengetahuan membedakan kondisi batin para pendengarnya seperti kecenderungan, dan lain-lain, demikianlah dua ciri mulia ini dibedakan.)

Vijj?caranasampanno secara total mengantarkan pencapaian Buddha bagi diri-Nya sendiri.

Sugata menyatakan pencapaian Buddha bagi diri-Nya sendiri dan sekaligus pencapaian dalam mengusahakan kesejahteraan makhluk-makhluk lain, beserta penyebab yang melandasi keduanya.

Anuttaropurisadammas?rathi dan satth?devamanuss?nam menjelaskan pencapaian Buddha dalam mengusahakan kesejahteraan makhluk-makhluk lain.

Buddho menjelaskan makna tentang pencapaian bagi diri sendiri juga pencapaian kesejahteraan bagi makhluk-makhluk lain. (setelah menyebutkan Samm?sambuddho, Buddha lebih jauh lagi menyatakan Buddho karena Samm?sambuddho menunjukkan pengetahuan penembusan yang Beliau miliki sedangkan Buddho menyampaikan pengetahuan-Nya dalam pengajaran.)

Bhagav? menekankan pada pencapaian Buddha bagi diri-Nya sendiri dan juga keberhasilan dalam memberikan kesejahteraan kepada makhluk-makhluk lain.

Dilihat dari sudut lain, ciri-ciri mulia Buddha dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: (i) Ciri mulia yang merupakan penyebab utama(hetu), (ii) Ciri mulia yang merupakan hasil (phala), dan (iii) Ciri mulia yang membawa kesejahteraan kepada makhluk-makhluk lain (sattupak?ra). (Tiga kelompok ini juga disebut keberhasilan dalam penyebab utama, keberhasilan dalam hasil, dan keberhasilan dalam kesejahteraan dunia.)

Empat ciri mulia yang pertama, Araham Samm?sambuddho, Vijj?caransampanno, Lokavidu menggambarkan penyebab utama yang dimiliki oleh Buddha.

Anuttaropurisadammas?rathi dan Satt?devamanuss?namjelas menggambarkan keberhasilan Buddha dalam mengusahakan kesejahteraan makhluk-makhluk lain.

Buddho jelas menunjukkan bahwa Buddha memiliki penyebab utama yang membahagiakan dan juga keberhasilan dalam mengusahakan kesejahteraan makhluk-makhluk lain.

Sugata dan Bhagav? mengungkapkan tentang tiga keberhasilan yang dimiliki, yaitu, dalam penyebab utama, dalam hasil, dan dalam kesejahteraan dunia.

(Dua cara menjelaskan ini dikutip dari Visuddhimagga Mah?ti, Vol. 1)

Perenungan Terhadap Buddha (Buddhanussati Bh?van?)

Para umat yang dapat membaca Kitab P?li harus dapat menghafalkan sembilan ciri mulia yang dijelaskan di atas. Mereka harus membacakan dengan kecepatan yang tidak terlalu lambat juga tidak terlalu cepat, dan merenungkan maknanya. Seseorang yang merenungkan ciri-ciri mulia Buddha, sewaktu melakukan hal itu, akan mencegah munculnya pikiran serakah, benci dan bodoh, selain itu, juga akan mencapai konsentrasi yang membersihkan pikiran dan gangguan dan kekacauan, juga dapat memberikan peluang bagi munculnya proses-pikiran yang baik melalui sikap seimbang dari batin yang lurus.

Saat konsentrasi menjadi semakin kuat melalui latihan meditasi, rintangan (nivarana) akan tersingkir, dan kotoran dapat dipadamkan dan akibatnya, lima kualitas keterampilan seperti keyakinan (saddh?) menjadi semakin murni dan efektif. Perenungan yang terus-menerus terhadap Buddha akan mempertajam permulaan pikiran (vitakka) dan berlangsungnya pikiran (vic?ra). Saat kedua faktor ini bekerja dengan baik, kepuasan dan kegembiraan (piti) akan muncul. Karena kepuasan dan kegembiraan ini, ketenangan faktor-faktor batin dan ketenangan pikiran juga muncul, sebagai hasil dari ditaklukkannya kekacauan batin dan jasmani (kotoran yang berhubungan dengan bentuk halus dari kekacauan). Saat muncul ketenangan pikiran dan ketenangan faktor-faktor batin, kebahagiaan yang menyebabkan timbulnya konsentrasi menjadi jelas. Proses-pikiran yang diperkuat dengan kebahagiaan terpusat pada objek meditasi.


 
Demikianlah faktor-faktor yang terlibat di dalam meditasi dimulai dari permulaan pikiran menjadi semakin efisien setahap demi setahap. Batin tidak menjadi lambat atau kacau sehingga sikap batin atau keseimbangan tetap terpelihara dan lima keterampilan seperti keyakinan berfungsi secara seimbang. Sekarang, Lima Faktor Jh?na, yaitu, penempatan awal pikiran, penempatan pikiran sinambung, kegiuran, kebahagiaan, dan kemanunggalan pikiran, muncul bersamaan pada setiap momen-pikiran dengan kesadaran baik yang besar (Mah?kusala citta) akan perenungan terhadap Buddha yang merupakan usaha batin yang menyentuh alam indria (k?m? vacara bh?van?). Demikianlah konsentrasi pendahuluan atau konsentrasi ambang (Upac?ra Jh?na) dicapai. Saat konsentrasi ini yang muncul bersamaan dengan kesadaran baik yang besar akan perenungan terhadap Buddha yang merupakan usaha batin yang menyentuh alam indria, meditator disebut seorang yang telah mencapai Upac?ra Jh?na atas perenungan terhadap Buddha.

(Perenungan terhadap Buddha dapat dicapai dalam tingkat yang terbaik pada tahap ambang atau konsentrasi pendahuluan (Upac?ra Jh?na) yang menyentuh alam indria saja, dan bukan pada tahap appan? (Rup?vacara) Jh?na, mengapa demikian? Karena ciri-ciri mulia Buddha adalah Dhamma yang tinggi dan terlalu dalam untuk dapat dikonsentrasikan secara penuh pada tahap Appan? Jh?na. Hal ini seperti sebuah tabung udara yang tidak dapat tetap stabil di dalam air yang sangat dalam.

Akan muncul pertanyaan bahwa, dalam merenungkan ciri-ciri mulia Buddha, nama-nama Dhamma yang tinggi dari sembilan ciri mulia seperti Araham dan seterusnya digunakan sebagai objek perenungan. Mengapa nama-nama ini disebut Dhamma yang tinggi? Jawabannya, bahwa ciri-ciri mulia Buddha begitu dalam sehingga walaupun pada tahap permulaan pikiran, nama-nama ini (seperti Araham) digunakan sebagai objek meditasi, tetapi saat konsentrasi telah terkembang, pikiran akan bergerak dari hanya sekadar nama menjadi kenyataan yang lebih tinggi.

Kemudian lagi, akan muncul pertanyaan, ?Bukankah beberapa Dhamma yang tinggi seperti kesadaran bentuk tingkat pertama (patham? rupa vinn?na) digunakan sebagai objek meditasi dan Appan? Jh?na sebagai Jh?na Bentuk Kedua dicapai juga dengan cara demikian?? Benar, tetapi ini adalah kasus dari sebuah objek meditasi tunggal. Ciri-ciri mulia Buddha bukanlah sebuah objek tunggal, melainkan bermacam-macam. Sehingga perbandingan tersebut tidaklah tepat.

Pertanyaan lagi, ?Seorang yogi yang merenungkan tiga puluh dua bagian tubuh, walaupun memulai dari sebagian dari jumlah tersebut, setelah konsentrasi terkembang, pikirannya terpusat pada hanya satu bagian saja dan mencapai Jh?na bentuk tingkat pertama. Mengapa proses yang sama tidak berlaku dalam hal perenungan terhadap Buddha?? Ini bukanlah sebuah analogi yang tepat. Karena meskipun terdapat tiga puluh dua bagian tubuh, semuanya memiliki kenyataan tunggal?tubuh yang menjijikkan yang menjadi objek meditasi yang mengarah kepada pencapaian Appan? Jh?na. Dalam hal ciri-ciri mulia Buddha, ciri-ciri ini penuh dengan makna dalam berbagai cara, dan dengan demikian konsentrasi hanya dapat dicapai pada tahap alam indria, dan hanya pada tahap Upac?ra Jh?na.

?Mengapa tidak berkonsentrasi hanya pada salah satu dari sembilan ciri mulia tersebut??

Jawabannya: Saat konsentrasi berkembang, ciri-ciri mulia Buddha dipahami oleh sang yogi sehingga ia tidak dapat memusatkan pikirannya pada hanya salah satu dari sembilan ciri tersebut, karena keyakinannya tumbuh hingga tidak terbatas.

Manfaat Perenungan Terhadap Buddha

Seorang bajik yang berulang-ulang merenungkan ciri-ciri mulia Buddha memiliki rasa hormat yang istimewa terhadap Buddha yang sebanding dengan keyakinan para Ariya terhadap Buddha. Perenungan yang terus-menerus terhadap Buddha juga mengembangkan batinnya sehingga ia memiliki perhatian yang stabil. Kedalaman ciri-ciri mulia Buddha tempat batinnya dilatih membuatnya menjadi seorang yang memiliki kebijaksanaan yang mendalam. Sembilan ciri mulia itu sendiri adalah lahan yang subur untuk menanam jasa, oleh karena itu perenungan yang terus-menerus terhadap ciri-ciri mulia Buddha sangatlah baik.

Perenungan terhadap Buddha adalah latihan batin yang mendukung kepuasan dan kegembiraan (piti), salah satu dari Tujuh Faktor Pencerahan Sempurna. Sang yogi menjadi memiliki kepuasan dan kegembiraan yang begitu besar, pertama-tama dalam tingkat yang lemah, dan kemudian berkembang menjadi kegembiraan luar biasa. Perhatian di dalam ciri-ciri mulia Buddha ini mengatasi rasa takut, oleh karena itu sang yogi menjadi tidak merasa takut, besar ataupun kecil. Karena latihan batin ini memiliki sifat melenyapkan rasa sakit secara fisik, sang yogi akan memiliki toleransi terhadap rasa sakit. Ia juga merasa bahwa ia sedang bersama Buddha. Tubuh seorang yang pikirannya tercerap dalam perenungan terhadap Buddha adalah seperti altar yang menjadi tempat Buddha sehingga layak dihormati. Batinnya selalu cenderung pada Pencerahan Sempurna.

Pikiran yogi akan terus-menerus teringat pada ciri-ciri mulia Buddha dan hasilnya segala pikiran buruk yang mungkin muncul akan tersingkirkan sebelum ucapan atau perbuatan jahat dilakukan, karena rasa malu melakukannya, dan merasa jijik melakukannya di hadapan Buddha. Perenungan terhadap Buddha adalah landasan dalam mencapai Magga-Phala. Jika sang yogi tidak mencapai Magga-Phala dalam kehidupan ini karena kurangnya jasa masa lampau, ia akan terlahir kembali di alam bahagia.

Demikianlah manfaat-manfaat dari melakukan perenungan terhadap Buddha seperti dijelaskan dalam Visuddhimagga. Untuk penjelasan lebih lanjut, para pembaca dapat membaca Subhuti Thera Ap?d?na dalam Ap?d?na Thera P?li

Enam Ciri Mulia Dhamma

Sv?kkh?to Bhagav?t? Dhammo, Sanditthiko, Ak?liko, Ehipassiko, Opaneyyiko, Pacattam Veditabbo Vinnuhi

(i) Dhamma yang terdiri dari Magga-Phala Nibb?na dan Pariyatti dijelaskan dengan sempurna, Sv?kkh?to, karena: (a) Baik pada permulaan, baik pada pertengahan, dan baik pada akhir dalam ucapan dari setiap kata-kata sesuai enam peraturan tata bahasa dan sepuluh peraturan artikulasi bagi lidah orang-orang Magadha, (b) dan (c) Karena menunjukkan Jalan Tengah yang menghindari dua ekstrem, dan karena mengatasi kotoran dan secara total memadamkannya, (d) karena menjelaskan sifat dari kekekalan, kestabilan, perdamaian, dan keabadian.

(ii) Dhamma, yaitu, Empat Magga, Empat Phala, dan, Nibb?na, adalah Sanditthiko karena dilatih dan dicapai oleh para Ariya yang telah memadamkan kotoran, dan juga karena merupakan penghancur cepat bagi kotoran untuk mencapai kemenangan.

(iii) Dhamma, Sembilan Faktor Lokuttara, adalah Ak?liko, karena segera berbuah saat buah (Phala) dari Jalan (Magga) tersebut dapat dicapai tanpa penundaan.

(iv) Dhamma adalah Ehipassiko karena jelas terlihat bagaikan bulan yang agung di langit yang bersih dan bebas dari kabut, asap, awan, dan lain-lain, atau bagaikan permata Manohara yang ditemukan di Gunung Vepulla, mengundang semua makhluk untuk datang dan melihat sendiri.

(v) Dhamma adalah Opaneyyiko karena Empat Magga bertindak sebagai rakit untuk menyeberang menuju Nibb?na yang aman sedangkan Phala dan Nibb?na melimpahkan tempat berlindung yang aman kepada para Ariya.

(vi) Dhamma adalah Paccattam Veditabbo karena harus ditembus melalui usaha masing-masing individu yang bijaksana.

Penjelasan Ciri-ciri Mulia Dhamma

(i) Sv?kkh?ta

Dalam Sv?kkh?ta, Dhamma merujuk pada ajaran (Pariyatti), Empat Magga, Empat Phala dan Nibb?na (Pariyatti dan Sembilan Faktor Lokuttara).

Pariyatti itu baik pada permulaan, baik pada pertengahan dan baik pada akhir karena sempurna dalam makna dan kata-katanya juga karena mengungkapkan Tiga Latihan dan Jalan Ariya, Magga, sebagai jalan latihan yang murni dan lengkap.

Pariyatti sempurna karena bahkan dalam sebuah syair, baris pertamanya sudah sempurna, dan oleh karena itu sempurna di awal, baris kedua dan ketiganya juga sempurna dan oleh karena itu sempurna pada pertengahan, baris keempatnya juga sempurna dan oleh karena itu sempurna pada akhirnya. Dalam sebuah khotbah, bagian pendahuluan membuatnya sempurna di awal, bagian kesimpulan membuatnya sempurna pada akhirnya. Dan bagian pertengahan dengan berbagai hal yang saling berhubungan membuatnya sempurna pada pertengahan. Dalam sebuah khotbah yang terdiri dari sejumlah topik yang saling berhubungan, topik pertama adalah sempurna pada awal. Topik terakhir adalah sempurna pada akhirnya. Dan topik-topik lainnya adalah sempurna pada pertengahan. (Pernyataan-pernyataan ini dikutip dari Suttanta Pitaka.)

(Dengan cara lain : ) Dalam Suttanta dan Vinaya Pitaka, semua khotbah menyebutkan tempat terjadinya peristiwa tersebut (S?vatthi,R?jagaha, dan lain-lain,) yang merupakan bagian yang sempurna pada awalnya. Kesesuaian khotbah tersebut dengan kecenderungan para pendengar yang hadir dalam peristiwa tersebut, Kebenaran yang tidak terbantahkan yang terdapat dalam khotbah tersebut, inti dan penggambarannya membuat khotbah tersebut sempurna pada pertengahan. Manfaat yang diperoleh oleh para pendengar melalui keyakinan mereka, dan kesimpulan yang tepat dari topik tersebut, membuat akhir yang sempurna.

Singkatnya, keseluruhan Pariyatti Dhamma yang terdiri dari Tiga Pitaka intinya menyatakan Moralitas, Konsentrasi, Kebijaksanaan Pandangan Cerah, Magga-Phala, dan Nibb?na. Semuanya menyatakan Buddha sejati, Dhamma sejati, Sangha sejati. Semuanya jelas menggambarkan latihan yang benar dan mulia yang mengarah menuju Kebuddhaan, atau Pencerahan Sempurna, Pacceka Buddha, dan Kearahattaan atau Pencerahan sebagai seorang siswa.

Demikianlah Tiga Pitaka memiliki nilai intrinsik yang baik pada awal dalam hal Moralitas, nilai intrinsik yang baik pada pertengahan dalam hal Konsentrasi dan Kebijaksanaan Pandangan Cerah, nilai intrinsik yang baik pada akhirnya dalam Nibb?na. Atau dengan kata lain, baik pada awal melalui Moralitas dan Konsentrasi, baik pada pertengahan melalui Kebijaksanaan Pandangan Cerah dan Magga, dan baik pada akhir melalui Phala dan Nibb?na.

Atau dalam penjelasan lain, baik pada permulaan dengan menyatakan Buddha sejati, baik pada pertengahan dengan menyatakan Dhamma sejati, dan baik pada akhir dengan menyatakan Sangha sejati. Siapa pun yang menjalani latihan seperti yang ditunjukkan dalam Pariyatti Dhamma atau Tiga Pitaka akan dapat mencapai satu dari tiga tingkat Pencerahan, yaitu baik pada permulaan melalui Samm?sambuddha, baik pada pertengahan melalui jalan Pacceka Buddha, dan baik pada akhirnya melalui Pencerahan sebagai S?vaka Buddha.

Ajaran Buddha menuntut para siswa-Nya untuk mengambil dua langkah: langkah pertama adalah mendengarkan dengan penuh perhatian dan keyakinan, dan langkah kedua adalah menjalani praktik Dhamma. Jika dua langkah di atas telah dijalankan sesuai urutan dan latihan yang benar telah dilakukan, seorang siswa akan mencapai Arahatta-Phala. Oleh karena itu, dalam mendengarkan Dhamma, jika Anda memiliki tujuan tertinggi Arahatta-Phala, Anda akan mendapatkan pengetahuan mengenai apa yang telah didengar, Sutamaya Nana yang muncul berulang-ulang yang dapat menyingkirkan rintangan batin. Karena itu, memerhatikan Dhamma dengan sungguh-sungguh adalah yang baik pada awalnya. Jika Anda menjalani praktik Dhamma setelah mendengarkannya berulang-ulang, Anda akan menjadi tenang yang muncul bersama konsentrasi Samatha Sukha, dan kemudian jika Anda melanjutkan dengan benar, Anda akan mencapai Pandangan Cerah terhadap fenomena yang akan memberikan kedamaian dan kepuasan Vipassan? Sukha. Dengan demikian, praktik Dhamma adalah yang baik pada pertengahan. Karena praktik yang benar akan mengarah menuju Arahatta-Phala, hasil dari praktik ini adalah yang baik pada akhirnya. Demikianlah ajaran yang baik pada awalnya, baik pada pertengahan, dan baik pada akhirnya, dan oleh karena itu, disebut Sv?kkh?to.

Ajaran Buddha dengan jelas menyebutkan dua cara latihan, latihan yang sesuai dengan ajaran, S?sana Brahm? Cariya, dan latihan mulia dari Jalan, Magga Brahm? Cariya. (Dari kedua ini, yang pertama merujuk pada Tiga Latihan dan ajaran sedangkan yang kedua merujuk pada inti dari Tiga Latihan dan ukuran keberhasilan dari Tiga Latihan, yaitu Ariya Magga.) Di dalam ajaran kedua cara latihan ini, ditetapkan oleh Buddha sebagai Latihan Mulia dalam makna terdalam. Misalnya, jika seorang guru spiritual menekankan pada kata-kata duniawi seperti bubur, nasi, atau laki-laki atau perempuan, kata-kata tersebut tidak memiliki nilai intrinsik yang dapat mengakhiri penderitaan akan lingkaran kelahiran. Oleh karena itu, kata-kata tersebut tidak memiliki makna yang penting dari sudut pandang spiritual. Buddha tidak menekankan pada istilah-istilah duniawi tersebut, namun menjelaskan Empat Landasan Perhatian Murni (Satipatth?na), Empat Usaha Benar (Sammapadh?na) dan lain-lain secara terperinci yang memberikan hasil dalam bentuk Pembebasan dari lingkaran kelahiran. Demikianlah ajaran Pariyatti menjelaskan Latihan Mulia dalam istilah-istilah yang penting, dan mengandung makna yang mendalam.

Lebih jauh lagi, Latihan Mulia dibabarkan dalam kata-kata dan kalimat yang sempurna. Dalam hal ini ada sepuluh aturan penting dalam mengucapkan kata-kata tersebut, yaitu:

(i) Sithila akkhara, kata-kata tanpa penekanan, misalnya, ka, ca, ta

(ii) Dhanita Akkhara, kata-kata yang mendapat tekanan yang kuat, misalnya, kha, gha. Dalam kelompok kata-kata P?li yang terdiri dari lima huruf, lima huruf kedua dan lima huruf keempat adalah kata-kata yang mendapat tekanan yang kuat.

(iii) Digha akkhara, kata-kata yang berhubungan dengan vokal yang panjang, misalnya, k?, ku, ke, ko.

(iv) Rassa akkhara, kata-kata yang berhubungan dengan vokal yang pendek, misalnya, ka, ki, ku.

(v) Garu akkhara, kata-kata yang ?penting?, semua digha akkhara dan kata-kata yang berbunyi pendek dengan konsonan pembantu yang terletak di belakang adalah termasuk dalam kelompok ini, misalnya, dalam kata santa (sa anta): kata yang berbunyi pendek (sa menjadi san) yang merupakan garu akkhara.

(vi) Lahu akkhara, semua kata-kata berbunyi pendek (rassa akkhara) tanpa konsonan pembantu.

(vii) Niggahita akkhara: kata-kata yang diucapkan dengan mulut tertutup (bunyi dihasilkan dengan menutupkan mulut tanpa membiarkan suara dan udara keluar dari mulut disebut niggahita.)

(viii) Vumutta akkhara: kata-kata yang diucapkan dengan mulut terbuka, misalnya, k?.

(ix) Sambandha akkhara: dua kata yang diucapkan berturut-turut dengan bunyi penghubung, misalnya dalam upasampad? pekkho, tidak ada jeda antara d? dan pek, keseluruhan kata tersebut harus diucapkan tanpa jeda di antaranya.

(x) Vavatthita akkhara: kata-kata dengan bunyi yang terpisah, misalnya dalam sunatu me, harus ada jeda antara sunatu dan me.

Sepuluh aturan di atas, disebut sepuluh Vyanjanabuddhi. Vyanjana artinya adalah kata-kata yang diucapkan sebagai ungkapan vokal dari pikiran. Vyanjanabuddhi artinya adalah pikiran dan faktor-faktor batin yang menyebabkan terucapkannya kata-kata tersebut. Kata-kata yang diucapkan demikian juga disebut Vyanjanabuddhi dalam pengertian metafora.

Tidak semua bahasa sesuai dengan sepuluh aturan pengucapan di atas. Misalnya, dalam bahasa Tamil, hanya satu atau dua peraturan yang berlaku. Dalam bahasa Kir?ta tidak terdapat bunyi bibir. Dalam bahasa Yun, setiap kata diucapkan dengan berat. Dalam bahasa P?rasika (P?dasika) semua kata diucapkan secara niggahita. Karena itu, sebuah khotbah yang disampaikan oleh seseorang dalam bahasa-bahasa tersebut tidak sempurna dalam hal bahasa.

Buddha membabarkan ajaran Pariyatti sesuai dengan sepuluh aturan pengucapan tersebut. Dengan demikian ajaran Pariyatti Latihan Mulia adalah sempurna dalam kata-kata dan kalimatnya. (Kesempurnaan kata-kata dan kalimat dibahas bersama-sama dengan aturan tata bahasa seperti Netti, dan lain-lain, dalam Visuddhimagga dan Subkomentar utama, serta Komentar dan Subkomentar lainnya. Di sini kita tidak membahasnya secara terperinci.)

Lebih jauh lagi, ajaran Pariyatti yang dibabarkan oleh Buddha adalah sempurna karena terdiri dari lima kualitas, yaitu, Moralitas, Konsentrasi, Kebijaksanaan, Pembebasan, dan Pandangan Cerah yang mengarah menuju kebebasan sehingga tidak diperlukan penambahan hal-hal penting lainnya.

Juga, ajaran Pariyatti yang dibabarkan oleh Buddha adalah sempurna dalam hal makna karena tidak ada yang membahayakan dan yang perlu dihilangkan, karena tidak terdapat bekas-bekas dari kotoran seperti pandangan salah atau keangkuhan, tetapi sungguh-sungguh produktif terhadap kebebasan dari lingkaran kelahiran yang penuh penderitaan. Dengan kata lain, tidak ada cacat dalam bentuk apa pun dalam ajaran Pariyatti karena bukan merupakan sesuatu yang disampaikan kepada orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan materi atau kemasyhuran dan pujian. Oleh karena itu, murni dalam segala aspek.

Demikianlah ajaran Pariyatti yang dibabarkan oleh Buddha adalah sungguh telah dibabarkan dengan sempurna (Sv?kkh?ta) karena sempurna dalam makna, kata-kata dan kalimatnya, dan bersifat murni sempurna, menetapkan Latihan Kesucian dalam dua cara.

Penjelasan lain, ajaran Pariyatti yang dibabarkan oleh Buddha telah dibabarkan dengan sempurna karena tidak menyimpang dari apa yang telah diakui. Pertimbangkan hal berikut: penganut ajaran lain di luar ajaran Buddha, membabarkan ajaran kesukaran yang bukan benar-benar kesukaran, dan ajaran mereka tentang Pembebasan yang bukan benar-benar Pembebasan. Dengan demikian, ajaran mereka menyimpang dari apa yang mereka akui, dan oleh karena itu tidak dibabarkan dengan sempurna, namun dibabarkan dengan salah.

Kebenaran dari ajaran Pariyatti Buddha tidak pernah dipertanyakan. Apa yang dinyatakan oleh Buddha sebagai kesukaran dalam mencapai Jh?na, Magga-Phala, Nibb?na adalah benar-benar kesukaran. Apa yang dinyatakan Buddha sebagai faktor-faktor yang mendukung Pembebasan adalah benar-benar demikian. Tidak ada ajaran Pariyatti yang menyimpang dari apa yang diakui. Itulah sebabnya ajaran Pariyatti adalah benar-benar dibabarkan dengan sempurna, Sv?kkh?to.

Dua penafsiran di atas dari ciri mulia Sv?kkh?to adalah lebih mengagumkan jika dilihat sehubungan dengan empat jenis kepercayaan diri yang sempurna terhadap Buddha (Catuves?rajja Nana). Komentar biasanya menghubungkan sv?kkh?ta dengan empat faktor (Pengetahuan) ini. Empat tersebut dijelaskan sebagai berikut:

Empat Jenis Kepercayaan Diri yang Sempurna (Ves?rajja Nana)

(1) Buddha menyatakan dengan tegas bahwa ?Aku adalah Buddha yang telah mencapai Pencerahan Sempurna yang tertinggi yang memiliki Kebijaksanaan Maha Mengetahui? dan Beliau sungguh-sungguh memiliki Kebijaksanaan Maha Mengetahui.

(2) Beliau menyatakan dengan tegas bahwa ?Aku adalah seorang Arahanta yang telah menghancurkan semua kotoran,? dan Beliau adalah sungguh seorang Arahanta sejati.

(3) Beliau dengan tegas menyatakan dengan Kebijaksanaan Maha Mengetahui yang Beliau miliki bahwa ?Faktor-faktor ini adalah rintangan dalam menuju kelahiran di alam yang bahagia, menuju Jh?na, Magga-Phala,? dan faktor-faktor tersebut adalah benar-benar merupakan rintangan.

(4) Beliau dengan tegas menyatakan dengan Kebijaksanaan Maha Mengetahui yang Beliau miliki bahwa ?Faktor-faktor ini mendukung dalam menuju Pembebasan dari lingkaran kelahiran yang penuh penderitaan,? dan faktor-faktor tersebut adalah benar-benar merupakan faktor-faktor yang mendukung menuju Pembebasan.

Penjelasan:

(1) Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang mampu menantang Buddha dengan mengatakan, ?Engkau mengaku Maha Mengetahui, namun Engkau tidak mengetahui hal ini dan hal itu.? Dan sesungguhnya tidak ada hal apa pun yang tidak diketahui oleh Buddha yang dapat memberikan alasan bagi orang lain untuk mengajukan tantangan demikian. Mengetahui bahwa diri-Nya tidak dapat dibantah, Buddha memiliki kepercayaan diri yang sempurna bahwa pencapaian-Nya dalam Pencerahan-Nya adalah sungguh sempurna, dan kepercayaan diri tersebut memberikan kepuasan dan kegembiraan yang luar biasa bagi-Nya dengan Pengetahuan terhadap pencapaian-Nya. (Jenis (pengetahuan) kepercayaan diri yang sempurna ini bergantung pada keberhasilan-Nya dalam Pengetahuan.)

(2) Demikian pula, tidak seorang pun yang dapat mempertanyakan pengakuan Buddha tentang kesucian-Nya. Tidak ada seorang pun yang mampu menantang Beliau dengan mengatakan, ?Engkau mengaku suci, namun Engkau masih memiliki noda dan ketidak-sucian ini dan itu.? Dan sesungguhnya tidak ada kotoran yang belum dilenyapkan oleh Buddha yang dapat memberikan alasan bagi orang lain untuk mengajukan tantangan demikian. Mengetahui bahwa diri-Nya tidak dapat dibantah, Buddha memiliki kepercayaan diri yang sempurna bahwa kesucian-Nya adalah sungguh sempurna, dan kepercayaan diri tersebut memberikan kepuasan dan kegembiraan yang luar biasa bagi-Nya dengan Pengetahuan terhadap kesucian-Nya. (Jenis (pengetahuan) kepercayaan diri yang sempurna ini bergantung pada keberhasilan-Nya dalam melenyapkan kotoran.)

(3) Demikian pula, tidak ada seorang pun yang mampu menantang Buddha dengan mengatakan, ?Faktor-faktor yang Engkau nyatakan sebagai rintangan dalam menuju kelahiran di alam bahagia, menuju Jh?na, Magga dan Phala, Nibb?na,, ternyata bukan rintangan bagi mereka yang mendekatinya.? Dan sesungguhnya tidak ada rintangan yang tidak menghalangi pencapaian hasil dari praktik Dhamma. Mengetahui bahwa diri-Nya tidak dapat dibantah, Buddha memiliki kepercayaan diri yang sempurna bahwa Beliau telah menyatakan rintangan sebagai halangan dalam praktik mulia, dan kepercayaan diri tersebut memberikan kepuasan dan kegembiraan yang luar biasa bagi-Nya dengan Pengetahuan terhadap ajaran-Nya. (Jenis (pengetahuan) kepercayaan diri yang sempurna ini bergantung pada keberhasilan-Nya dalam mengungkapkan Pengetahuan.)

(4) Demikian pula, tidak ada seorang pun yang mampu menantang Buddha dengan mengatakan, ?Faktor-faktor yang Engkau nyatakan sebagai pendukung dalam Pembebasan dari lingkaran kelahiran yang penuh penderitaan, ternyata tidak mendukung mereka yang menjalani faktor-faktor tersebut.? Dan sesungguhnya tidak ada faktor Pembebasan yang tidak mengantarkan menuju Pembebasan bagi yang tekun berusaha. Mengetahui bahwa diri-Nya tidak dapat dibantah, Buddha memiliki kepercayaan diri yang sempurna bahwa Beliau telah menyatakan faktor-faktor Pembebasan sebagai faktor Pembebasan yang sesungguhnya, dan kepercayaan diri tersebut memberikan kepuasan dan kegembiraan yang luar biasa bagi-Nya dengan Pengetahuan terhadap ajaran-Nya. (Jenis (pengetahuan) kepercayaan diri yang sempurna ini bergantung pada Dhamma yang aman dan damai.)

Empat jenis kepercayaan diri yang sempurna Buddha disebut Empat Ves?rajja Nana. Dari empat ini, dua yang pertama membuktikan fakta bahwa Dhamma yang dibabarkan oleh Buddha telah dibabarkan dengan sempurna yang baik pada permulaan, pertengahan, dan akhirnya, sempurna dalam makna dan kata-katanya, tidak diperlukan penambahan atau pengurangan, murni sempurna dalam meresepkan Latihan Mulia dalam dua cara. (yang merupakan penafsiran pertama dari Sv?kkh?to di atas).

Dua jenis berikutnya mendukung fakta bahwa Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna karena apa pun yang dinyatakan sebagai faktor-faktor penghalang adalah benar-benar penghalang dan juga karena apa pun yang dinyatakan sebagai faktor-faktor pendukung Pembebasan adalah benar-benar membebaskan (yang merupakan penafsiran kedua di atas). (Demikianlah bagaimana Pariyatti Dhamma, ajaran, adalah Sv?kkh?to atau dibabarkan dengan sempurna).

Lokuttara telah dibabarkan dengan sempurna dalam hal bahwa ini menuju Nibb?na melalui latihan Empat Jalan yang dinyatakan oleh Buddha sebagai berikut, ?Ini adalah latihan benar, jalan menuju Nibb?na, dan ini adalah Nibb?na yang dapat dicapai melalui latihan ini.? (Demikianlah bagaimana Magga dan Nibb?na dibabarkan dengan sempurna.)

Dari ketiga aspek Lokuttara ini, yaitu, Magga dan Phala, Nibb?na,, Ariya Magga dibabarkan dengan sempurna dalam hal bahwa ia menghindari dua ekstrem dan diarahkan di Jalan Tengah sebagai latihan yang benar. Buah (Phala) dari Jalan (Magga), yaitu, Buah biasa yang dicapai oleh seorang Ariya, yang berjumlah empat, adalah faktor-faktor di mana tidak terdapat kotoran yang membakar.

Dan pengungkapan kebenaran ini bahwa, ?Empat Phala adalah faktor-faktor di mana tidak terdapat kotoran yang membakar tersisa,? adalah ciri mulia dari pembabaran yang sempurna. Nibb?na adalah kekal, abadi, unsur tidak berkondisi yang tertinggi dan Nibb?na ini yang dinyatakan oleh Buddha sebagai kekal, abadi, dan seterusnya, adalah ciri mulia dari pembabaran yang sempurna. (Demikianlah bagaimana Magga-Phala Nibb?na, faktor-faktor Lokuttara dibabarkan dengan sempurna.)



 
(2) Sanditthiko

Ciri mulia ini hanya berhubungan dengan Lokuttara (kebenaran yang ditembus oleh Ariya). Semua Ariya, apakah seorang Pemenang Arus, atau Yang Sekali Kembali, atau Yang Tak Kembali, setelah menghancurkan berbagai kotoran masing-masing sesuai statusnya, tidak lagi berurusan dengan hal-hal yang membahayakan diri sendiri atau membahayakan orang lain, atau membahayakan keduanya karena mereka tidak lagi memiliki kotoran seperti kemelekatan (r?ga). Oleh karena itu mereka tidak memiliki rasa sakit secara fisik. Karena kotoran telah padam, mereka juga bebas dari rasa sakit secara batin. Dengan merenungkan kenyamanan batin dan jasmani ini, Ariya tersebut melihat bahwa kebebasannya dari kesulitan batin dan jasmani adalah karena tidak adanya kotoran seperti kemelekatan yang telah dihancurkan melalui Pengetahuan Jalan. Ia mengetahuinya dari pengalaman pribadi dan bukan dari kabar angin. Demikianlah Ariya Magga dapat dilihat oleh Ariya dengan pengalaman pribadinya sendiri, karena itu, Sanditthiko.

Penjelasan lain, seorang Ariya, melalui Magga Nana (Pengetahuan Jalan) yang ia capai, mengalami Buah atau Phala Nana, dan menembus Nibb?na. Bagaikan seorang yang memiliki pandangan mata yang baik dapat melihat objek-objek yang terlihat, demikian pula seorang Ariya, melalui Pengetahuan peninjauannya, Paccavekkhana, melihat Magga Nana, Phala Nana, dan Nibb?na. Demikianlah seluruh sembilan faktor dari Lokuttara dikatakan dapat dilihat oleh para Ariya melalui pengalaman mereka sendiri, karena itu disebut Sanditthiko.

Penafsiran lain: (Sam, yang dipuji, Dittha, melalui pengetahuan Magga, Dhamma yang mengatasi kotoran). Seperti kita mengatakan ?raja yang menaklukkan musuhnya dengan kereta tempurnya?, demikian pula, melalui Magga Nana yang merupakan kondisi, mengatasi kotoran. Nibb?na, melalui Magga Nana yang merupakan objek-batin, mengatasi kotoran. Demikianlah seluruh Sembilan Faktor Lokuttara, melalui Magga Nana yang layak dipuji, mengatasi kotoran-kotoran, dan yang adalah Sanditthiko. (Merujuk pada makna dari ciri mulia seperti yang dijelaskan di atas.)

Penafsiran lain lagi: saat Sembilan Faktor Lokuttara dipahami secara menyeluruh melalui pemahaman yang baik dari usaha batin dan penembusan, dan melalui pengetahuan peninjauan, maka seluruh faktor yang merupakan lingkaran kelahiran yang ganas akan jatuh. (Ingat bagaimana para Ariya mengakhiri dukkha, mencabut semua kotoran, melalui pemahaman murni atas Sembilan Faktor Lokuttara.)

Di sini, penafsirannya adalah, ?Dhamma Lokuttara adalah layak dipahami.?

(Sandittham Arahatiti Sanditthiko)

Sandittham, ?untuk dipahami?, Arahati, ?layak?, (bermanfaat), iti, ?oleh karena itu?, Sanditthiko, ?bermanfaat untuk diketahui?).

Dhamma Lokuttara adalah layak dipahami oleh setiap orang yang bertujuan untuk mengakhiri dukkha. Oleh karena itu, Dhamma Lokuttara tidak boleh diabaikan oleh mereka yang ingin menghancurkan belenggu lingkaran kelahiran yang penuh penderitaan. Tidak ada jalan lain untuk mencapai kebebasan. Karena itu Dhamma Lokuttara adalah sungguh Sanditthiko.

(3) Ak?lika

Ciri mulia ini hanya berhubungan dengan Jalan Ariya. Merujuk pada arti ak?lika yang dijelaskan di atas. Jalan Ariya berbuah segera, dan dengan demikian juga memberikan manfaat segera dan tidak habis-habisnya. Pertimbangkan kebajikan duniawi dan manfaatnya yang memerlukan waktu sehari atau paling sedikit beberapa jam untuk berbuah, meskipun pada jenis kebajikan yang berbuah saat ini. Dengan Jalan Ariya Lokuttara tidak demikian. Tidak ada selang waktu antara munculnya Magga Nana dan buahnya, Phala Nana. Pengetahuan Jalan menimbulkan Pengetahuan Buah seketika. Karena itu Magga Lokuttara berbuah tanpa penundaan, Ak?liko.

Hal penting untuk diperhatikan sehubungan dengan ciri mulia ini adalah bahwa menurut Abhidhamm?, dalam satu proses pikiran Magga, kesadaran Magga muncul hanya selama satu momen-pikiran, tidak sampai sekedipan mata sebelum kesadaran Phala muncul. Seorang Ariya yang mencapai Magga adalah seorang ?Pencapai-Magga? hanya selama satu momen-pikiran dan setelahnya ia adalah seorang ?Pencapai-Phala? dengan seketika. Hal ini karena proses-pikiran dari munculnya Jalan dan Buahnya mengalir berturut-turut tanpa terputus. Karena itu, terjemahan Myanmar menjelaskan proses itu bahwa Pencapai-Magga disebut ?adik? dari Pencapai-Phala dalam pengertian teknis.

(4) Ehipassiko

Sembilan faktor-faktor Lokuttara adalah hal-hal nyata dalam pengertian tertinggi. Ada di dalam kebenaran dan kenyataan. Indah karena murni, tidak tercemar oleh noda-noda batin. Layak diselidiki. ?Datang, dan lihatlah sendiri, alamilah sendiri! Cobalah sendiri!? terlihat seperti mengundang. Misalnya, jika Anda tidak memiliki sesuatu yang berharga di tangan yang dapat dipamerkan seperti sekeping emas atau perak, Anda tidak dapat mengundang orang lain, ?Datang dan lihatlah apa ini.? Juga, jika Anda memiliki sesuatu yang menjijikkan di tangan Anda, seperti kotoran, Anda tidak akan mengundang orang lain untuk datang dan melihatnya. Sebaliknya, sesuatu yang menjijikkan dan kotor hanya akan disembunyikan dan tidak diperlihatkan.

Sembilan faktor-faktor Lokuttara adalah hal-hal nyata dalam pengertian tertinggi. Bagaikan bulan purnama di langit yang bersih, atau bagaikan sebutir batu delima besar yang diletakkan
di atas kain beludru putih. Dhamma ini tidak bernoda, tidak berbintik, murni sempurna. Oleh karena itu layak diselidiki, layak dihargai. Mengundang semua orang untuk membuktikan sendiri kebenarannya, Ehipassiko.

(5) Opaneyyiko

Kaum awam tidak memiliki pengalaman Lokuttara. Batin mereka tidak pernah mencapai Kesadaran-Magga dan Kesadaran-Phala. Oleh karena itu mereka tidak pernah menembus Nibb?na. Karena mereka tidak pernah mencapai Kesadaran-Magga dan Kesadaran-Phala dan tidak pernah menembus Nibb?na maka mereka berkubang tanpa akhir dalam lumpur lingkaran kelahiran yang penuh penderitaan. Jika tingkat Lokuttara terendah sebagai Pemenang Arus tercapai, jika Kesadaran-Sot?patti-Magga telah muncul dalam diri seseorang, sang yogi sebagai seorang Ariya telah menembus Nibb?na dengan jelas dan tanpa keliru bagaikan melihat sesuatu dengan mata kepalanya sendiri. Begitu penembusan ini dicapai, ia akan mengakhiri semua dukkha (yaitu, lingkaran kelahiran yang penuh penderitaan) dalam seluruh tujuh kelahiran selanjutnya di alam yang berbahagia.

Dalam suatu kesempatan, Bhagav? meletakkan sedikit tanah di kuku jari-Nya (melalui kehendak-Nya) dan berkata kepada para bhikkhu, ?Para bhikkhu, manakah yang lebih banyak, tanah yang berada di kuku jari-Ku ini atau di bumi yang besar ini??

Dan para bhikkhu menjawab, ?Yang Mulia, tanah di kuku jari itu sangat sedikit, tanah di bumi ini jauh lebih banyak.?

?Demikianlah, para bhikkhu,? Bhagav? berkata, jumlah kelahiran yang dicegah kemunculannya oleh Sot?patti-Magga oleh seorang siswa Ariya adalah bagaikan tanah di bumi ini, dan jumlah kelahiran yang akan muncul baginya sangat sedikit bagaikan tanah di kuku jari-Ku ini (hanya tujuh).

Demikianlah faktor-faktor Lokuttara yang berakibat memotong jalan yang harus dilalui oleh pengembara di dalam sams?ra menjadi hanya sedikit kelahiran saja, dengan akibat yang tertinggi dalam bentuk kebebasan total dari sams?ra, sesuai pencapaian dari masing-masing individu Ariya. Demikianlah, seorang yang bajik yang berniat mengakhiri dukkha harus menetapkan tujuan mencapai Magga-Phala sebagai prioritas tertinggi. Bahkan jika kepala seseorang terbakar, pemadaman api bukanlah suatu hal yang mendesak jika dibandingkan dengan tujuan mencapai Pengetahuan Jalan karena api di kepala hanya menghancurkan kehidupan saat ini saja sedangkan api kotoran dalam diri dapat menyebabkan penderitaan tanpa akhir dalam sa?s?ra. Dhamma Lokuttara harus dilatih dengan tekun hingga Pengetahuan Jalan dan Buahnya tercapai. Nibb?na harus dijadikan sebagai objek batin dengan penuh ketekunan. Demikianlah Sembilan Faktor Lokuttara layak direnungkan dalam batin, Opaneyyiko.

(6) Paccattam Veditabbo

Dalam ciri mulia ini, tiga jenis Ariya harus dipahami, yaitu, (i) Uggha?itannu, yang mencapai Magga-Phala setelah mendengarkan inti dari sebuah khotbah Dhamma, (ii) Vipancitannu, seseorang yang menembus Magga-Phala setelah mendengarkan penjelasan dari Dhamma, dan (iii) Neyya, seseorang yang setahap demi setahap memahami Kebenaran setelah menerima penjelasan yang terperinci dan bimbingan.

Seluruh tiga jenis ini, setelah mencapai Jalan, mengetahui, bahwa mereka telah menjalani Latihan Mulia, bahwa mereka telah mencapai Jalan, Buah, dan telah menembus Nibb?na melalui pengalaman mereka sendiri. Karena pembersihan kotoran harus dilakukan secara langsung oleh diri sendiri. Seorang siswa tidak mungkin mampu menghilangkan kotorannya melalui pencapaian Jalan yang dilakukan oleh gurunya. Ia juga tidak mungkin dapat berdiam dalam Buah melalui Buah yang dicapai oleh gurunya. Ia juga tidak mungkin menetapkan Nibb?na sebagai objek batinnya melalui gurunya yang menetapkan Nibb?na sebagai objek batin (guru)nya. Hanya dengan pencapaian Magga oleh diri sendiri, seseorang dapat melenyapkan kotoran di dalam dirinya. Berdiam dalam Buah hanya mungkin jika seseorang telah mencapai Pengetahuan Buah oleh diri sendiri. Nibb?na juga demikian, suatu hal yang harus dialami langsung, dan bukan ditembus melalui pengalaman orang lain. Demikianlah Sembilan Faktor Lokuttara jangan dianggap sebagai hiasan yang menghias orang-orang lain (dan tidak bermanfaat bagi diri sendiri) tetapi merupakan milik para Ariya yang mampu menikmatinya. Karena faktor-faktor ini berhubungan dengan para bijaksana, maka faktor-faktor ini di luar jangkauan si dungu.

Demikianlah sembilan faktor-faktor Lokuttara ini adalah dimiliki para Ariya yang oleh diri sendiri dapat menembusnya dalam batin mereka dan menikmatinya, Paccatta? Veditabbo.

Perenungan Terhadap Dhamma

Yogi yang berniat untuk merenungkan Dhamma harus mampu mengingat enam ciri mulia Dhamma dalam bahasa P?li dan terjemahannya seperti dijelaskan di atas. Ia harus membacakan masing-masing ciri ini dengan tempo yang tidak terlalu lambat juga tidak terlalu cepat, sambil merenungkan maknanya. Seseorang yang merenungkan ciri-ciri mulia Dhamma, sewaktu melakukan hal itu, akan mencegah munculnya pikiran yang mengarah kepada keserakahan, kebencian, dan kebodohan, selain itu juga akan memperoleh konsentrasi yang akan membersihkan pikirannya dari kemalasan dan kekacauan, dan memberikan peluang bagi munculnya proses-pikiran yang baik melalui latihan batin, yaitu, keseimbangan.

Saat konsentrasi menjadi lebih kuat dan kuat melalui latihan meditasi, rintangan-rintangan akan tersingkir dan akibatnya kotoran juga ditaklukkan. Lima kualitas seperti keyakinan menjadi sangat murni dan efektif. Perenungan yang berulang-ulang terhadap Dhamma akan mempertajam permulaan pikiran dan berlangsungnya pikiran. Saat kedua faktor ini telah bekerja dengan sempurna, kepuasan dan kegembiraan akan muncul. Karena kepuasan dan kegembiraan ini, ketenangan kelompok batin dan ketenangan pikiran juga muncul, dan mengakibatkan kegelisahan fisik dan batin menjadi tenang. Jika ada ketenangan pikiran dan ketenangan kelompok batin, kebahagiaan yang menyebabkan munculnya konsentrasi menjadi jelas. Proses-pikiran yang diperkuat dengan kebahagiaan terpusat pada objek meditasi (yaitu, Dhamma).

Demikianlah faktor-faktor yang terlibat dalam meditasi dimulai dari permulaan pikiran dan menjadi semakin efisien setahap demi setahap. Pikiran tidak malas ataupun kacau sehingga sikap perantara dari latihan meditasi tersebut terpelihara dan lima kualitas seperti keyakinan berfungsi secara harmonis. Lima Faktor Jh?na, yaitu, penempatan awal pikiran, penempatan pikiran sinambung, kegiuran, kebahagiaan, dan kemanunggalan pikiran, muncul bersamaan pada setiap momen-pikiran dengan kesadaran baik yang luar biasa dari perenungan terhadap Dhamma yang merupakan usaha batin yang berhubungan dengan alam indria. Demikianlah konsentrasi awal atau konsentrasi ambang, Upac?ra Jh?na, dicapai. Saat konsentrasi ini muncul bersama-sama dengan kesadaran baik yang luar biasa dari perenungan terhadap Dhamma yang merupakan usaha batin yang berhubungan dengan alam indria, yogi tersebut disebut seorang yang telah mencapai Upac?ra Jh?na dari perenungan terhadap Dhamma.
(Pertanyaan yang berhubungan dengan Upac?ra Jh?na dan jawabannya dapat dikutip dari topik yang sama dalam perenungan terhadap Buddha.)

Manfaat Perenungan Terhadap Dhamma

Seorang yogi yang merenungkan Dhamma berulang-ulang akan terkaruniai oleh nilai intrinsik Dhamma yang layak dituruti terus-menerus sehingga ia menumbuhkan perasaan kagum dan bersyukur terhadap Buddha, sumber dari Dhamma. Karena tidak pernah Dhamma itu diajarkan oleh guru-guru lain. Demikianlah, melalui kebiasaan merenungkan Dhamma, seseorang akan secara alami menjadi setia kepada Buddha melampaui kesetiaan orang lain. Oleh karena itu, kesetiaannya terhadap Buddha sebanding dengan kesetiaan seorang Ariya. Ia akan mendapatkan perhatian yang stabil, kebijaksanaan yang mendalam, dan banyak jasa. Ia memiliki kegembiraan dan kepuasaan yang sangat besar, yang lemah pada awalnya, dan kemudian berkembang pada tingkat yang luar biasa. Ia menjadi tidak membeda-bedakan hal-hal yang menakutkan,besar maupun kecil. Ia menjadi sabar dalam menghadapi rasa sakit. Ia merasa senantiasa didampingi oleh Dhamma. Tubuh seseorang yang batinnya berada di dalam Dhamma adalah bagaikan altar yang layak mendapat penghormatan.

Batinnya selalu condong dan berkeinginan untuk mencapai sembilan faktor-faktor Lokuttara. Karena terus-menerus sadar akan ciri-ciri mulia Dhamma, ia menjadi tidak mampu melakukan perbuatan jahat, karena rasa malu dan takut untuk melakukannya, bahkan jika kesempatan itu muncul. Perenungan terhadap Dhamma adalah sebuah landasan pasti untuk mencapai Magga-Phala. Jika seorang yogi tidak mencapai Magga-Phala dalam kehidupan ini karena kurangnya jasa masa lampau, ia akan terlahir kembali di alam bahagia. Ini adalah manfaat-manfaat dalam merenungkan Dhamma,

Hal yang Penting Diingat

Komentar mengatakan bahwa dari enam ciri mulia Dhamma, hanya yang pertama, Sv?kkh?to, yang berhubungan dengan Pariyatti seperti yang dibabarkan oleh Buddha, dan bahwa lima ciri lainnya berhubungan dengan Sembilan Faktor Lokuttara. Visuddhimagga Mah?tik? (Vol. 1) membahas topik ini dengan penjelasan lain yang dikutip seperti di bawah ini:

Walaupun Komentar mengatakan bahwa dalam pengertian khusus, lima ciri mulia yang dimulai dengan Sanditthiko adalah termasuk Lokuttara, namun juga dapat dipertimbangkan termasuk dalam ajaran atau Pariyatti Dhamma dengan dasar sebagai berikut:

Seorang bijaksana yang memelajari, yang menghafalkan banyak Kitab P?li, yang memiliki perhatian yang sangat stabil, dapat melihat Dhamma yang baik pada awalnya, dan seterusnya, dan oleh karena itu Dhamma adalah Sanditthiko karena Sanditthiko didefinisikan sebagai ?Sanditthiya Jayatiti Sanditthiko?―?Bahwa pengetahuan akan Dhamma dapat menjadi alat untuk menaklukkan para penganut ajaran lain??ini adalah arti Sanditthiko secara khusus. Dalam menaklukkan kotoran, pengetahuan akan Dhamma merupakan faktor pendukung dan oleh karena itu Dhamma dapat disimpulkan adalah Sanditthiko: seperti sebuah definisi lain yang menyatakan, ?Sandittham Arahantiti Sanditthiko?―?Bahwa Dhamma telah dibabarkan untuk membersihkan semua faktor-faktor yang mengotori? dan diarahkan kepada kemajuan faktor-faktor baik dan murni, hal ini layak diperlajari untuk mendapatkan persepsi. Karena itu, hal ini adalah Sanditthiko.

Karena Dhamma adalah kondisi yang tepat untuk mencapai Magga Lokuttara, yang dapat dicapai setiap saat, maka ini adalah Ak?liko, dipertimbangkan hal-hal yang merupakan hasil yang mungkin.

Dhamma itu sendiri adalah nyata dan murni sempurna. Oleh karena itu terbuka untuk diperiksa dan mengundang seluruh dunia untuk datang dan melihatnya, memelajarinya, dan memeriksanya. Karena itu, juga disebut Ehipassiko.

Karena dipenuhi dengan ciri-ciri mulia tersebut, Dhamma itu layak untuk terus-menerus diingat oleh para bijaksana yang ingin mengakhiri dukkha. Oleh karena itu disebut Opaneyyiko.

Seseorang yang memelajari Dhamma dengan batin yang mengarah kepada Kearahattaan, akan memperoleh kegembiraan dan kepuasan baik yang diakibatkan oleh kesempurnaan bahasanya maupun kesempurnaan maknanya. Kualitas dalam memberikan kepuasan dan kegembiraan kepada para bijaksana, sesuai kapasitas mereka, adalah Paccattam Veditabbo.

Demikianlah penjelasan yang terdapat dalam Visuddhimagga Mah?tik? tentang bagaimana lima ciri mulia Dhamma yang juga dapat dikelompokkan dalam Dhamma.


 
Back
Top