NALA dan AKU
Aku tahu bahwa Nala mulai bosan padaku dan sesunggguhnya aku pun mengerti keterpaksaan Nala bersamaku selama hampir 3 tahun ini. Aku paham bahwa Nala memilihku karena keadaan orangtuanya, tapi aku juga harus lebih bijaksana bersikap, aku harus terus bersama Nala sampai ia benar-benar bosan padaku dan aku sudah tak berguna lagi baginya. Memang wajar jika Nala tak terlalu tertarik padaku, dengan kulit yang hitam dan bentuk tubuh yang kurus dan pendek serta kondisiku yang tak se”smart” kawan-kawanku.
Walau Nala tak lagi memperhatikanku seperti pertama kali kami bertemu dan memulai hari-hari bersama, tapi aku tetap bahagia bersama Nala. Setidaknya aku tahu bahwa Nala masih sangat bergantung padaku dan kurasa Nala masih sangat membutuhkanku. Nala memang gadis yang periang dan apa adanya, walau ayahnya hanya seorang pensiunan pegawai negeri dan ibunya adalah ibu rumah tangga. Nala sangatlah rajin dan memiliki banyak teman dan kegiatan, ia tak pernah mau berdiam dalam keadaan menganggur, walau aku baru mengenalnya sejak ia kuliah tingkat pertama aku merasa bahwa sejak dulu ia memang anak yang menyenangkan. Nala memang anak tunggal tapi menurutku sikapnya tidak menunjukkan keegoisan sama sekali, ia senang mengalah pada teman-temannya dan sikapnya yang tak pernah neko-neko membuat teman-temannya senang bergaul dengan Nala, ia pun selalu menghargai setiap hal yang dia miliki dalam hidupnya.
Yang aku tak mengerti, kini Nala banyak berubah, ia tak lagi seperti yang aku kenal dulu, ia banyak mengeluh padaku, gaya hidupnya pun mulai lebih konsumtif, tapi aku tak bisa berkata apa-apa untuk memberinya nasihat. Seperti pagi ini, Nala membentakku dengan kata-kata yang kurang enak didengar.
“Duh…. Kemana sih dia?? Kok udah jam segini masih belum kelihatan juga….” Nala nampak panik.
“Hhhh…… kemana aja sih!!!! Baru kelihatan sekarang!!!! Aku udah telat tahu!!! Dasar nggak berguna!!! Pagi-pagi udah bikin kesel aja!!!”
Aku tak dapat menjawab kemarahan Nala, aku hanya diam. Apa aku tak salah dengar dengan kata-katanya tadi, dia bilang aku tak berguna. Padahal banyak hal yang sudah aku lakukan untuknya; aku selalu menemaninya kemana pun ia pergi, aku selalu membangunkannya di pagi hari, aku selalu mengingatkan jadwal kegiatannya, aku...... ah rasanya aku ingin menangis, jika saja aku mampu. Tapi tak ada waktu untuk bersedih, Nala nampaknya sudah sangat kesal karena terlambat berangkat ke kampus.
Aku tak tahu mengapa Nala berubah menjadi begitu kasar padaku, akhir-akhir ini ia memperlakukanku seenaknya. Percakapannya dengan Kintan sahabatnya siang ini pun benar-benar membuatku teriris.
”Duh, tan lo tahu nggak... gue bete abis sama si blacky, tadi pagi gue telat berangkat tuh gara-gara doi.... hhhhhh..... pengen gue cincang-cincang aja rasanya, gemes... lagian gue udah bosen sama dia.” Nala memang menjuluki blacky jika berbicara dengan Kintan karena kulitku yang legam.
”Hahahaha.... gitu aja sewot, susah susah amat sih lo, Nal.... ya cari aja yang baru gitu....”
“Pengennya sih gitu, tapi rasa-rasanya masih belum sanggup nih, udah mau 3 tahun gitu loh, huhu.....”
“Yah, kalo gue sih Nal... yang kaya gituan udah nggak banget deh... lagian 3 tahun betah amat.... gue aja 1 tahun bisa ganti 3 kali deh.... hehehehe.... si imut, si jangkung sama si ndut....”
“Gue pengen banget bisa kayak lo gitu, tapi apa daya, Tan...”
“Eh, kalo nggak, lo cari yang ndut tuh kaya punya gue yang baru, huahahahaha.......”
“Idih.... mau dong.....”
Apa.... Nala benar-benar ingin mencampakkan aku.. Nala memang tak tahu bahwa aku mencuri dengar percakapannya dengan Kintan. Aku benar-benar terluka, aku yang sudah menemaninya sekian lama, kini ia benar-benar bosan padaku. Indikasi akan ada penggantian posisiku benar-benar kentara. Kalau pun Nala memang benar-benar tak membutuhkanku lagi nantinya apa mau dikata, aku hanya bisa menuruti keinginannya.
Sore sebelum pulang ke rumah, Nala menemani Kintan untuk shopping di mall. Mobil Kintan nampaknya baru, maklumlah ayahnya seorang pengusaha tekstil terbesar di Jakarta. Nala mengajak aku bersama mereka, tapi sepanjang perjalanan aku hanya diam dan mendengarkan mereka bercanda dan tertawa-tawa entah menertawakan apa, aku sudah tak peduli karena moodku sudah hilang sejak dikatakan tak berguna tadi pagi. Jazz Kintan melaju dengan cepat, sampai di mall seperti biasa Kintan membeli apa saja yang ia rasa ia sukai, Nala pun seperti biasanya hanya manggut-manggut saja jika ditanya pendapatnya tentang pakaian atau sepatu yang diminati Kintan. Ketika tiba di depan sebuah toko, mereka berdua berhenti sejenak. Nampakmnya ada sesuatu yang menarik perhatian Kintan dan Nala.
”Wuaaahhh........ liat deh itu tu Nal....cucok ya, bu.....”
”Waduh jeng Kintan masih aja jelalatan, inget-inget si ndut.... masa sih mau mendua....”
”Yah nggak papa lah jeng Nala.... secara jaman sekarang emang jamannya yang double double gitu deh.... atau buat lo aja Nal.... kan lo udah bosen tuh tadi katanya..... sama itu tu.... hahaha.....” Gila!!! Kintan menyindir aku di depan mukaku, tak berperasaan.
”Nggak mungkin lah nek yang keren abis gitu bisa jatuh ke pelukan Nala.... gue Cuma bisa mimpi doang, babe... hihihi....” Walah, Nala lebih gila lagi, ia sama sekali tak sungkan mengatakan hal yang tak seharusnya aku dengar.
”Ya udah yu Nal kalo lo nggak mau, kita pulang aja....”
”Ok, bu....”
”Duh, lo kok bener-bener nggak bisa diandelin sih.... dasar lemot!!! Sebenernya mau lo apa sih, bete BANGET gue sama lo.... bener-bener payah!!!!!! ”
Malam ini Nala marah-marah lagi padaku. Dan untuk kesekian kalinya aku hanya diam, kenapa sih Nala selalu menyalahkan aku, terutama kalau sedang punya banyak masalah pasti aku yang dijadikan sasaran.
Ring tone berbunyi, ternyata Kintan menelepon. Seperti biasa jika Kintan menelepon pasti mereka ngobrol ngalor ngidul dan tak mungkin sebentar, aku tahu kebiasaan mereka berdua.
”Gimana cin... kabar si blacky?? Hehehe.....” Ya ampun, dia menyebut-nyebutku lagi.
“Ahhh... jangan bikin gue tambah bete deh, Tan... pusing gue sama dia... nggak ngerti maunya apa.... rasanya pengen bener-bener gue tinggalin aja.....” Nala bicara dengan keras seolah ingin aku benar-benar tahu perasaannya saat ini padaku.
“Haduuh, bu..... kenapa lagi sih... yang penting kan nggak ada tanda-tanda keanehan padanya, huehehehehe.........”
“Apakah...... dia super aneh!!! Males gue.... penting nggak sih bikin gue kesel melulu….. jelous nih gue sama lo…. Huu……”
“Yah… si jeng ini…. Kenapa jelous sama daku siii….??”
”Ya secara lo punya si ndut tuh yang pastinya buat lo nyaman banget kan......”
“Oh iya... emang lo naksir sama si ndut gw? Kenapa nggak bilang? Kalo tahu gitu kan ntar gue pertimbangkan dia untuk jadi milikmu, hihi.....”
”Dasar error, yang berharga gitu seenak-enaknya mau dioper-oper ke gue.....”
”Kan akuw bisa cari yang baru, nek..... huehehehe.......”
”Gila lo.....”
Ya Tuhan.. siapa sebenarnya yang gila Kintan atau Nala. Kintan memang gila mau menyerahkan ’si ndut’nya pada Nala tapi Nala lebih gila mengatakan hal yang menyakitkan begitu di depanku. Aku benar-benar tak paham sikap Nala sekarang.
Hari ini Nala kesiangan lagi dan seperti hari-hari yang lalu ia menyalahkanku atas tak nampaknya aku di hadapannya ketika ia sedang terburu-buru akan berangkat. Seperti pagi pagi yang lalu kami berangkat dengan bus yang penuh sesak, Nala memegangiku dengan kencang, dalam hati aku sangat bahagia, biar pun ia kini kasar padaku tapi toh aku merasa masih sangat berharga dengan adanya pagi ini. Nala tertidur karena semalam ia tidur amat larut setelah menyelesaikan tugas kalkulusnya, wajah Nala begitu manis ketika sedang tidur. Ketika aku sedang terdiam tiba-tiba seorang pria tak dikenal menghampiriku, lalu mengambilku dari saku celana Nala, aku tak dapat melakukan apa-apa, pria itu turun dari bus kemudian membawaku pergi entah kemana. Saat terbangun Nala sadar bahwa aku sudah tak ada di sakunya, Nala segera melapor ke polisi terdekat, Nala menangis, ia sadar bagaimana pun keadaanku, aku sangat berharga baginya.
Ya... walau pun aku bukan N93i yang imut-imut karena bisa dilipat, bukan pula E90 yang jangkung apalagi blackberry yang gendut seperti milik Kintan, aku memang bukanlah smart phone yang punya banyak fitur dan fasilitas multimedia yang lengkap, aku pun tak dilengkapi dengan radio atau kamera, aku memang hanya sebuah handphone CDMA hitam yang tak dapat diganti casingnya dan aku hanya seharga kaos Kintan yang berlabel Mango atau Hush Puppies, tapi kini aku tahu bahwa Nala menyayangiku karena aku yang selalu menemaninya berkegiatan selama hampir 3 tahun ini, yang menyimpan nomer telepon banyak teman dan famili Nala, yang biasa digunakan untuk menghubungi bapak dan ibu Nala di Bandung, yang biasa ia andalkan alarmnya untuk membangunkan tidurnya atau untuk mengingatkan jadwal-jadwalnya. Walau Nala sering memakiku yang suka terselip di antara diktat-diktat kuliahnya, walau ia sering menyalahkanku yang karena keteledorannya sendiri meletakkanku sehingga membuatnya terlambat ke kampus akibat mencariku, tapi aku mengerti ia tetap membutuhkan keberadaanku. Yah.. walau aku mulai aneh dan sering ngadat tapi setidaknya masih bisa digunakan Nala untuk komunikasi
Nala hanya bisa menitikkan air matanya di pos polisi terdekat, ia tak pernah berpikir akan berpisah denganku untuk selamanya dengan cara yang menyedihkan seperti ini dan ia tak pernah berpikir bahwa handphone seperti aku pun masih ada yang berusaha mencuri. Nala tak tahu bagaimana kini ia bisa menghubungi kawan-kawan dan familinya karena ia tak pernah memback up nomer telepon mereka. Dalam hati Nala berucap ”Blacky... aku pasti akan sangat merindukanmu..........”
Sesuatu memang tak pernah terasa begitu berharga ketika masih kita miliki tapi terasa begitu perih rasanya saat kehilangan.
aku ikutan ya...
INDIANE PUTRI NINGTIAS
021-32531884