spirit
Mod
Dalam realitas kehidupan manusia di dunia ini, terdapat pluralitas yang
tidak mungkin ditolak siapa pun, baik pluralitas agama, budaya, suku,
bahasa maupun pemikirannya. Dilihat dari aspek kemampuan berpikir manusia,
baik kapasitas maupun pengalaman pendidikan yang berjenjang, maka ada
pluralitas kemampuan berpikir manusia dalam memahami Tuhan. Karena itu,
pada tiap orang sesuai kemampuan berpikirnya, pemikiran tentang Tuhan yang
ada dalam realitas kehidupan manusia, dengan sendirinya akan ada pluralitas
juga.
Pluralitas pemikiran tentang Tuhan dengan sendirinya akan melahirkan
pluralitas tuhan, yaitu tuhan yang ada dalam pikirannya atau yang
dipikirkan, dan tuhan yang ada dalam persepsinya atau yang dipersepsikan.
Pada hakikatnya, tuhan yang ada dalam pikiran seseorang dan yang
dipersepsikan itu bukan Tuhan itu sendiri. Konsekuensinya, pemikiran dan
persepsi manusia tentang tuhan tidak boleh dimutlakkan kebenarannya, karena
bukan Tuhan tetapi tuhan.
Dalam realitas kehidupan manusia, seringkali pikiran dan persepsi seseorang
tentang tuhan dianggap Tuhan, dan karenanya bersifat mutlak. Pemutlakan itu
sebenarnya masih dapat ditolerir, jika diberlakukan untuk diri sendiri.
Tetapi, ketika pikiran dan persepsinya tentang tuhan dipakai untuk menilai
pikiran dan persepsi orang lain tentang tuhan, kemudian menghakimi sesat
kebenaran tuhan yang ada pada pikiran dan persepsi tuhan orang lain, maka
akan terjadi konflik paham ketuhanan yang sering berujung konflik
kekerasan. Mengapa? Karena masing-masing memutlakkan kebenarannya sendiri
dan memaksakannya pada orang lain.
Karena itu, jika Tuhan dipakai untuk menjustifikasi tindakan kekerasan atas
nama Tuhan, maka tuhan yang dimaksud pastilah bukan Tuhan, tetapi tuhan
yang ada dalam pikiran dan persepsinya sendiri. Akibatnya seseorang hanya
menyembah pikiran dan persepsinya sendiri tentang tuhan, dan tidak
menyembah Tuhan yang menciptakan semuanya yang ada.
Dalam keadaan seperti itu, manusia sudah menghamba pada berhala ideologi
yang diciptakannya dan dipertuhankannya. Sebuah tragedi kemanusiaan!
Realitas pemikiran dan persepsi seseorang tentang tuhan yang plural itu,
harus diletakkan pada kenisbian manusia, sehingga pluralitas tuhan akan
berkembang menjadi pengayaan spiritualitas, karena pluralitas tuhan itu
menjadi bagian proses menuju Tuhan. Dalam tahap pengalaman memasuki dimensi
Tuhan Yang Mutlak, manusia merasakan, dirinya berhadapan dengan
ketidak-terbatasan dan ketakterhinggaan yang tak mungkin dijangkau, dengan
implikasi pada penegasan realitas kekecilan dan kekerdilan diri sendiri di
hadapan Tuhan. Pada ujungnya pengalaman itu melahirkan sikap rendah hati,
santun dan menghormati sesamanya.
tidak mungkin ditolak siapa pun, baik pluralitas agama, budaya, suku,
bahasa maupun pemikirannya. Dilihat dari aspek kemampuan berpikir manusia,
baik kapasitas maupun pengalaman pendidikan yang berjenjang, maka ada
pluralitas kemampuan berpikir manusia dalam memahami Tuhan. Karena itu,
pada tiap orang sesuai kemampuan berpikirnya, pemikiran tentang Tuhan yang
ada dalam realitas kehidupan manusia, dengan sendirinya akan ada pluralitas
juga.
Pluralitas pemikiran tentang Tuhan dengan sendirinya akan melahirkan
pluralitas tuhan, yaitu tuhan yang ada dalam pikirannya atau yang
dipikirkan, dan tuhan yang ada dalam persepsinya atau yang dipersepsikan.
Pada hakikatnya, tuhan yang ada dalam pikiran seseorang dan yang
dipersepsikan itu bukan Tuhan itu sendiri. Konsekuensinya, pemikiran dan
persepsi manusia tentang tuhan tidak boleh dimutlakkan kebenarannya, karena
bukan Tuhan tetapi tuhan.
Dalam realitas kehidupan manusia, seringkali pikiran dan persepsi seseorang
tentang tuhan dianggap Tuhan, dan karenanya bersifat mutlak. Pemutlakan itu
sebenarnya masih dapat ditolerir, jika diberlakukan untuk diri sendiri.
Tetapi, ketika pikiran dan persepsinya tentang tuhan dipakai untuk menilai
pikiran dan persepsi orang lain tentang tuhan, kemudian menghakimi sesat
kebenaran tuhan yang ada pada pikiran dan persepsi tuhan orang lain, maka
akan terjadi konflik paham ketuhanan yang sering berujung konflik
kekerasan. Mengapa? Karena masing-masing memutlakkan kebenarannya sendiri
dan memaksakannya pada orang lain.
Karena itu, jika Tuhan dipakai untuk menjustifikasi tindakan kekerasan atas
nama Tuhan, maka tuhan yang dimaksud pastilah bukan Tuhan, tetapi tuhan
yang ada dalam pikiran dan persepsinya sendiri. Akibatnya seseorang hanya
menyembah pikiran dan persepsinya sendiri tentang tuhan, dan tidak
menyembah Tuhan yang menciptakan semuanya yang ada.
Dalam keadaan seperti itu, manusia sudah menghamba pada berhala ideologi
yang diciptakannya dan dipertuhankannya. Sebuah tragedi kemanusiaan!
Realitas pemikiran dan persepsi seseorang tentang tuhan yang plural itu,
harus diletakkan pada kenisbian manusia, sehingga pluralitas tuhan akan
berkembang menjadi pengayaan spiritualitas, karena pluralitas tuhan itu
menjadi bagian proses menuju Tuhan. Dalam tahap pengalaman memasuki dimensi
Tuhan Yang Mutlak, manusia merasakan, dirinya berhadapan dengan
ketidak-terbatasan dan ketakterhinggaan yang tak mungkin dijangkau, dengan
implikasi pada penegasan realitas kekecilan dan kekerdilan diri sendiri di
hadapan Tuhan. Pada ujungnya pengalaman itu melahirkan sikap rendah hati,
santun dan menghormati sesamanya.