Santri Malam

nahjatul

New member
:):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):):)

“Huh....dingin banget malam ini." gerutuku. Hujan gerimis dan hembusan angin membuat tubuhku menggigil. Jalan terlihat lengang. Jam tanganku menunjukkan angka 8. Meskipun dingin, hal ini tak menurunkan semangatku dan Sigit. Ia temanku sejak SMA. Aku memacu sepeda motor yang selalu setia menemaniku, menembus gelapnya malam. Bibirku mulai bergoyang menahan dinginnya malam ini. Tangan nyeri, tapi aku tak peduli. Aku terus memacu kendaraan ini lebih kencang. Aku ingin segera sampai di tujuan.
Setiap malam rabu, Aku punya kegiatan rutin. Seperti malam ini, aku dan Sigit berkunjung ke Pondok Pesantren untuk mengaji. Pondok Pesantren Nahjatul Ula. Pondok ini agak jauh dari pusat kota. Letaknya sekitar 10 kilometer dari rumahku. Sepi, tenang, damai menyelimuti hatiku, ketika aku berada di pondok ini. Sehari saja, Aku melewatkannya, pasti kegelisahan berdemo tanpa kendali mengisi ruang imajinasiku yang kosong. Aku mencintai tempat ini. Aku menangis, merenungi kesalahan-kesalahan, dan menenangkan gairah mudaku yang liar.
Tak hanya kami yang belajar di pondok ini. Anak-anak sampai usia sepuh pun belajar di pondok ini. Memahami agama bagiku, layaknya memahami kehidupan. Hari-hariku yang penuh liku-liku, terkadang menghancurkan benteng-benteng imanku yang rapuh. Banyak persoalan kehidupan yang harus segera ku selesaikan, sementara persoalan-persoalan lain siap menghadang jalanku.
Kadang-kadang aku tak kuat menghadapi beban hidup ini. Hanya tangisan yang bisa ku lakukan. Menangis dan terus menangis. Meluapkan semua beban yang berada dalam pikiranku. Ketakutan-ketakutan selalu menghantuiku. Memberikan rasa gelisah yang kian bertambah. Aku ingin berteriak, tapi lidahku terasa kelu. Tak punya daya, tak punya kekuatan untuk katakan kepahitan yang terjadi. Aku tak cukup berani, untuk menjadi orang yang terkenal. Yah...terkenal dengan banyaknya masalah.
Aku terkadang cuek, tak peduli lingkungan sekitarku. Hal ini ku lakukan hanya untuk menutupi derita hatiku yang berkepanjangan. Aku hanya ingin dunia memperhatikanku, namun satu centimeter pun dunia enggan melihatku. Bahkan, dunia hanya melempar senyum sinisnya, kemudian berlalu dari hadapanku begitu saja. Membiarkan diriku terkulai lemas tanpa daya, menari bersama berbagai persoalan yang telah memenuhi ruang imajinasiku. Semakin ku pikirkan, kepalaku semakin bertambah pusing. Seakan-akan sejuta jarum menusuk-nusuk kepala mungilku.
Seberkas cahaya menyilaukan mataku diiringi bunyi yang cukup membuat telingaku pekak. “Awas, ada mobil!” pekik Sigit. Aku tersentak dan langsung menghindari mobil yang tak jauh dari hadapanku. Dadaku berdegup kencang. Aku memperlambat laju kendaraanku. Sigit mengoceh semaunya, tapi tak satu pun kata-katanya yang mampu menembus gendang telingaku. Aku tak menghiraukan ocehannya, ku lanjutkan pengembaraan menuju ruang-ruang imajinasiku yang sempat terputus.
Masalah demi masalah selalu menghantuiku. Masalah itu seakan-akan berkata mengejekku, “Hei, pecundang! Tetaplah seperti itu, merana putus harapan. Kami akan selalu menemanimu dan membuatmu semakin resah. Ha.ha.ha.ha.ha.ha.ha.ha. tetaplah jadi budakku, budak kegelisahan.” Hatiku gemetar, takut, cemas. Imajinasiku semakin liar, mengetuk berjuta-juta pintu membawaku melintasi cakrawala pikiran yang tak terkendali.
Aliran darahku bergejolak, memenuhi setiap pembuluh darah di otakku. Pintu-pintu itu terbuka satu persatu. Pintu itu menarik minatku untuk segera menjelajah ke dalam ruang-ruang labirinnya. Langkahku semakin cepat memburunya, bagaikan anak panah yang terlepas dari busur. Mencari, mencari, dan mencari. Seolah-olah ada sesuatu yang hilang dariku.
Ku telusuri semua keresahan yang menemani hari-hariku. Berkelana mencari pusat magma keresahan itu. Aku melangkah lebih jauh memasuki pintu demi pintu. Gelap dan semakin gelap. Mataku tak melihat apapun. Aura keresahan semakin membakar tubuhku. Aku menggeliat, meraung tanpa suara. Ku biarkan, imajinasiku membelai setiap lekuk-lekuk hatiku. Terdiam lalu terpaku.
Ketegangan demi ketegangan menghampiriku, menyapaku sinis. Semakin dalam ku telusuri ruang-ruang hatiku. Semakin dalam pula jalan yang terbentang di hadapanku. Jalan ini seperti tak memiliki ujung. Kakiku lelah. Namun, ada sesuatu yang terus memberikan semangat untuk terus melangkah. Aku tak tahu apa yang ku cari, tetapi aku bersemangat untuk mendaki tebing-tebing terjal dan curam imajinasiku. Aku merasa ada ketenangan, ketika aku melangkah dan terus melangkah.
Ketenangan yang selama ini ku dambakan. Ketenangan yang menjadi penghibur, ketika tak satu pun lagu dapat menghiburku. Ketenangan yang sangat ku nantikan untuk menemani hari-hariku berkelana di dunia fana ini. Aku merindukannya. Langkah-langkah kecilku bergerak lebih cepat berlomba dengan sang waktu. Pintu demi pintu ku buka. Ku jelajahi jalan-jalan panjang. Ketemu pintu lagi, ku buka lagi, lalu ku jelajahi lagi. Aku terus melangkah berkelana tanpa ada garis finish.
Perjalanan ini, membuatku merasakan semua pernak-pernik kehidupan. Perkelahian dua hal yang bertentangan tampak jelas melintas begitu saja tanpa permisi. Sisi gelap dan terang mulai merayuku. Kadang-kadang aku tertarik dengan bujuk rayu kegelapan yang penuh misteri. Kadang-kadang aku tersadar bahwa gelap tak bisa memberiku sebuah kepastian, bahkan membawaku semakin tersesat jauh dari tujuanku.
Cahaya redup selalu membuatku terpana, saat ia sepintas menyapaku dengan keramahannya. Hatiku damai. Aliran sungai ketenangan menghampiriku perlahan-lahan menyatu dengan aliran darah di sekujur tubuhku. Gerakan lembutnya membuatku terbang melayang melintasi cakrawala dunia yang tak mampu ditembus. Cahaya itu menerangi hatiku yang gelap. Walau saat ini, cahaya itu redup. Ia mampu membantuku untuk melihat ukiran-ukiran relief di dinding hatiku. Aku terpana melihatnya.
Dinding-dinding itu, seolah membentuk jalinan kisah kehidupanku sejak aku diciptakan. Aku pandangi satu persatu ukiran-ukiran itu. Aku gembira, aku melihat wajah ibuku yang cantik terukir sangat besar membelai rambut tipisku. Aku melihat senyumnya. Senyum kemenangan, yang selalu menemaniku. Guratan kebahagian karena telah melahirkan sosok mungil ini. Aliran darahku berhenti, tubuhku bergetar. Ku pandangi wajahnya. Ku lihat ia meneteskan air kemilau dari kedua matanya. Harapan-harapannya menghampiriku. Aku tak sanggup melihat buliran-buliran air matanya. Aku mengambil sebuah guci, ku letakkan di bawahnya. Ku lihat tetes air itu, masuk perlahan kedalam guci itu. Ku ingin berlalu, tapi hatiku tak mau beranjak pergi. Aku ambil tetes-tetes air itu, ku basuh setiap bagian anggota tubuhku.
Tetesan air itu semakin deras, aku hanya duduk bersimpuh dihadapannya. Tak kuat berdiri dan melangkah lagi. Ku pandangi lekat kerutan-kerutan di wajahnya. Seolah-olah berharap, anak di pangkuannya menjadi anak yang memberikan kebahagian kepada dirinya dan semua penduduk dunia, cinta padanya. Sungai di mataku meluap, menumpahkan airnya melalui ujung mataku, mengalir deras membentuk aliran sungai kecil di pipiku.
Perlahan-lahan ku kumpulkan kekuatan di kaki ku, agar dapat melangkah pergi. Aku berdiri, ku pandangi sekali lagi wajah itu dengan membawa semua harapannya bersamaku. Dalam hatiku, aku berjanji untuk mewujudkan semua harapan yang melintas dan menyapa pikiranku. Kakiku perlahan-lahan berlalu meninggalkan lukisan itu, melangkah dan terus melangkah. Aku pandangi setiap jengkal lukisan-lukisan di sepanjang jalan yang ku lalui.
Lukisan-lukisan itu memberikan semangat baru untukku untuk terus bersemangat menjalani kehidupanku. Ruang hatiku yang gelap perlahan-lahan mulai terang. Bersama itu mengalir ketenangan yang selama ini ku nantikan. Bebanku lenyap seketika, terbang entah ke mana. Ruang itu memberikan kedamaian ke dalam hatiku. Aku ingin berlama-lama di ruangan ini.
“Hei, jangan melamun terus!” tegur Sigit. Aku tersentak. Aku hanya diam menaggapi teguran sahabatku ini. Imajinasiku langsung pergi meninggalkan diriku. Namun, hatiku damai. Tampak dari kejauhan sebuah plang nama dengan warna hijau bertuliskan ‘Pondok Pesantren Nahjatul Ula’. Semakin dekat, tulisan itu semakin jelas terlihat olehku.
Ketika sampai di dekat plang nama tersebut, sepeda motorku ku belokkan ke arah kiri memasuki ruas jalan yang lebarnya sekitar 1,5 meter. Ku pacu kendaraan dengan perlahan. Jarak yang harus ku tempuh masih sekitar 2 km lagi. Dinginnya malam sudah tidak ku rasakan lagi. Di kiri dan kanan jalan tampak beberapa rumah yang jaraknya cukup jauh antara rumah yang satu dengan yang lainnya.
Sepinya jalan tampak jelas di sepanjang jalan kecil ini. Tak ada seorang pun, cahaya lampu pun jarang. Meskipun ada, cahayanya redup. Angin menyentuh kulitku, membuat bulu kudukku berdiri. Di kejauhan terdengar sayup-sayup suara zikir. Zikir itu menembus jiwaku, jiwa pendosa. Aku semakin memperlambat laju kendaraan beroda dua ini. Semakin lama suara itu semakin keras terdengar.
Aku menghentikan kendaraanku, dan mematikan mesinnya di antara kendaraan-kendaraan yang lain. Puluhan kendaraan berjejer rapi di halaman pondok itu. Aku dan Sigit bergegas menuju sebuah ruangan yang telah dipadati oleh santri-santri yang lain. Aku duduk berdampingan dengan Sigit, namun kami tidak saling bertegur sapa. Kami hanyut dalam keheningan masing-masing. Menenggelamkan diri kami dalam lautan zikir yang membelai lembut hati kami.
Sungai-sungai di mataku meluap, membayangkan perbuatan-perbuatan dosa yang telah ku perbuat. Ku resapi semua penyesalanku, ku resapi semua tindakan-tindakanku yang merugikan orang lain. Aku tak tahu, apakah orang-orang yang pernah ku zalimi mau memaafkan diriku yang hina ini. Aku berharap mereka mau memaafkan diriku. Aku menyesal.
Bayangan ibuku kembali terlintas dalam benakku. Selama ini, belum ada satupun yang ku lakukan dapat membuatnya tersenyum bahagia. Bahkan, terkadang hanya rasa sakit yang ku berikan kepadanya. Walaupun tidak ada niat di dalam hatiku untuk menyakitinya. Aku ingin berbakti kepadanya. Namun, aku tak tahu apa yang bisa aku lakukan. Setiap hal yang ku lakukan, hanya membuatnya semakin sakit.
Aku resapi lebih dalam penyesalanku, penyesalan yang tak bisa memberikan seberkas senyum, walau hanya sedetik. Sungai-sungai di mataku meluap membentuk dua buah aliran kecil yang dipisahkan tebing di wajahku. Alirannya makin lama makin deras, hingga suara isak tangis mengiringi lantunan zikirku di malam yang dingin.
 
Back
Top