Novel Cerbung/ Minute of Angle

rio_dasreich

New member
Halaman pembuka dan tempat saya berterimakasih adalah sisi dimana saya bisa mengekspresikan diri dengan luas tanpa harus terbentur oleh tema dan outline tentang apa yang saya harus tuliskan. Pak Wahyudi Eko mengajarkanku untuk mengisi halaman ini dengan ucapan terimakasih dan kesan serta pesan selama penulisan novel ini.

Selama tiga tahun saya mencoba bakat saya sebagai penulis tetapi tidak pernah berhasil dan selalu berakhir ditempat sampah ataupun recycle bin ataupun hanya menjadi bit-bit kode tidak berarti dalam sela-sela pita magnetis hard disk.

Pertama kali tentu saja pada Allah yang mahakuasa dan hanya dalam kemurahan hatinya saya memiliki kemampuan dan tenaga untuk menulis. Mamah, Papah yang sama sekali tidak aware dengan kemampuanku. Christyn Nathalya yang dengan sukes memaksaku mencari kesalahan yang tak pernah ada. Satria Azizi yang mau membaca dan mengomentari semua muntahan kata tanpa makna yang terbentuk menjadi novel ini.

Yang kedua adalah bagi para perempuan yang selalu menginspirasiku. Perempuan adalah sumber inspirasi tanpa batas yang mau menawari pria daya hidup dan kelembutan. Sista yang selalu mengajakku berperang. Nabila yang setia melawanku berdebat mengenai alif, ba, ta kompleksitas hidup. Betharia sang Kompanion, seorang Komprador setia dan inspiratorku dalam hidup. Raisa sebagai perempuan pertama yang membaca tulisanku. Dan Angelica Martha Pieters, seorang anak kecil yang perjuangan dan bakatnya selalu aku kagumi.

Para pria, sahabat dan Kameradku. Pertama adalah Muhammad Rizky, seorang bajingan jenius yang jadi temanku baik saat aku sulit dan senang. Muhammad Rismananda dan Nanda Trisnadi, para pria yang mengajari aku sulitnya menghadapi perempuan. Satria Azizi dan Satria Kelana Putra, orang-orang baik dengan hati yang tulus. Cybertendo untuk kritik pedasnya, bung Dragonlance untuk literaturnya, bung Bluerider untuk semua ajarannya mengenai kerasnya hidup.

Terakhir kali untuk para perempuan yang kujadikan model tokohku. Aku minta maaf mungkin tak pernah bisa menggambarkan kalian seakurat mungkin, tetapi hanya dari semua kekurangan dan sisi cemerlang kalianlah cerita ini bisa berjalan.

Wendy Afiana Wilson, berterimakasihlah pada Tuhan yang memberimu layout yang baik. Syarafina Raihan, jalan pikiranmu sungguh indah, meskipun naif. Si Sista (lagi) kudoakan jadi orang yang cerdas di otak dan juga memiliki hati yang sebaik seorang Santo. Raisa, maaf aku Cuma pinjam nama dan deskripsi, wadah pemikiranmu masih terlalu dalam untuk kugali. Nabila, kau bisa menjadi prajurit yang baik. Dan untuk orang yang tak pernah kukenal tetapi hanya bisa kupinjam namanya. Tirani Dwitasari, sori, aku makai namamu tanpa izin, tapi aku percaya Tirani yang disini pasti berbeda dengan dirimu yang sebenarnya.
 
bagian pembuka

Novel juga ditulis oleh Fitrio Nugraha
1. Sang Konflik: Indonesia yang terpecah belah membuat berbagai masalah baru. Dan memantik bara Konflik yang menyulut Asia Tenggara dalam perang semesta.
2. The Epic Total Warfare: serangan teroris mencabik-cabik bangsa dan menyulut perpecahan Republik Indonesia dan mencabik-cabik persatuan demi ambisi pribadi para pemimpin.
3. Founder Legacy: sekelompok tentara Bayaran memburu peninggalan Revolusi yang ditinggalkan oleh para pendiri bangsa. Dua sahabat berdiri berhadapan dengan keserakahan kolektif dan pengabdian terhadap negara.
4. Dilindung Langit Membara: sekuel dari Minutes of Angle; Sersan Jack Laparta kembali memburu sekelompok insurgent yang berambisi untuk membunuh Presiden RI. Namun musuh ternyata tidak hanya berada di seberang garisnya, tetapi juga dari sisinya sendiri.
 
Prologue

Prologue


Panasnya terasa membakar bagi siapapun yang nekat berjalan diantara jalanan yang di-paving dengan elok. Ketika mata menghadap ke barat yang dihiasi dengan kotak kelabu, kilauan seng dan hijaunya perbukitan yang menghiasi cakrawala. Ditutup dengan laut yang kaku seperti papan membatasi bidang batas antara langit dan sesuatu yang dibawahnya.

universitas Andalas memang tempat yang indah, selain dari warna dan bentuk bangunannya yang mengingatkan dirinya akan film-film lama dari era perang dingin. Bentuknya mirip dengan bungker dan bangunan yang dibuat pemerintah Soviet untuk kamp kerja paksa. Hanya sejumlah bus kampus yang lewat membuat tempat itu terasa seperti bangunan sipil yang ramah, bukan sebuah mauseloum raksasa yang dibangun para Firaun rendah selera.

Dan siapapun yang memilih tempat ini untuk bertemu memang benar-benar menyebalkan. Windy melihat sekelebat seorang gadis melambai padanya dibawah lindungan halte. Aku harus berhenti dari pekerjaan ini bisiknya.

Gadis itu tersenyum manis, matanya seperti almond yang besar dan ramah. Ia menawarkan segelas jus dengan susu, ”siang Windy. Sudah lama nunggunya?”

”aku salah turun dari bus. Apa cerita yang menarik yang hendak kamu berikan padaku?” Windy memang manusia minus basa-basi. Dan ia harus menurunkan tulisan ini secepatnya atau Redaktur Kepala koran Kertas akan mencincangnya untuk makan malam.
”kamu ingin menulis tentang pelaku dan aktor penembak sebenarnya dari peristiwa Trisakti bukan?”

”benar. Dan aku sudah pusing mendengar mengenai teori dan propaganda aneh. Mahasiswa menuduh aparat keamanan, polisi menuduh tentara, tentara menuduh ada seorang penembak jitu. Tetapi dari semua itu aku hanya melihat tragedi itu tak lebih dari kesalahan prosedur polisi.”

Gadis itu tersenyum, pendidikannya di luar negeri dan bidang jurnalistik membawanya ke dalam bisnis investigasi yang acapkali kontroversial, ”aku mau memberimu sesuatu tentang itu tetapi aku mau berbagi hak atas nama tulisan itu. Bagaimana?”

”tidak masalah. Lagipula kalau memang menarik bagaimana tidak?”

”baiklah. Sumberku di laboratorium Forensik dan kedokteran Universitas Indonesia mengatakan bahwa memang ada seorang penembak jitu terlibat.”
Windy menyela, ”apa argumennya?”

”mereka baru saja menemukan residu aneh di dasar proyektil yang menembus dada Elang Mulialesmana. Residu itu positif berasal dan logam Tungsten atau Wolfram.”

”tolong segarkan aku yang bodoh ini. Apa kaitan ini semua dengan penembakan Trisakti?”

”tadi malam aku baru saja bertemu seseorang yang mengatakan semua itu mungkin. Di tinggal di Pekanbaru sekarang. Trik memanipulasikan peluru untuk mencapai efek yang maksimum. Dia seorang pelatih olharaga menembak. Sangat ganteng lho. Ah lupakan. Dia mengatakan bahwa peluru bisa dibungkus dengan casing tambahan untuk ditembakkan sekali lagi. Jadi kau bisa menembakkan sebuah peluru dari senapan lain dengan senapan baru dengan menambahkan selubung pada peluru itu. Coba tebak apa bahan pembungkusnya?”

Bibir Windy mendesis, ”Tungsten...”

Tepat pada saat itu Windy berseumpah bahwa ia melihat kepala rekannya meledak seperti semangka dan menyiraminya dengan cairan darah dan otak. Kemudian semua gelap.


Ia mengangkat senapannya dari atas dudukan karung pasir dan membuka kotak berisi stirofom lembut dan meletakkan benda itu dengan manis. Langkahnya mantap menuruni bukit dimana ia membunuh korbannya sekitar seribu meter jauhnya.
Seharusnya ia sudah pensiun tetapi mulai ada yang mengendus jejaknya dan pimpinannya. dan tugas membereskannya selalu datang ke pundaknya. Ia tak pernah suka membunuh orang, tetapi itulah tugasnya. Membela ibu pertiwi dan Republik dengan cara yang mungkin membuat kebanyakan manusia beradab muntah.

Darah anak-anak ibu pertiwi ada ditangannya. Ia tidak suka itu, kebanyakan dari mereka berakhir ditangannya hanya karena anak-anak itu berpandangan lain dan amat jarang dari mereka yang benar-benar musuh negara.

Pria itu terbatuk, usia tidak berbohong. Ia telah terlalu lama terjun dalam bisnis ini. Ia sendiri sudah lupa namanya, tetapi di arsip-arsip rahasia negara ia dipanggil dengan kode ”Kelabu” dan tak ada seorangpun yang hidup setelah ia menerima perintah untuk melenyapkan target.
 
bab 1, investigation

Menjadi wartawan sudah cukup sulit bila tidak berurusan dengan polisi. Tetapi kali ini ia benar-benar harus berurusan dengan polisi. Kematian Mutia dipastikan akibat terjangan benda tumpul berkecepatan tinggi yang menghantam kepalanya. Dan interogasi polisi sama sekali tak membantu. Kecuali seorang dokter forensik yang berhasil ia desak untuk menyatakan analisisinya.

”nona, temanmu meninggal akibat tembakan dan peluru. Dipastikan dari jenis peluru berkaliber .50 inchi. Dan itu lebih aneh lagi karena kematian akibat peluru jenis ini amat jarang di Dunia kecuali di satu tempat. Dan tempat itu adalah di zona perang betulan.”

Windy mengingat kata-kata itu dengan jelas dan pasti. Ia membuka internet dan menemukan beberapa entri tulisan. Kebanyakan berasal dari para bocah sok-macho yang memuja senapan dan kekerasan di sebuah forum internet. Windy menggelung rambut kecoklatannya dan mulai membaca tulisan di Forum tersebut.

Windy tak bisa membacanya dengan cukup jelas karena terlalu banyak jargon-jargon aneh seperti boat-tail, windage, drift dan lainnya yang merujuk pada suatu persamaan fisika yang cukup rumit. Kemudian Windy teringat sesuatu. Seorang pria pelatih menembak di Pekanbaru. Waktunya untuk berkemas dan pergi.

Dalam perjalanan keluar, Windy berpapasan lagi dengan dokter Forensik yang menangani jenasah Mutia.

”mau pulang Nona?”

”ah iya. Ada kemajuan?”

”tidak sejauh ini. Kemampuanku untuk forensik balistik dan luka akibat senjata api lebih banyak berupa teori belaka. Tetapi aku berani membuat kesimpulan kalau temanmu ditembak dari atas jarak seribu meter.”

Windy tercekat, ”seribu meter maksud anda dok? Itu jauh dari kemampuan mata seseorang melihat sesuatu.”

”ahh itu tidak maslaah dengan optik yang baik, latihan, latihan dan keberuntungan anda bisa menghantam seseorang tepat di dada dari jarak 2000 meter.”

”maksud anda memang ada orang yang dilatih untuk membunuh seseorang dari jarak segitu?”

Dokter itu memandang Windy seperti orang tolol, ”tentu saja. Umur mereka hampir sama tua dengan sejarah peperangan. Mereka disebut Sniper.”

Bukannya ia tak mau tahu. Tetapi sepanjang hidupnya Windy selalu jauh dari kekerasan dan bisa dibilang hidup jauh dari keributan. Lulus dari sekolah Jurnalistik, bekerja di sebuah koran kecil. Kemudian mengambil Master dalam bidang ekonomi dan mendapat kesempatan bekerja sebagai wartawan dan menulis berita ekonomi. Praktis hari-harinya berlalu dalam damai. Perang dan kericuhan hanya terlihat sebatas di televisi. Tetapi kini kekerasan tanpa terduga telah mencuri nyawa sahabatnya dan nyaris saja nyawanya.

Cermin di ruang UGD mencuri perhatiannya. Ia masih memakai blus dengan cipratan darah didadanya. Matanya yang hijau seperti Zamrud menepiskan horor yang baru terlihat, tulang pipinya yang tinggi seperti mencuat keluar akibat kelelahan. Ia akan mengejar pria ini, ia akan mengejar si pembunuh itu.



Pekanbaru, dua hari kemudian.
Hidup ini menyebalkan, hidup ini membosankan, dan hidup ini membuatnya sakit perut. Itu yang selalu ia katakan pada dirinya tiap kali bangun pagi dan bekerja. Bau karbon tercium jelas dari udara pagi yang lembut menyapanya dan mentari yang belum muncul menerangi dini hari.

Telapak kakinya mantap berjalan membawa tubuhnya ke kamar mandi dan memulai rutinitas yang tak pernah ia nikmati. Gosok gigi, mandi dan memakai seragam lapangan berwarna merah dengan scotchlite menyala di bahu. Setelah merapikan kamarnya yang hanya berisi sebuah loker, lemari, kasur dan komputer, ia menyantap roti dingin yang dibelinya tadi malam dari kantin lapangan.

Diantara derap sepatu boot lapangannya ia menuju sejumlah orang berpakaian yang sama berkerumun menunggu jemputan yang akan membawa mereka ke lapangan pengeboran Minyak di Minas.

”pagi Prab, rokok?” tanya seorang dari pekerja dengan jenggot dan cambang merajai wajahnya. Tetapi matanya yang cemerlang seolah menyiratkan keceriaannya ditengah beban kerja yang menyiksa
.
”sori Gan. Aku masih belum selera merokok. Bus sudah datang?”

”jangan buru-buru. Masih ada sepuluh menit lagi. Oh ya, kemarin ketika kau sudah pulang, kita kedatangan tamu. Dia mencarimu.”

”oh ya. Apa keperluan pria itu denganku?” jawab Prabu dengan malas.

”bukan. Dia seorang wanita dan amat manis. Dia bilang dia seorang wartawan,”

”oh mungkin si Mutia yang kemarin. Dia cukup manis.” prabu memang berhubungan dengan Mutia. Tetapi semua itu terjadi Cuma karena kencan buta di klab malam.

”bukan Mutia Prab. Aku tahu Mutia, tapi ini wartawan juga, dan lagaknya jauh lebih menyebalkan. Mutia cocok untukmu, selalu ceria dan dia amat cerdas.”

”artinya dia tidak cukup cerdas kencan denganku gitu?” tanya Prabu dengan pedas. Kata-kata rekannya ini benar. Tak ada ruginya melanjutkan kencan kedua dengan Mutia.

Tawa meledak dan suara klakson bus besar pengangkut pekerja kontraktor membelah pagi. Lalu lintas mulai ramai dan dimulailah hari-hari melelahkan Prabu sebagai pekerja pengeboran minyak di Minas. Udara penuh residu sulfur mengingatkannya dengan masa kecilnya di Duri, terpaut sekitar seratus kilometer dari Minas.

Senyumnya mengembang, tulus dan ceria. Ia ingat ketika jam-jam segini ia menghela motornya dan menembus jalanan pagi dengan rokok di jemari dan perasaan aku-keparat-terhebat-di-muka-bumi. Ia ingat dengan jelas dan masih bisa menyebutkan satu-persatu perempuan top di angkatannya.

Tetapi sejalan waktu, ia tak bisa mengalahkan suatu hal dalam hidup yang membawanya menjauh dari kehidupan masa sekolah itu. Hal itu adalah umur. Melewatkan masa sekolah dengan hanya menjadi pelajar dan kemudian berubah menjadi agak liar membuatnya lupa satu kenangan. Yakni kenangan akan cinta pertama. Menggelikan memang, tetapi renungan tiap pagi ini cukup untuk membunuh waktu sebelum ia tenggelam dalam rutinitas ladang minyak.

 
bab1-2

Kamarnya amat nyaman. Apalagi dengan biaya operasional dari kantor dan Windy amat jarang berlibur dan memilih untuk menekuni pekerjaan sepanjang waktu dari para redaktur setan koran Kertas dan kebanyakan gajinya hanya untuk makan, ke salon dan membayar kontrakan.

Suara klakson bersahut-sahutan membangunkannya dari tidur lelap setelah berjalan-jalan di kota Pekanbaru. Dari kamarnya ia bisa melihat denyut aktivitas mulai berjalan di Mall Pekanbaru yang tegak tak sampai limapuluh meter dari hotel itu.

Alunan lembut dari Gita Gutawa membuatnya tersentak dan meraih telepon selularnya. Dari redaktur kepalanya, si Andar Hutahuruk. Begitu diangkat terdengarlah suara berat khas perokok dari Andar.

”ahoi Windy. Bagaimana kelanjutan liputanmu? Aku kesal sekali kau tiba-tiba ambil cuti dan memutuskan untuk membereskan tulisanmu sendirian.”

“maaf pak Andar. Aku harus berlibur sejenak dan mencari bahan untuk liputan ini. Kematian Mutia begitu aneh pak. Aku memutuskan untuk berlibur sejenak.”
”baguslah kalau kau berlibur. Lepaskan sedih kau dan lupakan. Semuanya memang mengerikan tapi ingat kau masih punya aku dan hidupmu untuk dilanjutkan dan koran untuk ditulis.”

”baik pak, saya mengerti. Semua ini tak lebih dari dua minggu cuti.”

”bagus Windy. Aku turut berduka untuk kawan kau itu. Si Mutia, dia wartawan hebat.”

”terimakasih pak.” jawab Windy dan telepon ditutup. Di laptopnya terpampang data-data dari sumber Mutia. Prabu Yudha Revolusi, seorang pekerja kontrakan di Chevron. Tetapi dahulunya ia adalah atlet menembak Riau, di nomor senapan kaliber kecil. Keterangan di arsipnya agak membingungkan karena seolah-olah Prabu Yudha Revolusi muncul begitu saja enam tahun yang lalu.

Dari wawancara kecilnya dengan rekan-rekan Prabu ia tahu pria itu tinggal di sebuah kamar kosan di Rumbai. Ia juga tahu kalau Prabu tidak memiliki keluarga dan kadang pergi ke klab malam dan berkencan. Tetapi pria ini tidak memiliki potongan sebagai seseorang yang menguasai senapan dan tetek bengek balistik, gelarnya saja seorang Insinyur Elektro.

Seharusnya Windy merasa puas karena tidak ada yang salah dari semua yang tercantum dalam arsip Prabu. Tetapi ia mencium ada sesuatu yang busuk di sini. Instingnya sebagai wartawan investigator menyebutkan, justru jika semuanya terlihat tak ada yang salah artinya memang ada sesuatu yang disembunyikan.

Kemarin malam dokter forensik yang menemuinya di Padang telah memberinya salinan lengkap dari hasil otopsi Mutia. Gadis itu tewas akibat terjangan peluru Kaliber .50 tepat di bawah telinga. Dipastikan ia tewas seketika akibat energi kinetik yang dahysat. Peluru pembunuhnya adalah dari sebuah senapan dengan twist (Windy tak paham artinya apa) satu berbanding 12, dengan material dari Tungsten yang dilapisi tembaga dan berinti baja keras. Dari internet diketahui peluru ini setipe dengan amunisi yang biasa dipakai untuk senapan mesin berat penembus lapis baja yang biasa dipakai oleh Marinir dan Angkatan Laut Amerika Serikat.

Polisi sama sekali tak bisa diharapkan, tiap kali ditelpon mereka mengatakan masih mencari dari mana pembunuh itu mendapatkan senapan dan darimana peluru itu ditembakkan. Hal yang mustahil dan sulit karena kepala Mutia sendiri hampir hancur ketika peluru memasuki tubuhnya.

Windy menghela nafas panjang dan mulai menekuni Arsip Prabu. Pria ini ikut dalam berbagai pertandingan, termasuk tembak target, tetapi anehnya ia tak pernah memakai senapan tembak target yang disyaratkan oleh Perbakin. Ia memakai sebuah senapan tua Winchester 70 dengan kaliber .308 yang diakui oleh para atlit menembak lain jauh lebih akurat daripada senapan tembak target yang mereka pakai sendiri.



Jakarta; Markas Besar Komando Pasukan Khusus, Cijantung.
Kelabu memandangi langit ketika seorang sersan melambai memintanya masuk. Koridor-koridor bisu dan para prajurit yang tidak peduli dengannya menawarkan suasana anonim yang aneh. Semua hal yang dikendalikan dari sayap bangunan ini merupakan rahasia terdalam dari seluruh realita operasi khusus di Indonesia. Kelabu memasuki sebuah ruangan dan mendapati seorang pria dalam seragam dinas dengan dua bintang di Pundak.

Sang Jenderal tersenyum memandang Kelabu seperti seorang kawan lama. Kelabu telah mengenal pria ini sejak ia menjadi Kopral dua di desa Krueng Geukuh tahun 1999, ketika pria ini dengan darah dingin memerintahkan untuk menyerang desa itu dengan satu kalimat sakti, ”tidak ada tahanan.”

Kelabu adalah satu dari sedikit prajurit yang selamat dari dakwaan pengadilan setelah peristiwa itu. Tetapi ia sama sekali tidak menyesal telah menyerang desa menyedihkan itu. Karena sebelumnya sejumlah personil GAM telah membunuh sersannya dan beberapa rekannya. Ketika menyerang desa ia tak menemukan anggota GAM, namun sang Tengku berselisih paham dengan komandannya dan terjadilah pertempuran jarak dekat yang tak imbang.

Meskipun pasukannya memiliki senjata namun tak satupun peluru sanggup menembus tubuh sang Tengku dan santrinya. Hingga akhirnya peletonnya memutuskan untuk menggunakan granat dan gas air mata untuk menghabisi para santri itu.

Yang membuat Kelabu merasa takut adalah kebengisan sang Jenderal (waktu itu ia masih Kolonel) membantai para tawanan dan melempar mayatnya ke jurang. Kelabu merasa semua pembunuhan itu tak perlu, Kelabu adalah prajurit, bukan Psikopat. kadang kegilaan dibutuhkan untuk memadamkan kekacauan seperti di Aceh, meskipun Kelabu tak pernah suka akan hal itu.

Sang Jenderal memadamkan rokok putihnya yang membuat mata Kelabu pedih. Kemudian ia membuka sejumlah arsip dari pekerjaan terakhir Kelabu. Suasana remang-remang terasa jelas, ruangan sang Jenderal tidak punya jendela yang membuat penetrasi akustik dari peralatan tercanggih sekalipun tidak berguna. Dan sang jenderal hanya dikenal sebagai satu nama: Temaram.

”ah kelabu. Seperti biasa pekerjaanmu luar biasa. Tetapi mengapa kau tak membunuh wartawan yang satu lagi?”

”dia tak masuk dalam daftar yang kubereskan. Dan juga menghabisi target Mutia sudah cukup sulit, angin di perbukitan itu sering tidak stabil. Boleh saya katakan, peluru saya mengenai kepalanya itu adalah suatu kebetulan. Sebenarnya saya mengincar dadanya.”

Sang Jenderal menggumam sembari berkelakar, ” dadanya terlalu tebal untuk kau tembus.”

Gigi Kelabu keluar sejenak, ”tak ada tubuh manusia yang tak bisa ditembus oleh kaliber .50 Jenderal.”

”oke, sekarang kau kembali ke tempatmu dan tunggu penugasan berikutnya. Nampaknya tahun ini akan menjadi tahun yang tenang buatmu.”

Kelabu termenung sesaat dan memberi salut sebelum keluar ruangan, ”aku tak suka menganggur Jenderal. Tapi tak apalah, aku akan berlibur sebentar.”

”apa kau mau kembali lagi ke ambon seperti tahun 2003-2004?” sang Jenderal tersenyum simpul. Kelabu adalah anggota tim kontra sniper yang terjun bersama Yongab atau batalyon Gabungan untuk memburu para penembak jitu dari desertir tentara dan Brimob. Dan juga Kelabu membunuh sejumlah pimpinan garis keras islam dan kristen. Membunuh mereka akhirnya membuat perdamaian bisa dipaksakan terjadi di Maluku.

Kelabu hanya mendengus dan berbalik keluar. Jenderal Temaram meraih teleponnya, ”halo, aku butuh satu tim Komoro segera. Lacak Windy Alicia dan cari tahu apa yang telah digalinya. Jika sudah positif amankan bukti-bukti dan habisi dia.”
 
bab1-3

Jalan Interkoneksi Distrik Minas-Rumbai. 1900 jam.
Suara Daniel Beddingfield mengalun santai dari tape mobil jemputan. Prabu menyandarkan kepala ke sandaran belakang. Terhempas akibat lonjakan mobil yang terkadang melindas lubang sementara bau solar menusuk akibat knalpot yang bocor. Melelahkan.

Mimpi-mimpi buruk belum sepenuhnya terusir dari dirinya tetapi psikolog mengatakan itu adalah proses alami. Siapapun bisa menyembuhkannya dengan pura-pura menjadi orang normal. Prabu menggoyangkan kepalanya. Dan merasakan mobil mulai memasuki kota Pekanbaru. Mereka menurunkan Prabu tepat di depan gang rumahnya. Prabu melambai malas dan berjalan menuju pintu kamar kosnya.

Ada yang aneh, debu di kursi luar terusik dan tercium bau seperti melati. Siapapun yang bernyali cetek akan mengira tengah diintai setan. Tetapi naluri prabu tak salah mengenali, itu bau parfum perempuan.

Tanpa semangat ia membuka pintu dan menjerit pelan, ”keluar. Kau memilih orang yang salah untuk dikuntit.” bisiknya pada bayangan seorang perempuan yang duduk di kursinya, menghadap jendela sembari meminum stok terakhir dari kopi Aceh-nya.

”kau orang yang sulit ditemui Prabu.” larik sinar bulan menerangi mata kehijauan seperti zamrud, hidung mancung dan kulit seperti mentar senja. Prabu merasakan ancaman, dan ini tak biasa.

”aku merasa tidak punya musuh dan aku tak ada urusan denganmu nona. Kuharap kau keluar.”

”kau kenal Mutia? Dia temanku.”

“ya aku kenal, aku beberapa kali keluar dengannya. Gadis yang amat menyenangkan. Jadi kau kakaknya atau adiknya? Apa aku melakukan kesalahan dengan mendekatinya?”

Gadis itu berdiri, tingginya hampir sama dengan Prabu. Menggebrak seperti banteng kena suntik,”dia mati. Dia tewas dengan kepala pecah dan itu dilakukan oleh orang yang setipe denganmu! Meraih prestasi dengan membunuh orang dari jarak sejauh mungkin, membuatnya menjadi semacam olahraga... sekarang aku ingin tahu informasi apa yang Mutia berikan padamu!?”

Prabu tidak menanggapinya. Ia melambai menyuruh gadis itu mendekatinya. Prabu menghidupkan komputernya dan mulai membuka sejumlah slide presentasi, ”aku tak tahu entah darimana Mutia mendapatkannya. Tetapi ini sejumlah detail mengenai kejadian penembakan Trisakti, ini sketsa penembakan di Batumerah Ambon, dan ini sejumlah peta kejadian yang merujuk pada wilayah Tentena di Poso. Dia memintaku untuk memeriksanya.”

”apa yang membuatnya merasa perlu untuk meminta pendapatmu? Kau Cuma atlit menembak.”

”nona...” Prabur terdiam sejenak.

”Windy, namaku Windy Alicia... teruskan.”

“menembak target sepertiku adalah olahraga. Bagi orang ini adalah sumber penghidupan, tetapi pada dasarnya hampir sama. Kau hendak menjatuhkan target pada jarak sekian, bagaimana elevasinya, setinggi apa kau dari target, seperti apa kondisi anginnya, apakah hari ini panas atau dingin, bagaimana kelembaban dan ke arah mana bumi berputar… semacam itulah.”

“bumi berputar?”

“nona sok tahu, jika kau menembak dan pelurunya melesat sejauh dua mil, terbang selama dua detik, kau menembak sebuah benda berkecepatan lebih dari seratus kilometer per jam! Karena bumi sendiri bergerak relatif terhadap proyektil!”

Gadis itu tersenyum dan mulai merujuk sejumlah peta, “dari data ini, mengapa kau seolah-olah mengatakan bahwa yang kalian kejar adalah satu orang?”

“karena polanya sama dan hampir mirip. Dan lagi komposisi pelurunya, jejak lukanya dan pola operasionalnya hampir sama, para penembak jitu adalah sejumlah bajingan yang amat disiplin dan memiliki kecerdasan dan ketelatenan yang tinggi, amat konsisten karena itulah yang mereka butuhkan dan membuat mereka mudah ditebak. Aku berani bertaruh, Mutia pasti dibunuh dengan peluru dari laras dengan ulir satu banding 12 kan?”

”darimana kau tahu itu?”

”nona, sekali kau menjadi seorang penembak jitu. Maka kau dapat dengan mudah mengetahui pola kerja penembak jitu lainnya. Penembak yang mutia incar memiliki tinggi kurang lebih 176 senti, beratnya sekitar 70 kilogram, amat sehat dan memiliki kondisi psikologis yang kurang lebih stabil.”

”kurang lebih stabil? Darimana kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu?”

”dia menggunakan senapan kaliber .308 hingga kaliber .50, senapan seperti itu cocok dengan deskripsi orang dengan bobot dan dimensi segitu tapi tak mungkin lebih karena dia berusia kurang lebih 30an dan amat jarang orang usia segitu memiliki tinggi lebih dari 180. kondisi psikologisnya kubilang stabil kurang lebih karena dari tembakannya yang selalu konsisten, hingga limaratus yard di kepala, hingga seribu yard di dada, lewat dari seribu yard di rusuk. Dan tak ada catatan dia pernah membunuh lebih dari seribulimaratus yard. Dia selalu disiplin dan tak berani bertaruh untuk pekerjaaannya.”

”siapa kau sebenarnya Prabu?”

”seorang pekerja kontrak yang bergaji cukup tetapi dengan istirahat kurang. Sekarang aku mau tidur, kau boleh pakai kasurku. Tetapi jangan coba-coba pakai selimutku. Ambil selimut lain di dalam lemari. Besok aku ajak kamu ke suatu tempat.”

Prabu sempat mendengar beberapa gerutuan. Tetapi ia memilih untuk terlelap seketika. Untung saja besok libur, setidaknya ia bisa berduka sesaat untuk Mutia.



Bandara Sultan Sharif Qassim. 0000 jam.
Pesawat NC-212 yang mendarat tanpa pertanyaan. Tak kurang dua belas orang bertubuh tegap dengan potongan rambut yang rapi dengan seragam militer lengkap dengan senapan di punggung berjalan keluar. Seorang perwira intelijen Korem memberi salut dan mengantarkan tamu misterius dari Jakarta ini menuju sebuah truk yang menunggu.

Para tamu ini pelit bicara dan hanya memandangi kota Pekanbaru dari balik kanvas truk tanpa suara. Perwira Intel itu hanya mengangkat bahu dan mulai memberikan peta, dan sejumlah info mengenai tata letak kota Pekanbaru.

Tak ada yang tahu mengenai mereka. Dari perintah yang datang dari Cijantung hanya disebut mereka adalah tim khusus detasemen Prayudha dengan sandi Alpha Komoro.
 
Back
Top