Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama?ah (bag1)

andy_baex

New member
Alhamdulillah washsholatu wassalamu ?ala Rosulillah amma ba?du.
Ikhwah fillah rohimakumulloh, tulisan berikut ini adalah buah karya Ustadz Muhammad Arifin Badri hafizhahulloh yang kini sedang mengambil kuliah Doktoral di Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia. Tulisan ini ditulis dalam rangka menanggapi tulisan tentang legalisasi kegiatan Dzikir Berjama?ah (yang marak akhir-akhir ini) yang berjudul ?Zikir Berjama?ah, Sunnah atau Bid?ah? yang ditulis oleh K.H. Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman M.A. yang sudah beredar di negeri kita ini. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ust. Muhammad Arifin Badri dalam Muqaddimahnya, beliau dan kami pun mengharapkan tanggapan positif dari pembaca sekalian. Tanggapan dapat ditulis di menu komentar yang telah kami sediakan di bawah ini.

Para pembaca rohimakumulloh, karena panjangnya tulisan ini, tidak mungkin kami tuliskan dalam satu artikel. Tulisan ini akan kami tampilkan secara berseri dalam situs ini dan insya Alloh akan kami posting secara berkala. Bagi antum yang hendak mencari arsip tulisan ini, dapat antum akses di menu ?Dzikir Berjama?ah?.

***

Judul Asli: Sunnahkah Zikir Berjama?ah?
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri

MUQADDIMAH

إنَّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلَّ له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلاَّ الله وحده لا شريك له وأشهد أنَّ محمداً عبده ورسوله. أما بعد:

Segala puji hanya milik Allah, yang telah melimpahkan kepada kita umat Islam berbagai kemurahan dan kenikmatan-Nya. Dan kenikmatan terbesar yang telah Ia limpahkan kepada umat ini ialah disempurnakannya agama ini, sehingga tidak lagi membutuhkan tambahan, dan juga tidak perlu dikurangi, Allah berfirman:

اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا

Artinya:
?Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridho Islam menjadi agamamu.? (QS Al Maaidah: 3)

Ibnu Katsir menerangkan ayat ini dengan perkataannya: ?Disempurnakannya agama Islam merupakan kenikmatan Allah ta?ala yang paling besar atas umat ini, karena Ia telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak memerlukan lagi agama lainnya, dan tidak pula perlu seorang nabi selain Nabi mereka sendiri. Oleh karena itu Allah Ta?ala menjadikannya sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada seluruh jin dan manusia. Dengan demikian tidak ada suatu yang halal, melainkan yang beliau halalkan, tidak ada sesuatu yang haram, melainkan sesuatu yang beliau haramkan, dan tidak ada agama melainkan ajaran agama yang telah beliau syari?atkan. Setiap yang beliau kabarkan pasti benar lagi jujur, tidak mengandung kedustaan sedikit pun, dan tidak akan menyelisihi realita.? (Tafsirul Qur?an Al ?Adlim oleh Ibnu Katsir As Syafi?i 2/12).

Ayat ini, sebagaimana telah diketahui, diturunkan kepada Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam pada hari Arafah, pada Hajjatul Wada?. Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Thariq bin Syihab, ia mengisahkan: Orang-orang Yahudi berkata kepada Umar bin Khattab rodhiallahu?anhu: Sesungguhnya kalian membaca satu ayat, seandainya ayat itu turun pada kami kaum Yahudi, niscaya (hari diturunkannya ayat itu) akan kami jadikan hari ?Ied (perayaan). Maka Umar berkata: ?Sungguh aku mengetahui kapan dan di mana ayat itu diturunkan, dan di mana Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam berada di saat ayat itu diturunkan, yaitu di padang arafah, dan kami juga sedang berada di padang arafah? yaitu firman Allah:

اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا

Artinya:
?Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridho Islam menjadi agamamu.? (Riwayat Al Bukhori, 4/1683, hadits no: 4330)

Pada riwayat ini, dapat kita ketahui bahwa kesempurnaan agama Islam ini bukan hanya diketahui dan disadari oleh kaum muslimin saja, bahkan orang-orang Yahudi pun mengetahuinya, bukan hanya sebatas itu, bahkan mereka berangan-angan seandainya ayat ini diturunkan kepada mereka, niscaya mereka akan merayakannya.

Sebagai bukti lain bahwa orang-orang non-Islam menyadari akan kesempurnaan agama Islam, ialah kisah berikut: Ada sebagian orang musyrikin berkata kepada sahabat Salman Al Farisi rodhiallahu?anhu: ?Sungguh Nabi kalian telah mengajarkan kalian segala sesuatu, hingga tata cara buang hajat. Maka sahabat Salman Al Farisi menimpalinya dengan berkata: Benar, beliau sungguh telah melarang kami untuk menghadap ke arah kiblat di saat buang air besar atau buang air kecil, dan beristinja menggunakan tangan kanan, dan beristijmar (istinja dengan bebatuan) dengan kurang dari tiga batu, atau beristijmar menggunakan kotoran binatang atau tulang-belulang.? (Shohih Muslim, 1/223, hadits no: 261)

Bila kesempurnaan agama Islam dalam segala aspek kehidupan telah diakui dan diketahui oleh orang-orang non-Islam, maka betapa sengsara dan bodohnya bila ada orang Islam yang masih merasa perlu untuk mencari alternatif lain dalam beragama, yaitu dengan cara menambah, atau memodifikasi, atau menggabungkan, atau dengan cara mengadopsi teori-teori dan ajaran-ajaran umat lain, baik yang berasal dari negeri India, atau Mesir, atau Yunani atau Barat.

Tidaklah ada kebaikan di dunia atau di akhirat, melainkan telah diajarkan dalam agama Islam, dan tidaklah ada kejelekan melainkan, Islam telah memperingatkan umat manusia darinya, Allah berfirman:

ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين

Artinya:
?Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Kitab ( Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.? (QS An Nahl: 89)

Ibnu Mas?ud berkata: ?Telah dijelaskan kepada kita dalam Al Quran ini seluruh ilmu dan segala sesuatu.? Dan Mujahid berkata: ?Seluruh halal dan haram telah dijelaskan.?

Setelah Ibnu Katsir menyebutkan dua pendapat ini, beliau berkata: ?Pendapat Ibnu Mas?ud lebih umum dan menyeluruh, karena sesungguhnya Al Quran mencakup segala ilmu yang berguna, yaitu berupa kisah-kisah umat terdahulu, dan yang akan datang. Sebagaimana Al Quran juga mencakup segala ilmu tentang halal dan haram, dan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, dalam urusan kehidupan dunia dan agama mereka.? (Tafsirul Qur?anil ?Adhim oleh Ibnu Katsir As Syafi?i 2/582).

Bila Nabi shollallahu?alaihiwasallam telah mengajarkan kepada umatnya tata cara buang air kecil dan besar, mustahil bila beliau shollallahu?alaihiwasallam tidak mengajarkan kepada umatnya tata cara berdakwah, penegakan syariat Islam di bumi, dan terlebih lebih tata cara beribadah kepada Allah. Sehingga tidak ada alasan bagi siapa pun untuk merekayasa suatu metode atau amalan dalam beribadah kepada Allah ta?ala.

Hanya kebodohan terhadap ajaran Nabi shollallahu?alaihiwasallam dan sunnah-sunnahnyalah yang menjadikan sebagian orang merasa perlu untuk merekayasa berbagai metode dalam beribadah kepada Allah ta?ala, sehingga ada yang beribadah dengan dasar tradisi dan adat warisan nenek moyang, misalnya tradisi wayangan dalam berdakwah, dan ada pula yang mengadopsi tata cara peribadatan umat lain, misalnya beribadah dengan menyiksa diri, tidak makan, tidak minum, tidak berbicara, berdiri di terik matahari, atau bertapa dan nyepi.

عن ابن عباس قال: بينا النبي يخطب إذا هو برجل قائم، فسأل عنه فقالوا: أبو إسرائيل نذر أن يقوم ولا يجلس ولا يستظل ولا يتكلم ويصوم، فقال النبي : مره فليتكلم وليستظل وليقعد وليتم صومه

?Ibnu ?Abbas berkata: Tatkala Nabi shollallahu?alaihiwasallam sedang berkhotbah, tiba-tiba beliau melihat seorang lelaki yang berdiri. Maka Nabi shollallahu?alaihiwasallam bertanya tentangnya, dan para sahabat menjawab: Dia adalah Abu Israil, ia bernazar untuk berdiri dan tidak duduk, tidak berteduh, tidak berbicara, dan berpuasa. Maka Nabi shollallahu?alaihiwasallam bersabda: ?Perintahkanlah ia untuk berbicara, berteduh, duduk, dan meneruskan puasanya.? (Riwayat Bukhori, 6/2465, hadits no: 6326)

Di antara metode yang diadopsi dari umat lain ialah zikir berjama?ah dengan suara nyaring, dan dikomandoi oleh satu orang. Oleh karenanya tatkala sahabat Abdulloh bin Mas?ud melihat sebagian orang yang bergerombol sambil membaca puji-pujian secara berjama?ah dan dipimpin oleh satu orang, beliau berkata:

والذي نفسي بيده إنكم لعلى ملة هي أهدي من ملة محمد أو مفتتحوا باب ضلالة

?Sungguh demi Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sesungguhnya kalian ini berada di atas satu dari dua perkara: menjalankan ajaran yang lebih benar dibanding ajaran Nabi Muhammad, atau sedang membuka pintu kesesatan.? (Riwayat Ad Darimi, dalam kitab As Sunnan, 1/79, hadits no: 204)

Saya ingin mengajak para pembaca yang budiman untuk mengadakan studi banding antara zikir berjama?ah dengan cara seperti ini dengan kegiatan orang-orang Nasrani yang bernyanyi-nyanyi di gereja dengan dipimpin oleh seorang pendeta. Adakah perbedaan antara keduanya selain perbedaan tempat dan bacaannya??

Zikir atau membaca puji-pujian adalah salah satu ibadah paling agung. Setelah mengingatkan kaum muslimin akan kenikmatan-Nya berupa diubahnya kiblat mereka dari Bait Al Maqdis dan diutusnya Nabi Muhammad shollallahu?alaihiwasallam, Allah ta?ala memerintahkan mereka agar berzikir kepada-Nya:

فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون

Artinya:
?Karena itu, ingatlah Aku niscaya Aku akan ingat kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, serta janganlah kamu mengingkari (kenikmatan)-Ku.? (Al Baqoroh: 152)

Pada ayat ini terdapat suatu isyarat bahwa zikir adalah ibadah yang agung, karena zikir merupakan perwujudan nyata akan rasa syukur kepada Allah ta?ala atas kenikmatan besar ini, yaitu diubahnya kiblat kaum muslimin menjadi ke arah Ka?bah, dan diutusnya Nabi Muhammad shollallahu?alaihiwasallam. Dan dalam ayat lain, Allah berfirman:

والذاكرين الله كثيرا والذاكرات أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما

Artinya:
?Dan laki-laki dan perempuan yang banyak berzikir menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.? (QS Al Ahzab: 35)

Karena itulah, kita sebagai seorang muslim meyakini bahwa Nabi shollallahu?alaihiwasallam telah melaksanakan tugas menjelaskan ibadah ini dengan sempurna. Dan mustahil ada kekurangan dalam penjelasan beliau tentang ibadah ini, baik kekurangan yang berkaitan dengan macam, waktu, atau metode pelaksanaannya.

Oleh karena itu, kita dapatkan tidaklah ada suatu keadaan atau waktu yang kita dianjurkan untuk berzikir secara khusus padanya, melainkan beliau telah menjelaskan kepada umatnya. Beliau telah menjelaskan zikir tersebut lengkap dengan tata caranya. Dimulai dari zikir semenjak kita bangun tidur, hingga kita hendak tidur lagi. Bahkan tatkala kita terjaga di waktu malam, telah diajarkan zikir-zikir yang sesuai dengannya. Bila kita membuka-buka kitab-kitab kumpulan zikir Nabi shollallahu?alaihiwasallam yang ditulis oleh para ulama?, niscaya kita dapatkan bahwa seluruh keadaan manusia dan perbuatannya, baik dalam sholat atau di luar sholat, telah diajarkan zikir yang sesuai dengan keadaan itu. Silakan para pembaca yang budiman membaca kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi As Syafi?i.

Realita ini selain menjadi kenikmatan, juga menjadi tantangan bagi kita. Sejauh manakah pengamalan kita terhadap sunnah-sunnah beliau shollallahu?alaihiwasallam dalam berzikir kepada Allah?

Oleh karenanya, tidak ada alasan lagi bagi siapa pun untuk merekayasa zikir yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam. Mari kita simak hadits berikut, dengan harapan agar kita mendapat pelajaran penting tentang tata cara berzikir:

?Dari sahabat Al Bara? bin ?Azib, bahwa Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam bersabda: ?Bila engkau akan berbaring tidur, hendaknya engkau berwudhu? layaknya engkau berwudhu untuk shalat. Kemudian berbaringlah di atas sisi kananmu, lalu katakanlah: ?Ya Allah, sesungguhnya aku menyerahkan wajahku kepada-Mu, dan menyerahkan urusanku kepada-Mu. Dengan rasa mengharap (kerahmatan-Mu) dan takut (akan siksa-Mu) aku menyandarkan punggungku kepada-Mu. Tiada tempat perlindungan dan penyelamatan (dari siksa-Mu) melainkan kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, dan Nabi-Mu yang telah Engkau utus.? Dan jadikanlah bacaan (doa) ini sebagai akhir perkataanmu, karena bila engkau mati pada malam itu, niscaya engkau mati dalam keadaan menetapi fitrah (agama Islam).? Al Bara? bin ?Azib berkata: ?Maka aku mengulang-ulang bacaan (doa) ini, untuk menghafalnya, dan mengatakan: aku beriman kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus.? Nabi pun bersabda: ?Katakan: Aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus.? (Riwayat Bukhori, 5/2326, hadits no: 5952, dan Muslim 4/2081, hadits no: 2710)

Al Bara? bin ?Azib salah mengucapkan doa ini di hadapan Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam. Yang seharusnya ia mengucapkan: ?Aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus?, ia ucapkan: ?Aku beriman kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus?. Perbedaannya hanya kata ?Nabi? dan kata ?Rasul?, padahal yang dimaksud dari keduanya sama, yaitu Nabi Muhammad shollallahu?alaihiwasallam. Walau demikian Nabi shollallahu?alaihiwasallam tidak membiarkan kesalahan ini terjadi, sehingga beliau shollallahu?alaihiwasallam menegur sahabat Al Bara? agar membenarkan ucapannya.

Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa zikir kepada Allah adalah salah satu bentuk ibadah, dan setiap ibadah diatur oleh sebuah kaidah penting, yaitu:

الأصل في العبادات التوقيف

?Hukum asal setiap ibadah ialah tauqif (harus ada tuntunannya dari Nabi shollallahu?alaihiwasallam)?

Ibnu Taimiyyah berkata:

الأصل فى العبادات التوقيف فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله تعالى و إلا دخلنا في معنى قوله أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله لعادات الأصل فيها العفو فلا يحظر منها إلا ما حرمه، وإلا دخلنا في معنى قوله قل أرأيتم ما أنزل الله لكم من رزق فجعلتم منه حراما و حلالا

?Hukum asal setiap ibadah ialah tauqif (harus ada tuntunannya dari Nabi shollallahu?alaihiwasallam), sehingga tidak boleh dibuat ajaran melainkan yang telah diajarkan oleh Allah ta?ala. Kalau tidak demikian niscaya kita akan termasuk ke dalam firman Allah :

أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله

Artinya:
?Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan lain yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?!? (QS As Syura: 21)

Sedangkan hukum asal setiap adat istiadat ialah diperbolehkan, sehingga tidak boleh ada yang dilarang melainkan suatu hal yang telah diharamkan oleh Allah. Kalau tidak demikian niscaya kita akan termasuk ke dalam firman Allah:

قل أرأيتم ما أنزل الله لكم من رزق فجعلتم منه حراما و حلالا

Artinya:
?Katakanlah: Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.? (QS Yunus: 59) (Majmu? Fatawa, oleh Ibnu Taimiyyah 29/17).

Bila Nabi shollallahu?alaihiwasallam menegur kesalahan Al Bara? bin ?Azib mengucapkan satu kata dalam zikir yang beliau ajarkan, maka bagaimana halnya seandainya yang dilakukan oleh Bara? bin ?Azib ialah zikir hasil rekayasanya sendiri?

Al Hafidz Ibnu Hajar As Syafi?i, berkata:

وأولى ما قيل في الحكمة في رده على من قال (الرسول) بدل (النبي) أن ألفاظ الأذكار توقيفية، ولها خصائص وأسرار لا يدخلها القياس، فتجب المحافظة على اللفظ الذي وردت به

?Pendapat yang paling tepat tentang hikmahnya Nabi shollallahu?alaihiwasallam membenarkan ucapan orang yang mengatakan ?Rasul? sebagai ganti kata ?Nabi? adalah: Bahwa bacaan-bacaan zikir adalah bersifat tauqifiyyah (harus ada tuntunannya), dan bacaan-bacaan zikir itu memiliki keistimewaan dan rahasia-rahasia yang tidak dapat diketahui dengan cara qiyas, sehingga wajib kita memelihara lafadz (zikir) sebagaimana diriwayatkan.? (Fath Al Bari oleh Ibnu Hajar Al ?Asqalani 11/112).

Demikianlah sepercik adab zikir kepada Allah, dan insya Allah di sela-sela tulisan saya ini, pembaca akan mendapatkan kelanjutan pembahasan tentang adab-adab berzikir yang diajarkan oleh Nabi shollallahu?alaihiwasallam dan para sahabatnya.

Adapun latar belakang ditulisnya buku ini, ialah tatkala bulan Ramadhan 1425 H, saya melihat salah seorang sahabat saya membawa buku yang berjudul ?ZIKIR BERJAMA?AH SUNNAH ATAU BID?AH, karya K.H. Drs Ahmad Dimyathi Badruzzaman, M.A. ketika melihatnya, saya tertarik untuk membaca dan mengetahui. Setelah memiliki kesempatan untuk membuka-buka buku tulisan beliau ini, saya tercengang melihat beberapa kesalahan dan kerancuan yang ada di dalamnya. Dan semenjak itulah saya memberanikan diri untuk menuliskan kritikan-kritikan yang saya rasa perlu dan penting untuk disampaikan. Akan tetapi karena berbagai kesibukan yang berkaitan dengan studi saya, keinginan ini tidak segera terlaksana, hingga pertengahan bulan Muharram 1426 H. Saat itulah saya meluangkan waktu, untuk mewujudkan keinginan ini. Alhamdulillah keinginan saya itu telah terwujud. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi saya sendiri, dan juga bagi kaum muslimin di Indonesia, dan semoga mendapatkan tanggapan positif dari bapak K.H. Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman M.A.

Dan pada kesempatan ini, tak lupa saya ucapkan kepada seluruh rekan-rekan yang telah ikut andil dalam terwujudnya keinginan saya ini, baik dengan memberikan motivasi, saran, atau bantuan berupa meminjamkan bukunya kepada saya. Semoga Allah membalas amalan mereka semua dengan yang lebih baik. Pada akhir muqaddimah ini, saya ucapkan: Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad shollallahu?alaihiwasallam, keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya hingga hari kiamat, Amiin.
 
Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama?ah (2)

Judul Asli: Sunnahkah Zikir Berjama?ah?
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri

Edisi kedua ini khusus membahas mengenai pengertian As Sunnah dengan penjelasannya, serta menyinggung beberapa kesalahan (baca: salah kaprah) dalam memahami makna As Sunnah. Walaupun tulisan ini khusus ditujukan untuk membantah buku ?Zikir Berjamaah Sunnah Atau Bid?ah? Karya K.H. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, akan tetapi juga memuat pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. Bagi ikhwah yang belum membaca seri pertama tulisan ini, kami sarankan agar membacanya terlebih dahulu.

***

AS SUNNAH

A. Definisi As Sunnah

Setelah saya mengkaji ulang bab ini, saya merasa ada beberapa permasalahan yang perlu ditinjau kembali, berikut ini penjelasannya:

Permasalahan pertama:

Penulis (yaitu K.H. Ahmad Dimyathi -ed) pada bab ini telah melakukan kerancuan dalam mendefinisikan kata As Sunnah, sehingga mencampur adukkan antara definisi As sunnah ditinjau dari segi etimologi (bahasa) dengan makna As Sunnah ditinjau dari segi terminologi (istilah). Agar duduk permasalahannya menjadi jelas bagi kita semua, berikut akan saya sebutkan makna As Sunnah dengan ringkas:

Ditinjau dari segi etimologi, kata As Sunnah bermakna: At Thoriqoh, atau As Siroh, yang artinya: jalan/ metode atau sejarah hidup/ perilaku, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ar Razy dan lainnya. (Mukhtar Al Shihah, oleh Muhammad bin Abi Baker Al Razi hal: 133, Al Qamus Al Muhith, oleh Al Fairuz Abady, 2: 1586).

Sedangkan bila ditinjau dari segi terminologi, maka kata As Sunnah memiliki tiga arti dan penggunaan. (Lihat Irsyad Al Fuhul, oleh Muhammad bin Ali As Syaukany, 1/155-156, dan Mauqif Ahl As Sunnah Min Ahl Al Ahwa? wa Al Bida?, oleh DR. Ibrahim bin ?Amir Ar Ruhaily 1/33-35).

1. As Sunnah dengan makna: mandub, atau mustahab, yang artinya, sebagaimana yang disebutkan oleh penulis:

ما يحمد فاعله ولا يذم تاركه، أو المطلوب فعله طلبا غير جازم.

?Suatu pekerjaan yang pelakunya terpuji dan orang yang meninggalkannya tidak tercela? atau ?Sesuatu yang diperintahkan secara tidak tegas untuk dikerjakan.? (Lihat: Al Mustasyfa oleh Al Ghozaly, 1/215, Raudhot An Nadlir, oleh Ibnu Qudamah 1/94, dan Nihayat As Sul, oleh Al Isnawy, 1/77).

Dan yang biasa menggunakan kata As Sunnah dengan pengertian semacam ini ialah ulama? fiqih dan ushul fiqih, sehingga sering kita mendengar atau membaca ungkapan: ?hukum permasalahan ini ialah sunnah? atau ?permasalahan ini hukumnya sunnah?.

2. As Sunnah dengan pengertian: segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shollallahu?alaihiwasallam, baik ucapan, perbuatan, penetapan atau lainnya. Dengan pengertian ini, kata As Sunnah semakna dengan kata Al Hadits. Sebagai contoh penggunaan kata As Sunnah dengan makna ini, ucapan para ulama?: Dalil haramnya khamer ialah: Al Kitab (Al Qur?an), As Sunnah, dan Ijma? (kesepakatan ulama?).

3. As Sunnah dengan pengertian: lawan dari kata bid?ah, sehingga sering kita mendengar ucapan ulama?: amalan ini sesuai dengan As Sunnah, bahkan penulis sendiri telah menggunakan kata As Sunnah dengan pengertian semacam ini, yaitu tatkala ia memberikan judul bukunya: ?ZIKIR BERJAMA?AH, SUNNAH ATAU BID?AH?. Sehingga kata As Sunnah dengan pengertian ini mencakup seluruh ajaran Nabi shollallahu?alaihiwasallam, atau dengan kata lain, As Sunnah ialah sinonim dari kata Islam. Penggunaan kata As Sunnah dengan pengertian semacam ini selaras dengan hadits berikut:

عن أنس بن مالك يقول: جاء ثلاثة رهط إلى بيوت أزواج النبي يسألون عن عبادة النبي , فلما أخبروا كأنهم تقالوها، فقالوا: وأين نحن من النبي قد غفر الله له ما تقدم من ذنبه وما تأخر، قال أحدهم: أما أنا، فإني أصلي الليل أبدا، وقال آخر: أنا أصوم الدهر ولا أفطر، وقال آخر: أنا أعتزل النساء فلا أتزوج أبدا، فجاء رسول الله فقال: أنتم الذين قلتم كذا وكذا؟ أما والله إني لأخشاكم لله وأتقاكم له، لكني أصوم وأفطر، وأصلي وأرقد، وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني

?Dari sahabat Anas bin Malik rodhiallahu?anhu, ia berkata: ada tiga orang yang menemui istri-istri Nabi shollallahu?alaihiwasallam, mereka bertanya tentang amalan ibadah Nabi shollallahu?alaihiwasallam. Dan tatkala mereka telah diberitahu, seakan-akan mereka menganggapnya sedikit, kemudian mereka balik berkata: Siapakah kita bila dibanding dengan Nabi shollallahu?alaihiwasallam, Allah telah mengampuni dosa-dosa beliau, baik yang telah lampau atau yang akan datang. Salah seorang dari mereka berkata: Kalau saya, maka saya akan sholat malam selama-lamanya. Yang lain berkata: Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka (berhenti berpuasa). Yang lain lagi berkata: Saya akan meninggalkan wanita, dan tidak akan menikah selama-lamanya. Kemudian Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam datang, lantas bersabda: kaliankah yang berkata demikian-demikian? Ketahuilah, sungguh demi Allah, sesungguhnya saya adalah orang yang paling takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya diantara kalian, akan tetapi saya berpuasa dan juga berbuka, sholat (malam) dan juga tidur, dan saya juga menikahi wanita. Maka barang siapa yang membenci sunnahku (ajaranku), maka ia tidak termasuk golonganku.? (Riwayat Al Bukhari, 5/1949, hadits no: 4776, dan Muslim, 2/1020, hadits no: 1401)

As Syathiby Al Maliki (w. 790 H) -rahimahullah- berkata: ?Dan kata As Sunnah juga digunakan sebagai lawan kata dari bid?ah, sehingga dikatakan: Orang itu beramal sesuai dengan As Sunnah, bila ia beramal sesuai dengan yang diamalkan oleh Nabi shollallahu?alaihiwasallam, baik amalan itu disebutkan dalam Al Qur?an atau tidak. Dan juga dikatakan: Orang itu mengamalkan bid?ah, bila ia melakukan sebaliknya.? (Al Muwafaqoot oleh As Syathiby 4/3).

Ibnu Hazm -rahimahullah- (w. 456 H) berkata: ?Ahlus Sunnah yang akan kami sebutkan ialah Ahlul Haq (penganut kebenaran), sedangkan selain mereka ialah Ahlul Bid?ah, karena mereka (Ahlus Sunnah) ialah para sahabat -radliallahu ?anhum-, dan setiap orang yang menempuh metode mereka, dari para tabi?in, kemudian Ashabul Hadits (penganut hadits), dan setiap orang yang meneladani mereka dari kalangan ahli fiqih pada setiap zaman hingga hari ini, dan juga seluruh orang awam yang mencontoh mereka dibelahan bumi bagian timur dan barat, semoga Allah senantiasa merahmati mereka.? (Al Fishol fi Al Milal wa Al Ahwa? wa An Nihal, oleh Ibnu Hazem 2/90).

Penggunaan kata As Sunnah dengan pengertian semacam ini ada semenjak bermunculan dan menebarnya berbagai macam bid?ah, yaitu setelah berlalunya tiga genersi pertama dari umat Islam.

Sebagai bukti bahwa Ustadz KH. Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, M.A. telah mencampur adukkan antara pengertian As Sunnah ditinjau dari segi bahasa dan ditinjau dari segi istilah, adalah hal-hal berikut:

1. Pada halaman 5, setelah menyebutkan makna As Sunnah secara kebahasaan, yang berarti: perilaku seseorang, baik atau buruk, beliau mengatakan: ?Di kalangan ulama ahli fiqih (fuqaha?) ada suatu ungkapan yang populer dengan istilah: ?ini hukumnya sunah/sunat? atau ?ini hukumnya makruh?. Tentu saja sunah/sunat dalam istilah mereka bukan berarti perilaku, akan tetapi sinonim (mutaradif) dengan istilah yang lain, yaitu mandub, mustahab dan tathawu?, ???

Ini adalah kerancuan pemahaman, sebab kata As Sunnah dengan makna/definisi semacam ini, ialah salah satu dari definisi As Sunnah secara terminologi, bukan secara etimologi (bahasa), sehingga seharusnya beliau mencantumkan makna dan penggunaan semacam ini pada pembahasan As Sunnah ditinjau dari segi terminologi, agar tidak menimbulkan kerancuan pemahaman pada pembaca, dan kesan bahwa penggunaan kata As Sunnah semacam ini termasuk penggunaan secara bahasa.

2. Kemudian pada halaman yang sama, beliau berkata: ?Dan pada akhir-akhir ini muncul ungkapan ?Sunnah? sebagai lawan dari ?Syi?ah?. Misalnya tentang adanya imbauan perlunya dialog Sunnah-Syi?ah. Bahkan ada sebuah buku yang diberi judul ?Dialog Sunnah-Syi?ah???

Inipun kerancuan perkataan dari beliau tentang kata ?As Sunnah?, sebab yang dimaksudkan dari kata As Sunnah disini ialah makna ketiga, dengan demikian penggunaan semacam ini bukanlah hal baru, sebagaimana terkesan dalam ucapan beliau ini. Bahkan beliau sendiri pada kelanjutan perkataannya, yaitu pada hal: 6 mengakui -baik beliau sadari atau tidak- akan hal ini, yaitu pada ucapan beliau: ?Kata ?Sunnah? dalam ungkapan terakhir ini sebenarnya merupakan kependekan dari Ahlus Sunnah atau lengkapnya, Ahlus Sunnah wal Jama?ah.?

Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir dan sejarah dalam bukunya: Al Bidayah wan Nihayah, menyebutkan berbagai peperangan yang terjadi antara Ahlus Sunnah melawan Syi?ah. Sebagai contoh, peperangan yang terjadi pada tahun: 420, 421, 422, 425, 439 H. Bahkan jatuhnya ibu kota Khilafah Abbasiyah ke tangan orang-orang Tartar pada thn: 656 H, disebabkan pengkhianatan yang dilakukan oleh orang Syi?ah, yang bernama: Muhammad bin Al ?Alqamy, sebagaimana yang dikisahkan oleh Ibnu Katsir dalam bukunya ini 13/213-215.

Bahkan pada halaman yang sama, beliau mengatakan bahwa Ahl as Sunnah wa al Jama?ah adalah mazhab yang didirikan oleh Abu Hasan Al Asy?ari (w. 324) dan Abu Manshur Al Maturidi (w. 333), dengan demikian penggunaan kata As Sunnah sebagai lawan dari Syi?ah sudah ada semenjak dahulu kala, dan menurut beliau, ada semenjak abad ke-4 hijriah, yaitu semenjak didirikannya mazhab Asy?ariyah dan Maturidiyah, karena kedua mazhab ini tentu tidak sama dengan mazhab Syi?ah. Hal ini membuktikan bahwa ucapan beliau: ?Dan pada akhir-akhir ini muncul ungkapan ?Sunnah? sebagai lawan dari ?Syi?ah?, salah atau tidak sesuai dengan realita.?
 
Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama?ah (3)

Permasalahan kedua:

Kesalahan yang ada pada bab ini, yang saya rasa lebih fatal ialah penafsiran terhadap sebutan ?Ahl as Sunnah wa al Jama?ah?, dimana beliau pada hal: 6 berkata: ?Ahl as Sunnah wa al Jama?ah, yaitu faham/fatwa-fatwa yang diajarkan oleh Imam Abu Hasan al Asy?ari (w.324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (w. 333), dimana kedua tokoh ini dipandang sebagai pendiri Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama?ah.? Kemudian beliau menukil perkataan Sayyid Murtadha al Zabidi al Yamani, yang menafsirkan Ahl as Sunnah wa al Jama?ah dengan kedua golongan ini.

Ini adalah kesalahan besar dan fatal yang ada pada buku ini. Dan sebelum membuktikan kesalahan ini, saya ingin bertanya kepada bapak Kyai sebagai berikut:

Menurut hemat bapak Kyai, apakah Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam, para sahabatnya, dan seluruh kaum muslimin yang hidup sebelum kedua orang ini (al Asy?ari dan al Maturidi), bermazhabkan dengan mazhab Ahl as Sunnah wa al Jama?ah, yang menurut penafsiran bapak ialah mazhab Asy?ari atau maturidi? Dengan kata lain, apakah Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam dan sahabatnya ialah orang Asy?ari atau Maturidi?

Untuk membuktikan kesalahan ini, saya akan sebutkan beberapa hadits Nabi shollallahu?alaihiwasallam, yang menjelaskan realita perkembangan perjalanan umat Islam:

Hadits pertama:

عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله: لتتبعن سنن الذين من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا في حجر ضب لاتبعتموهم. قلنا: يا رسول الله: آليهود والنصارى؟ قال: فمن؟!

Artinya:
?Dari sahabat Abu Sa?id Al Khudri rodhiallahu?anhu, beliau berkata: Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam bersabda: Sunguh-sungguh kamu akan mengikuti/mencontoh tradisi orang-orang sebelum kalian, sejengkal sama sejengkal, dan sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk kedalam lubang dhob (Dhob ialah binatang yang hidup di negeri arab, bentuknya serupa dengan biawak, akan tetapi dlob hanya memakan rerumputan, tidak pernah minum air, ia hanya minum air embun.-pen), niscaya kamu akan meniru/mencontoh mereka. Kami pun bertanya: Apakah (yang engkau maksud adalah) kaum Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab: Siapa lagi?? (Muttafaqun ?Alaih)

Hadits kedua:

عن عبد الله بن عمرو قال: قال رسول الله: ليأتين على أمتي ما أتى على بني إسرائيل حذو النعل بالنعل، حتى إن كان منهم من أتى أمه علانية، لكان في أمتي من يصنع ذلك. وإن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة، وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة، كلهم في النار إلا ملة واحدة. قالوا: ومن هي يا رسول الله؟ قال: ما أنا عليه وأصحابي

Artinya:
?Dari sahabat Abdillah bin ?Amr rodhiallahu?anhu, ia berkata: Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam bersabda: Niscaya umatku akan ditimpa oleh apa yang telah menimpa Bani Israil, layaknya terompah dibanding dengan terompah (sama persis), hingga seandainya ada dari mereka orang yang menzinai ibunya di hadapan khalayak ramai, niscaya akan ada di umatku orang yang melakukannya. Dan sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan. Seluruh golongan akan masuk neraka, kecuali satu golongan. Para sahabatpun bertanya: Wahai Rasulullah, siapakah satu golongan itu? Beliau menjawab: (golongan yang menjalankan) ajaran yang aku dan para sahabatku amalkan.? (Riwayat At Tirmizy, 5/26, hadits no: 2641, dan Al Hakim 1/218, hadits no: 444)

Inilah karakteristik golongan selamat, yaitu golongan yang berpegang teguh dengan ajaran agama Islam yang diajarkan, didakwahkan dan diamalkan oleh Nabi shollallahu?alaihiwasallam beserta sahabatnya.

Tatkala Nabi shollallahu?alaihiwasallam ditanya tentang siapakah golongan yang selamat dari neraka, beliau menjawab dengan menyebutkan kriteria (sifat)nya, bukan dengan menyebutkan nama orang. Ini merupakan isyarat bahwa yang menjadi ukuran dan barometer dalam menilai suatu golongan ialah: dengan melihat karakteristik, dan perilakunya, yaitu, sejauh manakah golongan tersebut menjalankan dan mencontoh ajaran dan amalan yang diterapkan oleh Nabi shollallahu?alaihiwasallam dan para sahabatnya, bukan dengan tokoh tertentu dari golongan itu, siapapun orangnya. Apalagi bila orang tersebut hidup jauh dari masa kenabian, semacam Abu Hasan Al Asy?ari dan Abu Manshur Al Maturidi, yang keduanya hidup pada abad keempat hijriah.

As Syathiby Al Maliky berkata: ?Singkat kata, bahwa sahabat-sahabat beliau shollallahu?alaihiwasallam senantiasa meneladaninya dan menjalankan petunjuknya, dan sungguh mereka telah mendapatkan sanjungan dalam Al Qur?an Al Karim, sebagaimana suritauladan mereka yaitu Nabi Muhammad shollallahu?alaihiwasallam telah mendapatkan sanjungan. Dan sesungguhnya perangai beliau shollallahu?alaihiwasallam ialah Al Qur?an (Beliau mengisyaratkan kepada perkataan ?Aisyah -radliallahu ?Anha-: ?Adalah akhlaq Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam ialah Al Qur?an.? (Riwayat Ahmad 6/91, dan Al Bukhari dalam kitab Khalqu Af?aalil Ibad hal: 87)

Allah Ta?ala berfirman:

وإنك لعلى خلق عظيم

?Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti agung.? (QS. Al Qalam 4)

Dengan demikian Al Qur?anlah yang sebenarnya menjadi pedoman, sedangkan As Sunnah berfungsi menjabarkannya, sehingga orang yang menjalankan As Sunnah, berarti ia telah menjalankan Al Qur?an. Dan para sahabat ialah orang yang paling banyak menjalankannya, sehingga setiap orang yang meneladani mereka, niscaya ia tergolong ke dalam golongan selamat, yang akan masuk surga, -atas kemurahan Allah- inilah makna sabda Nabi shollallahu?alaihiwasallam:

ما أنا عليه وأصحابي

?(golongan yang menjalankan) ajaran yang aku dan para sahabatku amalkan.?

Al Qur?an dan As Sunnah merupakan jalan lurus, sedangkan (dalil-dalil) yang lain berupa ijma? (kesepakatan ulama?) dan lainnya adalah cabang dari keduanya. Inilah kriteria ajaran yang diamalkan oleh Nabi shollallahu?alaihiwasallam dan para sahabatnya, dan ini pulalah makna hadits ini dalam riwayat lain:

وهي الجماعة

?Mereka itu ialah Al Jama?ah.?

Dikarenakan tatkala Nabi shollallahu?alaihiwasallam menyabdakan hadits ini, (kabar terjadinya perpecahan umat Islam) Al Jama?ah memiliki kriteria ini.? (Al I?itishom, oleh As Syathiby 2/443).

Oleh karenanya, agama Islam hanya memiliki dua sumber hukum, yaitu Al Qur?an dan As Sunnah. Sedangkan selain kedua sumber hukum ini, bila bertentangan dengannya ditinggalkan. Inilah sebabnya mengapa para ulama? dan imam senantiasa berwasiat kepada murid-murid dan pengikutnya agar senantiasa meninggal kan pendapatnya, bila dikemudian hari terbukti bertentangan dengan hadits, sebagai contoh:

Imam Malik bin Anas -pendiri mazhab maliki- berkata:

كل أحد يؤخذ من قوله ويترك، إلا صاحب هذا القبر

?Setiap manusia dapat diikuti perkataan (pendapat)nya, dan juga dapat ditinggalkan, kecuali penghuni kuburan ini shollallahu?alaihiwasallam (yaitu Nabi shollallahu?alaihiwasallam).? (Siyar A?alam An Nubala? oleh Az Zahaby 8/93).

Imam As Syafi?i, berkata:

إذا صح الحديث فاضربوا بقولي الحائط

?Bila ada hadits yang shahih, maka campakkanlah pendapatku ke dinding/pagar.? (Ibid 10/35).

Inilah karakteristik utama golongan selamat, yang dalam hadits lain disebut dengan Al Jama?ah:
 
Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama?ah (4)

Hadits ketiga:

عن معاوية بن أبي سفيان عن النبي قال: وإن هذه الملة ستفترق على ثلاث وسبعين ثنتان وسبعون في النار وواحدة في الجنة وهي الجماعة

Artinya:
?Dari sahabat Mu?awiyah bin Abi Sufyan rodhiallahu?anhu dari Nabi shollallahu?alaihiwasallam, beliau bersabda: Dan (pemeluk) agama ini akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan akan masuk neraka, dan (hanya) satu golongan yang masuk surga, yaitu Al Jama?ah.? (HRS Ahmad 4/102, Abu Dawud 4/198, hadits no: 4597, Ibnu Abi ?Ashim 1/7, hadits no: 2, dan Al Hakim 1/218, hadits no: 443, dan dishohihkan oleh Al Albani)

Dan yang dimaksud dengan Al Jama?ah ialah, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Syamah As Syafi?i (w. 665 H): ?Acapkali datang perintah untuk berpegang teguh dengan Al Jama?ah, maka yang dimaksudkan ialah: senantiasa berpegang teguh dengan kebenaran dan para pengikutnya, walaupun orang yang berpegang teguh dengan kebenaran sedikit jumlahnya, dan orang yang menyelisihinya berjumlah banyak. Hal ini karena kebenaran ialah ajaran yang diamalkan oleh Al Jama?ah generasi pertama semenjak Nabi shollallahu?alaihiwasallam dan para sahabatnya -radliallahu ?anhum-, dan tidak dipertimbangkan banyaknya jumlah penganut kebatilan yang ada setelah mereka.? (Al Ba?its ?Ala Ingkari Al Bida? wa Al Hawadits, oleh Abu Syamah As Syafi?i, hal: 34).

Pernyataan beliau ini selaras dengan apa yang dinyatakan oleh As Syathiby pada ucapannya yang telah saya sebutkan di atas.

Ibnu Abil ?Izzi Al Hanafi (w. 792 H) berkata: ?Dan Al Jama?ah ialah jama?ah kaum muslimin, dan mereka itu ialah para sahabat, dan seluruh orang yang meneladani mereka hingga hari qiyamat.? (Syarah Al Aqidah At Thohawiyyah, oleh Ibnu Abil ?Izz Al Hanafi hal: 374).

Subhanallah! Tiga orang ulama? yang saling berjauhan, tidak pernah saling bertemu, dan berbeda mazhab (*) sepakat dalam menafsirkan Al Jama?ah, bahwa mereka ialah para sahabat Nabi shollallahu?alaihiwasallam dan seluruh orang yang meneladani mereka, terlepas dari perbedaan mazhab fiqih atau daerah, atau organisasi dan guru.

(*) Abu Syamah bertempat tinggal di Baitul Maqdis Palestina, wafat pada thn: 665 H, dan bermazhabkan Syafi?i, As Syathiby bertempat tinggal di Andalus, wafat thn: 790 H, dan bermazhabkan Maliki, sedangkan Ibnu Abil ?Izzi hidup di Damasqus, kemudian pindah ke Mesir, wafat pada thn: 792 H, dan bermazhabkan Hanafi. Kesepakatan pendapat ini bukan karena faktor kebetulan, akan tetapi karena ketiganya berbicara atas dasar ilmu yang bersumberkan dari sumber yang murni, yaitu Al Qur?an dan Hadits Nabi shollallahu?alaihiwasallam. Perbedaan mazhab ketiganya tidak menjadikan masing-masing dari mereka mengklaim bahwa Ahlus Sunnah wal Jama?ah ialah mazhabnya sendiri, hendaknya hal ini menjadi peringatan dan pelajaran bagi orang yang menginginkan keselamatan bagi dirinya, baik di dunia ataupun di akhirat.

Al Jama?ah ini dikemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Ahlus Sunnah wal Jama?ah, yang artinya para penganut as sunnah dan persatuan. Dikatakan Ahlus Sunnah karena mereka benar-benar menerapkan As Sunnah dengan pemahaman ketiga, yang mencakup seluruh ajaran agama Islam yang murni. Dan Ahlul Jama?ah, karena mereka senantiasa menjaga persatuan yang dibangun di atas kebenaran.

Setelah jelas bagi kita, bahwa yang dimaksud dengan Ahl As Sunnah wa Al Jama?ah ialah Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam, para sahabatnya dan seluruh orang yang meneladani mereka, maka menjadi jelaslah bahwa siapa saja yang menafsirkan Ahl As Sunnah wa Al Jama?ah dengan golongan tertentu atau mazhab tertentu, penafsirannya tidak sesuai dengan fakta dan bertentangan dengan dalil. Bagaimana tidak, Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam sendiri tatkala dikonfirmasikan tentang maksud beliau dengan Al Jama?ah, beliau menjawab: ?(mereka ialah golongan yang menjalankan) ajaran yang aku dan para sahabatku amalkan.?

Dengan demikian tidak ada alasan lagi bagi siapapun untuk menafsirkan Al Jama?ah dengan penafsiran yang lain, baik dengan mazhab Asy?ari dan Maturidi, sebagaimana yang dilakukan oleh Al Murtadha Az Zabidi, dan diikuti oleh Bapak K.H. Drs. Ahmad Dinyathi Badruzzaman M.A. atau dengan mazhab lain.

Agar menjadi lebih jelas kesalahan orang yang menafsirkan Ahl As Sunnah wa Al Jama?ah dengan mazhab Asy?ari dan Maturidi, saya akan menukilkan sebagian aqidah (ideologi) mazhab Asy?ari:

1. Dalam aqidah Asy?ari, dinyatakan, bahwa Al Qur?an yang ada di hadapan kita ini, bukanlah kalamullah, akan tetapi berupa tulisan, dan huruf yang mengungkapkan akan makna kalamullah, tulisan dan huruf itu Allah ciptakan pada diri malaikat Jibril, atau Rasululahl atau Al Lauhul Mahfuz, sedangkan kalamullah yang sebenarnya ialah suatu makna yang ada pada diri Allah. Dan makna ini tidak berubah-ubah, dan tidak berbeda-beda, yang beda hanyalah obyek, waktu dan bahasanya, sehingga bila obyeknya ialah perbuatan buruk, maka ia dikatakan larangan, dan bila berupa perbuatan baik, maka ia disebut perintah, dan bila berupa kisah, ia disebut berita dst. Sehingga konsekwensinya seluruh Al Qur?an dari surat Al Fatihah s/d surat An Nas sama semua, arti atau maknanya tidak berbeda, yang beda hanyalah sisi pandang manusia, bila dikaitkan dengan perbuatan zina, maka ayat itu menjadi larangan dari perbuatan zina, dan bila dikaitkan dengan ibadah sholat, maka ayat itu pula menjadi perintah mendirikan sholat. Dan bila diwaktu Nabi Musa ?alaihissalam dinamakan At Taurat, dan bila di zaman nabi ?Isa ?alaihissalam dinamakan Injil, dan bila di zaman Nabi Muhammad shollallahu?alaihiwasallam dinamakan Al Qur?an, yang beda hanyalah waktu dan bahasanya. (Lihat kitab: Al Musamarah bi Syarhil Musayarah, oleh Al Kamal Ibnu Abi Syarif Al Maqdisy (W 906 H), hal: 74-77. Kitab ini ialah kitab yang menerangkan aqidah-aqidah mazhab Asy?ari, jadi nukilan ini ialah nukilan langsung dari kitab mereka, dan bukan melalui perantaraan orang lain).

Tentu ini adalah aqidah yang membingungkan, menyesatkan, membodohi umat serta bertentangan dengan realita dan akal sehat.
 
Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama?ah (5)

2. Contoh kedua dari aqidah Asy?ari: Akal manusia adalah sumber utama bagi syari?at Islam, sehingga setiap dalil, baik Al Qur?an atau Al hadits yang dianggap bertentangan dengan akal, harus diselaraskan dengan akal pikiran manusia, bila tidak mungkin, maka harus ditolak. (Ibid hal: 33).

Ibnu Al Qayyim Al Hambali (w. 751 H) setelah menyebutkan empat prinsip mazhab ahlul bid?ah yang diantaranya ialah mendahulukan akal dibanding dalil: ?Inilah keempat taghut yang dijadikan oleh ahlul bid?ah sebagai prinsip bagi mazhab mereka, dan telah menjajah agama Islam. Inilah yang menghapuskan batasan-batasan agama Islam, menyirnakan rambu-rambunya, menumbangkan pondasinya, menggugurkan kehormatan dalil dari dalam kalbu, dan membukakan pintu bagi setiap orang munafiq dan musyrik untuk melecehkannya. Sehingga tidaklah ada orang yang menghujatnya dengan dalil dari kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, melainkan ia akan segera berkilah dan berlindung dengan salah satu dari thoghut-thoghut ini, dan menjadikannya sebagai perisai guna merintangi jalan Allah.? (As Showa?iq Al Munazzalah ?Ala At Tho?ifah Al Jahmiyah Al Mu?atthilah, oleh Ibnu Al Qayyim Al jauziyah Al Hambali 2/379-380).

Apakah setelah in semua, kita masih akan bersikukuh mengatakan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama?ah relevan dengan mazhab Asy?ari dan Maturidi?

Mungkin ada dari pembaca yang bertanya: Mengapa ulama? semacam Sayid Murtadha Az Zabidi, mengklaim bahwa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah ialah Al Asy?ariyah dan Al Maturidiyah?

Untuk mengetahui jawabannya, mari kita simak dan renungkan bersama ucapan sahabat Abdullah bin Mas?ud berikut ini:

قال بن مسعود: عليكم بالعلم قبل أن يقبض، وقبضه أن يذهب بأصحابه، عليكم بالعلم فإن أحدكم لا يدري متى يفتقر إليه أو يفتقر إلى ما عنده، إنكم ستجدون أقواما يزعمون أنهم يدعونكم إلى كتاب الله، وقد نبذوه وراء ظهورهم، فعليكم بالعلم وإياكم والتبدع وإياكم والتنطع وإياكم والتعمق وعليكم بالعتيق

Artinya:
?Hendaknya kamu menuntut ilmu sebelum ilmu itu diangkat, dan diangkatnya ilmu dengan matinya para ulama?. Hendaknya kamu menuntut ilmu, karena kamu tidak tahu kapan ia dibutuhkan, atau dibutuhkan pendapatnya. Sesungguhnya kalian akan menemui beberapa kaum yang mengaku-aku bahwa mereka menyeru kamu kepada kitab Allah (Al Qur?an) padahal ia telah mencampakkannya dibalik punggungnya. Maka hendaknya kamu menuntut ilmu, dan hati-hatilah kamu dari amalan bid?ah, berlebih-lebihan, dan sikap ekstrim, dan hendaknya pula kamu senantiasa mengikuti ajaran yama lama.? (Riwayat Ad Darimi 1/66, no: 143, As Sunnah oleh Muhammad bin Nasher Al Marwazy As Syafi?i hal 29, no: 185, dan Mujmal Ushul I?itiqad Ahlus Sunnah oleh Al Lalaka?i As Syafi?i 1/87, no: 108).

Sayid Murtadha Az Zabidi ialah orang yang bermazhabkan Asy?ari, sehingga ia merasa perlu untuk mengklaim bahwa Ahlus Sunnah ialah kelompoknya atau golongannya saja. Hal ini menjadikannya lalai bahwa Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam, sahabatnya, dan seluruh kaum muslimin yang hidup sebelum masa Abu Hasan Al Asy?ari tidak bermazhabkan dengan mazhab ini. Fanatik golonganlah yang menjadikannya lalai atau menutup mata dari fakta sejarah ini, dan hal inipulalah -menurut hemat saya- yang menimpa bapak Kyai K.H. Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari kesesatan setelah kita mendapat petunjuk, dan kehinaan setelah mendapat kemuliaan.

Sebagai bantahan terbesar terhadap klaim bapak Dimyathi, ialah ucapan Imam Abu Al Hasan Al Asy?ari berikut ini:

فإن قال لنا قائل: قد أنكرتم قول المعتزلة والقدرية والجهمية والحرورية والرافضة والمرجئة فعرفونا قولكم الذي به تقولون وديانتكم التي بها تدينون؟
قيل له : قولنا الذي نقول به وديانتنا التي ندين بها: التمسك بكتاب ربنا عز وجل وبسنة نبينا محمد  وما روي عن الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون، و بما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل -نضر الله وجهه ورفع درجته وأجزل مثوبته- قائلون، ولما خالف قوله مخالفون، لأنه الإمام الفاضل والرئيس الكامل الذي أبان الله به الحق ورفع به الضلال وأوضح به المنهاج وقمع به بدع المبتدعين وزيع الزائغين وشك الشاكين فرحمة الله عليه من إمام مقدم وخليل معظم مفخم

?Bila ada yang berkata kepada saya: Engkau telah mengingkari keyakinan orang Mu?tazilah, Al Qadariyyah, Al Jahmiyyah, Al Haruriyyah (khowarij) Al Rafidhah (Syi?ah), Al Murji?ah, maka katakanlah kepada kami apa aqidah yang engkau anut dan keyakinan yang engkau yakini? Maka jawabannya ialah: aqidah yang saya yakini ialah: senantiasa komitmen dengan kitab Tuhan-ku Azza wa Jalla, dan dengan sunnah Nabi Muhammad shollallahu?alaihiwasallam, dan yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi?in dan para imam ahlil hadits, dan saya dengan aqidah ini senantiasa berpegang teguh, dan dengan menganut setiap aqidah yang diyakini oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal -semoga Allah membahagiakannya, meninggikan derajatnya, dan membalas jasanya dengan yang lebih besar- dan menentang setiap yang menyelisihinya. Karena beliau (Ahmad bin Hambal) ialah seorang imam yang agung, pemimpin yang sempurna, yang dengannya Allah menjelaskan kebenaran, menyingkap kesesatan, menerangi jalan, dan memadamkan bid?ah setiap ahli bid?ah, penyelewengan setiap orang yang menyeleweng, dan keraguan setiap orang yang dilanda keraguan. Semoga Allah senantiasa merahmatinya, dialah seorang imam yang terkemuka, dan sahabat yang agung nan mulia.? (Al Ibanah ?An Ushulid Diyanah. Oleh Abu Hasan Al ?Asy?ari 14-15).

Inilah aqidah Abu Al Hasan Al Asy?ari yang beliau anut dan ajarkan pada akhir hayatnya, yaitu aqidah yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hambal.

Beliau memang pernah menganut aqidah kullabiyah yang lebih dikenal dengan sebutan aqidah asy?ariyyah. Namun setelah jelas bagi beliau sisi kesalahan aqidah ini, beliau pun meninggalkannya, dan kembali ke aqidah Ahlus Sunnah wal Jama?ah, sebagaimanan yang beliau jelaskan dalam kitabnya ?Al Ibanah ?An Ushulid Diyanah? dan ?Maqalaatul Islamiyyin?
 
Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama?ah (6)

BENARKAH ULAMA? TASAWUF BERPEDOMAN KEPADA SUNNAH ?

Pada pembahasan ini, hal: 16 bapak Kyai Dimyathi berkata: ?Sementara ini ada orang yang berkata bahwa ulama? fiqih dan ulama? tasawuf itu dalam menetapkan suatu hukum dan ibadahnya hanyalah hasil ijtihad (rekayasa) mereka tanpa didasari sunnah Nabi shollallahu?alaihiwasallam. Perkataan semacam itu, menurut hemat kami, jelas tidak bisa dipertanggung jawabkan validitasnya.?

Kalau yang bapak Kyai maksudkan ialah ulama? fiqih, maka saya mendukung ucapan bapak Kyai, akan tetapi bila yang bapak maksud ialah ulama? tasawuf juga, apalagi ulama? tasawuf mutaakhirin (sufi dengan pemahaman yang sekarang ada dimasyarakat), maka saya balik berkata: menurut keyakinan saya, jelas ucapan bapak Kyai ini tidak dapat dipertanggung jawabkan validitasnya, dan bahkan bertentangan dengan realita.

Pada pembahasan ini, bapak Kyai hanya menukilkan perkataan-perkataan para tokoh tasawuf yang ada pada masa dahulu, yang pemahaman tasawuf kala itu hanya sebatas zuhud dalam urusan dunia, dan tekun beribadah. Beliau hanya menyebutkan ucapan Al Junaid (w. 297 H), Dzun Nun (w. 245 H), Ibrahim bin Adham (w. 161 H) Abu Sa?id Al Kharraz (w. 277 H), Abu Yazid Al Busthomi (w. 261 H), Al Muhasibi (w. 243), Al Sirri Al Saqathi (w. 257 H).

Adapun tokoh-tokoh sufi pada zaman ini, -saya rasa bapak Kyai lebih banyak tahu dibanding saya tentang mereka- kebanyakannya ialah orang-orang kaya, rumahnya megah, kendaraannya bagus, hartanya melimpah dst.

Yang menjadi pertanyaan saya: apakah bapak Kyai tidak mengenal tokoh sufi kecuali mereka? atau, Apakah sufi tidak memiliki tokoh selain mereka? Ataukah ada batu di balik udang dari dilupakannya tokoh-tokoh sufi selain mereka?

Bukankah bapak kenal bahwa diantara tokoh sufi besar yang diagung-agungkan oleh banyak orang ialah : Ibnu Arabi, Al Hallaj, At Tijani? Mengapa bapak Kyai tidak berani menukil dari mereka? Apakah benar ada batu di balik udang?

DR. Gholib Al Awaji -seorang pakar dalam ilmu firoq (sekte-sekte) yang ada di umat Islam- setelah menyebutkan perbedaan ulama? dalam menentukan awal munculnya tasawuf, ia berkesimpulan: ?Dari perbedaan pendapat ini, saya berkesimpulan bahwa tasawuf pertama kali muncul setelah diturunkannya agama Islam dalam bentuk zuhud, semangat tinggi dalam berusaha meraih kehidupan akhirat, dan mengekang jiwa sedapat mungkin dari mencintai kehidupan dunia, dan berjalanlah segalanya sesuai dengan pemahaman ini. Pada kemudian hari -sebagaimana layaknya prinsip dan gagasan lain- tasawuf mengalami pengembangan, dan disusupi oleh berbagai gagasan, dengan tujuan pematangan ide dan kemudian menyajikannya kepada masyarakat dalam bentuknya yang telah sempurna, tanpa memperdulikan apakah pengembangan itu selaras dengan kebenaran atau sebaliknya malah menjauh darinya.? (Firoq Mu?ashiroh, oleh DR Gholib bin Ali Al ?Awaji 2/734).

Dari kesimpulan DR. Gholib Al Awaji di atas kita mengetahui bahwa tasawuf yang ada pada zaman ini tidak lagi sejalan dengan tasawuf yang ada pada zaman dahulu awal kali muncul. Oleh karena itu kita dapatkan sebagian ulama? menyebut bahwa tasawuf yang ada pada zaman orang-orang yang dinukil perkataannya oleh bapak Kyai Dimyathi dengan sebutan sufiyah al haqo?iq. (Lihat Majmu? Fatawa, oleh Ibnu Taimiyyah 11/19).

Walau demikian, ternyata didapatkan beberapa penyelewengan pada ucapan dan perilaku kebanyakan mereka, sebagai contoh:

Bisyr Al Hafi berkata:

لا يفلح من ألف أفخاذ النساء

Artinya:
?Tidak akan pernah berbahagia orang yang terbiasa dengan paha-paha wanita (istri-istrinya).? (Siyar A?alam An Nubala? oleh Az Zahabi 10/472).

Bandingkanlah ucapan Bisyr ini dengan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik rodhiallahu?anhu tentang kisah ketiga orang yang mendatangi rumah istri-istri Nabi shollallahu?alaihiwasallam, dan telah saya sebutkan pada bab I.

Malik bin Dinar berkata:

لا يبلغ الرجل منزلة الصديقين حتى يترك زوجته كأنها أرملة ويأوي إلى مزابل الكلاب

Artinya:
?Seseorang tidak akan dapat mencapai kedudukan ash shiddiqin hingga ia meninggalkan istrinya, seakan-akan ia seorang janda, dan menyendiri di tempat-tempat persembunyian anjing.? (Lihat Hilyah Al Ulama? oleh Abu Nu?aim 2/359).

Bandingkan ucapan Malik bin Dinar ini dengan hadits berikut:

عن أبي هريرة قال قال رسول الله: دينار أنفقته في سبيل الله، ودينار أنفقته في رقبة، ودينار تصدقت به على مسكين، ودينار أنفقته على أهلك، أعظمها أجرا الذي أنفقته على أهلك

Artinya:
?Dari sahabat Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam bersabda: Dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah (untuk membiayai jihad), dinar yang engkau nafkahkan guna memerdekakan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, yang paling besar pahalanya ialah dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu.? (Riwayat Muslim 2/692, hadits no: 995)

Abu Sulaiman Ad Daraani berkata:

عن أبي سليمان الداراني أنه قال: اذا طلب الرجل الحديث أو سافر في طلب المعاش أو تزوج، فقد ركن إلى الدنيا

Artinya:
?Dari Abu Sulaiman Ad Darani berkata: Apabila seseorang menuntut hadits (Nabi shollallahu?alaihiwasallam), atau bepergian guna mengais rezeki, atau menikah, berarti ia telah condong kepada kehidupan dunia.? (Talbis Iblis oleh Ibnu Jauzi 359).

As Sya?rani mengkisahkan dari Al Junaid, bahwa ia berkata: Seorang murid yang benar-benar tulus, ia tidak butuh kepada ilmu para ulama?, bila Allah menghendaki kebaikan padanya, niscaya ia akan dipertemukan dengan orang-oang sufi dan dijauhkan dari para qurra? (ahli qira?at yaitu para ulama?). (Thabaqat Al Kubra oleh As Sya?rani 1/84, dengan perantaraan kitab: Dirasaat fi Al Tasawwuf oleh DR. Ihsan Ilahi Dzahir 122).

Inilah salah satu penyebab kenapa sufi zaman sekarang tersesat dari kebenaran dan menyeleweng dari syariat Nabi Muhammad shollallahu?alaihiwasallam, mereka menjauhi ilmu dan para ahlinya, bahkan menganggap belajar menuntut ilmu hadits sebagai perbuatan dosa, oleh karenanya dahulu Bisyr Al Hafi merasa perlu untuk beristighfar kepada Allah, karena ia pernah melangkahkan kakinya dalam perjalanan menuntut hadits-hadits Nabi shollallahu?alaihiwasallam. (Lihat Siyar A?alam An Nubala? oleh Az Zahabi 10/470, 472).

Adapun sufi yang ada setelah generasi sufiyatul haqa?iq berlalu, dan digantikan oleh sufi jenis baru, yaitu yang sekarang ada di masyarakat, dan diantara tariqatnya telah diakui secara resmi oleh sebagian ormas Islam di Indonesia dan diberi julukan sebagai thariqah mu?tabarah, telah jauh menyimpang dari ajaran dan prinsip sufiyatul haqa?iq. Tidak lagi seperti yang disebutkan dalam ucapan-ucapan para tokoh yang disebut namanya oleh bapak Kyai Dimyathi. Untuk sekedar membuktikan kepada para pembaca, saya akan menukilkan sebagian ucapan beberapa tokoh mereka:

Ibnu Arabi (seorang tokoh sufi sesat -ed) dalam bukunya Al Futuhat Al Makkiyah berkata:

العبد رب والرب عبد يا ليت شعري من المكلف
إن قلت عبد فذاك رب أو قلت رب فأنى يكلف

?Hamba adalah tuhan, dan tuhan adalah hamba
duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas?
Bila kau katakan hamba, maka ia adalah tuhan
atau kau katakan: tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas!??

(Lihat Firoq Mu?ashiroh, oleh DR. Gholib bin Ali Al ?Awaji 2/745).

Di bukunya: Al Fushus, Ibnu Arabi berkata: ?Segala sesuatu yang kita temui, maka itulah keberadaan Al Haq (Allah) yang berwujud pada makhluq. Bila dilihat dari hakikatnya maka ia adalah perwujudan Allah, dan bila dilihat dari perbedaan bentuk, maka itu adalah perwujudan makhluq-makhluq, sebagaimana tidak akan berubah nama bayangan hanya karena perbedaan bentuk, demikian juga tidak akan sirna sebutan Al Haq (Allah) hanya karena keaneka ragaman bentuk alam semesta. Bila dilihat dari keesaan bayangan, maka dia adalah Al Haq (Allah), karena Dia adalah Yang Maha Esa, dan bila dilihat dari segi perbedaan bentuk, maka itu adalah alam semesta, renungkanlah apa yang telah aku jelaskan kepadamu ini.? (Fushus Al Hikam oleh Muhammad bin Ali bin Muhammad ibnu Arabi Al Andalusi, hal: 77-79, dengan perantaraan dari kitab Taqdis Al Asykhash Fi Al Fikri Al Shufi oleh DR. Muhammad Ahmad Lauh 1/532).

Abu Hamid Al Ghazali, tokoh tasawuf kelas satu di mata pengikut tariqat masa kini berkata dalam kitabnya Ihya? Ulumuddin: ?Bagian tauhid keempat ialah: bila ia tidak menyaksikan di alam semesta ini selain satu dzat yang esa, dan ini merupakan penyaksian para shiddiqin, dan diistilahkan oleh orang sufi dengan sebutan: Al Fana? Fit Tauhid (telah melebur dalam tauhid/pengesaan)? Bila anda bertanya: bagaimana mungkin seseorang tidak melihat melainkan hanya satu saja, sedangkan ia melihat langit, bumi, dan segala benda yang ia rasakan, dan itu banyak sekali?, dan bagaimana suatu yang banyak menjadi hanya satu? Ketahuilah bahwa ini adalah puncak ilmu mukasyafat, dan rahasia ilmu ini tidak boleh untuk dituliskan dalam suatu kitab, karena orang-orang yang telah sampai pada tingkatan ma?rifah berkata: membocorkan rahasia ketuhanan itu adalah kufur. Ditambah lagi ilmu ini tidak ada hubungannya dengan ilmu mu?amalah (interaksi). Benar, menyebutkan satu hal yang dapat mengusir rasa keherananmu boleh-boleh saja, yaitu: bahwa sesuatu dapat saja berjumlah banyak dengan satu pertimbangan, dan menjadi satu dengan pertimbangan lain. Yang demikian ini sebagaimana manusia dikatakan banyak bila dilihat dari segi roh, jasad, kaki, tangan, urat-urat, tulang belulang, dan perutnya, dan pada saat yang sama dengan pertimbangan lain kita katakan: dia adalah satu manusia?

Demikilah halnya segala sesuatu yang ada di alam semesta, yang berupa Al Kholiq (Pencipta) dan Makhluq, memiliki pertimbangan dan sisi pandang yang beraneka ragam dan berbeda-beda. Dipandang dari satu sisi semuanya ialah satu/esa, dan dari sisi pandang lain berjumlah banyak? Penyaksian yang tidak nampak melainkan Yang Maha Esa dan Benar kadang kala bersifat kontinyu, dan kadang kala hanya sepintas, bak kilat yang menyambar, dan inilah yang sering terjadi, sedangkan yang bersifat kontinyu itu jarang didapatkan.? (Ihya? Ulum Ad Dien, oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali As Syafi?i, bab: Haqiqah At Tauhid Allazi Huwa Aslu At Tauhid, 4/241-242).

Pada halaman lain, Al Ghozali membagi pandangan terhadap At Tauhid kepada dua bagian, dan ia berkata tentang bagian pertama: ?Pandangan terhadap tauhid jenis pertama, yaitu pandangan tauhid yang murni, dengan pandangan ini, anda pasti akan dikenalkan bahwa ialah yang bersyukur dan disyukuri, dan dialah yang mencintai dan dicintai, ini adalah pandangan orang yang meyakini bahwa tidaklah ada di alam semesta ini melainkan Ia (Allah).? (Ibid, bab: Bayan Thariq Kasyf Al Ghitha? ?An Al Syukr Fi haqqi Allah Ta?ala, 4/83).

Demikianlah data yang kita dapatkan dengan jelas dan gamblang pada karya-karya Al Ghazali, namun sebagian ulama? menyebutkan bahwa beliau pada akhir hayatnya menyatakan bertaubat dari segala penyelewengan aqidah ini, sebagaimana yang disebutkan oleh Syeikh Abdul Qadir As Sindy dalam kitabnya At Tasawwuf Fi Mizanil Bahts Wat Tahqiq 325-326.

Abu Yazid Al Busthami (tokoh sufi sesat -ed) berkata:

إني جمعت عبادات أهل السموات والأرضين السبع فجعلتها في مخدة ووضعتها تحت خدي

Artinya:
?Aku telah menggulung amalan ibadah seluruh penghuni tujuh langit dan tujuh bumi, kemudian aku masukkan ke dalam satu bantal, dan aku jadikan di bawah pipiku.? (Hilyah Al Auliya?, oleh Abu Nu?aim 10/36).

Bukankah bapak Kyai Haji Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman yang terhormat mengakui dan mengetahui bahwa kedua orang ini adalah tokoh tasawuf, dan bahkan suritauladan ahl al tariqot? Bukankah bapak Kyai memiliki kitab Ihya? Ulumuddin?! Silahkan baca sendiri, dan buktikan sendiri, agar bapak Kyai yakin dan tidak ragu lagi bahwa ucapan bapak Kyai di atas bertentangan dengan realita dan fakta.

Apakah sekarang masih ada keraguan bahwa tasawuf ala mutakhirin, yaitu tasawuf yang ada pada zaman ini, adalah kelompok yang telah menyeleweng dari ajaran Al Qur?an dan As Sunnah, dan mengatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia?! Yang menurut bahasa jawa, sering disebut: manunggaling Gusti ing kawulo (menyatunya Tuhan dengan manusia).

Sebagai hasil dari keyakinan wihdatul wujud semacam ini, mari kita simak beberapa kisah berikut:

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: ?Tatkala dikatakan kepada At Tilmisani: Sesungguhnya Al Qur?an bertentangan dengan kitab kalian Al Fushus. Ia menjawab: Seluruh isi Al Qur?an ialah kesyirikan, sesungguhnya tauhid hanya ada pada ucapan kami. Maka dikatakakan lagi kepadanya: Kalau kalian mengatakan bahwa seluruh yang ada adalah hanya satu (esa), mengapa seorang istri halal untuk disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram? Maka ia menjawab: Menurut kami semuanya halal (untuk disetubuhi), akan tetapi mereka orang-orang yang telah terhalangi dari penyaksian keesaan seluruh alam, mengatakan: Saudara wanita itu haram, maka kamipun ikut-ikut mengatakan haram.? (Majmu? Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 13/186).

Abu Yazid Al Busthami berkata:

عجبت لمن عرف الله كيف يعبده؟

Artinya:
?Aku heran kepada orang yang telah mengenal Allah, mengapa ia tetap beribadah kepada-Nya?!? (Hilyah Al Auliya?, oleh Abu Nu?aim 10/37).

Salah seorang sufi besar, yaitu As Sya?roni, tatkala menyebutkan biografi Syamsuddin Al Hanafi, berkata: ?Suatu saat ada seorang istri seorang pangeran yang masuk ke rumah syeikh ini, maka ia mendapatkan syeikh sedang dipijit oleh beberapa wanita, maka istri pangeran inipun merasa keheranan, kemudian syeikh ini memandanginya dan berkata: Sekarang pandanglah! Maka Istri pangeran itupun memandang dan menyaksikan bahwa wanita-wanita tukang pijet itu ternyata wajahnya berupa tulang belulang, dari mulut mereka mengalir nanah, seakan-akan mayat hidup yang baru keluar dari kuburan. Kemudian Syeikh Syamsuddin berkata: Sesungguhnya aku bila memandang wanita lain, maka seperti inilah yang nampak olehku, kemudian ia melanjutkan perkataannya: Sesungguhnya pada tubuhmu ada tiga tanda (tompel/toh): satu di bawah ketiak, satu di pangkal pahamu, dan satu lagi di dadamu. Istri pangeran itupun menjawab: Benar, bahkan demi Allah suamiku saja hingga saat ini tidak mengetahui ketiga tanda ini.? (At Thobaqot Al Kubro, oleh Asy Sya?roni 2/85, dengan perantaraan kitab: Taqdis Al Asykhash Fi Al Fikr As Sufi oleh Muhammad Ahmad Lauh 2/304).

Menyimak kisah ini, saya menjadi teringat dengan skandal seks seorang tokoh sufi besar, dan seorang yang telah dinobatkan menjadi seorang wali oleh banyak kyai dan ahl thariqat di negri kita tercinta Indonesia, yaitu skandal Abdurrahman Wahid, atau yang lebih terkenal dengan sebutan Gus Dur. Bukankah umat Islam di seluruh indonesia telah membaca dan mendengar skandal ini? Akan tetapi apakah komentar sebagian kyai dan masyarakat tentangnya? Ada dari mereka yang mengatakan, bahwa Gus Dur ialah seorang wali, ada lagi yang mengatakan dia itu dijaga oleh malaikat, dst. (Baca berbagai komentar beberapa tokoh masyarakat tentang skandal ini, di buku: ?Bila Kyai Dipertuhankan? oleh bapak Hartono Ahmad Jaiz & Abduh Zulfidar Akaha, hal: 262 dst). Saya rasa bapak Kyai Dimyathi dan para pembaca yang budiman lebih tahu tentang insiden ini dibanding saya, sehingga tidak perlu saya berpanjang lebar menuturkannya.

Dan di halaman lain As Sya?roni menuturkan kisah wali lain, yaitu Syeikh Ibrahim Al ?Uryan, bahwa orang ini bila naik mimbar dan berceramah ia senantiasa dalam keadaan telanjang bulat. (At Thobaqot Al Kubro, oleh Asy Sya?roni 2/124).

Berhubungan dengan kisah ini, saya pernah mendengar penuturan salah seorang kawan saya sendiri, dan kisah ini ialah kisah yang ia alami secara langsung: Kawan saya ini berasal dari salah satu pondok pesantren di kota Jombang Jawa Timur. Pada suatu hari ia diajak oleh bibiknya untuk berkunjung ke daerah Nganjuk-Jawa Timur), guna mengunjungi seorang wali. Setibanya di rumah wali itu, ia dipersilahkan masuk ke ruang tamu laki-laki, sedangkan bibinya dipersilakan masuk ke ruang tamu wanita. Sepulang dari rumah wali itu, bibinya berkata: Wah, tadi di ruang wanita, saya menyaksikan beberapa wali, diantaranya: ada wali laki-laki yang keluar menemui kita dengan telanjang bulat dan tidak sehelai benang pun menempel di badannya. Setelah berada di tengah-tengah ruangan wali telanjang itu disodori sebatang rokok oleh sebagian pelayannya, maka iapun mulai mengisap rokok, dan baru beberapa isapan, rokoknya itu dicampakkan ke lantai. Melihat puntung rokok wali telanjang yang telah tergeletak di lantai itu, ibu-ibu yang sedang berada di ruangan tamu itu berebut memungutnya, dan setelah seorang ibu berhasil mendapatkannya ia buru-buru memerintahkan anaknya yang masih ingusan, yang kala itu bersamanya untuk ganti mengisap puntung rokok itu, dengan alasan: agar mendapatkan keberkahan sang wali, dan menjadi anak yang pandai.

Tatkala kawan saya mendengar kisah ini langsung dari penuturan bibiknya, ia bertekad untuk tidak ikut-ikut lagi dalam acara-acara yang diadakan oleh orang-orang sufi. Dan semenjak itu pulalah ia mulai menyadari kesesatan tariqat sufi, dan alhamdulillah yang telah mengaruniai sahabat saya ini hidayah, sehingga dapat dengan mudah mencampakkan belenggu tariqat sufi dari lehernya.

Dan pada halaman lain As Sya?roni mengkisahkan kisah Syeikh Ali Wuhaisy, bahwa orang ini bertempat tinggal di rumah bordil, dan setiap ada orang yang selesai berbuat zina, dan hendak meninggalkan lokasi itu, ia berkata kepadanya: Tunggu sejenak hingga aku selesai memberikan syafaat untukmu sebelum engkau meninggalkan tempat ini. Dan diantara yang ia kisahkan tentang orang sufi ini: bahwa setiap kali ada seorang pemuka agama setempat sedang menunggang keledai, ia memerintahkannya untuk segera turun, lalu berkata kepadanya: ?Peganglah kepala keledaimu, agar aku dapat melampiaskan birahiku padanya.? (Ibid 2/129-130).

Kisah-kisah kotor dan menjijikkan, justru dianggap oleh As Sya?roni sebagai tanda kewalian, dan kebanggaan seseorang. Kalau bukan karena terpaksa ingin membuktikan siapa sebenarnya orang-orang sufi, niscaya saya tidak sampai hati untuk mencantumkannya dalam tulisan ini, na?uzubillah minal khuzlan.

Dan diantara hasil ideologi wihdatul wujud yang dianut oleh kaum sufi (ahl tariqat) ialah terjalinnya keserasian dan obral akidah antar umat beragama, sehingga tidak ada lagi orang yang dijuluki kafir dan muslim, semuanya adalah saudara, hasil najis ini sering disebut dengan kata ?wihdatul adyan? (persatuan umat beragama).

Sebagai buktinya simaklah penuturan salah seorang dedengkot sufi, yaitu Ibnu Arabi:

والعارف المكمل من رأى كل معبود مجلى للحق يعبد فيه، ولذلك سموه كلهم إلها مع اسمه الخاص بحجر أو شجر أو حيوان أو إنسان أوكوكب أوملك

Artinya:
?Dan seorang yang telah berhasil mencapai kesempurnaan tingkatan ma?rifah, niscaya ia akan dapat melihat bahwa setiap yang disembah itu adalah tempat penampakan Al Haq (Allah) yang disanalah Ia disembah. Oleh karenanya mereka menyebutnya Tuhan (Ilah), bersama sebutannya yang khusus, yaitu: bebatuan, pepohonan, binatang, manusia, bintang atau malaikat.? (Fushush Al Hikam Oleh Ibnu Arabi 195, melalui perantaraan kitab Taqdis Al Asykhash Fi Al Fikr As Sufi, oleh Muhammad Ahmad Lauh, 1/563).

Oleh karena itu, janganlah heran bila orang-orang yang mengakui dan menganut at thariqah al mu?tabarah dengan ringan hati untuk masuk keluar gereja, dan mengadakan doa bersama, dan bahkan dibaptis oleh pastur. (Bagi anda yang ingin membaca sebagian bukti hal ini, silahkan baca buku: ?Bila Kyai Dipertuhankan?, oleh bapak Hartono Ahmad Jaiz dan Abduh Zulfidar Akaha: 159).

Setelah menyimak beberapi kisah yang dituliskan oleh As Sya?roni ini, apakah bapak Kyai masih bersikukuh mengatakan bahwa tokoh-tokoh sufi berpegang teguh dengan Al Qur?an dan As Sunnah?!

Apakah bapak Kyai juga mengatakan bahwa ucapan Ibnu Arabi, Al Ghozali, dan As Sya?roni tidak valid dan bernuansa su?uzhan kepada ulama yang mulia?

?Bersambung?
 
Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama?ah (67)

BID?AH

A. Definisi bid?ah

Pada pembahasan ini, setelah bapak Kyai menyebutkan definisi bid?ah ditinjau dari segi etimologi beliau menyebutkan definisi bid?ah ditinjau dari segi terminologi, yaitu dengan menyebutkan dua definisi yang beliau anggap tepat, definisi pertama: definisi Sulthanul ?Ulama? Izzuddin bin Abd Al Salam (w. 660 H) dan definisi kedua adalah: definisi Abu Sa?id Al Khadimi.

Yang menjadi kritikan saya ialah:

Kritikan pertama:

Bapak Kyai nampaknya terburu-buru, baik dalam menukil atau menyimpulkan, karena bila bapak Kyai sedikit jeli dan sabar, niscaya beliau akan mendapatkan bahwa pada kedua definisi yang beliau sebutkan ada pertentangan. Yang demikian itu karena Izzuddin bin Abd Al Salam mendefinisikan bid?ah dengan ucapannya:

البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله

?Bid?ah ialah suatu amalan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam.? (Qawa?id Al Ahkam fi Mashalih Al Anam, oleh Izzuddin bin Abd Al Salam, hal: 2/172).

Kemudian Izzuddin bin Abd Al Salam membagi bid?ah menjadi lima, yaitu bid?ah wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, dan memberikan contoh bagi masing-masing bagian. Dan diantara yang beliau contohkan bagi bid?ah yang makruh ialah bid?ah menghiasi masjid, melebarkan lengan baju, dan diantara bid?ah yang mubah ialah bersenang-senang dengan berbagai macam makanan, minuman, yang lezat pakaian dan rumah yang indah, dst. Sehingga menurut definisi Izzuddin ini, bid?ah bisa berupa urusan adat istiadat.

Sedangkan Abu Sa?id Al Khadimi mendefinisikan bid?ah dengan perkataan nya:

وهو الزيادة في أعمال الدين أو النقصان منه الحادثان بعد الصحابة بغير إذن من الشارع، لا قولا ولا فعلا ولا صريحا ولا إشارة، فلا تتناول العادات أصلا، بل تقتصر على بعض الاعتقادات وبعض صور العبادات

?Bid?ah ialah tambahan atau pengurangan dalam amaliah agama yang keduanya terjadi sesudah masa sahabat Nabi shollallahu?alaihiwasallam, dengan tidak ada izin dari Syari? (Allah dan Rasul-Nya) tidak dengan perkataan, tidak juga dengan perbuatan, tidak juga dengan cara terus terang juga tidak dengan isyarat. Maka bid?ah itu sama sekali tidak mencakup urusan adat, akan tetapi hanya mencakup sebagian urusan akidah dan sebagian bentuk amalan ibadah.? (Sebagaimana yang dinukilkan oleh K.H. Drs. Muhammad Dimyathi Badruzzaman dalam bukunya hal: 30).

Demikian, jelaslah bentuk pertentangan antara kedua definisi ini.

Dan demikianlah kenyataannya, para ulama? memang berbeda pendapat, apakah bid?ah dapat berupa adat-istiadat, atau hanya dalam urusan aqidah dan ibadah saja.

Dan menurut hemat saya pendapat yang paling moderat dalam hal ini, dan lebih tepat ialah pendapat yang disampaikan oleh As Syathibi Al Maliki, setelah memaparkan kedua pendapat di atas beserta argumentasi masing-masing pendapat, beliau berkata:

ثبت في الأصول الشرعية أنه لا بد في كل عادي من شائبة التعبد، لأن ما لم يعقل معناه على التفصيل من المامور به أو المنهي عنه فهو المراد بالتعبدي وما عقل معناه وعرفت مصلحته أو مفسدته فهو المراد بالعادي، فالطهارات والصلوات والصيام والحج كلها تعبدي، والبيع والنكاح والشراء والطلاق والإجارات والجنايات كلها عادي؛ لأن أحكامها معقولة المعنى، ولا بد فيها من التعبد؛ إذ هي مقيدة بأمور شرعية لا خيرة للمكلف فيها، كانت اقتضاء أو تخييرا، فإن التخيير في التعبدات إلزام، كما ان الاقتضاء إلزام ?حسبما تقرر برهانه في كتاب الموافقات-، وإذا كان كذلك، فقد ظهر اشتراك القسمين في معنى التعبد. فإن جاء الابتداع في الأمور العادية من ذلك الوجه صح دخوله في العاديات كالعبادات، وإلا فلا

?Telah tetap dalam prinsip-prinsip syari?at bahwa setiap urusan adat-istiadat pasti ada kaitannya dengan peribadatan, karena setiap hal yang tidak dipahami maknanya secara terperinci, baik hal yang diperintahkan atau yang dilarang, maka itulah yang dimaksud dengan sebutan ta?abbudi (peribadatan). Dan setiap yang dapat dipahami maknanya, diketahui ke-maslahat-an dan mafsadah-nya, maka itulah yang dimaksud dengan sebutan adat-istiadat. Sehingga bersuci, sholat, puasa, dan haji, seluruhnya dikatakan ta?abbudi, dan transaksi jual, pernikahan, transaksi beli, perceraian, sewa menyewa, pidana, seluruhnya disebut adat istiadat, karena hukum-hukumnya dapat dipahamai maknanya, dan pasti ada kaitannya dengan peribadatan, karena semuanya dalam ajaran syari?at pasti dibatasi dengan beberapa hal, yang tidak ada pilihan (untuk meninggalkannya) bagi siapapun, baik berupa perintah, atau pilihan, dan pilihan dalam urusan peribadatan termasuk keharusan, sebagaimana halnya perintah, seperti yang telah dijelaskan dalam kitab Al Muwafaqat. Dan bila demikian ini keadaannya, maka telah jelaslah bahwa kedua hal ini (peribadatan dan adat-istadat) sama-sama ada unsur ta?abbud (ibadah)nya. Sehingga bila bid?ah diada-adakan dari sisi pandang ini, maka dibenarkan bahwa bid?ah itu dapat mencakup urusan adat-istiadat, sebagaimna halnya dalam urusan peribadatan. Bila tidak dari sisi ini, maka bid?ah tidak mencakup urusan adat.? (Al I?itishom oleh As Syathibi 2/329).

Sehingga tatkala bapak Kyai menyimpulkan pada hal: 31 dengan berkata: ?Dari uraian di atas yang saling melengkapi itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dinamakan bid?ah?? Namun bid?ah itu tidak ada korelasinya sama sekali dengan urusan adat istiadat (keduniaan), tetapi khusus hanya menyangkut urusan akidah dan ibadah.?

Saya menjadi tidak tahu dan bingung sambil bertanya: Dari manakah kesimpulan ini bapak Kyai peroleh? Menurut hemat saya ini adalah kesimpulan mentah dan tidak ilmiah, karena tidak didasari oleh fakta dari data ilmiah yang beliau tulis sendiri. Subhanallah!
 
Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama?ah (8)

Kritikan kedua:

Yang dilakukan oleh bapak Kyai Dimyathi pada bab ini, ialah manipulasi terjemahan yang beliau lakukan terhadap perkataan Izzuddin bin Abd Al Salam. Tatkala mendefinisikan bid?ah Izzuddin berkata:

البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله

?Bid?ah ialah suatu amalan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam.?

Akan tetapi bapak Kyai menerjemahkannya (lihat buku beliau hal: 30) sebagai berikut: ?Bid?ah itu adalah suatu amaliah keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam.?

Saya tidak tahu, apakah tambahan kata (keagamaan) beliau sengaja atau tidak, akan tetapi yang jelas bagi saya bahwa ini adalah tambahan yang tidak sesuai dengan aslinya, bahkan bertentangan dengan maksud Izzuddin bin Abd As Salam, yaitu ?sebagaimana yang telah dijelaskan di atas- tidak adanya perbedaan antara amaliah ibadah dengan adat istiadat, bid?ah dapat mencakup keduanya. Semoga Allah merahmati ?amanah ilmiah? (baca: obyektifitas), yang telah dikuburkan dalam-dalam oleh banyak orang.
 
Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama?ah (9)

B. Klasifikasi Bid?ah

Pada pembahasan ini, yaitu hal: 35, bapak Kyai menyebutkan bahwa banyak ulama? kenamaan yang telah membagi bid?ah itu ke dalam dua bagian, yakni bid?ah hasanah/mahmudah (baik/terpuji) dan bid?ah sayyi?ah/dhalalah/madzmumah/qabihah (bid?ah buruk, sesat/tercela/jelek)?, kemudian beliau menyebutkan beberapa ulama? yang seakan-akan mendukung pendapat beliau ini.

Sebelum saya meluruskan pemahaman terhadap perkataan ulama?-ulama? yang telah dinukilkan oleh bapak Kyai, saya akan awali dengan menyebutkan hadits-hadits yang mencela bid?ah, agar menjadi pedoman dan tolok ukur dalam menilai suatu pendapat:

Hadits pertama:

عن جابر بن عبد الله أن رسول الله قال: أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة

?Dari sahabat Jabir bin Abdillah rodhiallahu?anhu bahwasannya Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam bersabda: Amma ba?du: sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah kitab Allah (Al Qur?an) dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Nabi Muhammad shollallahu?alaihiwasallam, dan sejelek-jelek urusan ialah urusan yang diada-adakan, dan setiap bid?ah ialah sesat.? (Riwayat Muslim, 2/592, hadits no: 867)

Hadits kedua:

عن العرباض بن سارية قال: صلى بنا رسول الله ذات يوم ثم أقبل علينا فوعظنا موعظة بليغة ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب، فقال قائل: يا رسول الله كأن هذه موعظة مودع، فماذا تعهد إلينا؟ فقال: أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا؛ فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

?Dari sahabat ?Irbadh bin As Sariyyah rodhiallahu?anhu ia berkata: Pada suatu hari Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam shalat berjamaah bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu beliau memberi kami nasehat dengan nasehat yang sangat mengesan, sehingga air mata berlinang, dan hati tergetar. Kemudian ada seorang sahabat yang berkata: Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat seorang yang hendak berpisah, maka apakah yang akan engkau wasiatkan (pesankan) kepada kami? Beliau menjawab: Aku berpesan kepada kalian agar senantiasa bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa setia mendengar dan taat ( pada pemimpin/penguasa , walaupun ia adalah seorang budak ethiopia, karena barang siapa yang berumur panjang setelah aku wafat, niscaya ia akan menemui banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa? Ar rasyidin yang telah mendapat petunjuk lagi bijak. Berpegang eratlah kalian dengannya, dan gigitlah dengan geraham kalian. Jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang diada-adakan, karena setiap urusan yang diada-adakan ialah bid?ah, dan setiap bid?ah ialah sesat.? (Riwayat Ahmad 4/126, Abu Dawud, 4/200, hadits no: 4607, At Tirmizy 5/44, hadits no: 2676, Ibnu Majah 1/15, hadits no:42, Al Hakim 1/37, hadits no: 4, dll)

Pada kedua hadits ini dan juga hadits-hadits lain yang serupa, ada dalil nyata dan jelas nan tegas bahwa setiap urusan yang diada-adakan ialah bid?ah, dan setiap bid?ah ialah sesat.

Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam dalam hadits ini bersabda: كل بدعة ضلالة setiap bid?ah ialah sesat, dalam ilmu ushul fiqih, metode ungkapan ini dikatagorikan kedalam metode-metode yang menunjukkan akan keumuman, bahkan sebagian ulama? menyatakan bahwa metode ini adalah metode paling kuat guna menunjukkan akan keumuman, dan tidak ada kata lain yang lebih kuat dalam menunjukkan akan keumuman dibanding kata ini كل. (Baca Al Mustasyfa oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali 3/220, dan Irsyadul Fuhul oleh Muhammad Ali As Syaukani 1/430-432).

Dengan demikian dari kedua hadits ini, kita mendapatkan keyakinan bahwa setiap yang dinamakan bid?ah adalah sesat, demikianlah yang ditegaskan dan disabdakan oleh Nabi Muhammad shollallahu?alaihiwasallam. Sehingga tidak ada alasan bagi siapapun di kemudian hari untuk mengatakan, bahwa ada bid?ah yang hasanah atau baik. Keumuman hadits ini didukung oleh sabda Nabi shollallahu?alaihiwasallam dalam hadits lain:

عن عائشة قالت: قال رسول الله: (من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

?Dari ?Aisyah, ia berkata: Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam bersabda: Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini sesuatu yang bukan bagian darinya, niscaya akan ditolak.? (Riwayat Bukhori 2/959, hadits no: 2550, dan Muslim 3/1343, hadits no: 1718)

Sebagai seorang muslim yang bernar-benar beriman bahwa Nabi Muhammad shollallahu?alaihiwasallam adalah utusan Allah, dia akan senantiasa bersikap sebagaimana yang Allah Ta?ala firmankan:

وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا.

Artinya:
?Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin dan tidak pula bagi seorang mukminah bila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, untuk mengambil pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.? (QS Al Ahzab: 36)

Ibnu Katsir berkata: ?Ayat ini bersifat umum, sehingga mencakup segala urusan, yaitu bila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu urusan dengan suatu keputusan, maka tidak dibenarkan bagi siapapun untuk menyelisihinya atau memutuskan atau berpendapat atau berkata lain.? (Tafsir Al Qur?an Al Azhim, oleh Ibnu Katsir 3/490).

Layak dan beradabkah setelah Nabi shollallahu?alaihiwasallam bersabda bahwa setiap bid?ah ialah sesat, kemudian kita, atau yang lain walaupun itu Imam Syafi?i mengatakan, bahwa ada bid?ah yang hasanah?

Terlebih-lebih orang semacam Imam Syafi?i, yang telah berkata:

من استحسن فقد شرع

?Barang siapa yang menganggap baik sesuatu, berarti ia telah membuat syari?at.? (Lihat Al Risalah oleh Imam As Syafi?i, 25, dan Al Mustasyfa oleh Al Ghozali 2/467).

Masuk akalkah orang yang berkata demikian, mengatakan dan menyelisihi Nabi shollallahu?alaihiwasallam dalam mendefinisikan bid?ah?

Bila demikian keadaannya, lalu bagaimana klarifikasi ucapan beliau?

Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita cermati kembali perkataan Imam As Syafi?i:

البدعة بدعتان: محمودة ومذمومة فما وافق السنة فهو محمود وما خالفها فهو مذموم

?Bid?ah itu ada dua macam: yaitu yang mahmudah (terpuji) dan madzmumah (tercela). Maka setiap bid?ah yang selaras dengan As Sunnah, maka itu adalah bid?ah yang terpuji, dan yang tidak selaras dengan As Sunnah, maka itu adalah bid?ah yang tercela.? (Lihat Hilyatul Auliya? oleh Abu Nu?aim 9/113, dan Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al ?Asqalani 13/253).

Bila kita cermati dan pahami dengan seksama, maka akan jelas bagi kita bahwa yang dimaksud oleh Imam Syafi?i dari kata ?Bid?ah? ialah bid?ah secara etimologi (bahasa) yang berarti at thariqoh (jalan/metode) bukan secara terminologi (istilah dalam syari?at). Ini didukung dengan penjelasan beliau sendiri, tatkala beliau menegaskan bahwa yang dimaksud dengan bid?ah mahmudah ialah bid?ah yang selaras dengan As Sunnah. Sehingga mustahil dalam istilah syari?at Islam sesuatu yang selaras dengan As Sunnah disebut bid?ah, karena definisi bid?ah ialah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya/ tidak diizinkan oleh Syari? (Allah dan Rasul-Nya) baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, tidak juga secara langsung atau isyarat.

Bapak Kyai sendiri pada halaman: 31 telah menyimpulkan: ?Ringkasnya, segala sesuatu yang terjadi dalam agama yang belum pernah ada di zaman Nabi shollallahu?alaihiwasallam, dan tidak pula di zaman para sahabatnya, yang tidak bersumber dari syara?, baik dengan dalil yang tegas maupun dengan isyarat, dari Al Qur?an dan Sunnah Rasulllah shollallahu?alaihiwasallam, maka hal itu menurut syari?at dinamakan dengan bid?ah.?

Sedangkan ucapan As Syafi?i: ?Bid?ah yang tidak selaras dengan As Sunnah, maka itu adalah bid?ah madzmumah?, maka yang dimaksud dari kata bid?ah pada penggalan perkataan beliau ini ialah bid?ah secara istilah dalam syari?at, karena demikianlah kenyataannya, setiap bid?ah pasti tidak memiliki dasar dan landasan dalam syari?at, sehingga karena sebab ini, bid?ah itu dicela.

Dengan demikian sesuatu yang selaras dengan As Sunnah, tidak disebut bid?ah dalam istilah syari?at, akan tetapi mungkin disebut bid?ah secara bahasa.

Pemahaman seperti ini nyata sekali bila kita merujuk kepada perkataan As Syafi?i yang lain:

المحدثات ضربان: ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال وما أحدث من الخير لا يحالف شيئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة

?Perkara yang diada-adakan itu terbagi menjadi dua macam: (pertama) Perkara yang diada-adakan yang bertentangan dengan Al Qur?an, atau as sunnah, atau kesepakatan ulama? (ijma?), maka ini adalah bid?ah dholalah (sesat), dan (kedua): kebaikan yang diada-adakan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari dasar-dasar tersebut, maka ini adalah muhdatsah (suatu hal baru/diada-adakan) yang tidak tercela.? (Ibid, dan Jami? Al Ulum wa Al Hikam, oleh Ibnu Rajab Al Hambali 267).

Tentu menafsirkan perkataan Imam Syafi?i, dengan perkataan beliau sendiri lebih obyektif dan tepat, dari pada mereka-reka sendiri maksud perkataan beliau.

Dan pemahaman ini jugalah yang disimpulkan oleh para ulama? yang menjabarkan perkataan beliau, diantaranya Ibnu Hajar Al Asqalani, beliau berkata:

والمراد بها ?أي المحدثات- ما أحدث وليس له أصل في الشرع، ويسمى في عرف الشرع بدعة. وما كان له أصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة، فالبدعة في عرف الشرع مذمومة، بخلاف اللغة، فإن كل شيء أحدث لا على مثال يسمى بدعة، سواء كان محمودا أو مذموما

?Dan yang dimaksud dengannya (Al Muhdatsah/perkara yang diada-adakan) ialah setiap perkara yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya dalam syari?at, dan dalam istilah syari?at disebut bid?ah. Dan setiap perkara yang memiliki dasar dalam syari?at, tidak disebut bid?ah. Dengan demikian bid?ah dalam pengertian syariat pasti tercela. Beda halnya dengan pengertian bahasa karena setiap hal yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya disebut bid?ah, baik hal itu terpuji atau tercela.? [Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalani 13/253, dan hendaknya dibaca pula penjelasan Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitabnya Jami? Al Ulum wa Al Hikam, 267].

Pemahaman terhadap perkataan Imam Syafi?i sangat jelas sekali, bagi orang yang hatinya bersih dan terhindar dari noda fanatik golongan atau bid?ah. Dan seandainya yang dimaksud dari kata bid?ah mahmudah ialah pengertian bid?ah secara istilah, bukan secara pengertian bahasa, maka perkataan beliau ini tidak dapat dijadikan dalil untuk menentang sabda Nabi shollallahu?alaihiwasallam yang jelas-jelas memvonis bahwa setiap bid?ah ialah sesat, Terlebih-lebih beliau telah berwasiat kepada setiap orang muslim agar mencampakkan pendapatnya, bila ternyata terbukti bertentangan dengan sabda Nabi shollallahu?alaihiwasallam.

Konfirmasi pemahaman terhadap ucapan Imam Syafi?i ini juga berlaku pada setiap ucapan ulama? lain yang senada dengan ucapan beliau, seperti ucapan Imam An Nawawi, dan Abd Al Haqq Al Dahlawi dll yang telah dinukil oleh bapak Kyai Dimyathi. (Untuk lebih jelasnya, silahkan baca kitab ?Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama?ah?, oleh DR. Ibrahim bin ?Amir Ar Ruhaili 1/112-117).

Adapun kisah dan ucapan Umar bin Khatthab rodhiallahu?anhu yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Bukhori dll, yaitu:

عن عبد الرحمن بن عبد القاري أنه قال: خرجت مع عمر بن الخطاب ليلة في رمضان إلى المسجد فإذا الناس أوزاع متفرقون، يصلي الرجل لنفسه، ويصلي الرجل فيصلي بصلاته الرهط. فقال عمر: إني أرى لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل، ثم عزم فجمعهم على أبي بن كعب، ثم خرجت معه ليلة أخرى، والناس يصلون بصلاة قارئهم فقال عمر: نعمت البدعة هذه، والتي ينامون عنها أفضل من التي يقومون يريد آخر الليل وكان الناس يقومون أوله

?Dari Abdurrahman bin Abd Al Qari, ia mengisahkan: Pada suatu malam hari di bulan Ramadhon, aku keluar rumah bersama Umar bin Al Khatthab rodhiallahu?anhu menuju ke masjid, didapatkan orang-orang sedang shalat tarawih dengan berpencar-pencar. Ada yang sholat sendirian, dan ada yang yang sholat berjamaah dengan beberapa orang. Maka Umar berkata: Saya rasa seandainya saya menyatukan mereka shalat dengan diimami oleh satu orang, niscaya lebih baik. Kemudian ia bertekad dan menyatukan mereka sholat dibelakang Ubai bin Ka?ab. Kemudian di lain malam aku keluar rumah bersamanya, (*) sedangkan orang-orang sedang shalat tarawih bersama imam mereka (yaitu Ubay bin Ka?ab). Maka Umar berkata: ?Sebaik-baik bid?ah ialah ini, dan (sholat) yang mereka lakukan setelah tidur terlebih dahulu itu lebih baik dari yang mereka lakukan sekarang?, yang beliau maksud ialah sholat di akhir malam, dan kala itu orang-orang lebih memilih untuk sholat pada awal malam.? (Riwayat Bukhari 2/707, hadits no: 1906, Malik 1/114, hadits no: 250, Al Baihaqi 2/493)

(*) Ini mengisyaratkan bahwa sahabat Umar bin Al Khattab rodhiallahu?anhu tidak ikut shalat pada awal malam berjamaah bersama mereka, akan tetapi beliau lebih memilih untuk shalat pada akhir malam, sebagaimana yang beliau jelaskan bahwa shalat pada akhir malam itu lebih baik, dibanding shalat pada awal malam.

Untuk mendudukkan hukum sholat tarawih secara berjama?ah dan apakah relevan bila disebut sebagai amalan bid?ah secara istilah dalam syari?at, maka perlu diketahui bahwa:

Shalat tarawih, dan menjalankannya dengan berjamaah bukanlah hasil rekayasa Umar bin Al Khatthab rodhiallahu?anhu, sehingga dikatakan sebagai suatu amalan bid?ah hasanah, akan tetapi kedua hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam beserta sahabatnya. Marilah kita simak hadits berikut:

عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى في المسجد ذات ليلة، فصلى بصلاته ناس، ثم صلى من القابلة فكثر الناس، ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أو الرابعة فلم يخرج إليهم رسول الله ، فلما أصبح قال: قد رأيت الذي صنعتم، فلم يمنعني من الخروج إليكم إلا أني خشيت أن تفرض عليكم قال وذلك في رمضان

?Dari sahabat ?Aisyah ?radhiallahu ?anha- bahwasannya Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam pada suatu malam menjalankan sholat di masjid, maka ada beberapa orang yang mengikuti shalat beliau, kemudian pada malam selanjutnya beliau shalat lagi, dan orang-orang yang mengikuti shalat beliau-pun bertambah banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, dan beliau shollallahu?alaihiwasallam tidak keluar menemui mereka, pada pagi harinya beliau bersabda: Sungguh aku telah mengetahui apa yang kalian lakukan (yaitu berkumpul menanti shalat berjamaah) dan tidaklah ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian, melainkan karena aku khawatir bila (shalat tarawih) diwajibkan atas kalian.? (*) Dan itu terjadi pada bulan Ramadhan.? (Riwayat Al Bukhari 1/380, hadits no: 1077, dan Muslim 1/524, hadits no: 761)

(*) Alasan Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam ini membuktikan kepada kita betapa sayangnya beliau kepada umatnya, sampai-sampai beliau kawatir bila beliau terus menerus shalat tarawih dengan berjamaah, akan diturunkan wahyu yang mewajibkan shalat tarawih. Semoga salawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada beliau, keluarga dan seluruh sahabatnya, amiin.

As Syathibi berkata: ?Perhatikanlah hadits ini dengan seksama! Pada hadits ini ada petunjuk bahwa shalat tarawih adalah sunnah, karena berjamaahnya Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam bersama para sahabat pada beberapa hari merupakan dalil dibenarkannya shalat tarawih berjamaah di masjid. Adapun keengganan beliau setelah hari itu untuk keluar rumah, disebabkan oleh rasa khawatir akan diwajibkannya shalat tarawih, bukan berarti beliau tidak mau lagi untuk berjamaah shalat tarawih selama-lamanya. Hal ini karena masa itu ialah masa diturunkannya wahyu dan syari?at, sehingga sangat dimungkinkan bila banyak orang yang berjamaah shalat tarawih, akan diturunkan wahyu kepada Rasulullah yang mewajibkan shalat tarawih. Dan tatkala alasan ini telah tiada dengan wafatnya Nabi shollallahu?alaihiwasallam, maka permasalahan shalat tarawih berjamaah kembali kepada hukum asal, yaitu telah tetapnya syari?at dibolehkannya shalat tarawih berjama?ah.

Dan Abu Bakar rodhiallahu?anhu tidak menjalankan hal ini, karena adanya dua kemungkinan: Mungkin karena beliau berpendapat bahwa shalat pada akhir malam dan membiarkan orang-orang shalat sendiri-sendiri itu lebih utama dibanding menyatukan mereka shalat dibelakang seorang imam pada awal malam. Alasan ini diungkapkan oleh At Tharthusi. Atau karena pendeknya masa khilafah beliau rodhiallahu?anhu, sehingga tidak sempat memikirkan hal semacam ini, ditambah lagi beliau disibukkan oleh urusan orang-orang yang murtad dari agama Islam, dan urusan lainnya yang jauh lebih penting dibanding shalat tarawih.

Dan tatkala kaum muslimin telah tenang pada zaman khilafah Umar bin Al Khatthab rodhiallahu?anhu, dan beliau mendapatkan orang-orang terpencar-pencar di dalam masjid ?sebagaimana yang dikisahkan dalam riwayat di atas- beliau berkata: Seandainya saya satukan mereka shalat di belakang seorang imam, niscaya itu lebih baik. Dan tatkala keinginannya ini telah terlaksana, beliau mengingatkan bahwa bila mereka menjalan kan shalat tarawih pada akhir malam, itu lebih baik.? (Al I?itishom, oleh As Syathibi, 1/140).

Dengan demikian telah terbukti bahwa yang dimaksud dari kata ?bid?ah? dalam ucapan sahabat Umar bin Al Khatthab ialah bid?ah dengan pengertian bahasa, yaitu yang bermaknakan: metode atau jalan, dan bukan bid?ah secara pengertian istilah syari?at. Sehingga ucapan sahabat Umar ini tidak dapat dijadikan dalil guna mengatakan bahwa bid?ah itu ada dua: bid?ah hasanah dan bid?ah madzmumah. Karena amalan shalat tarawih, dan pelaksanaan shalat tarawih berjamaah di masjid, telah dicontohkan oleh Nabi shollallahu?alaihiwasallam.
 
Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama?ah (10)

Adapun ucapan bapak Kyai Dimyathi pada hal: 40: ?Dari hadits yang tidak diragukan kesahihannya ini, begitu jelas dan tegas bahwa shalat tarawih berjama?ah secara terus menerus sebulan penuh dalam bulan ramadhan itu adalah perbuatan bid?ah, karena tidak dikenal pada zaman Nabi shollallahu?alaihiwasallam?, adalah ucapan yang gegabah dan tidak berdasarkan realita dan data ilmiah. Untuk membuktikan ini, akan saya bahas satu demi satu ucapan bapak Kyai ini:

A.
Shalat tarawih berjama?ah secara terus menerus, adalah sunnah hukumnya, ini dikarenakan yang menjadikan Nabi shollallahu?alaihiwasallam tidak meneruskan shalat tarawih berjamaah pada hari ketiga dan keempat dan juga seterusnya ialah rasa khawatir beliau akan diturunkannya wahyu yang mewajibkan shalat tarawih, sehingga akan memberatkan umatnya. Bukan karena beliau tidak mau lagi atau tidak mengizinkan lagi hal itu. Oleh karena dalam teks hadits ini, Nabi shollallahu?alaihiwasallam tidak berwasiat kepada para sahabatnya agar tidak mengulang di kemudian hari perbuatan menjalankan shalat tarawih dengan berjamaah. Ini menunjukkan bahwa hukum disunnahkannya shalat tarawih dengan berjama?ah tidak dihapuskan. Ulama? ushul fiqih menegaskan bahwa penghapusan (nasekh) suatu hukum harus dengan dalil yang tegas dan jelas, bukan dengan dalil yang tidak tegas dan jelas, apalagi hanya sekedar ucapan seorang ulama? atau praduga. (lihat Al Mustashfa oleh Al Ghazali 2/89, Irsyadul Fuhul oleh As Syaukani 2/79). Tentu bapak Kyai memahami hal ini dengan baik, sehingga tidak perlu saya berpanjang lebar membahas masalah ini.
 
Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama?ah (11)

B.
Shalat tarawih berjama?ah telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad shollallahu?alaihiwasallam dan pelaksanaannya secara terus menerus selama bulan Ramadhon telah di contohkan dan dilakukan semenjak kholifah rasyid Umar bin Al Khottab rodhiallahu?anhu, sehingga amalan ini tidak dapat dikatakan bid?ah, karena definisi bid?ah -sebagaimana yang bapak Kyai sebutkan sendiri- ialah suatu amalan agama yang tidak dikenal di zaman Nabi shollallahu?alaihiwasallam dan juga tidak pada zaman sahabatnya. Terlebih-lebih amalan ini yang memerintahkannya ialah Umar bin Al Khatthab rodhiallahu?anhu, kemudian diamalkan oleh khulafa? setelah beliau. Dan tidak lupa beliau ialah salah seorang Al Khulafa? Ar Rasyidin, yang kita diperintahkan untuk meneladani mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits sahabat ?Irbadh bin Sariyah rodhiallahu?anhu.

فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

?Maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa? Ar Rasyidin yang telah mendapat petunjuk lagi bijak. Berpegang eratlah kalian dengannya, dan gigitlah dengan geraham kalian. Jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang diada-adakan, karena setiap urusan yang diada-adakan ialah bid?ah, dan setiap bid?ah ialah sesat.?

Dengan demikian bapak Kyai telah bertentangan dengan kesimpulannya sendiri tentang definisi bid?ah, dan yang lebih parah lagi ialah: beliau telah mengatakan bid?ah suatu amalan yang diajarkan dan dijalankan oleh Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam dan Khalifah Umar bin Al Khatthab rodhiallahu?anhu.
 
Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama?ah (12)

Dan pada kesempatan kali ini saya harap bapak Kyai: merenungkan kembali perkataan bapak bahwa amalan Nabi shollallahu?alaihiwasallam dan Al Khulafa? Ar Rasyidin adalah amalan bid?ah.

Sebagai saran saya kepada bapak Kyai, bacalah kembali tulisan bapak sendiri pada hal: 73-77, yaitu suatu pembahasan dengan judul: ?KONSEKWENSI MEMVONIS BID?AH KEPADA AMALIAH YANG SEBENARNYA SUNNAH?.

Agar menjadi jelas sejauh mana kekeliruan bapak Kyai Dimyathi, baca kembali hadits di atas. Bila sudah, bukankah Nabi shollallahu?alaihiwasallam telah menyatakan dengan jelas bahwa amalan-amalan Al Khulafa? Al Rasyidin adalah sunnah?? Akan tetapi bapak Kyai malah mengatakan bahwa amalan mereka adalah bid?ah.

Tarawih berjamaah selama bulan Ramadhan adalah suatu amalan sunnah yang telah disepakati oleh seluruh sahabat semenjak zaman Umar bin Al Khatthab, dan tidak ada seorang ulama? pun yang mengingkarinya, apalagi memvonisnya sebagai amalan bid?ah, (Diantara ulama? yang telah menyebutkan kesepakatan tentang sunnahnya shalat tarawih dengan berjamaah selama satu bulan, ialah Imam Abu Al Abbas Ibnu Suraij As Syafi?i, Abu Ishaq Al Marwazy As Syafi?i, dan As Syathibi Al Maliki. Lihat Al Majmu? Syarah Muhazzab oleh Imam An Nawawi 4/38 dan Al I?ithishom oleh As Syathibi 1/141), kecuali bapak Kyai Ahmad Dimyathi Badruzzaman sendiri.
 
Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama?ah (13)

Adapun hadits kedua yang dijadikan dalil oleh bapak Kyai guna meresmikan pembagian bid?ah kepada dua: bid?ah dhalalah dan bida?ah hasanah, yaitu:

عن كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف المزني عن أبيه عن جده أن النبي قال لبلال بن الحارث: اعلم. قال: ما أعلم يا رسول الله؟ قال: اعلم يا بلال. قال: ما أعلم يا رسول الله؟ قال: أنه من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي فإن له من الأجر مثل من عمل بها أن ينقص من أجورهم شيئا، ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله ورسوله، كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا

?Dari Katsir bin Abdillah bin Amr bin ?Auf Al Muzani, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shollallahu?alaihiwasallam bersabda kepada Bilal bin Al Harits: Ketahuilah. Bilal pun menjawab: Apakah yang harus saya ketahui, wahai Rasulullah? Rasulullah bersabda lagi: Ketahuilah, wahai Bilal! Bilal pun menjawab: Apa yang harus saya ketahui, wahai Rasulullah? Beliau bersabda: (ketahuilah) Bahwa barang siapa yang menghidupkan salah satu sunnahku yang telah ditinggalkan (dilalaikan) setelah kematianku, maka baginya pahala seperti pahala seluruh orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barang siapa yang mengada-adakan bid?ah dhalalah (sesat), yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka baginya dosa seperti dosa seluruh orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.? (Riwayat At Tirmizy, 5/45, hadits no: 2677, Ibnu Majah 1/76, 209, Al Bazzar, 8/314, hadits no: 3385, At Thabrani dalam kitab Al Mu?jam Al Kabir 17/16/ hadits no: 10, dan Ibnu Abi ?Ashim dalam kitabnya As Sunnah 1/23, hadits no: 42)

Hadits ini dengan riwayat yang demikian ini, yaitu dengan lafadz :

من ابتدع بدعة ضلالة

?Dan barang siapa mengada-adakan suatu bid?ah.?

adalah hadits yang lemah sekali, karena hadits ini diriwayatkan oleh Katsir bin Abdillah Al Muzani, dia adalah seorang yang lemah riwayatnya, bahkan sebagian ulama? mengatakan bahwa dia adalah pendusta, sehingga riwayatnya diindikasi sebagai hadits dhaif bahkan diduga sebagai hadits palsu. Diantara yang menjelaskan jati diri perawi ini: (Silahkan baca keterangan ulama? ahl al hadits tentang orang ini di: Al Kamil fi Dhu?afa? Al Rijal, oleh Ibnu ?Adi 6/57, no: 1599, Al ?Ilal Al Mutanahiyah, oleh Ibnu Al Jauzi 1/142, no: 206, Mizan Al I?itidal fi Naqd Al Rijal oleh Az Zahabi 5/492, no: 6949, Tahzib Al Tahzib oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, 8/377, no: 753).

1. Imam As Syafi?i, berkata tentangnya: ?Dia adalah salah seorang tonggak kedustaan.?
2. Imam Ahmad bin Hambal, berkata tentangnya: ?Hadits-hadits orang ini adalah mungkar, dan tidak ada artinya?, dan beliau (Ahmad bin Hambal) menghapus seluruh hadits riwayat Katsir Al Muzani dari kitabnya Al Musnad, dan tidak pernah meriwayatkannya lagi.?
3. Imam Yahya bin Ma?in berkata: ?Hadits-hadits Katsir bin Abdillah Al Muzani tidak ada artinya, dan tidak layak untuk ditulis.?
4. Imam An Nasa?i berkata: ?Ia adalah orang yang haditsnya harus ditinggalkan.?
5. Imam Ibnu Hibban berkata: ?Katsir bin Abdillah Al Muzani meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya satu buku yang berisi hadits-hadits palsu, sehingga tidak halal untuk mencantumkan riwayatnya dalam suatu kitab.? Dan masih banyak lagi kesaksian ulama? ahl al hadits tetang perawi ini, yang semuanya menunjukkan bahwa hadits-hadits yang ia riwayatkan lemah dan tidak dapat dijadikan dasar suatu hukum.

Al Munziri setelah menyebutkan hadits ini dalam kitabnya At Targhib wa At Tarhib dan menyebutkan bahwa Imam At Tirmizy berkata: ?Ini adalah hadits hasan,? beliau (Al Munziri) berkomentar: ?Akan tetapi Katsir bin Abdillah adalah matruk (harus ditinggalkan riwayatnya), lagi lemah.? (At Targhib wa At Tarhib, oleh Al Munziri 1/47).

Imam Az Zahabi setelah menyebutkan berbagai komentar ulama? ahl al hadits tentang Katsir bin Abdillah Al Muzani, beliau berkata: ?Adapun At Tirmizi, maka ia meriwayatkan hadits orang ini, diantaranya hadits: ?Perdamaian antara kaum muslimin itu dibenarkan?, kemudia ia (At Tirmizi) memvonis shahih hadits riwayatnya ini. Oleh sebab inilah para ulama? tidak dapat menerima setiap vonis shahih yang At Tirmizi nyatakan.? (Mizan Al I?itidal fi Naqd Al Rijal, oleh Az Zhabai 5/493).

Diantara ulama? ahl hadits yang memvonis dhaif (lemah) hadits ini ialah Al Mubarakfuri dalam kitabnya Tuhfah Al Ahwazi Bi Syarh Jami? At Tirmizi, (Lihat Tuhfah Al Ahwazi 7/444) dan Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, seorang pakar ilmu hadits abad 20 H, beliau berkata: ?Sanad hadits ini lemah sekali, (karena) Katsir bin Abdillah, yaitu Ibnu Amer bin ?Auf ialah orang yang matruk (harus ditinggalkan riwayatnya), sebagaimana yang ditegaskan oleh Al hafidz Al Munziri dalam kitabnya At Targhib.? (Dlilal Al Jannah Fi Takhrij Al Sunnah, oleh Muhammad Nashiruddin Al Albani 1/23).

Ringkas kata, hadits dengan riwayat ini, yaitu dengan lafadz من ابتدع بدعة ضلالة ialah lemah, sehingga tidak dapat dijadikan sandaran atau dalil bagi suatu kesimpulan hukum syari?at.

Dan bilapun (baca: seandainya -ed) hadits ini kita anggap dianggap shahih, maka tidak juga dapat dijadikan dalil untuk membenarkan klaim bapak Drs. Dimyathi, ada bid?ah hasanah, hal ini dikarenakan beberapa hal berikut:

1. Sabda Nabi shollallahu?alaihiwasallam ini ابتدع بدعة ضلالة ?Membuat bid?ah dhalalah? merupakan kelanjutan dari sabda beliau من أحيا سنة من سنتي ?barang siapa yang menghidupkan sunnahku?, sehingga dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan bid?ah dhalalah ialah amalan yang merupakan lawan dari sunnah.
2. Apakah yang menjadi standar dalam menyatakan bahwa suatu amalan itu baik/ hasanah atau sesat/dhalalah? Apakah akal dan hawa nafsu setiap orang? Ataukah adat istiadat? Ataukah yang lainnya? Tentu kita tidak akan menemukan standar yang dapat disetujui oleh seluruh kaum muslimin, selain Al Qur?an dan As Sunnah. Sehingga dengan demikian klaim bapak ini bila ditinjau dari sisi ni, justru akan membuka pintu bid?ah bagi setiap orang. Dan bila hal ini telah terjadi, maka hancur dan runtuhlah syari?at islam. Padahal prinsip dan aqidah setiap muslim yang tidak boleh goyah dan bergeming barang sedikitpun ialah setiap yang selaras dengan Al Qur?an dan As Sunnah ialah baik, dan setiap yang menyelisihi keduanya ialah sesat. Ditambahlagi bila kita mencermati apa yang akan saya sebutkan berikut ini:

Kandungan makna hadits ini diriwayatkan oleh perawi lain dengan lafadz yang berbeda, seperti berikut :

عن المنذر بن جرير عن أبيه قال: كنا عند رسول الله في صدر النهار، قال: فجاءه قوم حفاة عراة مجتابي النمار أو العباء متقلدي السيوف عامتهم من مضر، بل كلهم من مضر، فتمعر وجه رسول الله لما رأى بهم من الفاقة فدخل ثم خرج، فأمر بلالا فأذن وأقام، فصلى ثم خطب، فقال:???. تصدق رجل من ديناره من درهمه من ثوبه من صاع بره من صاع تمره، حتى قال: ولو بشق تمرة. قال: فجاء رجل من الأنصار بصرة كادت كفه تعجز عنها، بل قد عجزت، قال: ثم تتابع الناس حتى رأيت كومين من طعام وثياب حتى رأيت وجه رسول الله يتهلل كأنه مذهبة. فقال رسول الله من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء

?Dari Munzir bin Jarir dari ayahnya, ia berkata: Pada suatu pagi, kami berada di sisi Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam , kemudian datanglah segerombol orang yang tidak beralaskan kaki, telanjang dada, hanya mengenakan selembar kain wol atau baju yang mereka lubangi tengahnya (sebagai penutup aurat mereka) dan dengan menenteng sebilah pedang, kebanyakan mereka dari kabilah Mudhar, bahkan semuanya dari Mudhar. Melihat yang demikian itu, raut wajah Nabi shollallahu?alaihiwasallam berubah, karena beliau menyaksikan kemiskinan yang mereka alami. Kemudian beliau masuk rumah lalu keluar lagi, dan memerintahkan Bilal agar segera mengumandangkan Azan dan Iqamat, lalu beliau shalat, kemudian berkhutbah dan berkata: ???Hendaknya kamu bersedekah dengan sebagian dinarnya, sebagian dirhamnya, sebagian bajunya, seberapa takar gandumnya, seberapa takar kurmanya, hingga beliau bersabda: Walau dengan setengah buah kurmanya. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa seikat korma, yang tangannya hampir-hampir tidak kuasa membawanya, bahkan benar-benar tidak kuasa membawanya, (karena keberatan). Kemudian para sahabat berbondong-bondong dengan sedekahnya, hingga akhirnya terkumpullah dua onggok makanan dan pakaian, sehingga saya melihat wajah Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam berseri-seri seakan-akan berkilau bak berlapiskan emas. Lalu Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam bersabda: Barang siapa yang memulai mengamalkan suatu metode/amalan baik dalam agama Islam, maka baginya pahala amalannya itu, dan pahala seluruh orang yang menirunya, tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. Dan barang siapa memulai mengajarkan/ mengamalkan amalan buruk dalam agama Islam, maka baginya dosa amalannya itu dan amalan seluruh orang yang menirunya, tanpa sedikitpun mengurangi dosa mereka.? (Riwayat Muslim, 2/704, hadits no: 1017)

Dalam hadits yang shahih ini, Nabi shollallahu?alaihiwasallam menggunakan ungkapan سن سنة yang artinya memulai mengamalkan suatu sunnah/ajaran. Berbeda dengan lafadz hadits yang disebutkan oleh bapak Kyai, walaupun makna dan maksudnya sama.

Akan tetapi yang menjadi pertanyaan saya: Mengapa bapak Kyai enggan menyebutkan lafdz hadits yang shahih ini, dan lebih mengutamakan lafadz hadits yang jelas-jelas lemah itu?

Mungkin jawabannya ialah: karena pada lafadz hadits yang lemah itu ada ungkapan yang ia duga akan mendukung kesimpulannya. Sedangkan pada hadits yang shahih ini, beliau sadari tidak ada ucapan yang dapat ia jadikan dalil. Karena kata سن dalam bahasa arab artinya ialah thariqah/metode/jalan.

Al Mubarakfuri, seorang ulama? yang mensyarah kitab Sunan At Tirmizi menafsirkan kata sunnah hasanah dalam hadits ini dengan berkata: ?Thariqah/metode/jalan yang selaras dengan prinsip-prinsip agama?, dan menafsirkan kata ?Sunnah sayyi?ah? dengan berkata: ?Suatu thariqah/metode/jalan yag tidak diridhoi, dan tidak selaras dengan prinsip-prinsip agama.? (Tuhfah Al Ahwazi bi Syarah Jami? At Tirmizi, oleh Muhammad bin Abdurrahman Al Mubarokfuri 7/438).

Diantara yang menguatkan penafsiran Al Mubarakfuri ialah sabab wurud/sebab disabdakannya hadits ini, yaitu kisah seorang lelaki Anshar yang bersedekah dengan seikat kurma. Sehingga pada kisah ini tidak ada satu amalan yang tidak pernah diajarkan oleh syari?at, apalagi sampai dikatakan bahwa sahabat ini mengajarkan amalan baru atau sesuatu yang belum pernah diajarkan oleh Nabi shollallahu?alaihiwasallam, yang ia lakukan pada kejadian itu hanyalah bersegera dalam bersedekah.

Bila permasalahan ini telah jelas, maka pembahasan selanjutnya ialah berkaitan dengan pembagian sebagian ulama? terhadap bid?ah kepada lima bagian, sesuai dengan macam-macam hukum syar?i, yaitu bid?ah wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, sebagaimana yang dilakukan oleh Izzuddin bin Abd Al Salam, dan diikuti oleh An Nawawi, Al Qarafi, Ibnu Hajar Al ?Asqalani, dan Jalaluddin Al Suyuthi, dll. (Lihat Qawaid Al Ahkam fi Mashalih Al Anam, oleh Izzuddin bin Abd Al Salam, 2/172-174, Tahzib Al Asma? wa Al Lughat, oleh An Nawawi, 3/22, Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al ?Asqalani 13/254, dan Tanwir Al Hawalik Syarah Muwattha? Imam Malik, Oleh As Suyuthi 1/105, Mauqif Ahl As Sunnah Min Ahl Al Ahwa? wa Al Bida? oleh DR. Ibrahim bin ?Amir Ar Ruhaili 1/106).

As Syathibi setelah menyebutkan pembagian ini, ia mengutarakan sangga hannya dengan berkata: ?Pembagian bid?ah seperti ini adalah suatu hal yang diada-adakan, tidak ada dasarnya dari dalil-dalil syari?at. Bahkan pada pembagian ini terjadi kontradiksi, karena hakikat bid?ah ialah sesuatu yang tidak didukung oleh dalil syari?at, baik berupa dalil-dalil dari Al Qur?an dan Hadits, atau berupa qaidah-qaidah umum dalam syari?at. Sebab seandainya ada dalil dalam syari?at yang menunjukkan akan wajib, atau sunnah, atau mubahnya sesuatu, niscaya tidak akan disebut bid?ah, dan amalan itu akan dikatagorikan kedalam keumuman amalan-amalan yang diperintahkan atau diberikan pilihan antara melakukannya dan meninggalkannya. Sehingga menggabungkan antara vonis bid?ah terhadap amalan ini dengan adanya dalil-dalil yang menunjukkan akan wajib, atau sunnah atau mubahnya amalan itu ialah penggabungan antara dua hal yang saling bertentangan. Kesimpulan dari pembahasan di atas, telah jelas bahwa bid?ah tidak dapat dibagi seperti pembagian ini, akan tetapi bid?ah pasti termasuk kedalam hal-hal yang dilarang, baik hukumnya makruh atau haram.? (Al I?ithishom oleh As Syathibi 1/138).

Dengan penjelasan dari As Syathibi ini, telah jelaslah bahwa pembagian bid?ah menjadi lima bagian, wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram adalah satu hal yang tidak berdasarkan dalil, bahkan bertentangan dengan dalil-dalil yang nyata-nyata memvonis bahwa setiap bid?ah ialah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka, dan juga bertentangan dengan definisi bid?ah ditinjau dari segi terminologi.

Bila ada yang bertanya: lalu apa sebenarnya yang menjadikan sebagian ulama? seperti Izzuddin bin Abd Al Salam melakukan hal ini?

Untuk mengetahui jawaban pertanyaan ini, kita harus membaca dan merenungkan kembali ucapan dan contoh-contoh yang disebutkan oleh mereka. Dan bila kita cermati, ternyata contoh-contoh yang disebutkan oleh Izzuddin bin Abd Al Salam dalam bagian bid?ah wajib, sunnah dan mubah, niscaya kita dapatkan semuanya tercakup dalam keumuman kaidah-kaidah syari?at, walaupun tidak termaktub dalam ayat atau hadits tertentu.

Sebagai contoh: Izzuddin bin Abd Al Salam mencontohkan bid?ah yang wajib dengan: mempelajari ilmu nahwu, guna memahami firman-firman Allah dan sabda-sabda Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam, kemudian beliau mengemukakan alasannya dengan berkata: ?Karena memelihara keutuhan syari?at adalah wajib hukumnya, dan menjaga keutuhan syari?at tidak mungkin dilakukan kecuali dengan mengetahui ilmu nahwu. Dan segala perkara yang suatu kewajiban tidak dapat terlaksana melainkan dengannya, maka perkara itu wajib hukumnya.? (Qawa?id Al Ahkam Fi Mashalih Al Anam, oleh Izzuddin bin Abd Al Salam 2/173).

Untuk lebih jelasnya mari kita simak dan renungkan bersama ucapan beliau berikut ini:

البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله ، وهي منقسمة إلى بدعة واجبة وبدعة محرمة وبدعة مندوبة وبدعة مكروهة وبدعة مباحة. والطريق في معرفة ذلك: أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة، فإن دخلت في قواعد الايجاب فهي واجبة وان دخلت في قواعد التحريم فهي حرام وإن دخلت في قواعد المندوب فهي مندوبة وان دخلت في قواعد المباح فهي مباحة

?Bid?ah ialah perbuatan/amalan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam, dan bid?ah itu terbagi menjadi: bid?ah wajib, haram, sunnah, makruh, dan bid?ah mubah. Dan metode untuk membedakannya ialah dengan cara menimbang bid?ah itu dengan kaidah-kaidah syari?at, bila bid?ah itu selaras dengan kaidah-kaidah wajib, maka itu wajib hukumnya, bila bid?ah itu selaras dengan kaidah-kaidah haram, maka itu haram hukumnya, bila bid?ah itu selaras dengan kaidah-kaidah sunnah, maka itu sunnah hukumnya, bila bid?ah itu selaras dengan kaidah-kaidah mubah, maka itu mubah hukumnya.? (Ibid).

Dengan demikian jelaslah kesalah pahaman banyak orang yang mengklaim bahwa bid?ah itu ada yang wajib, sunnah dan mubah.

Sehingga yang dimaksud dari kata bid?ah, dalam ucapan ?bid?ah wajib, sunnah dan mubah? ialah bid?ah secara pengertiaan bahasa, bukan secara pengertian istilah dalam syari?at. (Bagi yang ingin mendapatkan penjelasan lebih banyak, silahkan baca buku Jami? Al ?Ulum Wa Al Hikam, oleh Ibnu Rajab Al Hambali 266, Tuhfah Al Ahwazi oleh Al Mubarakfuri 7/439-441, dan ?Aun Al Ma?bud oleh Syamsu Al Haq Al ?Adzim ?Abadi 12/235).

Berangkat dari kesimpulan ini, saya akan mengajak pembaca untuk melan jutkan diskusi ini, dengan berpindah kepada permasalahan lain, yaitu meninjau kesimpulan bapak Kyai Dimyathi yang lain, yang tertulis pada hal: 49:

Pada halaman ini beliau berkata:

?Oleh karena itulah, maka pengertian hadits: كل بدعة ضلالة (setiap bid?ah itu sesat), setelah ditakhshish (dikecualikan) menjadi: Setiap bid?ah itu sesat: kecuali dalam urusan dunia. Hal ini berdasarkan hadis sahih riwayat Imam Muslim dari Anas bin Malik rodhiallahu?anhu, Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam telah bersabda:

أنتم أعلم بأمور دنياكم

?Kalian yang lebih tahu (dari pada saya) tentang urusan dunia kalian.? (HR. Muslim, 4.1846, hadits no: 2366)

Yang menjadi tanggapan saya:

Ternyata bapak Kyai benar-benar telah melalaikan definisi dan kesimpulannya tentang pengertian bid?ah. Pada hal: 31: ?Namun bid?ah itu tidak ada korelasinya sama sekali dengan urusan adat istiadat (keduniaan), tetapi khusus hanya menyangkut urusan akidah dan ibadah.?

Bila bapak kyai telah berkesimpulan demikian, mengapa bapak merasa bahwa hadits sahabat Anas bin Malik rodhiallahu?anhu bertentangan dengan hadits ?setiap bid?ah itu sesat?, sehingga bapak merasa perlu untuk mengecualikan urusan dunia dari keumuman hadits ?setiap bid?ah itu sesat???! Ini salah satu bukti bahwa bapak Kyai Dimyathi sering dalam karya tulisnya ini melakukan pertentangan dengan diri sendiri, Subhanallah.

Yang lebih mengherankan lagi ialah, setelah beliau mengecualikan hadits ini dari keumuman hadits ?setiap bid?ah itu sesat?, pada halaman yang sama beliau berkata: ?Memang tentang urusan dunia, contohnya membuat rumah yang baik, kendaraan yang bagus, pesawat yang canggih dan yang lainnya, itu semua tidak termasuk bid?ah, karena bersifat duniawi.? Ucapan beliau ini lebih ganjil, pada awal pembicaraan dikatakan bahwa: hadits Anas dianggap sebagai dalil pengecualian, kemudian pada akhir pembicaraan dikatakan bahwa: antara hadits Anas dan hadits bid?ah tidak ada pertentangan, sehingga tidak perlu diadakan pengecualian. Subhanallah!?

Untuk mengetahui sisi keganjilan ini, kita perlu untuk menyimak ayat berikut:

ولو كان من عند غير الله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا

Artinya:
?Kalau seandainya Al Qur?an itu datang dari sisi selain Allah, niscaya mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.? (QS An Nisa?: 82)

Para ulama? berdasarkan ayat ini menyatakan bahwa syari?at-syari?at agama Islam, baik yang bersumber dari Al Qur?an atau dari As Sunnah, tidak ada pertentangannya, dan bila didapatkan dua dalil yang sekilas nampak saling bertentangan, pasti keduanya dapat diselaraskan, yaitu dengan cara pengecualian (takhshish), penggabungan, nasikh dan mansukh, atau tarjih dll.

Karena pada permasalahan ini bapak Kyai menyebutkan takhshish, maka akan saya sebutkan definisi takhshish, agar menjadi jelas pertentangan yang ada pada perkataan beliau:

Al Isnawi As Syafi?i berkata: ?Takhshish ialah mengeluarkan/ mengecualikan sebagian hal yang sebelumnya tercakup dalam suatu ungkapan.? (Nihayah As Sul fi Syarhi Minhaj Al Ushul, oleh Abdur rahim Al Isnawi As Syafi?i, 2/374, dan Irsyadul Fuhul, oleh Muhammad bin Ali As Syaukani 1/507-510).

Dari definisi takhshish ini, kita memahami bahwa suatu hal yang tidak tercakup oleh suatu ungkapan tidak perlu di takhshish, sebagai contoh: urusan dunia, karena tidak tercakup oleh definisi bid?ah, maka tidak perlu di-takhshish/dikecualikan. Sehingga perkataan bapak Kyai ini sama halnya dengan perkataan saya: ?Saya makan semua makanan yang ada di meja makan, kecuali sendok, garpu, dan piring.? Tentu orang yang mendengar perkataan saya ini akan mengatakan, Ya memang, karena sendok, garpu dan piring bukan makanan!

Oleh karena itu para ulama? ahli Ushul Fiqih, telah menjabarkan dengan jelas definisi dan syarat-syarat pengecualian (takhshish), dan saya rasa bapak Kyai pernah mempelajari, membaca dan bahkan mengetahuinya dengan baik.

Kemudian pada hal: 50, bapak Kyai berkata: ?Kecuali yang dilakukan oleh Khulafa? Al Rasyidin. Hal ini berdasarkan hadis Nabi shollallahu?alaihiwasallam:

فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين

Artinya:
?Maka wajib bagimu memegang sunnahku dan sunnah Khulafa? Al Rasyidin yang diberi hidayah.? (HR. Abu Dawud)

Yang menjadi kritikan saya:

Betapa bapak Kyai benar-benar telah melupakan definisi bid?ah, sehingga segala hal yang dilakukan oleh sahabat Nabi shollallahu?alaihiwasallam, bahkan oleh Al Khulafa? Al Rasyidin pun tak luput dari vonis bid?ah. Bahkan yang lebih mengherankan lagi, beliau berdalilkan dengan hadits ini, yang padanya Nabi shollallahu?alaihiwasallam jelas-jelas telah menyatakan bahwa ijtihad Al Khulafa? Al Rasyidin adalah sunnah, dan bukan bid?ah. Akan tetapi kerancuan pemahaman bapak Kyai-lah yang menjadikannya memvonis bid?ah amalan mereka.

Mungkin ada yang berkata: bukankah bapak Kyai Dimyathi, walaupun memvonis bid?ah amalan mereka, beliau mengkatagorikannya ke dalam bid?ah hasanah?

Saya katakan: Benar, akan tetapi vonis ini nyata-nyata bertentangan dengan sabda Nabi shollallahu?alaihiwasallam, dan juga bertentangan dengan definisi bid?ah, sehingga tidak dapat diterima.

Pendek kata: hadits Anas bin Malik ini tidak bertentangan dengan hadits ?setiap bid?ah ialah sesat?, sehingga tidak perlu dikecualikan dari keumumannya. Sehingga saya katakan: bahwa pembukuan Al Qur?an yang dilakukan oleh Kholifah Abu Bakar rodhiallahu?anhu, kemudian oleh Khalifah Utsman bin Affan rodhiallahu?anhu, azan ke dua pada hari jum?at, shalat tarawih berturut-turut selama sebulan penuh ialah sunnah, bukan bid?ah.

Kemudian pada halaman yang sama, yaitu hal: 50, beliau mengatakan: ?Kecuali bid?ah hasil ijtihad imam-imam mujtahid. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

عن معاذ بن جبل أن رسول الله لما بعثه إلى اليمن قال: كيف قضي إذا عرض لك قضاء؟ قال: أقضي بكتاب الله، قال: فإن لم تجد في كتاب الله؟ ?.إلخ

Artinya:
?Dari Mu?adz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam ketika mengutusnya ke Yaman, bertanya kepadanya: Bagaimana caranya kamu memutuskan perkara yang diajukan terhadapmu? Mu?adz menjawab: Saya akan memutuskannya sesuai dengan yang tertera dalam Kitabullah (al Qur?an). Rasulullah bertanya lagi: Kalau kamu tidak menemukannya dalam kitabullah? ?dst.? (HR. Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi)

Bahkan dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah rodhiallahu?anhu Rasulullah telah bersabda:

إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران وإذا حكم فأخطأ فله أجر واحد

Artinya:
?Apabila seorang ahli hukum memutuskan hukum dengan hasil ijtihadnya, dan ternyata tepat ijtihadnya itu, maka baginya dua pahala. Dan apabila memutuskan hukum (dengan hasil ijtihadnya) ternyata keliru, maka baginya mendapat satu pahala.? (HR. Imam Tirmizi)
 
Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama?ah (14)

B.
Bila kita cermati lebih mendalam, ternyata kita dapatkan tidak ada sedikitpun dalam hadits ini yang menunjukkan bahwa kesalahan ijtihad ulama? tidak dapat divonis bid?ah. Oleh sebab itu, saya merasa heran dari bagian hadits yang mana, bapak Kyai Dimtyathi pada hal: 52 berkesimpulan: ?Hasil-hasil ijtihad para imam mujtahid itu tidak boleh dikatakan sebagai bid?ah dhalalah, sekalipun hasil-hasil ijtihad mereka itu belum dikenal pada masa Nabi shollallahu?alaihiwasallam.?

C.
Kesimpulan ini bertentangan dengan kisah berikut:

هزيل بن شرحبيل قال : سئل أبو موسى عن ابنة وابنة بن وأخت، فقال: للابنة النصف وللأخت النصف، وأت بن مسعود فسيتابعني. فسئل ابن مسعود، وأخبر بقول أبي موسى فقال: لقد ضللت إذا وما أنا من المهتدين، أقضي فيها بما قضى النبي : للابنة النصف ولابنة الابن السدس تكملة الثلثين وما بقي فللأخت. فأتينا أبا موسى فأخبرناه بقول ابن مسعود، فقال: لا تسألوني ما دام هذا

Artinya:
?Hazil bin Syarahbil berkata: Abu Musa (Al ?Asy?ari rodhiallahu?anhu) ditanya tentang (pembagian warisan seseorang yang mati meninggalkan) seorang anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki (ibnatu ibn) dan saudara wanita, maka ia menjawab: Anak perempuan mendapatkan separuh (1/2) dari harta warisan, dan saudara perempuan mendapatkan separuh pula (sedangkan cucu perempuan tidak mendapat kan apa-apa), dan silahkan engkau mendatangi Ibnu Mas?ud, niscaya ia akan mengikuti pendapatku. Maka Ibnu Mas?ud ditanya, dan dikabari tentang pendapat Abu Musa (Al ?Asy?ari) maka ia menjawab: Bila demikian, sungguh aku telah tersesat dan aku tidak termasuk orang yang mendapat petunjuk, aku akan putuskan permasalahan ini sesuai dengan keputusan Nabi shollallahu?alaihiwasallam: Anak perempuan mendapat separuh (1/2), dan cucu perempuan mendapat seperenam (1/6) sebagai penggenap bagian dua pertiga (2/3), dan sisanya untuk saudara perempuan. Kemudian kami mendatangi Abu Musa, dan kami kabarkan kepadanya pendapat Ibnu Mas?ud, maka ia berkata: Jangan lagi kalian bertanya kepadaku, selama orang ini (Ibnu Mas?ud) masih hidup.? (Riwayat Bukhori, 6/2477, hadits no: 6355)

Sahabat Ibnu Mas?ud rodhiallahu?anhu telah memvonis bahwa bila ia mengikuti pendapat Abu Musa Al ?Asy?ari rodhiallahu?anhu, ia telah tersesat dan tidak mendapat petunjuk, karena pendapat Abu Musa ternyata berseberangan dengan keputusan Nabi shollallahu?alaihiwasallam.

Bukankah sahabat Ibnu Mas?ud telah menyebut bahwa pendapat Abu Musa dengan sebutan dhalal (sesat), sehingga ucapan beliau ini bertentangan dengan kesimpulan bapak Kyai Dimyathi.

D.
Kesimpulan bapak Kyai Dimyathi ini juga bertentangan dengan keterangan banyak ulama?, yang jelas-jelas berwasiat agar kita meninggalkan pendapatnya yang bertentangan dengan hadits-hadits Nabi shollallahu?alaihiwasallam, sebagaimana yang bapak Kyai nukilkan sebagiannya pada hal: 16-22.

E.
Bila kita menuruti kesimpulan bapak Kyai ini, terlebih-lebih ucapannya pada hal: 52, yang bunyinya: ?Berijtihad bagi imam mujtahid sudah diberi izin oleh Nabi shollallahu?alaihiwasallam. Karena itu, hasil-hasil ijtihadnya harus diterima dan tidak boleh dikatakan sebagai bid?ah dhalalah, kalaupun dikatakan bid?ah, itu namanya bid?ah hasanah.? Niscaya kita akan keluar dari agama Islam atau dengan kata lain akan meninggalkan seluruh ajaran agama Islam. Yang demikian ini karena tidaklah ada seorang ulama?pun, melainkan ia memiliki beberapa pendapat yang menyelisihi dalil.

Ibnu Taimiyyah berkata: ?Dan banyak dari para mujtahidin zaman dahulu dan sekarang mengatakan atau melakukan suatu bid?ah, sedangkan mereka tidak menyadari bahwa itu adalah bid?ah, karena ia mengamalkan hadits-hadits lemah yang mereka anggap shahih, atau ayat-ayat yang mereka pahami lain dari maknanya, atau karena mereka berpendapat tertentu, padahal dalam masalah itu ada dalil-dalil yang belum ia ketahui.? (Majmu? Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 19/191).

Sebagai contoh:
Sahabat Umar bin Al Khatthab rodhiallahu?anhu tatkala mendengar berita wafatnya Nabi shollallahu?alaihiwasallam, beliau tidak percaya, dan mengatakan: ?Sesungguhnya Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam belum wafat, akan tetapi Allah memanggilnya sebagaimana Dia telah memanggil Nabi Musa, kemudian ia meninggalkan kaumnya selama empat puluh hari. Dan sungguh demi Allah, aku berharap agar Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam hidup kembali dan memotong kaki dan lisan orang-orang munafiq yang menyangka bahwa Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam telah meninggal.? (Riwayat Abdurrazzaq Al Shan?ani dalam kitab: Al Mushannaf 5/433).

Sahabat Ibnu Abbas rodhiallahu?anhu pernah berfatwa membolehkan nikah mut?ah, dan kemudian ia menarik kembali fatwa tersebut, setelah terbukti baginya dengan hadits-hadits yang shahih, bahwa nikah mut?ah telah dihapuskan. (Lihat Kitab Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 10/48).

Sahabat Abu Dzar Al Ghifari rodhiallahu?anhu berpendapat bahwa setiap muslim harus mensedekahkan seluruh hartanya yang berlebih dari kebutuhannya, dan tidak boleh menabungnya. Bila ia tetap menabungnya, maka harta ini dianggap sebagai harta timbunan, dan niscaya ia akan diazab dengannya pada hari qiyamat, sebagaimana disebutkan dalam ayat 35 surat Al Baqarah. Tentu ini pendapat yang menyelisihi kebenaran, bahkan ditentang oleh sahabat-sahabat yang lain. (Lihat Tafsir At Thobary 10/121 dst).

Al Mujahid pernah menafsirkan ayat:

عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا

Artinya:
?Agar Tuhan-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.? (QS Al Isra?: 79)

Bahwa yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah: Nabi akan didudukkan di sebelah Allah Ta?ala di atas Arsy-Nya. (Lihat Tafsir At Thobary 15/145, dan At Tamhid oleh Ibnu Abdil Bar 7/157-158). Tentu ini adalah pendapat yang menyesilihi hadits Nabi shollallahu?alaihiwasallam, karena yang dimaksud dengan Al Maqam Al Mahmud ialah syafa?at Nabi shollallahu?alaihiwasallam kepada seluruh umat di padang mahsyar. (Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhori dalam kitab Shahihnya, 4/1748, hadits no: 4441).

Imam Abu Hanifah ?rahimahullah- menganut pendapat murji?ah.

Imam Malik bin Anas ?rahimahullah- berfatwa bahwa dua penjual dan pembeli bila telah mengadakan transaksi jual beli, maka keduanya tidak ada hak untuk membatalkan transaksi, walau keduanya masih berada dalam satu majlis. Fatwa ini bertentangan dengan hadits yang ia riwayatkan sendiri sebagaimana berikut:

مالك عن نافع عن بن عمر أن رسول الله قال: البيعان كل واحد منهما بالخيار على صاحبه ما لم يتفرقا إلا بيع الخيار

?Imam Malik meriwayatkan dari Nafi? dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam: Penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (*) atas yang lainnya selama keduanya belum berpisah, kecuali transaksi jual beli yang disyaratkan untuk ditentukan masa pemilihannya (bai?ul khiyar).? (Bukhori 2/743, hadits no: 2005, dan Muslim 3/1163, hadits no: 1531)

(*) Yaitu wewenang untuk meneruskan/mensahkan transaksi jual-beli itu atau membatalkannya.

Tatkala Imam As Syafi?i, mengetahui pendapat gurunya ini, beliau berkata: ?Aku tidak tahu, apakah Malik menuduh dirinya sendiri, atau Nafi?? Dan aku merasa segan untuk mengatakan bahwa ia menuduh Ibnu Umar.? (Lihat Al Mughni oleh Ibnu Qudamah Al Hambali 6/11).

Imam Syafi?i adalah salah satu murid Imam Malik, akan tetapi hal ini tidak menjadikannya menerima setiap hasil ijtihad gurunya, bahkan beliau menentang keras pendapat gurunya ini, sehingga beliau mengucapkan perkataannya di atas. Beda halnya dengan yang diajarkan oleh bapak Kyai Dimyathi dalam ucapannya: ?Berijtihad bagi imam mujtahid sudah diberi izin oleh Nabi shollallahu?alaihiwasallam. Karena itu, hasil-hasil ijtihadnya harus diterima dan tidak boleh dikatakan sebagai bid?ah dhalalah, kalaupun dikatakan bid?ah, itu namanya bid?ah hasanah.?

Abdur Razzaq As Shan?ani ?rahimahullah- terpengaruh dengan pendapat syi?ah, dan masih banyak lagi contoh-contoh serupa.

Bila kita mengikuti setiap pendapat atau ijtihad ulama?, tanpa mempedulikan apakah pendapat itu selaras dengan dalil atau tidak, niscaya kita akan tersesat.

Imam Az Zahabi berkata: ?Orang yang mencari-cari keringanan pada setiap mazhab, dan kesalahan para ulama? ijtihad, berarti agamanya telah menipis (hampir sirna), sebagaimanan dikatakan oleh Al Auza?i atau lainnya: ?Barang siapa mengikuti pendapat ulama? Mekkah dalam hal nikah mut?ah, pendapat ulama? kota Kufah dalam hal nabiiz (Kurma atau lainnya yang direndam ke dalam air, kemudian didiamkan selama beberapa hingga terfermentasi, dan bila diminum dalam jumlah banyak akan memabukkan), pendapat ulama? kota Madinah dalam hal lagu, dan pendapat ulama? daerah Syam dalam hal ?ishmah (terlindung dari kesalahan) para khalifah (pendapat syi?ah), niscaya ia telah menyatukan seluruh kejelekan.? Demikian orang yang dalam hal perdagangan dan transaksi riba mengikuti pendapat ulama? yang membolehkan hiyal (rekayasa/akal-akalan), dalam hal perceraian dan (*) nikah tahlil mengikuti pendapat ulama? yang membolehkannya, dan demikian seterusnya, maka ia telah terancam keluar dari agama.?

(*) Nikah tahlil ialah: bila wanita telah diceraikan oleh suaminya tiga kali, maka suaminya itu tidak boleh ruju? kembali, kecuali bila wanita itu telah menikah dengan lelaki lain kemudian ia dicerai, dan telah berlalu masa ?iddah-nya, maka suami pertama itu boleh menikahi lagi wanita ini. Bila suami kedua itu menikahinya hanya dengan tujuan agar wanita ini dapat dinikahi lagi oleh suami pertamanya, maka nikah ini dinamakan dengan nikah tahlil, dan lelaki kedua ini dijuluki domba sewaan.

Bahkan mengikuti kesalahan ulama? ialah salah satu sebab terjadinya bid?ah dan perpecahan di tengah-tengah umat Islam. Agar fakta ini menjadi jelas, mari kita simak penuturan sahabat Abdullah bin Abbas rodhiallahu?anhu, kepada sahabat Umar bin Al Khatthab rodhiallahu?anhu:

عمر بن الخطاب ذات يوم يحدث نفسه، فأرسل إلى ابن عباس فقال: كيف تختلف هذه الأمة ونبيها واحد وكتابها واحد وقبلتها واحدة؟ فقال ابن عباس: يا أمير المؤمنين إنا أنزل علينا القرآن فقرأناه وعلمنا فيم أنزل، وإنه سيكون بعدنا أقوام يقرأون القرآن ولا يعرفون فيم نزل، فيكون لكل قوم فيه رأي، فإذا كان لكل قوم فيه رأي اختلفوا، فإذا اختلفوا اقتتلوا، فزبره عمر وانتهره، فانصرف ابن عباس ثم دعاه بعد فعرف الذي قال، ثم قال إيه أعد علي

?Pada suatu hari Umar bin Al Khatthab rodhiallahu?anhu sedang merenung, kemudian ia memanggil Ibnu Abbas dan bertanya kepadanya: Bagaimana umat ini dapat berselisih, padahal nabinya satu, kitab sucinya satu dan qiblatnya juga satu? Maka Ibnu Abbas menjawab: Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Al Qur?an diturunkan kepada kita, kemudian kita membacanya, dan kita mengetahui berkenaan dengan apa ayat-ayat Al Qur?an itu diturunkan. Dan sesungguhnya setelah zaman kita nanti, akan ada orang-orang yang membaca Al Qur?an dan tidak mengetahui berkenaan dengan apa ayat-ayat Al Qur?an itu diturunkan, sehingga masing-masing kelompok akan memiliki penafsiran sendiri-sendiri tentangnya. Dan bila setiap kelompok telah memiliki penafsiran sendiri-sendiri, niscaya mereka akan berselisih. Dan bila mereka telah berselisih, niscaya mereka akan saling berperang. Maka Umar menariknya dengan kuat dan memarahinya, lalu Ibnu Abbas berpaling dan pergi. Kemudian selang beberapa saat, Umar memanggilnya lagi dan ia telah memahami (menyetujui) jawabannya, kemudian ia berkata: Ulangilah sekali lagi jawabanmu itu.? (Riwayat Sa?id bin manshur dalam kitabnya As Sunnan 1/176, no: 42)

Beliau juga berkata:

عن عمر أنه قال لزياد: هل تدري ما يهدم الإسلام؟ زلة عالم وجدال منافق بالقرآن وأئمة مضلون

?Umar berkata kepada Ziyad: Apa engkau tahu apakah yang meruntuhkan agama Islam? Yaitu kelalaian seorang ulama?, orang munafiq yang berdebat dengan Al Qur?an dan para pemimpin yang menyesatkan.? (Sunan Ad Darimi 1/166)

Abdullah bin Mubarak berkata:

وهل أفسد الدين إلا الملوك وأحبار سوء ورهبانها

?Apakah ada orang yang merusak ajaran agama selain para raja, ulama? dan ahl ibadah yang jahat.? (Lihat Siyar A?alam An Nubala? oleh Az Zahabi 12/213).

Oleh karena itu setiap ulama? senantiasa berwasiat kepada para pengikutnya untuk tidak mengikuti pendapatnya yang menyelisihi dalil. Walaupun kita meninggalkan dan menentang kesalahan ijtihad itu, bukan berarti kita memusuhi atau mencela mereka. Sikap kita kepada mereka ialah seperti yang dicontohkan oleh Ibnu Abdil Bar Al Maliki setelah menyebutkan pendapat Mujahid di atas, ia berkata:

?Tidaklah ada seorang ulama?pun kecualli pendapatnya bisa diterima dan bisa ditolak, kecuali Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam. Dan Mujahid, walaupun dia adalah salah seorang ulama? yang diakui akan kepandaiannya dalam hal ilmu tafsir Al Qur?an, akan tetapi ia memiliki dua pendapat yang ditinggalkan dan dijauhi oleh para ulama?, salah satunya adalah ini.? (Lihat At Tamhid, oleh Ibnu Abdil Bar 7/157).

Mungkin ada yang bertanya: Bukankah Nabi shollallahu?alaihiwasallam telah menjanjikan satu pahala bagi seorang mujtahid (ulama?) yang ternyata ijtihadnya salah?

Maka jawabannya: Benar beliau shollallahu?alaihiwasallam menjanjikan itu baginya, akan tetapi Nabi shollallahu?alaihiwasallam tidak pernah menjanjikan pahala itu bagi orang yeng mengikuti kesalahan itu, padahal ia tahu bahwa ijtihad itu salah dan menyelisihi kebenaran. Dengan demikian seorang mujtahid tidak berdosa karena ternyata terbukti dikemudian hari bahwa ijtihadnya itu salah, akan tetapi yang berdoa ialah orang yang fanatis dengan ijtihad salah itu, dan tetap mengamalkannya walau telah terbukti baginya kesalahannya. Inilah sebabnya mengapa para ulama? ahli ijtihad senantiasa berpesan kepada setiap orang agar meninggalkan hasil ijtihadnya, bila dikemudian hari terbukti bahwa ijtihadnya salah dan bertentangan dengan dalil.

F.
Adapun hadits kedua, yaitu hadits:

إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران وإذا حكم فأخطأ فله أجر واحد

Artinya:
?Apabila seorang ahli hukum menghakimi dengan hasil ijtihadnya, dan ternyata benar ijtihadnya itu, maka baginya dua pahala. Dan apabila ia menghakimi (dengan hasil ijtihadnya) dan ternyata salah, maka baginya satu pahala.? (HR. Imam Tirmizi)?, maka hadits ini sebenarnya menghujat bapak Kyai sendiri, sebab dalam hadits ini Nabi shollallahu?alaihiwasallam dengan jelas menyatakan: ?ternyata salah.? Sehingga sangat mengherankan bila bapak Kyai kemudian berdalil dengan hadits ini, dan kemudian menyimpulkan bahwa setiap hasil ijtihad seorang ulama? harus di terima.

Saya ingin bertanya: Apakah masuk diakal, kalau Nabi shollallahu?alaihiwasallam memerintahkan ummatnya untuk mengikuti kesalahan seorang ulama?, padahal beliau shollallahu?alaihiwasallam sendiri telah memvonisnya sebagai kesalahan?? Bukankah kesalahan itu lebih layak untuk dikatagorikan ke dalam kesesatan dari pada kebaikan?

Bila hal ini telah terang dan gamblang bagi kita semua, mari kita melangkah maju dan mengoreksi perkataan bapak Kyai Dimyathi yang lainnya.

Pada halaman: 52, beliau berkata: ?Adapun yang mengatakan hadits: ?Kullu bid?atin dhalalah? itu sudah di-takhshish (dikecualikan), bukanlah sembarangan orang, akan tetapi para pakar hadits kenamaan?dst.? Kemudian beliau menukilkan perkataan Imam An Nawawi, Ibnu ?Allan As Shiddiqi, dan Al Shan?ani:

Yang ingin saya katakan di sini:

A.
Bahwa ulama? yang mengatakan bahwa setiap bid?ah ialah sesat, jauh lebih pakar dan lebih alim dibanding ulama? yang bapak sebutkan, diantaranya, sahabat Ibnu Umar rodhiallahu?anhu, beliau berkata:

كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة

?Setiap bid?ah itu ialah sesat, walaupun orang-orang menganggapnya baik.? (Riwayat Al Lalaka?i, dalam kitabnya: Syarah Ushul I?itiqad Ahli As Sunnah 1/92).

قال معاذ بن جبل: إن من ورائكم فتنا يكثر فيها المال ويفتح فيها القرآن حتى يأخذه المؤمن والمنافق والرجل والمرأة والصغير والكبير والعبد والحر، فيوشك قائل أن يقول: ما للناس لا يتبعوني وقد قرأت القرآن ما هم بمتبعي حتى أبتدع لهم غيره، فإياكم وما ابتدع فإن ما ابتدع ضلالة

?Sahabat Mu?adz bin Jabal berkata: Sungguh setelah zaman kalian nanti, akan terjadi berbagai fitnah, harta benda akan melimpah, Al Qur?an akan banyak dibaca orang, hingga dihafal oleh orang mukmin, orang munafiq, laki, wanita, muda, tua, budak dan juga orang merdeka (non budak). Dan sebentar lagi akan ada orang yang berkata: Mengapa orang-orang (masyarakat) enggan mengikutiku, padahal aku telah membaca Al Qur?an?! Sungguh mereka tidak akan mengikutiku, hingga aku mencetuskan (mengadakan) untuk mereka hal baru selain Al Qur?an. Jauhilah oleh kalian hal yang ia ada-adakan, karena yang ia ada-adakan itu adalah dhalalah (kesesatan).? (Riwayat Abu Dawud 4/202, no: 4611)

Ayyub As Sukhtiyani berkata:

ما ازداد صاحب بدعة اجتهادا إلا ازدادا من الله بعدا

?Tidaklah seorang pelaku bid?ah semakin rajin menjalankan bid?ahnya, melainkan ia akan semakin jauh dari Allah.? (Riwayat Abu Nu?aim Al Asbahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya? 3/9).

Mu?adz bin Jabal ataupun Ayyub tidak membedakan antara bid?ah hasanah dengan bid?ah dhalalah, semuanya dikecam dan dikatakan sesat dan menjauhkan pelakunya dari Allah.

Imam Malik bin Anas menjelaskan, alasan mengapa setiap bid?ah itu adalah sesat, beliau berkata:

من أحدث في هذه الأمة اليوم شيئا لم يكن عليه سلفها فقد زعم أن رسول الله خان الرسالة لأن الله تعالى يقول: )حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير لله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقسموا بالأزلام ذلكم فسق اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فلا تخشوهم وخشون اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم( (المائدة 3) فما لم يكن يومئذ دينا لا يكون اليوم دينا

?Barang siapa pada zaman sekarang mengada-adakan pada ummat ini sesuatu yang tidak diajarkan oleh pendahulunya (Nabi shollallahu?alaihiwasallam dan sahabatnya), berarti ia telah beranggapan bahwa Rasulullah shollallahu?alaihiwasallam telah mengkhianati kerasulannya, karena Allah Ta?ala berfirman: ?Diharamkan bagimu bangkai, darah ???pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni?mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agamamu. Maka barang siapa yang terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.? (Al Maidah: 3) sehingga segala yang tidak menjadi ajaran agama kala itu (zaman Nabi shollallahu?alaihiwasallam dan sahabatnya) maka hari ini juga tidak akan menjadi ajaran agama.? (Riwayat Ibnu Hazem dalam kitabnya Al Ihkam 6/225).

Inilah hakikat bid?ah. Pada hakikatnya bid?ah adalah sanggahan terhadap kesempurnaan agama Islam yang telah ditetapkan Allah pada surat Al Maidah ayat 3, dan merupakan tuduhan terhadap Nabi shollallahu?alaihiwasallam yang mendapatkan amanat menyampaikan risalah ini telah berkhianat. Seorang yang melakukan bid?ah Seakan-akan ia berkata: Bahwa agama Islam ini belum sempurna, sehingga perlu ditambahkan amalan saya ini, atau Nabi shollallahu?alaihiwasallam telah berkhianat, sehingga amalan baik yang saya amalkan tidak beliau ajarkan kepada umatnya. Na?uuzubillah min zalika.

B.
Kembali saya katakan bahwa bapak Kyai pada halaman ini agak terburu-buru, karena seandainya bapak Kyai mencermati ucapan An Nawawi, dan yang lainnya, niscaya bapak Kyai akan mendapatkan bahwa maksud mereka dengan عام مخصوص ?bersifat umum dan sudah di-takhshish/dikecualikan?, ialah bahwa bid?ah itu ada yang bid?ah wajib, ada yang sunnah, dan ada yang mubah dst, sebagaimana pembagian yang dilakukan oleh Izzuddin bin Abdissalam. (Silahkan rujuk kembali ucapan An Nawawi dalam kitabnya: Syarah Shahih Muslim 6/154-155, dan Ucapan Al Shan?ani pada kitabnya: Subul Al Salam 2/49).

Bila demikian keadaannya, maka ini menunjukkan bahwa yang mereka maksud ialah bid?ah ditinjau dari sisi bahasa, bukan secara pengertian syari?at. Karena bila yang dimaksudkan dengan kata bid?ah di sini adalah pengertian secara syari?at, maka akan terjadi pertentangan, sebagaimana yang telah saya jelaskan, tatkala saya membahas perkataan Izzuddin bin Abd Al Salaam, orang pertama yang yang dikenal membagi bid?ah menjadi lima bagian, wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.

?bersambung?
 
Back
Top