Organik : Sistem dan Produk Pertanian

Dukungan Pemerintah Terhadap Pertanian Organik Masih Minim

Dukungan Pemerintah Terhadap Pertanian Organik Masih Minim


Departemen Pertanian akan memfasilitasi dan mendukung pihak-pihak yang akan mengembangkan pertanian organik, namun tetap mengutamakan ketahanan pangan nasional.

Demikian disampaikan Menteri Pertanian Republik Indonesia, Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS dalam Seminar Nasional Pertanian Organik di Bogor, Selasa, 13 September 2005.

Pengembangan pertanian organik akan mengacu pada sasaran Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang antara lain berkaitan dengan aspek produktifitas dan efisiensi, khususnya pada tanaman yang membutuhkan produksi besar dan menyangkut hajat hidup orang banyak seperti tanaman pangan, terutama padi.

Salah satu sasaran yang sekaligus basis utama RPPK adalah ketahanan pangan yang bersandar pada ?swasembada beras lestari.? Menurutnya, ini karena Indonesia masih membutuhkan produktivitas tinggi untuk padi dengan laju peningkatan 1-2% per tahun.

Pengembangan pertanian organik absolut akan diarahkan pada komoditas tertentu yang bernilai ekonomi tinggi serta tidak dibutuhkan dalam jumlah yang besar bagi konsumsi dalam negeri. Misalnya komoditas hortikultura (sayur dan buah), perkebunan (kopi, mete, dll.), rempah dan obat-obatan.

Sedangkan sasaran utama pengembangannya akan diarahkan pada petani dan/atau sistem pertanian yang selama ini telah menerapkan pertanian organik ?tanpa disadari? dengan mengapresiasi ?indigenous technology? dan ?indigenous knowledge.? Selain itu, juga akan diarahkan pada lahan potensial yang hingga saat ini masih kosong.

Sedangkan Walikota Bogor, Diani Budiarto, dalam sambutan tertulisnya mengatakan bahwa Kebijakan Pembangunan Pertanian di Kota Bogor diarahkan pada pengembangan agribisnis perkotaan yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan lokal spesifik. Salah satu implementasinya adalah dengan menerapkan pertanian organik di kota Bogor.

Saat ini, telah ada beberapa komoditi yang merupakan hasil dari pertanian organik, antara lain jambu biji getas merah organic dan beras organik Jambu biji getas merah organik dikembangkan di kecamatan Tanah Sareal seluas +/_ 80 ha dengan produksi rata-rata 16 ton/ha setiap bulannya, dan dipanen 3 hari sekali.

Sementara Agung Prawoto, Direktur Eksekutif BIOCert (Lembaga Penjamin Pertanian Organis Indonesia), lebih menyikapi pada kondisi dan potensi pasar organik di Indonesia.

Menurutnya, perkembangan pasar organik saat ini amat pesat. Indonesia yang saat ini berpenduduk 235 juta orang, dimana 10%-nya memiliki tingkat sosial ekonomi tinggi, berpendidikan dan tinggal di kota-kota besar adalah pangsa pasar organik yang cukup potensial. Jumlahnya lebih besar dari penduduk Singapura atau setara dengan penduduk Australia.

Tercatat, hingga akhir 2004, volume penjualan produk organik nasional diperkirakan sebesar US$ 4-5 juta per tahun dengan produk utama berupa beras, sayuran, buah kering, rempah-rempah, herbal dan kopi.

Namun Agung menyayangkan masih adanya gap antara produsen dan konsumen. Konsumen kesulitan mendapatkan produk organik secara kontinyu karena pasokannya terbatas, lokasinya jauh atau tidak adanya jaminan keorganisan produk organik. Sementara produsen tidak mampu menjangkau konsumen karena ketiadaan informasi pasar, minimnya infrastruktur, rendahnya kemampuan teknologi paska panen, permasalahan konsistensi mutu dan produksi serta kendala permodalan.

Selain itu, minimnya dukungan pemerintah terhadap pertanian organik. Hal ini terlihat dari tiadanya regulasi nasional yang mendukung pertanian organik di Indonesia. Indonesia belum memiliki strategi nasional pertanian organik yang sistematis dan terintegrasi yang bisa menjadi arahan bagi pengembangan pertanian organik di Indonesia.

Juga tidak ada otoritas kompeten yang memfasilitasi bidang ini, sehingga kegiatan pertanian organik di Indonesia menjadi tidak terkoordinasi. Tidak adanya regulasi tentang sertifikasi, akreditasi dan ketidak-siapan otoritas kompeten untuk melakukan akreditasi lembaga sertifikasi pangan organik menyulitkan produsen dan pemasar produk organik endapatkan sertifikasi untuk mengakses pasar yang lebih luas.

"Karenanya, untuk mendorong pertumbuhan pasar organik nasional, sebagai bagian dari pengembangan pertanian organik di Indonesia, perlu kerjasama semua pihak. Mulai dari sisi produksi, pemasaran hingga regulasi. Dan hal ini harus dilakukan secara sistematis, terpadu dan tidak instan,? papar Agung.
 
Sepuluh jenis kentang organik tahan penyakit

Sepuluh jenis kentang organik tahan penyakit


Para peneliti dari University of Newcastle upon Tyne, Inggris, mengembangkan 10 jenis varitas kentang organik tahan penyakit akibat fungi mematikan (blight). Di Eropa kentang ini sudah bisa dibeli di supermarket. Kentang ini bisa ditanam tanpa menggunakan pupuk dan pestisida kimia.

Hasil temuan itu dipresentasikan dalam International Congress on Organic Farming, Food Quality and Human Health tanggal 6-9 Januari 2005 di Newcastle, Inggris. Kongres ini diselenggarakan oleh Soil Association dan University of Newcastle.

Profesor Carlo Leifert, pimpinan Nafferton Ecological Farming Group di Newcastle University, mengatakan, ?Sampai saat ini sulit menemukan varitas kentang yang bisa ditanam secara organik tetapi tahan penyakit blight, dan untuk mendapatkannya telah menarik banyak penyelidikan.?

Kentang-kentang itu antara lain varitas Eve Balfour dan lady Balfour yang dikembangkan oleh Scottish Crop Research Institute. Keduanya sudah bisa didapatkan di supermarket. Jenis lainnya termasuk kentang ungu dari Hungary, demikian diungkapkan dalam siaran pers University of Newcastle upon Tyne tanggal 5 Januari 2005.

Temuan 10 jenis kentang itu adalah bagian dari proyek Blight-MOP. Ada 13 institusi terlibat dalam proyek ini. Selain kentang organik, Blight-MOP juga menghasilkan kompos yang mampu meningkatkan panenan kentang hingga 40 persen. Proyek juga menguji coba strategi pengelolaan tanaman organik yang baru dan efektif.

Salah satu tujuan utama proyek ini adalah mendorong lebih banyak konsumen dan produser yang ?go organic.? Saat ini di Eropa baru empat persen penduduk yang membeli sayuran organik.

Secara mendasar, proyek Blight-MOP telah memastikan kentang organik di masa depan akan tersedia luas dan sama atau mendekati kualitas dan harganya, jika tidak lebih baik, dibandingkan kentang yang ditanam menggunakan bahan kimia.

Patrick Holden, Direktur Soil Association, mengatakan, ?Hasil dari penelitian itu adalah berita baik bagi petani dan konsumen.?
 
Produksi pertanian organik Indonesia tumbuh 10% per tahun

Produksi pertanian organik Indonesia tumbuh 10% per tahun


Produksi pertanian organik Indonesia diperkirakan tumbuh kurang lebih 10% per tahun. Demikian pendapat Indro Surono peneliti Elsspat dan Biocert pada beritabumi.or.id akhir Juli 2004 lalu.

?Perkembangan produksi dan pemasaran produk pertanian organik di Indonesia cukup pesat. Perkembangannya ditandai dengan semakin banyaknya supermarket, outlet, dan model pemasaran alternatif di berbagai kota yang menjual produk organik,? ungkap Surono.

Perkembangan juga tergambar dari semakin banyak organisasi nonpemerintah pendamping petani yang mengembangkan pertanian organik, kelompok petani atau perusahaan swasta yang bergerak di pertanian organik.

Ada beberapa jaringan atau organisasi nasional yang peduli pada pengembangan pertanian organik. Di antaranya Jaringan Kerja Pertanian Organik Indonesia (Jaker PO) yang diprakarsai, dilahirkan oleh organisasi nonpemerintah, Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina).

Produk pertanian organik Indonesia hampir semuanya adalah produk pertanian belum diolah (fresh product). Beberapa produk pertanian organik olahan yang berasal dari bahan/tanaman organik jumlahnya yang sangat sedikit.

Sebagai contoh, kosmetik organik (sabun, shampo, minyak wangi), saos tomat dan sirup organik. Saos tomat dan sirup organik yang diprduksi Bali Asli di Denpasar, Bali, jumlahnya masih terbatas dan hanya dijual di hotel-hotel di Bali.

Di negara maju selain produk segar seperti buah dan beras, produk olahan organik sudah meluas seperti kopi, teh, kosmetika, pakaian, dan bahkan bola golf organik.

?Sebenarnya permintaan produk pangan organik atau olahannya untuk industri seperti minyak atsiri, kopra, rempah-rempah, sangat tinggi. Permintaan datang dari Belanda, Swedia, Singapura dan Jepang. Hanya saja permintaan itu belum bisa dipenuhi oleh produsen nasional,? ungkap Surono.

Pasar domestik produk organik masih terpusat di kota-kota besar, khususnya di Jawa dan di kalangan kelas menengah ke atas. Tetapi tingkat konsumsi sebenarnya, lebih banyak produk organik yang dikonsumsi di desa atau tidak diperdagangkan antarkota.

Menurut Surono pertanian organik berpeluang berkembang dengan baik kedepan karena pertama, adanya kritik terhadap asupan kimia yang menyebabkan terjadi degradasi lingkungan pertanian membawa pada praktek bertani ke arah organik. Kedua, kesadaran konsumen untuk memperoleh produk yang sehat dan ramah lingkungan juga semakin tinggi.

Ketiga, peluang ekspor produk organik juga besar karena tingginya permintaan dari Negara maju. Keempat, ada peluang untuk meningkatkan pendapatan petani karena produk pertanian organik menghemat biaya produksi dan harga jualnya di atas produk pertanian konvensional.

?Bahkan, jika bicara wild harvest product, banyak daerah di Indonesia yang produknya dapat dikategorikan sebagai organik, terutama hasil hutan nonkayu seperti madu, rempah-rempah, kayu manis dan lain-lain. Hanya saja produk tersebut belum dikelola menurut manajemen organik,? kata Surono.

Sekarang produk organik asal Indonesia yang terkenal adalah produk tanaman keras seperti kopi, vanili dan rempah-rempah yang kebanyakan dihasilkan dari daerah wild harvested.

Sampai sekarang, kata Surono, belum ada data resmi luas lahan organik di Indonesia dari pemerintah. Dalam buku ?The World of Organic Agriculture, Statistic and Emerging Trends 2004? karangan Helgar Willer dan Minou Yussefi, yang dipublikasikan oleh IFOAM disebutkan luas lahan yang ditangani (under management) secara organik di Indonesia sekitar 40.000 ha (0,09% dari total lahan pertanian). Indonesia berada di peringkat ke-37 dunia.

Anton Waspo, Direktur Eksekutif Elsppat, mengatakan ada kemungkinan perkembangan pertanian organik menuju lebih baik melalui upaya pengembangan bersama. Sekarang pemerintah sedang membangun proses pengembangannya setelah penandatanganan MOU dengan pemerintah Swiss dalam bantuan teknis pengembangan pertanian organik di Indonesia.
 
Kusnadi dan Entik bertani organik dengan tanggung jawab moral

Kusnadi dan Entik bertani organik dengan tanggung jawab moral


Bagi pasangan suami-istri Kusnadi dan Entik, bertani organik merupakan kegiatan yang dilakukannya dengan penuh tanggung jawab moral. Kepercayaan konsumen atas produk hortikultura organik tanpa sertifikat khusus, membuat mereka melakukan pertanian organik dengan penuh tanggung jawab.

Keyakinan tersebut disampaikan Entik saat menerima kunjungan rombongan Direktorat Jendral Bina Perlindungan Hortikultura Departemen Pertanian Republik Indonesia di pertanian organik yang dikelolanya, Kebun Mega Surya, di Lemah Nendet, Pasir Muncang, Ciawi, Bogor pada tanggal 2 Oktober 2004.

Yang mendorong kakek-nenek empat orang cucu dan orangtua dua orang anak ini bertani organik adalah kesadaran akan kebutuhan kesehatan dan keseimbangan ekologis. Mereka juga mempunya misi ingin memasyarakatkan pertanian organik.

Sebelumnya mereka menanam kol menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Akibat penyemprotan pestisida, 200 ekor ayam ternak di sekitar pertanian mati. Menurut Entik hal itu terjadi mungkin karena akumulasi pestisida dalam waktu yang lama.

?Saya berfikir hal yang sama juga bisa terjadi pada manusia,? ungkap Entik, yang sekarang dibantu tujuh orang pekerja. Menyemprot pestisida berarti meracuni diri sendiri. Kemudian mereka mempelajari pertanian secara organik pada Pastor Agato (salah satu pengembang pertanian organik di Cisarua, Bogor).

Selama belajar mereka juga memasarkan produk organik Pastor Agato untuk membuka pangsa pasar produk mereka nanti. Sebagai persiapan, Biotrop meninjau lahan pertanian mereka apakah bisa dimanfaatkan untuk bertani secara organik.

Persiapan selanjutnya adalah membuat terasering pada lahan pertanian seluas satu hektar tersebut, membuang tanah lapisan atas lahan pertanian setinggi 30 cm, menambahkan sekitar dua ton kompos pada lahan sebelum penanaman secara organik pertama kali.

Pada awal penanaman, masih banyak hama ulat dan serangga lainnya. ?Setelah ekosistem terbentuk dalam waktu satu setengah tahun, akhir 2002, hama berkurang,? ungkap Entik.

Selanjutnya Biotrop mengambil sampel daun, akar, umbi, buah tanaman untuk uji residu pestisida dan logam berat. Hasil dari uji tersebut menunjukkan residu pestisida dan logam berat jauh di bawah ambang batas. ?Setelah itu baru bisa mengklaim organik,? ungkapnya lagi.

Mereka semakin mantap untuk mengatakan produk hortikulturanya organik setelah mendapat keterangan pihak Departemen Pertanian bahwa organik adalah suatu proses bukan hanya produk tidak mengandung pestisida dan logam berat.

Produk hortikultura yang dihasilkan pertanian organik Kebun Mega Surya di antaranya sawi, kol, cabe, tomat, bayam, kacang tanah, umbi-umbian, wortel, kapri dan daun bawang.

Mereka melakukan pemasaran produk hortikultura organiknya dengan sistem mitra, penjualan langsung ke konsumen dan memasarkan melalui outlet sayur organik (di Perumahan Legenda Wisata). Sistem mitra dilakukan dengan petani organik lain yang berbeda produknya untuk saling mempromosikan pada konsumen masing-masing. Syarat kerja sama dengan outlet sayur adalah tidak menerima pasokan dari tempat lain.

Meskipun sudah dengan berbagai upaya, mereka masih kesulitan dalam pemasaran. Kesulitan itu berkaitan dengan kesadaran konsumen akan kesehatan makanan yang mereka konsumsi. Konsumen masih merasa kurang perlu mengkonsumsi makanan sehat organik, meskipun pendidikan dan tingkat pendapatan mereka tinggi.
 
Wisata sambil belajar di Pertanian Organik Kebun Mega Surya Bogor

Wisata sambil belajar di Pertanian Organik Kebun Mega Surya Bogor


Pada hari Sabtu, 2 Oktober 2004 sekitar pukul 13.00 WIB rombongan Direktorat Jendral Bina Perlindungan Hortikultura Departemen Pertanian Republik Indonesia yang berjumlah 30 orang terdiri dari karyawan dan darmawanita beserta beberapa anak mereka, tiba di Pertanian Organik Kebun Mega Surya. Mereka beramah tamah dahulu dengan pengelola Kebun Mega Surya Kusnadi dan Entik.

Lalu dengan didampingi pengelola kebun, rombongan melihat-lihat tanaman pertanian. ?Kenapa bagian tanah ini tidak ditanami, Bu ?? tanya salah satu ibu rombongan itu. ?Bukannya tidak ditanami, tapi habis dipanen. Jadi baru menunggu untuk ditanami lagi,? jawab Entik.

Di tempat lain, Kusnadi bersama seorang bapak dari bagian laboratorium Bina Perlindungan Hortikultura bercakap-cakap, diantaranya tentang berapa lama waktu diperlukan untuk menjadi organik. Menurut Kusnadi waktu yang diperlukan sekitar satu setengah tahun. Namun menurut Bapak bagian laboratorium Bina Perlindungan Hortikultura waktu itu terlalu cepat. Walaupun demikian waktu yang diperlukan memang berbeda-beda setiap lahan pertanian, lanjutnya.

Setelah melihat-lihat pertanian organik rombongan dipersilahkan berkumpul di sawung terbuat dari papan kayu yang terletak di atas bangunan kantor dan dapur. Tujuannya untuk mendengarkan penjelasan dari pengelola pertanian berkaitan dengan pertanian organik Kebun Mega Surya.

Selesai mendengarkan penjelasan, rombongan menikmati hidangan makan siang yang merupakan masakan bahan pangan organik yang disiapkan pengelola.

?Wah, enak juga makanan organik, ya,? ungkap bapak dari Bina Perlindungan Hortikultura lainnya.

Rombongan menikmati hidangan dengan santai sambil melanjutkan obrolan dengan pengelola pertanian. Hidangan disajikan di atas meja di tengah beranda kantor dan dapur di bawah sawung.

Rombongan mengambil tempat duduk seadanya. Ada yang duduk di sederet bangku panjang terbuat dari susunan bambu di depan beranda kantor dan dapur, ada yang di dalam tenda di samping dapur bahkan ada yang hanya duduk di rerumputan yang tumbuh subur di sekitar pertanian organik dan kantor pertanian.

Selesai menikmati hidangan masakan bahan organik, Entik menawarkan produk hortikultura organik yang dihasilkan Kebun Mega Surya dan bahan pangan organik lain yang diperoleh dari mitra Kebun Mega Surya. Ibu-ibu rombongan Bina Hortikultura itu langsung menyerbu sawung tempat penjualan produk organik tersebut.

?Berapa tomat satu kilo, Bu ?? tanya salah satu ibu dari mereka. ? Lima ribu rupiah, Bu,? jawab Entik. ?Sehat, ni. Organik bebas pestisida,? kata ibu lainnya.

Akhirnya rombongan pulang sekitar pukul 15.00 WIB setelah puas menikmati alam, pemandangan sekitar pertanian yang dikelilingi perbukitan berkabut, masakan organik dan melihat tanaman hortikultura pertanian organik Kebun Mega Surya.

Tanaman hortikultura itu diantaranya cabe, tomat, spinace, beat, kacang tanah, sawi dan kapri. Sebelumnya bagian laboratorium Bina Perlindungan Hortikultura mengambil sampel tomat, cabe dan wortel masing-masing sekitar satu kilogram untuk dilakukan uji kadar pestisida.

Selain berwisata tujuan kunjungan mereka adalah ingin melihat dan membuktikan adanya pertanian organik hortikultura. Hal itu dikarenakan sebelumnya beberapa orang dari mereka pernah melihat produk hortikultura organik Kebun Mega Surya yang dipamerkan di Jakarta.

Kemudian salah satu dari mereka menikmati wortel sebagai contoh dari produk hortikultura organik tersebut. Ternyata menurutnya wortel itu lebih manis dari yang biasanya bukan organik.

Disamping itu, juga berkaitan dengan tugas Bina Perlindungan Hortikultura dalam hal pembuktian keamanan produk hortikultura yang dikatakan organik. Namun ternyata hasil dari uji laboratorium baru dapat diperoleh satu tahun kemudian karena menunggu antrian menurut bagian laboratorium tersebut.

Pertanian organik hortikultura Kebun Mega Surya yang dikelola Kusnadi dan Entik mulai berproduksi pada bulan Agustus 2001 seluas sekitar satu hektar.

Sebelumnya pertanian dilakukan secara konvensional hanya berupa tanaman kobis (kol). Keputusan untuk beralih ke pertanian organik karena munculnya kesadaran pengelola bahwa pestisida kimia berbahaya untuk kesehatan dan lingkungan. Bahkan bisa membunuh ternak ayam yang ada di sekitar lahan pertanian konvensional saat itu.

Sedangkan mengenai usaha agrowisata Kebun Mega Surya mulai dilakukan sejak enam bulan terakhir. Biasanya pengunjung akan memberi konfirmasi pada pengelola sebelum melakukan kunjungan. Lalu dengan biaya yang disepakati bersama pengunjung akan memberi biaya untuk hidangan makan yang ingin dinikmatinya.

Karyawan Kebun Mega Surya berjumlah tujuh orang, terdiri dari empat laki-laki dan tiga perempuan. Karyawan itu bertugas sebagai petani dan pembantu tugas pengelola dalam kegiatan agrowisata.

Kusnadi berencana mengembangkan usaha agrowisata pertanian organik Kebun Mega Surya. Salah satunya dengan menambahkan fasilitas pendukung. Fasilitas yang sudah ada berupa kamar mandi, sawung tempat sholat, tempat wudlu, kran air di beberapa tempat. Semuanya masih sederhana.

Selain itu tanaman juga akan ditambahkan pada lahan yang masih kosong di belakang kantor Kebun Mega Surya. Dan fasilitas untuk perkemahan di lereng lahan pertanian juga akan ditambahkan.
 
Bertani organik ala Sutomo (II)

Bertani organik ala Sutomo (II)


Saya mengenal model pertanian lestari sejak tanggal 16?19 Oktober 1996 lewat peristiwa peringatan Hari Pangan Sedunia di Purbalingga, Jawa Tengah, yaitu lewat pameran bibit lokal, contoh pestisida alami dan lewat masukan ceramah dari nara sumber antara lain Prof Dr Loekman Soetrisno (alm) dari Universitas Gadjah Mada dan lainnya.

Selain itu saya juga mengikuti pelatihan Strategi Pengembangan Pertanian Lestari yang diadakan oleh SPTN HPS tanggal 24-27 November 1997 di Yogyakarta. Saya diajak melihat praktek Kelompok Tani Kembang Lestari di Pundong, Bantul, Yogyakarta tepatnya di rumah Bapak Muharjo.

Di sini saya diajak melihat lokasi hamparan sawah kurang lebih seluas 10 ha. Sawah tersebut ditanami padi varietas menthik tanpa dipupuk kimia dan ternyata tanaman tumbuh subur, sehat dan rumpunnya banyak.

Sejak itu saya tertarik dan saya membeli benih padi sebanyak lima kilogram dengan harga Rp 1.000 per kilogram. Benih itu saya tanam dengan model budi daya lestari pada sawah seluas 930 meter persegi.

Sawah itu biasa ditanami jenis padi IR dan dipupuk kimia (urea dan TSP) sebanyak 40 kg. Biasanya sawah tersebut menghasilkan gabah 4,5 kwintal. Saat pertama kali saya tanam menthik dengan pupuk kompos dan kotoran ayam (18 karung), ternyata menghasilkan panen gabah 6,5 kwintal.

Lewat praktek itu saya sungguh-sungguh yakin dan mantap untuk mengembangkan pertanian lestari untuk selamanya.

Kondisi saat itu

Kondisi yang saya dan yang orang lain pada umumnya rasakan saat itu adalah pertanian konvensional kalau dihitung-hitung merugikan. Harga pupuk kimia sangat mahal, pestisida sangat mahal, bibit VUTW mahal harganya, sewa lahan juga semakin meningkat.

Faktor yang mendukung saya bersemangat bertani organik ialah belum dimanfaatkannya jerami. Pada umumnya orang-orang hanya menumpuk atau membakarnya saja. Dan kotoran ternak belum dimanfaatkan secara maksimal.

Nasi beras menthik rasanya lebih enak, empuk dan hasilnya lebih tinggi dan pada saat itu banyak orang membeli hasilnya untuk dikembangkan.

Bertani lestari

Pada musim kemarau tanah saya cangkul dan kotoran hewan saya masukkan dalam cangkulan itu. Ketika hujan datang tanah sudah subur karena sudah terisi pupuk organik. Tanah kemudian diolah lagi, diratakan dan dijadikan lahan siap tanam.

Pembuatan benih

Benih diseleksi dengan cara memilih tanaman yang rata pada bagian tengah lahan serta umurnya tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda. Setelah dipetik, padi dirontok.

Pemetikan dilakukan setelah pukul 08.00 pagi supaya tanaman selesai berasimilasi dan embun sudah menguap (kemerap).

Pagi selanjutnya atau hari pertama dijemur dengan ketebalan 3-5 cm selama tiga jam. Hari kedua dijemur selama empat jam. Hari ketiga dijemur selama lima jam. Hari keempat dan kelima dijemur dari pagi sampai sore hari.

Bila sudah kering gabah dimasukkan dalam karung dan disimpan. Agar benih tetap bagus, penyimpanan bisa digantung atau diletakkan di atas tungku dapur.

Sutomo (41) adalah petani organik bertempat tinggal di Wingkosanggarahan Rt2/Rw2, Ngombol, Purworejo.

(Catatan Redaksi: tulisan diambil dari buku "Belajar dari Petani. Kumpulan Pengalaman Bertani Organik," editor Wangsit St dan Daniel Supriyana, diterbitkan oleh SPTN-HPS - Lesman - Mitra Tani)
 
Bertani organik ala Sutomo (I)

Bertani organik ala Sutomo (I)


Pertanian organik merupakan suatu sistem pertanian yang mendorong terbentuknya tanah dan tanaman sehat dengan melakukan praktik-praktik budi daya tanaman seperti daur ulang unsur hara, pergiliran tanaman, pengolahan tanah yang tepat, serta menghindari pupuk dan pestisida sintetik.

Guna mendukung pertanian lestari, maka pemanfaatan bahan organik yang berasal dari tanaman dan hewan harus dilaksanakan secara maksimal dan berkelanjutan, mengingat sejak digunakannya bahan kimia sintetik dalam pertanian, maka fungsi tanah yang sesungguhnya menjadi hilang.

Hal tersebut karena tanah dipandang sebagai obyek belaka tanpa menghiraukan kelestariannya. Salah satu indikator (tolok ukur) menurunnya tingkat kesuburan tanah adalah semakin banyaknya penggunaan pupuk buatan per satuan luas untuk upaya mempertahankan tingkat produktivitas. Ini menyebabkan mikroba penyubur tanah semakin berkurang.

Menyadari hal ini muncul pemahaman dalam diri saya:

1.Telah menjadi keyakinan umat beriman bahwa sejak awal mula Tuhan YME menciptakan manusia, bumi beserta isinya adalah baik adanya.

2.Sebagai umat yang beriman dan bertakwa kita wajib dan berkewajiban serta sadar, bertanggung jawab untuk merawat, memanfaatkan, menjaga serta melestarikan bumi dan isinya, baik secara perorangan maupun kelompok. Di sini kelompok merupakan gerakan sosial bukan gerakan politik atau agama.

Pertanian lestari Pertanian organik adalah sistem budi daya pertanian yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia buatan. Upaya tersebut dicapai antara lain dengan menggunakan: benih lokal, pupuk kandang, pupuk hijau, jerami dan sebagainya, serta sistem pengendalian hama menggunakan ramuan-ramuan nabati/pestisida alami, menanam penangkal hama (seperti kemangi, kenikir, bayam ersi).

Sedangkan pertanian lestari adalah pertanian yang berkelanjutan sampai bisa diwariskan kepada anak cucu hingga turun temurun. Pertanian lestari juga bersifat aman bagi tubuh manusia dan menyelamatkan sesama.

Sehingga petani lestari adalah petani yang membudidayakan atau melakukan budi daya dengan menggunakan: bibit lokal, pupuk organik, melakukan pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan cara-cara alamiah dan ramuan-ramuan alamiah.

Petani yang berwawasan lingkungan ini memegang teguh pada prinsip: a) menguntungkan; b) tidak merusak lingkungan; c) sesuai dengan budaya setempat; d)berkeadilan sosial; e) hidup hemat dan gemar menabung, serta menghindari sikap hidup boros, bergaya hidup untuk lebih mendasarkan pada kebutuhan dan bukan untuk menuruti keinginan.

Model pertanian organik, oleh karena itu, menurut saya adalah model pertanian masa depan yang akan mampu membawa kesejahteraan masyarakat atau petani dan membuat petani mandiri dalam pengertian tidak bergantung (bibit, pestisida, pupuk dan pemasaran).

Namun sampai sekarang model pertanian yang saya rintis dari tahun 1996 ini masih merupakan perjuangan yang berat karena harus menetang arus deras dan besar serta kuat. Saya mampu menghidupi aliran arus kecil. Oleh karena itu masih banyak keprihatinan serta memerlukan perjuangan tiada henti.

Sutomo (41) adalah petani organik bertempat tinggal di Wingkosanggarahan Rt2/Rw2, Ngombol, Purworejo.

(Catatan Redaksi: tulisan diambil dari buku "Belajar dari Petani. Kumpulan Pengalaman Bertani Organik," editor Wangsit St dan Daniel Supriyana, diterbitkan oleh SPTN-HPS - Lesman - Mitra Tani)
 
Kedai Halimun pasarkan produk organik di Kawasan Ekosistem Halimun

Kedai Halimun pasarkan produk organik di Kawasan Ekosistem Halimun


Kedai Halimun sebagai salah satu unit usaha divisi Rimbawan Muda Indonesia (RMI) mulai berkembang menjadi media pemasaran produk organik kelompok tani di Kawasan Ekosistem Halimun. Perkembangan tersebut baru berjalan sekitar tiga bulan.

Demikian disampaikan Arif Rahman sebagai pengembang Kedai Halimun RMI pada beritabumi.or.id awal Oktober 2004 lalu.

?Awalnya Kedai Halimun hanya sebatas media promosi dan informasi produk-produk masyarakat Halimun yang dioperasionalkan hanya seminggu sekali di Lapangan Sempur tiap hari Minggu pagi mulai pukul 06.00 ? 11.00 WIB. Kondisi tersebut berjalan hingga satu bulan,? ungkap Rahman.

Selanjutnya Kedai Halimun berkembang sebagai media pemasaran produk organik masyarakat Halimun. Untuk sementara lebih difokuskan di Citorek, Banten. Menurut Rahman pemasaran Kedai Halimun mulai meningkat dari hari ke hari.

Produk organik yang dihasilkan masyarakat di Kawasan Ekosistem Halimun diantaranya beras lokal Citorek dan Madu Baduy.

Beras lokal Citorek merupakan beras yang berasal dari padi lokal yang ditanam oleh masyarakat adat Citorek di desa Citorek, Ciparay dan Ciusul. Padi lokal ini disebut juga sebagai Pare Ageung karena jenis padi ini cukup tinggi ukurannya dan waktu pertumbuhannya yang mencapai sekitar tujuh bulan (mulai tanam hingga panen).

Keunggulan jenis padi ini adalah :

1. Di tanam dengan tata cara tradisional (panen satu tahun sekali).

2. 100 % bebas pestisida, lebih aman dan sehat.

3. Lebih pulen dan wangi (hasil panen terbaru).

Banyak jenis pare atau padi lokal yang masih dipertahankan oleh Masyarakat Adat Citorek, namun yang sekarang banyak ditanam adalah pare kewal (beras putih) dan pare sek-sek (beras merah).

Produk lain adalah Madu Baduy. Madu Baduy adalah madu yang berasal dari hutan alam di wilayah Kanekes (kawasan hutan yang dilindungi oleh masyarakat Baduy di propinsi Banten).

Madu hutan ini dikumpulkan dari pohon-pohon kayu di hutan sejak dahulu sebagai bagian dari pemanfaatan hasil hutan. Setelah dikumpulkan langsung dimasukkan ke dalam botol dan dipasarkan oleh pengumpul ke wilayah Bogor dan Jakarta. Madu hutan ini asli dan tidak menggunakan bahan tambahan lainnya (100% murnu madu hutan).

Madu Baduy sangat baik untuk kesehatan terutama untuk mempertahankan stamina tubuh agar tetap fit dan fresh.

Kawasan Ekosistem Halimun adalah kawasan hutan di bagian barat pulau Jawa yang tersisa. Kawasan ini kaya dengan sumberdaya alam.

Selain itu sekelompok masyarakat adat yang masih mempertahankan adat dan tradisinya juga bertempat tinggal di dalamya. Sehingga dapat menjaga kelestarian kekayaan alam yang ada. Kelompok masyarakat adat tersebut dikenal dengan nama ?masyarakat adat kasepuhan?.
 
AS dan Uni Eropa menuju kesetaraan standar produk organik

AS dan Uni Eropa menuju kesetaraan standar produk organik


Departemen Pertanian AS (United States Department of Agriculture-USDA) dan Komisi Masyarakat Eropa kini tengah membahas kesepakatan perdagangan yang akan melahirkan kesetaraan resmi regulasi organik yang berlaku di Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Demikian ulasan Laura Sayre yang dimuat dalam Jurnal Newfarm Edisi Juni 2004.

Sejak Juni 2002, Badan Pertanian AS untuk urusan luar negeri (Foreign Agricultural Service-FAS) dan Komisi Masyarakat Uni Eropa sedang menyelesaikan sebuah kesepakatan yang akan membawa dua pasar organik terbesar dunia selangkah lebih dekat ke perdagangan yang selaras dalam produk-produk organik bersertifikat.

Pertemuan terbaru mereka diadakan di Washington DC pada tanggal 25?27 Mei 2004. Beberapa pengamat optimis perundingan tersebut akan mendekati kesepakatan pada musim panas tahun ini.

Para peserta pertemuan itu berasal dari FAS, Badan Pemasaran Pertanian (Agricultural Marketing Service-AMS), Perwakilan Dagang AS, Departemen Luar Negeri AS. Dan di pihak Eropa hadir Direktorat Jenderal Pertanian dan Direktorat Jenderal Perdagangan. Meski mendapat sedikit perhatian media, pembicaraan telah jauh ke depan dan menggambarkan kemajuan besar bagi kepentingan pertanian organik di tingkat internasional.

?Perundingan ini akan menjadi preseden, dan menjadi kesepakatan terbesar dalam soal pertanian organik,? kata Allison Thomas, analis ekonomi internasional FAS. Sementara itu, Mark Manis, juru runding dan pakar perdagangan internasional FAS, setuju dengan pernyataan itu.

?Potensi terbaik yang diharapkan dihasilkan dari kesepakatan ini adalah keputusan win-win solution, memfasilitasi ekspor organik langsung dengan dua arah melintasi Samudera Atlantik, dan meningkatkan jumlah produk organik domestik dengan mengembangkan ketersediaan kandungan produk organik,? tambah Manis.

Kunci perundingan itu adalah membangun ?kesetaraan? ketimbang sekedar ?kerelaan,? antara Standard Organik Nasional AS dan standard organik Uni Eropa, seperti Undang-undang No 2092/91.

Kerelaan yang menjadi dasar bagi kebanyakan perdagangan produk organik internasional, sejauh ini mengandung arti sebuah keadaan di mana satu pemerintah yang menentukan sistem sertifikasi organik digunakan di negara lain memenuhi standar organik negara pertama (benar-benar rela mengikuti aturan standar tersebut).

Kesetaraan berarti penentuan pengaturan yang lebih luas, standard organik dua pemerintah tersebut mempunyai tujuan mendasar yang sama, meski keduanya bisa saja berbeda dalam cara bagaimana mereka mencapai tujuan tersebut.

Ada pertanyaan tersisa yang harus dijawab oleh AS dan Uni Eropa yaitu apakah hasil akhir yang diharapkan berupa kesepakatan bilateral atau sepasang kesepakatan sepihak yang tidak terkait, dan tiap kesepakatan memiliki keuntungan dan kerugian?

Selain itu, isu penggunaan antibiotik pada ternak juga menjadi pertanyaan. Standard organik AS mengajukan syarat jika antibiotik digunakan untuk mengobati ternak yang sakit, maka hewan tersebut harus dipisahkan selamanya (dikarantinakan) dari kelompoknya. Sedang aturan organik Uni Eropa mengkhususkan persyaratan untuk mengembalikan ternak tersebut ke kelompoknya setelah selesai pengobatan.

?Ketika memulai perundingan ini, kami harus menyelesaikan 35 isu berbeda,? ujar Mark Manis dari FAS. ?Kini kami akan membahas satu isu, tapi itu isu besar sebab dalam kasus ini, di AS peraturannya sangat jelas. Antibiotik sama sekali tidak diizinkan dalam sistem organik AS.?

Sementara itu menurut Sheldon Weinberg, konsultan bisnis organik dan anggota Badan Dunia IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movements), upaya tersebut wajar dalam perkembangan pasar organik di seluruh dunia dan seharusnya menjadi langkah positif bagi masyarakat organik.

Pada awal perkembangan standard organik nasional, IFOAM menekankan kerelaan masyarakat internasional, dunia yang di dalamnya terdapat ketidakseimbangan dan perbedaan standard organik dari berbagai negara itu secara bertahap harus dihapuskan, dan menghasilkan definisi tunggal mengenai organik.

Bahkan kini IFOAM mendorong isu kesetaraan, gagasan bahwa peraturan-peraturan tentang organik di tingkat nasional dapat saja beragam secara rinci namun memiliki kesamaan tujuan.
 
Bertani beras organik lebih untung daripada beras non-organik

Bertani beras organik lebih untung daripada beras non-organik


Petani beras organik di Boyolali mendapatkan keuntungan lebih banyak dibandingkan petani beras non-organik. Petani beras organik mendapatkan untung 34% dari biaya produksi satu musim sebesar Rp 403.000, sedangkan petani beras non-organik hanya mendapatkan untuk 16% dari biaya produksi atau Rp 212.000.

Demikian kesimpulan hasil penelitian Elsppat di Boyolali tahun 2003. "Dengan luas lahan yang sama petani organik bisa mendapatkan keuntungan hingga dua kali lipat pendapatan petani beras non-organik," demikian disimpulkan Indro Surono, peneliti dari Elsppat, 5 Agustus 2004.

Jika dihitung pendapatan pertani beras perbulan, pendapatan petani organik Rp 100.750 per bulan (jika dihitung satu musim empat bulan dan biaya produksi satu musim Rp 1.192.000) dan petani beras non-organik hanya Rp 53.000 per bulan (dengan biaya tanam satu musim Rp 1.288.000).

Sehingga, petani beras organi di Boyolali tetap menanam beras organik meskipun harus menghadapi banyak kendala. Selain termotivasi karena lebih menguntungkan, mereka bertahan bertani secara organik karena mendapat dukungan dari organisasi pendamping (LESMAN).

Kendala yang mereka hadapi antara lain sulitnya mendapatkan pupuk kandang dengan ajeg. Mereka belum bisa memenuhi pupuk kandang sendiri sehingga mereka harus beli dari luar desa. Meskipun tersedia pupuk organik buatan pabrik, mereka tidak percaya keasliannya dan kualitasnya.

Para petani beras organik juga termotivasi karena muncul kesadaran mutu beras organik lebih sehat, awet, dan lebih enak, selain kesadaran melestarian lingkungan. Mereka belajar dari mengalami, bertani organik lebih baik bagi lingkungan. Mereka melihat di lahan pertanian mereka banyak capung dan kepiting yang jarang ditemukan di lahan pertanian yang menggunakan asupan bahan kimia.

Mereka juga sulit mendapatkan bahan pestisida alami dan benih beras yang diminta konsumen seperti pandan wangi dan rojo lele. Benih padi yang disukai konsumen menipis diganti benih hibrida buatan perusahan pembenihan.
 
Norwegia lambat menerima pangan organik

Norwegia lambat menerima pangan organik


Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Market and Media Institute (MMI), seperti dilaporkan oleh justfood.com (14 Juni 2004), ternyata masyarakat Norwegia termasuk agak lambat menerima pangan organik.

Walaupun pemerintah telah merancang kampanye jangka panjang yang menerangkan berbagai keuntungan pangan organik dan produksi dalam negeri, sikap negatif tetap saja muncul.

Orang Norwegia masih berpendapat lebih penting produk lokal tetapi produk lokal yang organik tidaklah pentin.

Dari survei MMI terungkap, hanya 44% orang Norwegia yang peduli terhadap diet kesehatan mereka, sementara 22% berpendapat hasil produksi harus berasal dari Norwegia sendiri, dan 13% tidak mau membayar lebih harga buah-buahan atau sayuran organik.

Hasil survey ini menunjukkan adanya perubahan berpikir orang Norwegia. Surat kabar Nationen mencatat, hingga 2001 ada peningkatan kepedulian orang Norwegia terhadap kesehatan dan keamanan pangan.

Sejauh ini, berbagai program penyadaran kembali dan promosi pangan tradisional hasil bangsa Norwegia, mulai kehilangan pamornya yang hanya 50% masyarakat menunjukkan minat terhadap produk lokal, jumlah yang stabil sejak 1997.

Seorang analis yang ditanya surat kabar The Nationen menyalahkan miskinnya kampanye informasi sebagai penyebab gagalnya upaya meyakinkan ?para pelopor trend.?
 
menjual produk organik impor di AS

Ada tiga jalan yang bisa ditempuh untuk menjual produk organik impor di AS


Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan Program Organik Nasional Departemen Pertanian AS, eksportir dari negara lain harus mengikuti tiga jalan atau cara untuk dapat menjual produk pertanian organik di Amerika Serikat.

Berdasarkan laporan Laura Sayre dalam Jurnal Newfarm Edisi Juni 2004, produk impor organik bisa mengikuti tiga proses sebelum bisa resmi dijual di wilayah Amerika Serikat. Proses pertama bersifat sangat umum. Produk impor harus mendapatkan sertifikat dari badan sertifikasi yang telah diakreditasi oleh Deptan AS. Silahkan lihat informasi mengenai badan sertifikasi di situs The National Organic Program.

Jumlah badan sertifikasi yang telah diakrediasi oleh Deptan AS adalah 93. Sebanyak 39 badan sertifikasi berada di negara lain. Ada enam badan sertifikasi yang sudah diakreditasi Deptan AS berkedudukan di Kanada, enam di Jerman, lima di Italia, empat di Argentina, tiga di Belanda, dua di Australia, dua di Swiss, dan masing-masing satu di Austria, Brazil, Bolivia, Costa Rica, Perancis, Yunani, Guatemala, Israel, Peru, Spanyol, dan Turki.

Badan-badan sertifikasi asing tersebut telah mengajukan permohonan ke Deptan AS untuk mendapat akreditasi berdasarkan persyaratan yang sama untuk pemohon domestik.

Dua jalan lainnya yaitu melalui recognition of conformity assessment dan equivalency determination dari Deptan AS.

Jalan "recognition of conformity assessment" atau penilaian pengakuan kesamaan maksudnya Deptan AS mengakui kemampuan pemerintah negara lain melakukan akreditasi badan sertifikasi yang bisa melakukan sertifikasi sesuai dengan persyaratan National Organic Program Deptan AS.

Sedangkan equivalency determination adalah standar produk organik negara pengeksport sama dengan standar produk organik AS. Contohnya adalah yang sedang dirundingkan antara AS dan Uni Eropa.

Deptan AS telah mengeluarkan recognition of conformity untuk Denmark, Selandia Baru, Inggris, dan Kanada (untuk dua negara bagian Quebec dan British Columbia). Sedangkan kajian recognition of conformity untuk Israel dan Spanyol ditunda.

Selain permintaan Uni Eropa, permintaan untuk mendapatkan equivalency determination diajukan pula oleh India, Jepang, Australia dan Costa Rica.
 
Produk organik Uni Eropa sudah berkembang

Produk organik Uni Eropa sudah berkembang sebelum ada aturan bersama


Perkembangan pesar produk organik di Uni Eropa hingga seperti sekarang ini tidak terjadi dalam waktu singkat. Jauh sebelum ada peraturan tentang pertanian organik, yang berlaku sejak tahun 1993, negara-negara di Eropa Barat (Inggris, Denmark, Swiss, Austria dan Swedia) telah mulai dengan aturan-aturan yang mereka buat sendiri.

Hal itu disampaikan Antonius Waspo, Direktur Eksekutif Elsppat (salah satu organisasi pelaku/pendamping petani organik di Indonesia) pada beritabumi.or.id tanggal 20 Agustus 2004, menanggapi perkembangan produk organik di Uni Eropa pada tahun 2004 ini.

Perkembangan pesat produk organik di Uni Eropa, diantaranya ditunjukkan oleh nilai pemasaran kedelai di Eropa yang mencapai US 1,8 dollar (Baca Pasar Kedelai Eropa). Selain itu, ditunjukkan pula dengan nilai pemasaran produk organik di Eropa Barat yang mencapai nilai 11 miliar euro (Lihat Peluang Organik di Uni Eropa).

Adanya penambahan negara anggota baru Uni Eropa membuat pertanian organik bertambah hingga 150% antara tahun 1999 dan 2003 di wilayah tersebut. Ada sekitar 514.000 ha pertanian organik di negara anggota baru Uni Eropa.

Republik Czech sendiri memiliki pertanian organik seluas 235.136 ha di wilayahnya, sekitar 5% dari semua pertanian di negara tersebut. Ini lebih luas dari pertanian organik Uni Eropa yang sekitar 3,5%.

Menurut Waspo, Uni Eropa mengeluarkan peraturan tentang pertanian organik untuk tanaman pangan sejak tahun 1991 lewat EEC Regulation 2092/1991 yang berlaku sejak 1993. Lalu untuk produk pangan dari hewan lewat EEC Regulation 1804/1999 yang berlaku sejak 2000. Keduanya memuat syarat minimum standard produksi, pemasaran, pelabelan dan sertifikasi.

Ia menjelaskan negara-negara anggota Uni Eropa memiliki peraturan tentang pertanian organik yang selaras satu sama lain. Selain itu, di Uni Eropa berkembang aturan tidak tertulis, bahwa tidak menerima impor produk yang bisa dihasilkan di negara anggota Uni Eropa.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat pendapatan dan tingkat kesadaran masyarakat di sana. Tingkat pendapatan yang tinggi membuat tingginya konsumsi produk organik yang bisa 20-30% lebih mahal.

Mengenai tingkat kesadaran masyarakat di sana, Waspo menyatakan, ?Mengapa mereka mau beli yang mahal, tentu ada hubungannya dengan tingkat kesadaran tentang pangan yang sehat, entah dalam prespektif keamanan pangan, konservasi lingkungan atau sekedar trend.?
 
Petani beras organik lebih untung dari konvensional

Petani beras organik lebih untung dari konvensional

Secara umum dapat dikatakan bahwa petani beras organik diuntungkan dengan sistem pemasaran yang ada. Mereka juga menerima keuntungan lebih baik dari petani konvensional. Namun tetap yang paling diuntungkan adalah pengecer di kota.

Demikian hasil penelitian tentang pemasaran beras organik di Boyolali, Jawa Tengah yang disampaikan oleh Indro Surono dari Elsppat bulan Juli 2004 lalu. Penelitian dilakukan oleh Elsppat

Dalam sistem pemasaran, petani beras organik menerima keuntungan per kg sebesar Rp 732,73, pedagang grosir sebesar Rp 400 dan pengecer sebesar Rp 2.940. Pembagian nilai tambah yang diperoleh dari total keuntungan oleh petani adalah sebesar 23,84%, pedagang grosir 13% dan pengecer 63,16%.

Dari pembagian itu, petani mendapat nilai tambah (keuntungan) cukup tinggi dan lebih tinggi dari pedagang grosir, namun lebih rendah dari pengecer. Harga jual yang tinggi di tingkat pengecer disebabkan oleh tingginya daya beli konsumen.

Sedangkan petani konvensional menerima keuntungan per kg sebesar Rp 141,33 (15% nilai tambah), penggilingan sebesar Rp 625,24 (65% nilai tambah) dan pengecer sebesar Rp 200 (20% nilai tambah). Jelas nampak, petani konvensional menerima nilai tambah lebih rendah dari pelaku lain di rantai pemasarannya dan juga dari petani organik.

Menurut Indro Surono sejauh ini Pasar Tani telah menjembatani masalah ini dengan mengadopsi prinsip transparansi penentuan harga hingga ke konsumen. Misalnya dalam kontrak dengan pengecer, mereka telah memasukkan kesepakatan harga akhir ke konsumen.

Namun dalam prakteknya, ada pengecer yang menaikkan harga jual ke konsumen lebih tinggi dari harga kesepakatan kontrak dengan Pasar Tani. Bahkan kecenderungan sekarang, banyak pedagang yang langsung mengambil beras organik (maupun yang kemudian diklaim organik) ke petani atau penggilingan dengan harga sedikit lebih mahal dari konvensional dan menjual ke konsumen dengan harga yang lebih mahal.

?Di daerah penelitian, rantai pemasaran untuk beras organik dan konvensional relative sama panjang. Bahkan rantai beras organik bisa lebih panjang, baik dalam hal jarak dan kepemilikan,? kata Indro Surono menjelaskan.

Sebagai contoh:

Jalur beras organik adalah (1) petani (panen, giling) ? (2) Pasar Tani (Boyolali) ? (3) Indorice (Bogor, Jakarta) ? (4) konsumen (Bogor, Jakarta).

Jalur beras konvensional: (1) petani (panen, Boyolali) ? (2) tengkulak/ penggilingan (Boyolali)? (3) pedagang/grosir (Boyolali, Solo)? (4) konsumen (Boyolali, Solo).

Bahkan jalur organik bisa lebih panjang: (1) petani (Boyolali) ? (2) Pasar Tani (Boyolali) ? (3) MBI (Malang) ? (4) KUD/swalayan ? (5) konsumen (Malang).
Dukungan pasar alternatif juga tidak menjamin rantai pemasaran lebih pendek (karena konsumen lokal terbatas jumlahnya) dan bagian keuntungan petani yang lebih besar. Bahkan, kecenderungan masuknya ?pemain besar? dalam bisnis pertanian organik dikawatirkan akan melanggengkan rendahnya nilai tambah yang diterima petani kecil.

Baik usahatani beras organik dan konvensional, bagian keuntungan perdagangan (marjin tata niaga) juga masih lebih besar dinikmati oleh penggilingan, pedagang dan pengecer. Posisi tawar petani masih lemah dan sebagai penerima harga dalam transaksi.

Jalur pemasaran beras organik Boyolali (dalam penelitian) dapat mereflksikan kondisi pemasaran di Jawa. Hal itu disebabkan jalur pemasaran utama sekarang, yang dilakukan Pasar Tani atau Sahani, situasinya tidak jauh berbeda dengan daerah penelitian ini.
 
Ekspor produk organik ke Uni Eropa

Ekspor produk organik ke Uni Eropa harus bersertifikasi dari badan sertifikasi UE


Untuk bisa mengekspor produk organik ke Uni Eropa produsen harus mendapatkan sertifikasi produk dari badan sertifikasi yang berpengaruh di Uni Eropa. Artinya, produsen harus mendapatkan sertifikat dari badan sertifikasi Uni Eropa meskipun sudah mendapatkan sertifikat dari badan lainnya.

Demikian disampaikan Antonius Waspo, Direktur Eksekutif Elsppat (salah satu organisasi pelaku dan pendamping petani organik di Indonesia), pada beritabumi.or.id tanggal 20 Agustus 2004).

Pengalaman perdagangan dan sertifikasi produk organik yang jauh lebih dahulu membuat konsumen sudah memiliki loyalitas pada merek tertentu. Merek terkemuka yang mendapatkan sertifikat organik dari badan sertifikasi tersebut akan membuat produsen dari negara berkembang akan kalah bersaing.

?Adanya penambahan jumlah anggota Uni Eropa (sebagian besar anggota baru dari Eropa Timur bekas blok Uni Soviet -Red), membuat peluang ekspor ke Uni Eropa makin mengecil. Umumnya ini berlaku pada produk buah, sayuran dan biji-bijian serealia,? jelas Waspo.

Badan sertifikasi yang berpengaruh di Uni Eropa yaitu KRAV (Swedia), SKAL (Belanda), Soli Asociation (Inggris).

Sedangkan prosedur ekspor produk organik ke Uni Eropa dibagi dalam dua kategori yaitu :

-Pertama, melalui negara ketiga yang telah diakui oleh Uni Eropa (EEC 2092/91 art 11, para 1-5). Saat ini ada sembilan negara yang masuk kategori ini: Argentina (ARGENCERT dan OIA), Australia (AQUIS, BDRI, BFA, OVAA, OHGA dan NASAA), Israil (Plant Protection and Inspection Services), Republik Checz (Ministry for Agriculture, KEZ o.p.s.), Hungaria (Biokontroll Hungaria, SKAL), Swiss (Bio Inspecta AG, IMO dan SQS). Negara-negara ini diakui karena telah memiliki peraturan tentang pertanian organik beserta sistem inspeksi dan monitoring yang jelas dan setara dengan peraturan di Uni Eropa.

-Kedua, melalui ijin impor (EEC 2092/91 Pasal 11, Alinea 6) yang berlaku untuk semua negara di luar daftar yang ada di atas. Izin impor ini dikeluarkan setelah badan sertifikasi internasional yang diakui oleh Uni Eropa memastikan bahwa pihak importir dan eksportir memberikan semua informasi yang diperlukan sesuai aturan yang berlaku di Uni Eropa.

Pada kategori pertama di atas, produsen dari negara tersebut dapat mengekspor produknya ke Uni Eropa dengan cukup mendapat sertifikat atau akreditasi tambahan. Untuk dapat dimasukkan dalam daftar negara yang diakui sebagai pihak ketiga (kategori pertama), maka negara atau badan sertifikasi tersebut harus mendaftarkan diri ke Komisi Eropa di Brusell.

Produsen tersebut harus dengan jelas menyertakan bukti tentang informasi dan penyesuaian peraturan negara asal dengan peraturan di Uni Eropa. Termasuk juga dengan jelas menyebutkan metode organis dan sistem dokumentasi yang dilakukan dengan menyesuaikan kebutuhan dari Eropa. Batas akhir untuk masuk dalam daftar ini adalah 31 Desember 2005.

Sebuah produk tentu akan lebih mudah diterima di pasar Eropa jika diketahui mendapat sertifikat organis dari badan sertifikasi dalam daftar negara di atas. Sehingga badan sertifikasi dari negara yang diakui oleh Uni Eropa akan memiliki peluang besar untuk diminta melakukan sertifikasi di negara lain.

Untuk kategori kedua, terdapat konsekuensi pihak produsen yang akan mengekspor produknya ke Eropa harus bekerja sama langsung dengan importir di negara tujuan.

Meski sangat tergantung dari masing-masing negara anggota Uni Eropa, secara umum perusahaan importir harus mendapatkan persetujuan kontrak inspeksi dari badan sertifikasi di Uni Eropa. Ketentuan ini yang dapat memunculkan biaya tinggi dalam proses sertifikasi karena umumnya di negara berkembang belum banyak lembaga sertifikasi yang telah diakui oleh negara anggota Uni Eropa.
 
Kecambah organik tercemar Salmonella

Kecambah organik tercemar Salmonella


Kecambah sejenis tanaman alfalfa (sejenis tanaman berdaun seukuran ibu jari dengan bunga berwarna ungu) keluaran perusahaan Aconbury, diketahui kemungkinan telah terkontaminasi bakteri Salmonella.

Demikian dilaporkan ?just-food.com? pertengahan Juli 2004 lalu. Kasus ini juga telah mendapat perhatian Badan Standard Pangan pemerintah Inggris (Food Standards Agency atau FSA).

FSA memperingatkan konsumen agar tidak memakan sayuran tersebut dalam keadaan mentah. Hasil uji pada produk Aconbury tersebut menemukan racun yang berasal dari kutu pada alfalfa organik. FSA telah meminta pihak berwenang setempat untuk menarik kembali sejumlah benih yang telah terjual sejak diketahui terkontaminasi. Namun karena benih kecambah yang tercemar tersebut dapat hidup hingga 28 July 2004, kemungkinan beberapa konsumen telah membeli kecambah tersebut.

Setiap orang yang telah membeli kecambah alfalfa tersebut dianjurkan tidak memakannya, karena ada resiko akan menderita keracunan makanan. Kecambah alfalfa biasanya dimakan mentah sebagai salad atau sandwich, sehingga konsumen tidak mematikan kutu tersebut dengan jalan memasaknya.

Perusahaan Aconbury Aprouts yang berpusat di Herefordshire, Inggris, memasok benih kecambah organik ini ke seluruh negeri. Kebanyakan produk yang telah tercemar itu dipercaya, hingga memasuki toko-toko makanan sehat, pasar-pasar, dan pedagang eceran kecil ketimbang pasar-pasar swalayan yang besar.
 
Ekspor produk organik ke Uni Eropa

Pertanian organik tak sekedar kata
Suharso - 19 Aug 2004 05:33

Saya bekerja sebagai petani sejak tahun 1963, kurun waktu yang cukup lama bila dihitung sampai sekarang. Jangka waktu yang panjang itu telah banyak memberikan gambaran kepada saya mengenai perubahan pembangunan di sektor pertanian.

Pembangunan di sektor pertanian bukan lagi bagaimana cara meningkatkan pendapatan petani, tetapi lebih menekankan pada peningkatan kuantitas (jumlah) produksi. Sehigga petani sebagai produsen hanya bisa memproduksi padi lebih meningkat secara kuantitas tanpa bisa menikmati tambahan penghasilan.

Saya percaya banyak petani pandai meningkatkan produksi, namun analisa usaha tani sangat kurang diperhatikan dan diperhitungkan. Bila biaya produksi untuk pembelian pupuk dan pestisida sangat tinggi dan yang penting hasilnya naik, apa yang akan terjadi kalau bukan kerugian?

Itulah gambaran singkat yang bisa saya tangkap dari dampak pembangunan pertanian dengan kebijakan Revolusi Hijau di masa Orde Baru.

Tahun 1996, ketika bertemu dengan kawan-kawan Peduli Lingkungan, perjalanan saya diarahkan ke pertanian yang tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Secara besar-besaran saya pindah ke pertanian organik seperti yang dilakukan nenek moyang.

Untuk menindaklanjuti gagasan pertanian organik dari teman-teman Peduli Lingkungan, saya mengajak teman-teman petani mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan pentingnya bertani organik bersama teman-teman Peduli Lingkungan.

Setelah teman-teman petani memahami, akhirnya setuju melakukan budi daya secara organik. Tahap awal yang melakukan pertanian organik sebanyak 15 orang, dengan luas lahan keseluruhan 20 ha. Pada waktu itu setiap satuan luas 2.000 meter persegi, lahan yang dipakai untuk melakukan kegiatan pertanian organik diberi pupuk kandang sebanyak empat colt. Bila yang digunakan adalah pupuk yang sudah jadi, setiap 2.000 meter persegi diberikan sebanyak 500 kg.

Untuk menanggulangi hama digunakan obat-obatan yang dibuat sendiri dari bahan yang ada di sekitar, seperti daun mimbo, kenikir, kemangi, pandangwangi, sambiloto dan sebagainya.

Perkembangan selanjutnya petani menjadi tahu bahwa bertani organik ini lebih irit (hemat) dan mudah. Meskipun hasilnya secara kuantitas mengalami penurunan sementara, jika dihitung dan dianalisa secara ekonomi hasilnya tidak kalah atau bahkan bisa lebih tinggi.

Dampaknya, anggota yang ikut budi daya organik semakin bertambah. Pada waktu itulah dibentuk kelompok dengan nama Kelompok Tani Ngudi Mulyo yang diketuai oleh Gianta, Wakil Ketua: Maryono, Sekretaris: Slamet, Bendahara: Harni; dan Penghubung: Mursito.

Melalui kesepakatan kelompok, pertemuan kelompok diadakan setiap 35 hari sekali (selapanan) dengan tempat bergantian. Di samping itu ada juga pertemuan tiga bulanan dengan kelompok tani lain dari Sawangan, Boyolali, Bantul, Sragen dan Walikukun.

Pada tahun 1999 saya menanam padi jenis lokal rojolele. Hasilnya baik dan harganya tinggi. Kemudian untuk tanam berikutnya saya mencoba sistem TOT (tanpa olah tanah) dengan menyisakan tanaman (singgang). Dengan cara singgang ini hasilnya tidak kalah dengan padi VUTW.

Ketika saya menulis TOT di atas papan kayu dan saya tancapkan di lahan sebagai tanda peringatan agar sawah tidak diinjak-injak kerbau, seorang petani menghampiri saya dan mengatakan bahwa TOT itu singkatan dari ?tani ora tatanan? (bertani tanpa aturan) karena tidak mengeluarkan biaya. Itu sebagai guyonan, dia cukup terkesan dan ingin ikut mencoba. Sampai sekarang pun saya masih tani organik.

Hanya itu yang bisa saya haturkan dari pengalaman bertani organik. Sebagai penutup, semoga bubi daya secara organik tidak hanya sebagai kata-kata manis yang enak didengar, tetapi enggan dilakukan.

Suharso, petani di Dukuh-Segaran, Delanggu - Klaten, Jawa Tengah.

(Catatan Redaksi: tulisan diambil dari buku ?Belajar dari Petani. Kumpulan pengalaman bertani organik,? editor Wangsit St. dan Daniel Supriyana, diterbitkan oleh SPTN-HPS ? Lesman ? Mitra Tani).
 
Pertanian organik tak sekedar kata

Pertanian organik tak sekedar kata


Saya bekerja sebagai petani sejak tahun 1963, kurun waktu yang cukup lama bila dihitung sampai sekarang. Jangka waktu yang panjang itu telah banyak memberikan gambaran kepada saya mengenai perubahan pembangunan di sektor pertanian.

Pembangunan di sektor pertanian bukan lagi bagaimana cara meningkatkan pendapatan petani, tetapi lebih menekankan pada peningkatan kuantitas (jumlah) produksi. Sehigga petani sebagai produsen hanya bisa memproduksi padi lebih meningkat secara kuantitas tanpa bisa menikmati tambahan penghasilan.

Saya percaya banyak petani pandai meningkatkan produksi, namun analisa usaha tani sangat kurang diperhatikan dan diperhitungkan. Bila biaya produksi untuk pembelian pupuk dan pestisida sangat tinggi dan yang penting hasilnya naik, apa yang akan terjadi kalau bukan kerugian?

Itulah gambaran singkat yang bisa saya tangkap dari dampak pembangunan pertanian dengan kebijakan Revolusi Hijau di masa Orde Baru.

Tahun 1996, ketika bertemu dengan kawan-kawan Peduli Lingkungan, perjalanan saya diarahkan ke pertanian yang tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Secara besar-besaran saya pindah ke pertanian organik seperti yang dilakukan nenek moyang.

Untuk menindaklanjuti gagasan pertanian organik dari teman-teman Peduli Lingkungan, saya mengajak teman-teman petani mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan pentingnya bertani organik bersama teman-teman Peduli Lingkungan.

Setelah teman-teman petani memahami, akhirnya setuju melakukan budi daya secara organik. Tahap awal yang melakukan pertanian organik sebanyak 15 orang, dengan luas lahan keseluruhan 20 ha. Pada waktu itu setiap satuan luas 2.000 meter persegi, lahan yang dipakai untuk melakukan kegiatan pertanian organik diberi pupuk kandang sebanyak empat colt. Bila yang digunakan adalah pupuk yang sudah jadi, setiap 2.000 meter persegi diberikan sebanyak 500 kg.

Untuk menanggulangi hama digunakan obat-obatan yang dibuat sendiri dari bahan yang ada di sekitar, seperti daun mimbo, kenikir, kemangi, pandangwangi, sambiloto dan sebagainya.

Perkembangan selanjutnya petani menjadi tahu bahwa bertani organik ini lebih irit (hemat) dan mudah. Meskipun hasilnya secara kuantitas mengalami penurunan sementara, jika dihitung dan dianalisa secara ekonomi hasilnya tidak kalah atau bahkan bisa lebih tinggi.

Dampaknya, anggota yang ikut budi daya organik semakin bertambah. Pada waktu itulah dibentuk kelompok dengan nama Kelompok Tani Ngudi Mulyo yang diketuai oleh Gianta, Wakil Ketua: Maryono, Sekretaris: Slamet, Bendahara: Harni; dan Penghubung: Mursito.

Melalui kesepakatan kelompok, pertemuan kelompok diadakan setiap 35 hari sekali (selapanan) dengan tempat bergantian. Di samping itu ada juga pertemuan tiga bulanan dengan kelompok tani lain dari Sawangan, Boyolali, Bantul, Sragen dan Walikukun.

Pada tahun 1999 saya menanam padi jenis lokal rojolele. Hasilnya baik dan harganya tinggi. Kemudian untuk tanam berikutnya saya mencoba sistem TOT (tanpa olah tanah) dengan menyisakan tanaman (singgang). Dengan cara singgang ini hasilnya tidak kalah dengan padi VUTW.

Ketika saya menulis TOT di atas papan kayu dan saya tancapkan di lahan sebagai tanda peringatan agar sawah tidak diinjak-injak kerbau, seorang petani menghampiri saya dan mengatakan bahwa TOT itu singkatan dari ?tani ora tatanan? (bertani tanpa aturan) karena tidak mengeluarkan biaya. Itu sebagai guyonan, dia cukup terkesan dan ingin ikut mencoba. Sampai sekarang pun saya masih tani organik.

Hanya itu yang bisa saya haturkan dari pengalaman bertani organik. Sebagai penutup, semoga bubi daya secara organik tidak hanya sebagai kata-kata manis yang enak didengar, tetapi enggan dilakukan.

Suharso, petani di Dukuh-Segaran, Delanggu - Klaten, Jawa Tengah.

(Catatan Redaksi: tulisan diambil dari buku ?Belajar dari Petani. Kumpulan pengalaman bertani organik,? editor Wangsit St. dan Daniel Supriyana, diterbitkan oleh SPTN-HPS ? Lesman ? Mitra Tani).
 
Bertani makuta dewa secara organik

Bertani makuta dewa secara organik

Kelompok Tani Sedyo Lestari berawal dari sekelompok anggota masyarakat yang tergabung dalam kelompok belajar paket B (Kejar Paket B) di Dusun Ngruno, Pengasih, Kulon Progo yang diselenggarakan oleh Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon Progo. Jumlah peserta kelompok belajar ada 25 orang dan telah dinyatakan lulus semua.

Peserta sebanyak 25 orang tersebut kemudian bergabung dalam program lanjutan dari kelompok belajar. Mereka bergabung dalam kelompok tani dengan kegiatan mengadakan pertemuan rutin dan arisan. Pada tahun 2002 Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) memiliki program life skill bagi tamatan Kejar Paket B.

Program life skill dilaksanakan bersama LSM Bina Insan Mandiri Kulon Progo sebagai lembaga mitra pendamping. Program life skill ini berjudul pemanfaatan lahan kosong. Program dilaksanakan di pekarangan Kantor Dinas Pendidikan Kulon Progo dengan fokus kegiatan: budi daya tanaman obat makuta dewa.

Kegiatan dilanjutkan dengan pendampingan kelompok yang dilaksanakan oleh Bina Insan Mandiri yang lebih menekankan pada pertanian berwawasan lingkungan. Kegiatan diawali dengan sosialisasi budi daya tanaman makuto dewa yang saat ini sedang dikembangkan oleh Bina Insan Mandiri di Kabupaten Kulon Progo.

Peluang usaha tani makuta dewa, menurut pengalaman, dapat memberi tambahan pendapatan bagi masyarakat. Hasil pendampingan banyak membuka wawasan para anggota untuk lebih menekuni pertanian berwawasan lingkungan, di mana kegiatan tersebut menjadi tumpuan mata pencaharian anggota kelompok.

Pengalaman lapangan

Petugas rutin Bina Insan Mandiri memberi banyak motivasi bagi kelompok dan mengawali dengan penanaman makuta dewa di lahan pekarangan SKB (Sanggar Kegiatan Belajar). Pendampingan selanjutnya dilakukan di kelompok secara rutin dengan materi pelatihan di antaranya: pembuatan kompos dan obat alami (pestisida alami ? Red).

Hasil pelatihan pembuatan kompos telah memberikan banyak manfaat bagi kelompok, yaitu produksi kompos. Kompos telah laku dijual, di samping dipergunakan bagi kepentingan sendiri. Hasil penjualan setiap dua minggu sebanyak 2.000 kg x Rp 300 = Rp 600.000. Untuk obat alami kurang banyak digunakan mengingat tanaman keras yang berada dilingkungan masyarakat tidak banyak terkena hama tanaman.

Pengerjaan lahan pekarangan dilakukan dalam kelompok kerja. Setiap kelompok ada lima orang anggota. Setiap kelompok bergiliran mengerjakan lahan dua hari sekali. Setiap kelompok secara bergiliran berkewajiban merawat tanaman. Segala peralatan yang dipergunakan untuk kegiatan pertanian disediakan oleh SKB.

Bina Insan Mandiri di samping memberikan pendampingan rutin kepada kelompok, banyak memberikan ilmu pengetahuan tentang pertanian dan memfasilitasi dalam menjalin kerja sama dengan petani lestari lainnya. Dengan mengikuti berbagai pelatihan dan seminar tentang pertanian berwawasan lingkungan, wawasan anggota kelompok semakin luas dan berkembang.

Pemanfaatan lahan kosong di Dinas Pendidikan Kulon Progo telah dikerjakan di masing-masing anggota kelompok. Pertanian yang kami lakukan sebagai hasil pendampingan menjadikan pola pertanian kami dapat menekan dan menghemat biaya operasional petani. Harapan kami dari pertemuan dengan sesama petani ini akan diperoleh banyak ilmu pengetahuan pertanian yang dapat dikembangkan ke kelompok tani.

Sukarjo, anggota Kelompok Tani Sedyo Lestari, Dusun Ngruno, Karangsari, Pengasih, Kulon Progo, DI Yogyakara.

(Catatan Redaksi: tulisan diambil dari buku ?Belajar dari Petani. Kumpulan Pengalaman Bertani Organik,? editor Wangsit St dan Daniel Supriyana, diterbitkan oleh SPTN-HPS ? Lesmana ? Mitra Tani)
 
Penjualan produk organik di Amerika Utara meningkat 20,4 persen

Penjualan produk organik di Amerika Utara meningkat 20,4 persen


Penjualan makanan organik tahun 2003 di Amerika Utara meningkat 20,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dengan total nilai US$10,38 miliar. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Organic Trade Association menunjukkan Penjualan makanan organik berkembang antara 17-21 persen setiap tahun sejak 1997.

Hasil survei 2004 Manufacturer Survey dilaporkan dalam konferensi dan pameran perdagangan mengenai organik di McCormick Place, Chicago, Amerika Serikat, belum lama ini.

Tahun 2003 penjualan buah-buahan dan sayuran organik sekitar 42 persen dari penjualan makanan organik. Sedangkan daging, unggas dan ikan organik hanya satu persen dari penjualan makanan organik, tetapi kemudian meningkat cepat sampai 78 persen selama tahun 2003.

Salah satu nara sumber dalam konferensi itu, Barbara Haumann dari Organic Trade Assotiation (OTA) mengatakan pasar daging organik adalah salah satu sektor organik yang termasuk berkembang pesat. Penjualan daging organik dan produk daging diharapkan berkembang dari US$547 juta tahun 2002 menjadi US$3.86 miliar tahun 2007, menurut perkiraan Dataminator, sebuah perusahaan riset pasar.

Sejak diterapkan standard organik nasional di Amerika Serikat pada tanggal 21 Oktober 2002, sektor organik menunjukkan adanya peningkatan. Penjualan dan produksi produk organik di Amerika Serikat terus berkembang dengan baik, ungkap Barbara Haumann.

Peningkatan tersebut juga karena dukungan National Organic Program yang pada tanggal 13 November 2003, telah memberi akreditasi 89 lembaga sertifikasi, 53 berdasar serifikasi Amerika Utara dan 36 dari seluruh dunia. Keputusan ini penting untuk negara lain agar bisa mengekspor produk organik dan memasarkan produk mereka di Amerika Utara.

Dukungan juga datang dari Risk Management Agency dan Economic Research Service (dari Departemen Pertanian AS), Federal Crop Insurance Corporation, dan lembaga tingkat nasional lainnya.

Berkaitan dengan konsumen, Food Marketing Institute (FMI) melaporkan kecenderungan di AS yaitu pada tahun 2003 tercatat 55 persen konsumen memperhatikan produk berlabel organik.

Laporan "The 2003 Whole Foods Market Organic Foods Trend Tracker" mengungkapkan jajak pendapat 1.000 konsumen di Amerika Utara bulan Oktober 2003 mengindikasikan 54 persen konsumen di Amerika Utara telah mencoba makanan organik dengan 32,3 persen menyatakan telah mengkonsumsi makanan dan minuman organik setahun lalu.

Pertanian Kanada memperkirakan penjualan produk organik akan bertambah 20 persen pada tahun 2003 menjadi 3,1 miliar dollar Kanada (sekitar 2,4 miliar dollar AS).

Sejak tahun 1999, industri Kanada mempunyai standard organik secara suka rela. Pada bulan Januari 2003, pelaku industri bertemu dengan perwakilan dari Agriculture and Agri-Foods Canada.
 
Back
Top