Transgenik dan permasalahannya

nurcahyo

New member
Produk transgenik sebabkan petani tidak mandiri

Produk transgenik sebabkan petani tidak mandiri


Pertanian dengan menggunakan produk rekayasa genetika atau transgenik dapat mengakibatkan ketergantungan petani pada pihak lain termasuk perusahaan penghasil produk transgenik. Petani hanya akan mendapatkan benih transgenik dari perusahaan. Begitu pun teknik penanaman dan perawatannya. Petani tidak akan mandiri mengembangkan kreativitasnya sendiri dalam pemanfaatan plasma nutfah di sekitarnya.

Hal itu akan mengakibatkan hilangnya plasma nutfah dan varietas lokal. Selain itu, perusahaan atau pihak swasta yang biasanya merupakan perusahaan multinasional akan lebih menguasai atau memonopoli sistem pertanian daerah setempat melalui produk transgeniknya.

Demikian terungkap dalam acara diskusi "Semiloka Potensi dan Risiko Tanaman Rekayasa Genetika terhadap Pertanian Berkelanjutan" di Universitas Bengkulu, Bengkulu, Kamis (7/12).

Produk transgenik juga menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan dampaknya pada kesehatan dan lingkungan. Jaminan tentang keamanan produk transgenik tidak ada. Menurut Dr Dwi Andreas Santosa sebagai Staf Pengajar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), selama ini uji produk yang dihasilkan dari proses laboratorium itu hanya dilakukan pada hewan. Sedangkan pada manusia belum pernah dilakukan. Perusahaan juga tidak transparan dalam menyampaikan hasil ujinya.

Menurut Suprapto, salah satu peserta semiloka yang pernah bekerja untuk salah satu perusahaan besar penghasil benih transgenik, pihak perusahaan tidak bersedia menunjukkan hasil uji tersebut. Padahal Suprapto merupakan salah satu tenaga yang ikut dalam pengumpulan bahan-bahan uji dari lapangan.

Untuk itu peserta semiloka yang tidak ingin mendapat dampak yang membahayakan pada kesehatan dan lingkungannya, menyatakan menolak menggunakan produk transgenik. Meski demikian pilihan menolak ataupun menerima produk transgenik, bagi peserta semiloka diserahkan pada masyarakat itu sendiri dengan risiko masing-masing.

Bagi yang menolak, produk transgenik dinilai merugikan ekologi karena menyebabkan hama serangga lebih resisten, bisa bermutasi dan ditakutkan dapat masuk ke peredaran darah manusia. Semua itu merupakan dampak yang tidak terungkap secara terbuka dibandingkan keuntungan produk transgenik yang selalu disampaikan pada masyarakat.

Sementara bagi yang menerima, produk transgenik dinilai dapat memberi keuntungan. Dari harga benih yang murah, jumlah panen yang lebih besar, mudahnya pemasaran, sampai dapat dijadikan sebagai obat penyakit deabetes. Namun sikap menerima ini menurut Tita, hendaknya dapat mempertimbangkan ada tidaknya residu berbahaya dalam 30 tahun ke depan.

Melihat adanya perbedaan masyarakat untuk menerima atau menolak produk transgenik, pemerintah harus melakukan sosialisasi secara terbuka tentang dampak produk transgenik dan kebijakan yang terkait hal itu. Demikian pula, produk transgenik harus berlabel. Sehingga masyarakat dapat mudah memilih menggunakan atau tidak, menerima atau menolak.

Organik menguntungkan

Dalam kesempatan yang sama, peserta semiloka juga menyatakan bahwa sistem pertanian organik memberi dampak yang menguntungkan. Tanpa menggunakan asupan kimia, pertanian organik memberi dampak lebih baik pada lingkungan dan kesehatan. Sementara nilai ekonominya juga sangat tinggi.

Namun disayangkan, pertanian organik belum tersosialisasikan oleh pemerintah ataupun para stakeholders, butuh modal yang besar, dan belum tersedianya pasar. Padahal di negara besar seperti Amerika Serikat, telah membuka pasar bagi produk organik.

Sehingga untuk mengembangkan pertanian organik ini diperlukan penjelasan yang lengkap mengenai keunggulan dan dampak produk pertanian organik. Baik pada petani, konsumen, maupun pemerintah itu sendiri. Disamping itu, pengembangan pertanian organik harus berawal dari pengetahuan dan sistem pertanian lokal setempat. Pengolahan pertanian organik juga harus bersandar pada kebutuhan petani, lahan, pasar, dan pengetahuan, serta teknologi lokal. Lalu mempersiapkan benih, pupuk, dan bahan alami untuk mengendalikan hama penyakit.

Pertanian organik juga harus didukung oleh banyak pihak melalui program kerja bersama di tingkat petani. Dimana semua itu dapat dilakukan dengan biaya yang murah namun bukan subsidi yang menimbulkan ketergantungan petani. Karena dalam melakukan organik diharapkan dapat mewujudkan petani yang mandiri tanpa ketergantungan pada pihak manapun, termasuk pemerintah, apalagi swasta. Meski demikian, peran serta pemerintah untuk turut mengembangkan dan melindungi pertanian organik sangat diperlukan.

Dukungan dalam pemasaran produk organik juga sangat diperlukan. Tersedianya pasar yang diikuti penjelasan tentang manfaat organik bagi kesehatan dan lingkungan diharapkan akan semakin memperluas pemasaran produk organik.

Mengupas masalah pelepasan produk transgenik

Kegiatan yang berlangsung sehari itu diselenggarakan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (Konphalindo) bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Alam (P3SDA) Universitas Bengkulu.

Sebelumnya di Makasar, Bali, dan Yogyakarta juga telah diselenggarakan kegiatan yang sama. Kegiatan semiloka itu bertujuan untuk menjawab berbagai pertanyaan dan memberi gambaran yang lebih jelas tentang perkembangnan bioteknologi modern. Semiloka ini juga berupaya mengupas permasalahan yang terkait dengan pelepasan produk rekayasa genetika di Indonesia.

Sebagai narasumber adalah Dr. Dwi Andreas Santosa (Staf Pengajar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor), Dr. Usman Krisjoko, M.Sc. (Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu) dan Rasida dari Kementrian Lingkungan Hidup. Turut hadir pula Purwandono (Direktur Eksekutif Konphalindo), Dr. Ir. Fahrurrozi, M. Sc. (Pembantu Rektor I Universita Bengkulu), dan Dr. Aceng Ruyani (Kepala P3SDA Universitas Bengkulu).
 
Padi transgenik tidak diijinkan di Cina sekarang

Padi transgenik tidak diijinkan di Cina sekarang



Cina tidak mengijinkan komersialisasi padi (Oryza sativa) transgenik (rekayasa genetika) tahun ini. Menurut ilmuwan komite keamanan hayati pada pemerintah, yang menguji keamanan tanaman transgenik, belum ada ijin komersialisasi padi transgenik dalam dua kali pertemuan komite bulan lalu. Komite keamanan hayati telah meminta data yang lebih lengkap untuk memutuskan bahwa padi transgenik aman bagi konsumsi manusia dan lingkungan. Demikian informasi dari Biosafety Information Service, 25 Juli lalu.

Menurut komite keamanan hayati, perlu satu atau dua tahun untuk mengumpulkan data yang dapat mendukung keputusan bahwa padi transgenik Bt aman bagi konsumsi manusia dan lingkungan.

Awal tahun lalu Cina nampak mempersiapkan untuk mengijinkan produksi komersial padi transgenik tahan penyakit yang dikenal dengan padi Xa21, sebagai bahan penanaman tanaman transgenik skala luas pertama dunia yang langsung dikonsumsi manusia. Namun, Beijing terkejut dengan adanya laporan penjualan ilegal padi transgenik di Cina (seperti yang ditemukan Greenpeace, awal 2005 lalu) dan ketidakjelasan diantara pelaku bisnis Cina yang berhati-hati dalam menerima tanaman bioteknologi.

"Saat ini masih jauh dari komersialisasi," kata Dayuan Xue, profesor dari Ilmu Lingkungan Institut Nanjing. "Tidak mungkin tahun ini. Mungkin mereka bisa mempertimbangkannya tahun depan."

Para ilmuwan tersebut juga mengatakan bahwa satu yang menjadi perhatian komite keamanan hayati adalah kemungkinan mutasi serangga membentuk pertahanan terhadap racun Bt yang dihasilkan dari bakteri.
 
Kegagalan pepaya transgenik Hawai jangan terulang lagi


Kegagalan pepaya transgenik (rekayasa genetika) di Hawai patut untuk diperhatikan. Jangan sampai hal serupa terulang kembali. Apalagi di negara penghasil pepaya seperti wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Philipina dan Thailand. Berbagai promosi yang menjanjikan di wilayah negara-negara ASEAN mestinya ditanggapi dengan kehati-hatian.

"Kami berharap perhatian semua pihak pada laporan Greenpeace yang menyimpulkan bahwa pepaya transgenik yang didikembangkan di Hawai sejak 1998 telah gagal dan berprospek industri suram. Demikian juga klaim kontradiktif tentang kesuksesan industri transgenik dan promosi lainnya," harap Chee Yoke Heong dari Pusat Informasi Keamanan Hayati, Third World Network, 26 Juni lalu.

Menurutnya, data statistik dari Departemen Pertanian Amerika Serikat menyebutkan bahwa pada dekade 1995, pendapatan kotor hasil panen pepaya segar Hawai lebih dari US$ 22 juta (sekitar Rp 198 milyar). Tapi sekarang menurun lebih dari setengahnya. Di tahun 1997, sebelum pepaya transgenik tahan virus ringspot dijual, petani menerima rata-rata $ 1,23 per kilogram (sekitar Rp 11.070 per kilogram). Di tahun 1998, nilai itu turun sampai $ 0,89 (sekitar Rp 8.010) saat pembeli pepaya tradisional Hawai, seperti Jepang dan Canada menolak buah-buahan transgenik. "Karena harga turun, maka produksi dan area tanamnya berakhir tahun ini," tegas Chee Yoke Heong.

Kegagalan komersial

Seperti termuat dalam laporan Greenpeace, pepaya transgenik tahan virus ringspot yang dikembangkan di Hawai tahun 1998 mengalami kegagalan komersial. Akibatnya mendorong industri pepaya pulau tersebut terganggu saat sekarang.

Pepaya alami di Hawai sekarang lebih sedikit dibandingkan beberapa waktu lalu. Juga lebih sedikit dari beberapa tahun, saat terburuk dimana virus ringspot pepaya menyebar. Begitu juga pendapatan kotor pepaya Hawai segar lebih tinggi di tahun 1997.

Sejak 1998, penduduk Amerika Serikat melipatgandakan konsumsi pepaya segar. Namun, total area produk pepaya di Hawai kurang dari 600 hektar sekarang, menurun 28% sejak pepaya transgenik berkembang. Rata-rata, sekarang petani menerima 35% lebih rendah untuk buah-buahan daripada sebelum pepaya transgenik dikeluarkan.

Walaupun data statistik Departemen Pertanian Amerika Serikat suram, industri rekayasa genetika dan sekutunya bersikeras bahwa pepaya transgenik telah sukses. The American Farm Bureau mengatakan bahwa hal itu "merupakan kesuksesan dramatis bioteknologi." Sementara Monsanto menyatakan, "percaya dengan keamanan industri pepaya Hawai."

Namun pada kenyataannya, industri rekayasa genetika tidak aman terkait dengan menurunnya pepaya Hawai. Ketika berbagai faktor pasar dicantumkan dalam laporan dengan tepat, pengembangan pepaya transgenik menunjukkan kerugian pasar yang signifikan dan unik yang tentu tidak aman bagi industri di Hawai. Meski industri pepaya transgenik sedikit dan sering mengandalkan petani penyewa yang tidak memiliki lahan sendiri.

Untuk petani organik, pepaya transgenik menjadi sumber masalah. Pada saat serbuk pepaya transgenik dapat mengkontaminasi pepaya organik yang berkelanjutan.
 
Benih pepaya UH masih terkontaminasi transgenik

Benih pepaya UH masih terkontaminasi transgenik



Kelompok petani di seluruh negara bagian Amerika Serikat dan anggota komunitas yang menentang tanaman rekayasa genetika (transgenik) mengatakan bahwa beberapa benih pepaya transgenik masih tercampur dalam paket benih pepaya yang dijual oleh Universitas Hawai (UH). Menurut perhatian kelompok petani itu bahwa suplai benih tetap terkontaminasi setelah masalah itu menyurut dua tahun lalu dan hal itu menimbulkan masalah utama bagi petani organik. Demikian seperti tercantum dalam The Honolulu Advertiser Mei lalu.

Laporan berjudul "Hawaiian Papaya: GMO (Genetically Modified Organism) Contaminated," yang ditulis oleh Melanie Bondera dan Mark Query, menyebutkan bahwa kelompok petani yang membeli tiga sampel (Solo waimanalo, Solo sunset dan Solo sunrise) dari 10.000 benih pepaya dan mengirimkannya ke laboratorium Genetic ID.

Bondera mengatakan ada satu sampai sepuluh benih transgenik dalam sampel Solo waimanalo dan tidak ada dalam kedua sampel lainnya. Walaupun jumlahnya kecil, menurutnya itu berpotensi untuk memperluas bagiannya. Itu terjadi bila masing-masing tumbuh menjadi tanaman yang menghasilkan satu sampai dua buah setiap minggu dan masing-masing buah rata-rata sedikitnya 100 benih yang dapat tumbuh menjadi tanaman lainnya.

Professor Richard Manshardt, dari Departemen Tanaman Tropis dan Ilmu Tanah, Universitas Hawai, merupakan salah satu pencetus pepaya rekayasa genetika (transgenik) menjadi resisten (tahan) terhadap virus pepaya ringspot yang tidak dapat diobati dengan bahan kimia. Manshardt mengatakan kalau dia memahami sejumlah benih dapat terkirim ke seberang laut dimana sejumlah pepaya tumbuh liar. Sementara petani organik ingin menjamin konsumen bahwa tidak ada tanaman transgenik yang tercampur dalam tanaman mereka.

Manshardt juga mengatakan, UH berusaha menghindari kontaminasi dengan menanam pepaya di area lahan yang berbeda agar tidak kontak langsung dengan jenis lainnya. Menurutnya, studi benih Hawai dapat menguji benih dari jenis yang sama sebagai studi awal untuk melihat kontaminasi secara luas.

Pepaya Hawai terkontaminasi transgenik

Pada tahun 1998, pepaya transgenik pertama kali dikomersialkan di Hawai. Dr Dennis Gonsalves dan Dr Richard Manshardt menciptakan buah pepaya rekayasa genetika (transgenik) tahan virus ringsport. Muncul dengan serangkaian teknologi yang berkaitan menyebabkan Hawai kehilangan hampir setengah pepaya petani.

Masalah yang tidak terprediksikan lainnya adalah kontaminasi transgenik. Pada tahun 2003, GMO Free Hawai menyelidiki adanya penyebaran gen pepaya transgenik. Pertama kalinya mereka menggunakan uji gen GUS untuk melihat seberapa besar kontaminasi di lahan petani. Hasil uji menemukan 30-50% benih dan daun mengalami kontaminasi benih atau udara secara terus menerus. Untuk mengetahui lebih lanjut, mereka meminta pihak laboratorium independen dari akademisi untuk menguji luasnya kontaminasi pepaya, namun tidak membantu.

Pada tahun 2004, GMO Free Hawai mendesain studi untuk melihat luasnya kontaminasi transgenik di seluruh negeri. Metodologi Pilot Survey meliputi tiga gabungan sampel dari kira-kira 10.000 sampel di seluruh pulau ( Hawai, Oahu, Kauai) yang dikumpulkan dari lokasi penanaman bukan transgenik di lahan konvensional dan organik, pekarangan rumah dan tepi jalan.

Dua sampel masing-masing benih dan daun di lahan organik dikumpulkan dari Hawai dan Kauai. Tiga sampel jenis benih bukan transgenik Universitas Hawai dibeli langsung. Benih dan daun itu kemudian dikirim ke laboratorium indipenden Genetic ID untuk uji standard industri PCR (Polymerase Chain Reaction).

Hasilnya mengindikasikan kontaminasi massive benih pepaya transgenik di pulau Hawai kurang lebih 50%, kontaminasi transgenik di Oahu kurang dari 5% (<5%) dari keseluruhan dan hanya sedikit kontaminasi di Kauai (0%). Kedua uji lahan organik tidak ada tanaman transgenik yang sengaja ditanam, tetapi menyedihkan, ditemukan kontaminasi benih melalui udara dalam buah-buahnya (<5% di pulau Hawai dan 0,01% di Kauai). Sangat mengejutkan bahwa kontaminasi pepaya transgenik Universitas Hawai pada suplai benih pepaya bukan transgenik (jenis Solo waimanalo) lebih besar dari 0,01 meski lebih kecil dari 0,1%.

Di tahun 2006, hasil uji yang diulang kembali menemukan jenis Solo waimanalo tetap pada persentase kontaminasi transgenik yang sama. Seperti yang ditegaskan Universitas Hawai untuk tidak menanam benih itu di dekat tanaman pepaya transgenik, maka benih itu pasti tanaman transgenik yang belum diuji tumbuh di kebun bukan transgenik atau tidak menyimpan bunga dengan rapi untuk menghindari penyerbukan transgenik yang tidak diinginkan.

Departemen Pertanian Hawai seharusnya melakukan studi independen untuk menguji luas keseluruhan kontaminasi pepaya transgenik di Hawai. Selain itu juga harus melakukan studi independen untuk menguji kemungkinan efek kesehatan manusia bila mengkonsumsi pepaya transgenik.
 
Petani Amerika bersaksi di depan pengadilan kasus transgenk di Thailand

Petani Amerika bersaksi di depan pengadilan kasus transgenk di Thailand


Kesaksian petani Hawai (Amerika) di depan Pengadilan Kriminal Bangkok merupakan peradilan bersejarah Thailand atas kasus Organisme Hasil Rekayasa Genetika (OHRG) atau transgenik yang berakhir pada akhir Mei lalu. Sedangkan putusannya dilanjutkan akhir tahun nanti.

Melanie Bondera yang datang dari Big Island, Hawai mengatakan di depan pengadilan tentang pengalaman kontaminasi pepaya transgenik dan dampaknya yang tak terkendali di daerahnya. Dia juga mengatakan bahwa dampaknya terhadap penurunan pendapatan, sebagai ancaman terhadap lingkungan hidup dan ekonomi Hawai yang terus terjadi.

Hawai ditengarai sebagai pusat kontaminasi dengan lahan percobaan pepaya transgenik terbesar per meter persegi di dunia dan sebagai tempat dimana pepaya transgenik dikomersialkan. Ekspor Hawai maju sebelum pengenalan pepaya transgenik tahun 1998. Sebagian besar negara pengimpor pepaya dari Hawai termasuk Uni Eropa, Jepang dan Cina memiliki keengganan pada tanaman dan makanan transgenik. Pintu mereka akhirnya tertutup bagi ekspor pepaya Hawai.

"Bagi kami petani, pepaya transgenik lebih membawa dampak negatif daripada positif. Petani-petani tidak dapat menjual pepaya non transgenik jika terkontaminasi transgenik. Kemudian mereka kehilangan pasar dan mungkin sumber penghidupannya. Petani-petani di Hawai tidak dapat mengekspor pepaya transgenik atau pepaya terkontaminasi transgenik," kata Melanie.

Melanie sebagai petani Hawai tersebut bersaksi di depan persidangan dua aktivis Greenpeace yang menghadapi tiga tuduhan (pencuruan, penyalahgunaan dan pengrusakan lahan) dan ancaman lima tahun penjara. Pejabat Departemen Pertanian Thailand (Department of Agriculture atau DOA) menuntut mereka karena mengungkap adanya peran departemen itu dalam penyebaran dan penjualan pepaya transgenik secara illegal. Dua aktifis itu adalah Patwajee Srisuwan, Bagian Kampanye Greenpeace dan Dr. Jiragorn Gajaseni, mantan Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara.

Sementara itu dalam kesaksian 23 Mei 2006, Banthoon Setsirote, pejabat dari Komisi Hak Asasi Manusia Nasional (National Human Rigths Commission atau NHRC) mengatakan bahwa setelah proses penemuan fakta di Khon Kaen Agustus 2004, NHRC merekomendasikan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra agar tidak melanjutkan semua lahan percobaan pepaya transgenik dan menghancurkan pohon pepaya pada plot lahan percobaan. Lalu September 2004, Menteri Pertanian mengeluarkan perintah penghancuran pepaya transgenik pada plot lahan percobaan di pusat penelitian DOA. Namun kontaminasi transgenik tidak berhenti di sana.

NHRC sebuah lembaga independen yang dibentuk Konstitusi Thailand untuk melakukan investigasi dan monitoring pelanggaran hak asasi manusia, menerima banyak protes dan laporan bahwa pepaya transgenik ditemukan di lahan beberapa propinsi lain. Hal itu mendorong proses penemuan fakta pada bulan Juli 2005. Sampel pohon pepaya dari Rayong, Mahasarakham, Chaiyapum dan Kalasin menunjukkan kontaminasi transgenik.

Daerah itu selanjutnya dalam ancaman kontaminasi pepaya transgenik secara terus menerus. Pada tanggal 8 Desember 2005, pejabat NHRC mengajukan protes di Kantor Kepolisian Nasional Thailand (National Office of Police) terhadap Kepala DOA Chakarn Saengraksawongse dan pejabat pusat penelitian Khon Kaen atas kelalaian mereka dalam tugas melakukan investigasi dan pengrusakan pepaya transgenik, membiarkannya menyebar ke lahan lain dan pelanggaran kegiatan karantina tanaman.

Sedangkan dalam kesaksian 24 Mei 2006, Dr. Jongrak Kittiworakarn dari Universitas Mahidol memperingatkan kemungkinan risiko luar biasa pepaya transgenik yang disebabkan adanya gen tahan antibiotik yang bertentangan dengan standard World Health Organization (WHO) dan UN Food and Agriculture Organization (FAO). Hal itu terjadi setahun sejak tuntutan terhadap dua aktifis Greenpeace 27 September 2004.

Thailand larang transgenik

Seperti diketahui, Thailand telah melarang penanaman dan penjualan tanaman transgenik (rekayasa genetika/Organisme Hasil Rekayasa Genetika atau OHRG, Genetically Modified Organisms atau GMO). Namun tetap mendapat serangan dari industri bioteknologi yang menawarkan keuntungan pasar pertanian Thailand. Ironisnya, Departemen Pertanian (DOA) yang bertugas melakukan karantina tanaman transgenik, melanggar larangan atas transgenik. Greenpeace menemukan kontaminasi berasal dari lahan percobaan pepaya transgenik DOA di Khon Kaen.

Pada tahun 2004, Greenpeace mengungkapkan bahwa pusat penelitian DOA merupakan sumber kontaminasi transgenik dan melakukan distribusi benih terkontaminasi transgenik secara illegal kepada 2.669 petani di 37 propinsi.

"Polusi genetik yang disebabkan transgenik memiliki dampak yang tidak dapat diubah pada lingkungan, untuk itu kita harus menghentikan perluasan kontaminasi pepaya transgenik di negara kita. Konstitusi menguasakan pada setiap warga Thailand hak untuk melindungi lingkungan kita," kata Patwajee di hari persidangan saat kesaksian NHRC.

Laporan terbaru Greenpeace tentang "Kontaminasi Pepaya Rekayasa Genetika di Thailand" ("Contamination by Genetically Engineered Papaya in Thailand") menyebutkan bahwa ketika skandal pepaya transgenik pecah, NHRC menekankan perhatian bahwa kontaminasi oleh pepaya transgenik pada lingkungan dapat menjadi pelanggaran serius atas hak petani, hak konsumen dan hukum terkait lingkungan hidup, masalah ekonomi, sosial dan budaya.
 
Greenpeace dan petani bersihkan lahan Thailand dari kontaminasi pepaya transgeni

Greenpeace dan petani bersihkan lahan Thailand dari kontaminasi pepaya transgenik


Relawan Greenpeace membantu petani di propinsi Rayong (200 km timur Bangkok) membersihkan dan membebaskan 100 m2 lahan yang terkontaminasi pepaya rekayasa genetika (transgenik atau GMO) beberapa minggu lalu. Demikian informasi dari situs Greenpeace 19 Mei lalu.

Greenpeace juga menyampaikan laporan baru "Contamination by Genetically Engineered Papaya in Thailand." Laporan itu menggambarkan dengan jelas bagaimana Departemen Pertanian Thailand (Department of Agriculture atau DOA) melakukan karantina pepaya transgenik. Namun ternyata lahan pepaya Thailand terkontaminasi transgenik dan terganggunya setiap upaya yang membatasi kerusakan akibat kontaminasi transgenik. Laporan itu juga menunjukkan risiko pepaya transgenik pada kesehatan dan lingkungan.

"Para petani masih menderita karena kontaminasi pepaya transgenik. Pemerintah Thailand harus memberi bantuan kepada petani untuk membebaskan lahan mereka dari zat-zat berbahaya dan memberinya kompensasi," kata Patwajee Srisuwan, bagian Kampanye Teknologi Genetik Greenpeace Asia Tenggara.

Pada Juli 2004, Greenpeace menyatakan bahwa pusat penelitian Khon Kaen DOA yang mengadakan percobaan lahan pepaya transgenik, menyebarkan bibit dan benih pepaya terkontaminasi transgenik pada masyarakat umum. Sedangkan investigasi secara terpisah Greenpeace, National Human Rights Commission dan kelompok petani menemukan lahan yang terkontaminasi di propinsi Rayong, Kamphaeng Phet, Kalasin, Chaiyaphum, Mahasarakham dan Ubonratchathani.

Namun, untuk mengalihkan kasus kontaminasi transgenik, pihak DOA menuntut aktivis Greenpeace. Itu terjadi hanya setelah permintaan bersama National Human Rights Commission, Greenpeace dan kelompok petani yang memaksa DOA mempublikasikan dokumen yang mengindikasikan bahwa stasiun Khon Kaen telah mendistribusikan benih terkontaminasi transgenik pada 2.669 petani di 37 propinsi.

Permintaan itu mendesak Menteri Pertanian agar DOA menghancurkan lahan percobaan pepaya yang terkontaminasi dan mengganti kerugian petani. Sedangkan penemuan baru Greenpeace mengindikasikan bahwa petani di Rayong, Kalasin dan Chaiyaphum tidak mendapat bantuan dari DOA untuk membebaskan lahannya dari zat berbahaya dan tidak juga mendapat kompensasi. Malahan, DOA melobi untuk membatalkan larangan transgenik di negara itu.

"Pemerintah harus mengakhiri semua lahan percobaan di negara itu karena menyebabkan kontaminasi transgenik di lahan kami. Tidak mungkin transgenik hidup bersama tanaman alami. Lembaga netral juga harus dibentuk untuk memformulasikan dan menjalankan hukum keamanan hayati nasional, berdasarkan prinsip kehati-hatian dan dengan perhatian masyarakat serta lingkungan Thailand sebagai prioritas," kata Patwajee.

Greenpeace merupakan organisasi bebas, berkampanye tanpa kekerasan, menyingkap masalah lingkungan global dan memberikan solusi penting bagi penghijauan dan kedamaian masa depan. Misinya termasuk melindungi lahan Thailand dan konsumen dari serangan gencar transgenik yang tidak mempunyai kajian tepat bagi keamanan pangan manusia atau risiko lingkungan.

Sementara itu, Ms Patwajee Srisuwan, bagian Kampanye Greenpeace dan Dr Jiragom Gajaseni, mantan Direktur Ekekutif Greenpeace Asia Tenggara, sedang menghadapi tuntutan kriminal karena menyingkap kontaminasi transgenik lahan pepaya Thailand.
 
MOP-3 tidak tetapkan pelabelan produk transgenik sampai 2012

MOP-3 tidak tetapkan pelabelan produk transgenik sampai 2012



Pertemuan ketiga Konferensi Para Pihak Protokol Kartagena atas Keamanan Hayati (Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Cartagena Protocol on Biosafety /MOP-3), tidak menetapkan identifikasi benih rekayasa genetika (transgenik) impor dan ekspor bagi negara penandatangan Protokol Kartagena atas Keamanan Hayati sampai 2012. Namun, negara-negara tersebut akan membuat identifikasi tersebut menurut kapasitas tehnik masing-masing.

Para pihak menandatangani kesepakatan itu pada malam terakhir (17 Maret) MOP-3. "Putusan akhir ini merefleksikan skenario dimana bentuk forum internasional yang memutuskannya tumbuh dengan dominasi perusahaan transnasional yang memegang kekuasaan di setiap negara," ungkap Maria Rita Reis, penasehat hukum Terra de Diroitos, organisasi non pemerintah (ornop) yang turut hadir dalam pertemuan.

Delegasi dari Meksiko dan Paraguay merupaka satu negara diantara 96 negara penandatangan protokol yang menolak putusan label produk transgenik dengan "contains" atau "may contain". Meksiko membeli sekitar 3 juta ton tepung rekayasa genetika setiap tahun dari Amerika Serikat.

Maria Rita menyampaikan bahwa diantara negara penandatangan protokol yang siap memisahkan transgenik dari produk non transgenik dalam rantai produksinya akan mengadopsi istilah "contains" untuk label pengiriman internasional. Dalam perundiangan diantara negara penandatanngan dan bukan penandatangan, istilah "may contain" akan digunakan.

"Putusan akhir yang mengadopsi pernyataan "contains" akan ditetapkan pada pertemuan MOP 6 yang diadakan pada tahun 2012," Maria Rita Reis menyimpulkan.

Tetap berlabel "contains"

Organisasi masyarakat sipil yang berpartisipasi dalam forum ornop Brasil dan pergerakan sosial untuk isu lingkungan dan pembangunan bertahan menggunakan pernyataan "contains" untuk identifikasi produk yang berisi organisme rakayasa genetika, pada 18 Maret.

Forum itu berlangsung di Curtiba seiring dengan MOP-3. Menurut peserta, keamanan hayati menjadi inti perdebatan untuk memperbaiki Protokol Kartagena.

Kebijakan Presiden Lula (Presiden Brasil) untuk label "contains" merupakan kemajuan besar dari pertahanan Brasil setahun lalu di MOP -2 di Montreal. Saat itu, Brasil setuju menggunakan pernyataan "may contain" untuk label produk transgenik.

Perubahan menjadi "contains" diumumkan minggu lalu (13 Maret) setelah pertemuan Presiden Lula, Roberto Rodrigues (Menteri Pertanian), Marina Silva (Menteri Lingkungan Hidup) dan Dilma Rousseff (Kepala Kementrian).

Direktur Kebijakan Pemeintah Greenpeace, Sergio Leitao, menyatakan bahwa pengumuman itu menunjukkan bahwa Brasil berpendirian tetap pada kepentingan hidup, keanekaragaman hayati dan keamanan pangan. "Ini menandai hari ketika negara memutuskan mengutamakan kepentingan nasional lebih dari kuatnya kepentingan perusahaan bioteknologi yang membatasi hak konsumen Brasil untuk memilih tidak mengkonsumsi makanan transgenik," tegas Leitao.

Koordinator Land of Rights movement, Maria Rita Reis, berkata bahwa dia membebaskan sikap pemerintah Brasil. Menurutnya diskusi dalam pertemuan pejabat itu mengutamakan aspek komersial semata-mata. "Dengan pemerintah mengambil sikap ini, keamanan hayati akhirnya terjadi pada perdebatan terdepan atas pelaksanaan Protokol Kartagena," yakin aktivis itu.

Nevertheless, ornop yang tetap kritis selama empat tahun masa usulan yang mengadopsi peraturan baru. Dalam catatannya, perundingan telah berlangsung lima tahun. Ini seharusnya merupakan usulan yang jelas "bahwa dengan masa transisi itu eksportir transgenik siap menerimanya (peraturan baru)."
 
Brasil dukung istilah "it contains" dalam ekspor produk transgenik

Brasil dukung istilah "it contains" dalam ekspor produk transgenik



Brasil mendukung istilah label ?it contains? (?produk berisi?) dalam pengiriman ekspor produk transgenik, termasuk informasi proses produksi, transportasi dan penyimpanan. Pernyataan ini dikeluarkan saat pertemuan 14 Maret dalam MOP-3, di Kurtiba, Brasil (13-17 Maret 2006).

Menurut Marina Silva, Menteri Lingkungan Hidup Brasil, pernyataan itu menunjukkan kemenangan seluruh masyarakat Brasil. Silva juga berpendapat bahwa dalam hal keamanan hayati, organisme rekayasa genetika adalah ancaman bagi setiap negara di dunia, khususnya negara yang berkeanekaragaman tinggi seperti Brasil.

Brasil merupakan salah satu diantara 17 negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Antara 15 hingga 20 persen keanekaragaman hayati planet bumi ditemukan di Brasil.

Silva menjelaskan bahwa dengan kurun waktu empat tahun periode transisi, dapat menghasilkan sistem pelaksanaan yang mengidentifikasi adanya organisme rekayasa genetika dalam produk dan benih yang akan diekspor. Kurun waktu itu penting bagi pelabuhan dan sistem transportasi dalam pengaturan menurut peraturan yang baru.

"Bila keadaan ini terealisasi dengan cepat, pemisahan identifikasi akan dihasilkan," katanya. "Ini hanya masalah prosedur. Kita bicara tentang model hidup berdampingan, memberi kita kesempatan untuk menghasilkan ukuran pemisahan yang dilakukan dalam identifikasi produk," lanjutnya.

Menurutnya, kepentingan negara produsen benih seperti Brasil tidak akan dirugikan, karena negara yang menandatangani protokol juga akan menginginkan produser benih lain mengidentifikasi produknya. Selain itu, salah satu permintaan terbesar usulan Brasil adalah akan mewajibkan negara-negara seperti Amerika Serikat, yang tidak mendukung protokol, untuk mengidentifikasi isi (contain) dari pengiriman ekspor produknya ke negara yang menandatangani dokumen protokol.

Sementara itu menurut National Confederation of Agriculture (CNA), usulan tentang identifikasi produk transgenik yang akan dijual ke luar negeri akan menyebabkan Brasil kehilangan daya saing internasional. Presiden hubungan internasional CNA, Gilman Viana Rodrigues mengkalkulasi bahwa biaya produksi akan meningkat 10 persen. Akibatnya, seperti dalam ekspor kedelai, produser dapat menghabiskan sekitar satu juta dollar AS.

Rodrigues menyampaikan bahwa usulan sebelumnya yang diakui oleh National Technical Commission on Biosecurity (CTNBio) dan diterima oleh pihak di bidang barang dagangan menghasilkan istilah "it may contain" atau "produk mungkin mengandung".

Rodrigues membantah bahwa keuntungan istilah itu adalah produk transgenik itu dapat diangkut bersama dengan produk non transgenik, yang banyak dilakukan oleh sebagian besar eksportir. Istilah itu juga menghindarkan masing-masing pengiriman mengalami analisa secara terpisah.

Menurut Rodrigues, pernyataan label "it contains" akan menambah biaya produksi, menyebabkan Brasil tidak untung dalam pasar internasional. Dia menyatakan bahwa hanya Brasil yang mendukung protokol, padahal sebagai salah satu ekportir komoditas pertanian, disamping Amerika serikat, Canada dan Argentina.

"Amerika Serikat, Canada dan Argentina akan melihat tindakan Brasil itu," katanya. "Sementara Brasil akan membayar biaya penetapan peraturan yang sedang diusulkan dan akan membuat perdagangan lebih mahal. Pembeli dapat berhati-hati dan melanjutkan membeli produk transgenik dari Argentina dan Amerika Serikat."
 
Produk makanan 15-20% Positif Kandung Transgenik

Produk makanan 15-20% Positif Kandung Transgenik



Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menemukan sekitar 15-20 % produk makanan positif mengandung transgenik. Produk makanan yang mengandung transgenik itu ada dan dapat berkembang di Indonesia. Demikian Huzna Gustiana Zahir sebagai Ketua Pengurus Harian Baru periode 2006-2009 YLKI mengungkapkan pada beritabumi.or.id seusai acara Pelantikan Kepengurusan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 14 Pebruari 2006 di Kantor YLKI, Pancoran Barat, Jakarta.

Menurutnya perkembangan produk makanan yang mengandung transgenik tidak dapat dihindari karena adanya upaya mengembangkan teknologinya yang terus-menerus. "Yang menjadi kekhawatiran kita adalah keamanannya. Sehingga yang terpenting adalah prinsip kehati-hatian, bagaimana produk itu tidak akan merugikan masyarakat," jelasnya.

Maka Zahir menyatakan bahwa informasi yang benar tentang segala hal produk transgenik harus disampaikan kepada masyarakat. Bukan hanya kegunaannya tetapi juga bahaya-bahaya yang bisa ditimbulkannya. Sehingga masyarakat memiliki pilihan untuk tidak mengkonsumsi produk transgenik tersebut.

Indah Suksmaningsih sebagai ketua Pengurus Harian Lama saat yang sama juga menjelaskan bahwa YLKI telah melakukan penelitian dan kampanye serta advokasi terhadap produk-produk pangan yang diduga menggunakan transgenik. Lembaga yang menyuarakan hak-hak konsumen Indonesia itu juga berupaya menyebarluaskan informasi tentang produk transgenik terlebih bahayanya.

Selama ini informasi yang disediakan tentang produk itu tidak ada. Sehingga masyarakat konsumen sebagian besar tidak mengetahui tentang produk transgenik. Hal itu terjadi karena Pemerintah kurang melakukan upaya penyebaran informasi tersebut. Pemerintah juga kurang dalam mengawasi dan mengontrol perkembangan produk rekayasa genetika itu.

"Saya memprediksi produk transgenik akan semakin banyak, hanya saja sampai sekarang tidak ada yang mengontrol dan mengawasi bertambah banyak atau tidaknya produk itu. Tapi saya menduga semakin lemahnya pengawasan dan pengaturan di Indonesia akan dimanfaatkan sebagai pasar yang baik untuk memasarkan produk-produk tersebut," ungkap Suksmaningsih.

Aktivis konsumen yang masih duduk dalam kepengurusan YLKI itu menghimbau masyarakat konsumen dapat melakukan tekanan kepada Pemerintah dalam menyikapi keadaan tersebut. Mereka harus mempertanyakan dengan jelas soal keamanan produk makanan, apa yang harus dilakukan masyarakat yang mengkonsumsi produk itu dan label produk makanan harus jelas bagi masyarakat konsumennya.

Selain itu organisasi yang konsern terhadap bahaya produk transgenik harus berperan lebih kuat. Salah satunya dengan berkoalisi mendorong masyarakat konsumen untuk mendapat haknya tentang informasi yang pasti tentang produk-produk makanan yang mengandung transgenik. Apalagi selama ini yang terjadi tidak adil karena penelitian yang dilakukan universitas atau lembaga lainnya hanya berkaitan dengan manfaat transgenik, sementara dampaknya kurang dipelajari.

Sementara dalam catatan konsumen YLKI 2005, disebutkan bahwa perlindungan konsumen di Indonesia hingga kini (2005) realisasinya masih memprihatinkan. Salah satu indikator yang menandai fenomena ini, yaitu : persoalan pemenuhan atas hak-hak dasar baik ekonomi, sosial maupun budaya (ECOSOC) yang masih terabaikan. Hal itu ditandai dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang melangit. Akses masyarakat terhadap air bersih, BBM, pelayanan kesehatan tingkat dasar, pendidikan yang semakin sulit. Hal yang juga mencolok adalah hak konsumen atas keselamatan, keamanan dan kenyamanan selama konsumen mengkonsumsi produk, masih jaauh dari harapan konsumen.
 
Menangani penyakit pepaya bukan dengan rekayasa genetika tetapi dengan organik

Menangani penyakit pepaya bukan dengan rekayasa genetika tetapi dengan organik


Petani Hawaii mengatasi penyakit virus ringspot pepaya bukan dengan rekayasa genetika tetapi dengan cara pertanian tumpang sari organik. Demikian anjuran Greenpeace Asia Tenggara, seperti disampaikan kepada beritabumi.or.id tanggal 27 Agustus 2004.

Jon Biloon yang telah melakukan pertanian berkelanjutan selama 30 tahun di Big Island, Hawaii, berpendapat, ?Ada solusi praktis untuk mengatasi virus ringspot yang ramah lingkungan dan lebih baik untuk petani. Solusi ini membuat pepaya rekayasa genetika tidak perlu sama sekali.?

Biloon telah menggunakan cara organik untuk mengatasi virus ringspot. Dia telah melakukan pelatihan dan membantu petani untuk mengenal metode pertanian berkelanjutan secara ekologis untuk menangani penyakit tanaman seperti virus ringspot.

Petani dapat mengisolasi tanaman pepaya yang terinfeksi virus ringspot. Penyebaran penyakit tanaman itu adalah sebagai akibat praktik bertani yang salah, khususnya pada pertanian monokultur.

Serangga kutu adalah penyebab utama penyebaran virus ringspot. Jadi untuk pengendalian kutu menggunakan metode ramah ekologis adalah solusi terbaik.

Petani pepaya organik menanam jenis tanaman lain yang dapat menarik kutu pergi dari pepaya, atau menyemprot pestisida alami non-kimia untuk mengusir dan mengurangi penyebarannya.

Solusi pertanian ini sebaiknya juga mendapat perhatian dan dukungan lebih dari Pemerintahan Thailand. Namun Pemerintah, ilmuan dan perusahaan internasional yang mendesak perkembangan pepaya rekayasa genetika di Thailand dan mengklaim rekayasa genetika pepaya perlu untuk memecahkan masalah virus ringspot.

Pemerintah selalu mengklaim pepaya rekayasa genetika penting dalam ekonomi, karena virus ringspot mempengaruhi ekspor pepaya Thailand. Padahal belum ada fakta bahwa semua pepaya Thailand terinfeksi penyakit itu. Pernyataan Itu hanya upaya Pemerintah untuk memaksakan solusi rekayasa genetika yang salah. Lagi pula konsumen tidak terpengaruhi oleh virus ringspot, karena virus ringspot hanya menimbulkan masalah pada kulit pepaya.
 
Pepaya rekayasa genetika bermasalah di Hawaii

Pepaya rekayasa genetika bermasalah di Hawaii


Pada bulan September 1997, Pemerintahan Amerika Serikat menyetujui komersialisasi pepaya rekayasa genetika di Hawaii. Setelah ada kesepakatan dengan universitas dan perusahaan pemegang hak paten pepaya rekayasa genetika (termasuk Monsanto), benih dapat dibuat dan dikomersialkan pada bulan Mei 1998.

Benih papaya hawaii hasil rekayasa genetika adalah benih yang mengandung bahan genetik percobaan yang tidak dapat dipantau. Melepaskannya ke lingkungan akan berbahaya bagi ekologi, demikian disampaikan Greenpeace Asia Tenggara kepada beritabumi.or.id Agustus 2004.

Terbukti setelah lima tahun berlalu, telah terjadi kontaminasi genetik dari pepaya hawaii yang mengancam lingkungan secara terus-menerus.

Berdasarkan informasi yang disampaikan Greenpeace, pepaya rekayasa genetika di Hawaii menunjukkan :

-Pertama: Pepaya rekayasa genetika tidak wajar dan ilmuan juga tidak yakin dengan apa yang dilakukannya.

Pepaya rekayasa genetika dibuat dengan memotong gen dari virus ringspot dan memasukkannya ke sel pepaya, dengan maksud agar pepaya tahan terhadap virus ringspot.

Ilmuan yang merekayasanya juga tidak mengetahui mengapa gen dari ringspot membuat pepaya resisten terhadap virus ringspot. Mereka tidak tahu apakah memasukkan gen mempunyai efek lain. Dengan memotong dan melepaskan gen suatu spesies ke spesies lain menyebabkan terjadinya evolusi gen selama beberapa tahun.

-Kedua: Pepaya rekayasa genetika tidak terpantau.

Di Hawaii, pepaya rekayasa genetika yang disebut SunUp ditemukan mudah terinfeksi oleh jamur dan penyakit tanaman baru, termasuk jamur blackspot, setelah lima tahun pepaya rekayasa genetika dikomersialkan.

Ketika jamur blackspot menyebar di antara pepaya rekayasa genetika, petani yang menanam pepaya rekayasa genetika harus menyemprotkan fungisida setiap 10 hari.

Penelitian lain menunjukkan tipe virus ringspot yang baru bisa tumbuh karena pepaya rekayasa genetika.

Tidak ada bukti yang mendukung pepaya rekayasa genetika aman dikonsumsi manusia. Di Amerika Serikat pepaya rekayasa genetika tidak pernah diuji efek jangka panjang terhadap kesehatan manusia. Sedangkan temuan ilmuwan tentang kemungkinan efek alergi, keracunan dan resistensi pada antibiotik manusia telah diabaikan.

-Ketiga: Kontaminasi genetik dari pepaya rekayasa genetika nyata terjadi.

Beberapa pepaya di pertanian organik terkontaminasi pepaya rekayasa genetika. Menurut beberapa petani organik, benih rekayasa genetika tercampur dengan benih pepaya organik mereka tanpa diketahui sebabnya.

Sedangkan petani lain, pepaya organiknya menerima serbuk sari dari tanaman pepaya rekayasa genetika karena serbuk sari bunga dapat terbawa angin atau burung.

Lalu petani terpaksa menghancurkan semua tanaman pepaya untuk menghentikan kontaminasi itu.

-Keempat: Pepaya genetika tidak diterima pasar.

Pasar pepaya ekspor terbesar Hawaii sekitar 40% adalah Jepang. Tetapi Jepang kemudian menolak pepaya rekayasa genetika karena mengkawatirkan resikonya terhadap lingkungan dan kesehatan.

Jadi petani pepaya rekayasa genetika tidak dapat mengekspor ke Jepang. Akibatnya petani rekayasa genetika mengalami penurunan ekonomi hingga nilai penjualan pepaya rekayasa genetika 30?40% di bawah biaya produksi. Pada bulan April 2003 harga pepaya rekayasa genetika lebih rendah 600% dari harga pepaya organik.

Walaupun penolakan Jepang dicabut, survei menunjukkan lebih dari 80% konsumen Jepang tidak menginginkan makanan rekayasa genetika. Pengusaha importir Jepang kemudian meminta sertifikasi pepaya non-rekayasa genetika dari Hawaii dengan sistem pemisahan yang komplek. Jika penolakan dicabut, konsumen tetap tidak akan membeli papaya rekayasa genetika.

Dengan menanam pepaya rekayasa genetika petani berharap dapat mengatasi masalah virus ringspot, tetapi sekarang justru mereka menghadapi masalah kontaminasi, penyakit tanaman pepaya baru dan ekonomi serius.
 
Masyarakat Inggris menentang makanan transgenik

Masyarakat Inggris menentang makanan transgenik


Manajer kampanye Friends of The Earth untuk produk transgenik, Clare Oxborrow, mengatakan, ?Publik yang menentang hasil panen maupun makanan transgenik semakin meningkat. Sementara, pemerintah berencana untuk menyebarluaskan produk panenan dari tanaman trasgsenik yang bercampur dengan hasil panen tanaman alami.? Menurut Oxborrow, jika hal itu terjadi, masyarakat akan sulit untuk menghindari produk hasil transgenik di pasaran.

Dari hasil survei terhadap masyarakat Inggris, meningkat jumlah penentang makanan transgenik atau hasil olahan bioteknologi sejak tahun 2002. Keadaan ini sebenarnya bertolak belakang dengan pandangan Pemerintah Inggris. Pemerintah Inggris justru masih membuka kemungkinan peredaran hasil panen transgenik yang berbarengan dengan panen non-transgenik.

Survei yang serupa pernah dilakukan oleh NOP World Survey 2-11 Juli 2004 terhadap 2002 warga Inggris yang berusia 15 tahun keatas. Pertanyaan yang diajukan kepada mereka yaitu ?Hasil panen sistem transgenik dapat bercampur dengan hasil panen biasa melalui lahan-lahan pertanian, atau melalui proses penanganan yang dapat mencemari makanan. Apakah Anda akan mendukung peraturan yang mencegah terjadinya percampuran, atau Anda pikir risiko percampuran tersebut patut diambil mengingat keuntungan yang bisa didapat dari hasil bioteknologi??

Survei tersebut menunjukkan, lebih dari separuh warga atau 64 persen mendukung peraturan yang melarang pencemaran hasil panen non-transgenik dengan panen hasil biloteknologi. Sedangkan sebanyak 17 persen warga memilih untuk mengambil risiko dan membiarkan makanan transgenik tercampur dengan makanan non-transgenik.

Selama ini, Pemerintah Inggris telah melakukan diskusi tentang rencana untuk menggabungkan hasil panen trangenik dengan yang non-transgenik. Tujuannya, agar hasil panen transgenik bisa dikomersilkan dan beredar di pasaran Inggris. Akibatnya keduanya akan bercampur sehingga ada kemungkinan masyarakat akan sulit membedakan antara keduanya.

Sampai saat ini, untuk membedakan antara hasil panen trasngenik dan non-transgenik, Pemerintah Inggris menetapkan kuota peredaran hasil panen transgenik di pasaran mulai dari 0,9 persen berdasarkan pemberian label Uni Eropa. Hal ini tidak disetujui oleh Friends of The Earth yang menginginkan penetapan aturan yang lebih ketat untuk melindungi petani dan konsumen yang menentang makanan transgenik. Friends of The Earth mengusulkan peredaran sebesar 0,1 persen berdasarkan pemberian label Uni Eropa.

Tak ada jaminan aman

Pemerintah Inggris sendiri telah mengumumkan rencananya untuk bertemu dan melakukan konsultasi mengenai peredaran makan transgenik di pasaran. Meski begitu, menurut Frieds of The Earth ada beberapa alasan mengapa mereka menolak beredarnya makanan transgenik. Sampai saat ini, belum ada jaminan bahwa produk hasil olahan transgenik 100 persen aman bagi kesehatan. Analisis efek makanan transgenik bagi kesehatan manusia dan hewan yang dilakukan selama ini masih dalam jangka pendek. Selain itu, data analisis terhadap kemungkinan munculnya alergi juga tidak mencukupi.

Misalnya dalam kasus gandum transgenik yang dinamakan NK603. Hasil panen transgenik ini sempat akan disebarkan di pasaran Inggris. Namun Oxborrow menentangnya. Ia menegaskan,?Para ahli dan masyarakat lainnya serta pihak berwenang belum mencapai kata sepakat potensi dampak kesehatan gandum transgenik Monsanto yang mungkin muncul. Produk ini tidak boleh ada di pasaran sebelum keamanannya jelas?.

Walau sekarang produk transgenik belum begitu berkembang, ancaman di masa yang akan datang tetap ada. Misalnya sampai sekarang belum ada peraturan yang menggarisbawahi tindakan apa yang perlu diambil untuk mencegah pencemaran hasil panen alami oleh panen transgenik. Selain itu tidak jelas siapa yang akan bertanggung jawab terhadap kerusakan ekonomi yang diderita petani dan lingkungan yang disebabkan oleh produk transgenik.

Pemerintah Inggris telah mengambil keputusan untuk mengijinkan peredaran produk transgenik di pasaran. Mereka juga telah menolak untuk memperdalam konsultasi yang masih berlangsung, untuk menentukan tindakan apa yang diperlukan untuk meyakinkan makanan di pasaran tidak tercemar produk trasgenik. ?Pemerintah harus mendengarkan masyarakat dan memperkenalkan aturan baru untuk menjaga makanan dan hasil panen (Inggris) bersih dari produk trasgenik,? tambah Oxborrow.
 
Benih pepaya dari Thailand terkontaminasi benih rekayasa genetika

Benih pepaya dari Thailand terkontaminasi benih rekayasa genetika


Greenpeace mengungkapkan benih pepaya yang dijual oleh Balai Penelitian Department Pertanian di Provinsi Khon Kaen, Thailand, tercampur dengan benih pepaya hasil rekayasa genetika. Kesimpulan itu diambil setelah Greenpeace melakukan uji laboratorium independen di Hongkong bulan Juli 2004.

"Kami sudah memperingatkan Pemerintah Thailand tahun lalu supaya tidak bermain dengan rekayasa genetika pepaya, tetapi mereka tidak menggubrisnya. Meskipun uji tanaman rekayasa genetika dilarang, nampaknya mereka tidak bisa menahan diri untuk tidak melakukannya sendiri. Sekarang mereka telah membiarkan seluruh tanaman pepaya di negara itu terbuka untuk terkontaminasi," demikian informasi dari situs Greenpeace.

Greenpeace telah mengidentifikasi lahan penelitian sebagai sumber benih pepaya hasil rekayasa genetika. Lahan uji coba penamanan di lapangan pepaya rekayasa genetika dengan lahan penanaman pepaya lainnya hanya dipisahkan dengan kawat berduri dan tanaman pisang.

"Jelaslah kasus di pusat penelitian yang menjadi pensuplai benih pepaya terbesar ini adalah kasus terburuk kontaminasi genetik pada tanaman pangan utama di Asia," kata Varoonvarn Svangsopakul, juru kampanye anti-rekayasa genetika Greenpeace di Asia Tenggara."Inilah bukti nyata yang kami butuhkan untuk membuktikan telah terjadi kontaminasi rekayasa genetika di Thailand."

Para aktivis Thailand menyegel pepaya rekayasa genetika di pusat penelitian pertanian Deptan Thailand itu. Dengan mengenakan pakaian pelindung, mereka memetik buah pepaya rekayasa genetika dari pohon untuk kemudian disimpan dalam kotak bahan berhaya. Mereka juga menuntut Pemerintah Thailand untuk segera menghancurkan semua pohon, buah, anakan, dan benih pepaya di pusat penelitian di Khon Kaen untuk mencegah terjadinya kontaminasi lebih lanjut.

Tahun lalu Greenpeace meminta Pemerintah Thailand menghentikan penanaman pepaya rekayasa genetika di seluruh negeri itu. Greenpeace juga memberikan contoh yang salah yaitu Hawaii.

Ketika pepaya hasil rekayasa genetika diperkenalkan di Hawaii, industri bioteknologi mengatakan benih itu solusi dari persoalan virus ringspot. Tetapi kenyataannya introduksi itu menjadi persoalan lingkungan dan ekonomi serius bagi para petani. Harga jual pepaya rekayasa genetika turun 30-40 persen di bawah biaya produksi, dan harga yang diterima oleh petani untuk pepaya rekayasa genetika yang mereka hasilkan 600 persen lebih rendah daripada harga pepaya organik.
 
KRKP: Tolak penggunaan tanaman transgenik di Indonesia

KRKP: Tolak penggunaan tanaman transgenik di Indonesia


Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) meminta Pemerintah Indonesia untuk menolak tanaman transgenik dalam sistem pertanian karena merugikan petani, seperti tindakan yang diambil oleh Presiden Venezuela.

?Produk transgenik yang kini diproduksi oleh sejumlah perusahaan multinasional hanya akan memperbesar ketergantungan serta memperparah keterpurukan petani,? tegas Witoro, koordinator KRKP, ketika dihubungi beritabumi.or.id kamis (6/5/2004).

Witoro berharap pemerintah Indonesia dapat mengambil tindakan yang sama dengan Venezuela. ?Penerapan bioteknologi modern untuk pertanian adalah jalan pintas dan bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan produksi pertanian, apalagi dampaknya justru merugikan petani kecil,? tambahnya.

KRKP merupakan koalisi yang terdiri dari LSM, pendamping petani, kelompok tani dan individu yang memperjuangkan terwujudnya kedaulatan pangan di Indonesia.

Konsep kedaulatan pangan mendukung rakyat mendapatkan haknya untuk memperoleh pangan, memproduksi serta mendistribusikan pangan, sehingga tidak lagi tergantung dan dipermainkan kepentingan lain.

Dalam kerangka KRKP, langkah yang lebih bijak untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah dengan menggunakan sumber daya lokal secara bijaksana sesuai dengan kondisi lingkungan, sosial, ekonomi serta budaya setempat.

Langkah ini diyakini mempunyai potensi yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan petani, membangun kemandirian serta membangun kedaulatan pangan di Indonesia.

?Kita memang mencari apa yang tersedia di tingkat lokal untuk menanggulangi masalah yang dihadapi petani tanpa perlu tergantung lagi,? jelas Kustiwa dari Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI), anggota KRKP.

Kustiwa menuturkan bahwa problem yang dihadapi petani berbeda sesuai dengan wilayah dan situasi sekelilingnya, tetapi prinsip pemecahan tetap sama dengan menerapkan lokalitas.

Melalui proses belajar bersama, kemampuan petani yang pernah hilang untuk memanfaatkan apa yang ada disekitarnya diasah kembali.

?Pernah saya berbagi pengalaman dengan teman-teman di NTT dan NTB tentang bagaimana mengatasi hama tanpa pestisida. Teman-teman bilang tidak ada tanaman seperti yang biasa saya gunakan di Jawa. Kemudian kami ke lapangan dan ternyata ada tanaman yang memiliki sifat pahit dan berbau yang bisa digunakan sebagai pestisida alami,? tutur Kustiwa.

Untuk pengembangan bioteknologi modern di bidang pertanian, Witoro menegaskan sejauh itu untuk penelitian di laboratorium dan untuk membantu mengidentifikasi dan menangani problem yang ditimbulkan oleh produk transgenik boleh-boleh saja. Karena jika kemampuan peneliti ditingkatkan, Indonesia tidak lagi begitu saja percaya dengan klaim industri tentang produk transgenik.

?Penelitian bioteknologi modern yang dilakukan harus sangat hati-hati dan tidak merugikan petani,? tegasnya.

Tetapi tampaknya KRKP perlu berjuang lebih keras mendesak pemerintah Indonesia untuk mengembangkan sistem pertanian yang berpihak pada masyarakat. Karena pembangunan pertanian di Indonesia saat ini diarahkan pada penerapan bioteknologi modern.

Hal itu tersebut tampak dari skenario yang disusun oleh Konsorsium Bioteknologi Indonesia dan Menteri Riset dan Teknologi seperti diberitakan oleh ISAAA, bahwa dalam dua dekade ke depan penerapan bioteknologi modern yang padat modal, merupakan prioritas utama bagi bangsa yang sebenarnya kekurangan ahli yang cakap di bidang tersebut serta masalah ketiadaan dana.
 
Venezuela larang tanaman transgenik

Venezuela larang tanaman transgenik


Presiden Hugo Chavez Frias memutuskan tanaman transgenik akan dilarang di Venezuela. Demikian dilaporkan oleh Venezuela's Electronic News belum lama ini.

"Saya perintahkan segera hentikan proyek kerja sama penanaman tanaman transgenik dengan Monsanto," kata Chaves dengan tegas setelah ia mengetahui tanaman transgenik yang akan digunakan dalam proyek kerja sama dengan Monsanto bertentangan dengan kebutuhan para petani dan buruh tani di Venezuela.

Chavez menekankan pentingnya kedaulatan pangan yang diisyaratkan oleh konstitusi Venezuela sebagai dasar dari keputusan yang diambilnya

"Jika ingin mencapai kedaulatan pangan kita tidak dapat berharap dari perusahaan transnasional seperti Monsanto," tambah Maximilien Arvelaiz, penasehat Chavez.

Arvelaiz lebih jauh menegaskan, "Kita harus memperkuat produksi lokal, menghormati warisan dan keanekaragaman hayati."

Walaupun kebijakan resmi untuk mengatur organisme hasil rekayasa genetik yang rinci masih disusun, pernyataan Chavez yang dikeluarkan menjelang Hari Bumi, 22 April lalu, mengarah pada pembatalan kontrak antara Venezuela dengan Monsanto.

Perusahaan agribisnis Amerika Serikat ini ingin menanam kedelai transgenik di lahan seluas lebih dari 5.000 hektar.

Keputusan ini bisa jadi merupakan peraturan yang paling ketat untuk mengatur produk hasil rekayasa genetik di belahan bumi utara.

Chaves memerintahkan agar lahan yang sedianya akan digunakan oleh Monsanto, digunakan untuk menanam yuca, tanaman lokal bahan baku industri Venezuela.

Ia juga mengumumkan pembuatan lumbung benih nasional untuk memelihara benih lokal. Pembuatan lumbung ini menunjukkan dukungannya pada gerakan petani di seluruh dunia.

Isu tanaman transgenik bertentangan dengan kepentingan petani diangkat oleh Via Campesina, organisasi pertani internasional dengan anggota lebih dari 60 juta petani dan buruh tani, saat pemerintahan Chavez mempersiapkan kontrak dengan Monsanto.

Rafael Alegria, Sekretaris Via Campesina mengatakan perusahaan multinasional seperti Monsanto dan Cargill mencari otoritas untuk memproduksi kedelai transgenik di Venezuela.

"Perjanjian dengan Monsanto ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan pangan dan panduan kebijakan pertanian Venezuela," kata Alegria saat menyampaikan keputusan presiden itu.

"Hal ini merupakan langkah penting untuk petani dan masyarakat adat di Amerika Latin dan seluruh dunia."

Alegria berharap langkah yang di Venezuela akan mendorong negara lain untuk bersikap terhadap produk transgenik.

"Rakyat AS, Amerika Latin dan di seluruh dunia perlu mengikuti langkah Venezuela yang berani menyatakan bebas dari transgenik." Alegria memiliki alasan kuat untuk khawatir karena sejarah mencatat Monsanto sebagai perusahaan yang memiliki masalah sosial dan lingkungan.

Orange agent atau agen jingga, bahan kimia yang diproduksi Monsanto digunakan sebagai senjata kimia untuk menghancurkan Vietnam. Akibatnya lebih dari satu juta orang yang terpapar agen jingga mendapat masalah kesehatan seperti keguguran, tremor, dan hilang ingatan.

Monsanto juga mendapatkan kecaman keras dan dampak negatif dari tanaman transgenik dan hormon pertumbahan bovine growth hormone (rBGH) yang diyakini berdamak pada kesehatan manusia dan lingkungan.

Monsanti memproduksi herbisida glyphosate yang digunakan oleh Pemerintah Colombia sebagai bagian dari Rencana Colombia (Collombia Plan) untuk melawan produksi kokain dan kelompok pemberontak.

Pemerintah Kolombia menyemprotkan herbisida ke wilayah seluas ribuan hektar, menghancurkan lahan pertanian yang sah dan alami seperti hutan tropis putomayo, serta menghadirkan ancaman langsung terhadap kesehatan manusia termasuk masyarakat adat.
 
AS tolak ijin tanam padi transgenik

AS tolak ijin tanam padi transgenik


Sekretaris Departemen Pangan dan Pertanian Kalifornia, Amerika Serikat menolak memberikan ijin penanaman untuk dua varietas padi hasil rekayasa genetik yang mengandung protein manusia milik perusahaan Ventria Bioscience. Ekstrak padi transgenik yang dikembangkan Ventria Bioscience ini akan digunakan sebagai bahan obat diare dan anemia.

Keputusan yang diambil pada Jumat 9 April 2004 tersebut membuyarkan harapan perusahaan yang bermarkas di Sacramento tersebut untuk melakukan komersialisasi padi transgenik. Terbuka kemungkinan bahwa Ventria Bioscience akan dilarang menanam padi seluas ratusan hektar di Kalifornia.

Sebelum keputusan ini dikeluarkan, masyarakat terus menyatakan penolakan terhadap padi transgenik melalui telephon, e-mail, faks maupun surat. Sehingga keputusan ini merupakan kemenangan bagi petani dan aktivis lingkungan. Mereka menganggap implikasi beras transgenik terhadap ekonomi dan lingkungan terlalu besar untuk diputuskan secara terburu-buru.

"Padi transgenik menghadirkan risiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, sayangnya hingga saat ini belum ada penelitian yang mencukupi tentang hal tersebut." kata Bill Freese, peneliti kebijakan dari Friends of the Earth, organisasi lingkungan internasional. Walau pun lactoferrin dan lysozyme merupakan protein manusia yang aman bagi manusia, tetapi belum jelas apakah varietas padi hasil rekayasa genetik yang mengandung kedua protein tersebut tidak berbahaya bagi manusia dan hewan.

Para petani padi, seperti Greg Massa juga merasa gembira dengan keputusan yang diambil Pemerintah. Massa dan petani lainnya khawatir bahwa introduksi beras transgenik akan mengancam industri beras Kalifornia yang bernilai sekitar 500 juta dolar AS. Mereka beranggapan bahwa ancaman pencemaran akan membuat pembeli dari Eropa dan Jepang menolak produk mereka.

Sebelum keputusan tersebut dikeluarkan para petani menyampaikan petisi kepada Departemen Pangan dan Pertanian Kalifornia agar menolak tinjauan darurat terhadap padi transgenik tersebut. Para petani beranggapan harus dilakukan proses dengar pendapat dengan masyarakat sehingga keprihatinan para petani didengarkan.

"Saya sangat senang jika mereka melakukan lebih banyak konsultasi publik," kata Massa setelah mendengar keputusan tersebut. ?Tidak ada dasar untuk menerapkan aturan darurat untuk hal ini."

Ventria sudah menanam padi transgenik di Kalifornia sejak 1997. Tetapi untuk luas areal lebih dari 5.000 m2, terlebih dahulu harus mendapatkan ijin dari Departemen Pangan dan Pertanian Kalifornia.

Sekretaris Departemen Pangan dan Pertanian Kalifornia menolak permohonan persetujuan darurat untuk beras transgenik Ventira yang diajukan oleh Komisi Beras Kalifornia dengan dua alasan. Pertama, persetujuan darurat akan memotong proses pengkajian yang melibatkan publik. Kedua, Komisi Beras harus melakukan verifikasi apakah Vetria sudah memegang ijin dari federal.

Kemudian terungkap Ventria belum mendapatkan ijin dari lembaga Administrasi Pangan dan Obat AS/U.S. Food and Drug Administration(FDA) untuk menanam padi transgenik di Kalifornia. Sebelumnya, FDA menolak usulan Ventria untuk menanam padi transgenik di area seluas 12.000 m2 di Kalifornia. Tetapi kini FDA kini sedang mempertimbangkan untuk memberikan ijin pada area seluas 1400 m2.

Menanggapi keputusan tersebut, Scott Deeter dari Ventria Bioscience mengatakan bahwa mereka akan mempertimbangkan untuk menanam padi transgenik di negara bagian lain yang peraturannya lebih lemah. "Kami tidak ingin kehilangan waktu lagi," tegas Deeter.
 
Pohon transgenik perburuk pemanasan global

Pohon transgenik perburuk pemanasan global


Pohon transgenik akan memperburuk kondisi hutan yang sudah rusak akibat penanaman monokultur secara besar-besaran, demikian tegas Anne Petermann dari Global Justice Ecology Project pada konferensi pers bersama aktivis internasional lain untuk memperingati Hari Bumi, 22 April lalu di Washington DC.

?Penyebaran serbuk sari dari pohon transgenik akan mencemarkan hutan alam, dan hal ini akan tersebar semakin luas lagi terus-menerus, akhirnya menjadi lingkaran pengrusakan ekologis terbesar yang pernah terjadi,? tambah Petermann yang juga ketua Kampanye Nasional untuk Melarang Pohon Transgenik tentang dampak negatif pohon transgenik.

Pohon transgenik yang dirancang agar dapat tumbuh cepat tanpa benih, bunga, serbuk sari atau buah dapat membawa malapetaka bagi burung dan serangga, karena tidak memberikan makanan sedikitpun pada kehidupan liar lainnya.

Sementara tanaman transgenik yang menghasilkan serbuk sari menyebabkan pencemaran yang dapat mengubah ekosistem hutan.

Sebelumnya pada 1993, Toyota produsen mobil dari Jepang sudah melakukan uji coba untuk pohon transgenik yang dimodifikasi agar dapat menyerap lebih banyak karbon.

Selain penyerapan karbon meningkat, para ilmuwan dari Toyota juga mencatat peningkatan konsumsi air secara dramatis dari pohon-pohon transgenik ini.

Organisasi lingkungan internasional diantaranya Friends of The Earth, The Siera Club, Forest Ethics mendesak agar keputusan PBB dibawah Protokol Kyoto yang mengizinkan penggunaan pohon rekayasa genetik atau pohon transgenik sebagai alat pencuci karbon dibawah Clean Development Mechanism (CDM) segera dicabut.

Keputusan yang diambil pada oleh COP9 United Nations Framework Convention on Climate Change/Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim pada Desember 2003 di Milan, Italia ini dianggap hanya menghasilkan peraturan untuk memberikan subsidi baru bagi proyek industri kehutanan.

Larry Lohman dari The Corner House, kelompok studi Inggris mengatakan akibatnya justru akan terjadi percepatan pemanasan global dengan mempromosikan penanaman pohon transgenik monokultur secara besar-besaran, hilangnya keanekaragaman hayati serta pelanggaran atas hak masyarakat atas lahan dan hutan di seluruh dunia.

Protokol Kyoto tentang penggunaan pohon transgenik juga menempatkan negara berkembang pada posisi yang lemah.

Keputusannya menetapkan negara penerima pohon transgenik harus melakukan evaluasi tentang potensi risiko yang terkait dengan penggunaan pohon transgenik sesuai dengan peraturan nasional yang berlaku.

Artinya, pemerintah di negara Utara dan perusahaan tidak berkewajiban untuk mengevaluasi risiko dari proyek pohon transgenik yang mereka bebankan pada negara-negara selatan.

Para aktivist melihat Bank Dunia akan mempromosikan penggunaan pohon transgenik melalui program Prototype Carbon Fund, yaitu program dana perdagangan emisi yang mempercepat penanaman hutan di negara-negara Selatan agar menyeimbangi emisi karbon dioksida dari negara Industri di Utara untuk mencegah pemanasan global.

Sebelumnya keputusan penggunaan pohon transgenik di bawah Protokol Kyoto ini telah diprotes oleh Norwegia dan Swiss, tetapi selama COP9, suaranya melemah. Sehingga keputusan yang diambil bertentangan dengan Protokol Keamanan Hayati dibawah Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati, Konvensi PBB yang mengatur penggunaan organisme transgenik.
 
Indonesia bisa cegah penggunaan pohon transgenik

Indonesia bisa cegah penggunaan pohon transgenik


Badan otorita CDM nasional atau Designed National Authority/DNA dapat dijadikan kunci untuk mencegah penggunaan pohon transgenik sebagai alat untuk menurunkan konsentrasi karbon dalam kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism /CDM) di bawah protokol Protokol Kyoto.

Hal tersebut dijelaskan Chandra Anggiwibowo, peneliti bidang kehutanan Pelangi, menanggapi kemungkinan penggunaan pohon transgenik dalam program CDM di Indonesia.

Sementara itu, Ir. Gunadi, Asisten Deputi 3 Urusan Atmosfir dan Perubahan Iklim Kementrian Lingkungan Hidup per telepon menyatakan pohon transgenik dapat digunakan pada proyek CDM selama tidak menyebabkan penurunan aspek kualitas lingkungan.

?Sehingga yang pertama harus kita lakukan adalah mencari tahu apa implikasi pohon transgenik terhadap lingkungan, karena pada prinsip proyek CDM tetap harus menjaga keberlanjutan lingkungan,?tegas Gunadi.

Implikasinya terhadap pembangunan berkelanjutan inilah yang akan diuji lebih dahulu oleh departemen teknis dan menjadi bahan pertimbangan bagi DNA dalam meloloskan satu proyek CDM. ?Pada dasarnya DNA ini lah yang akan menilai dan mengawal apakah proyek CDM berkelanjutan atau tidak,?jelas Gunadi. Menurut Gunadi, pelaksanaan CDM di Indonesia diusahakan untuk tidak membuat banyak aturan baru, namun arahnya lebih untuk menyelaraskan dan melengkapi aturan yang ada.?Sehingga untuk mengatur pohon transgenik, nanti bisa diselaraskan dengan aturan dibawah Protokol Kartagena tentang Keamanan Hayati dari produk hasil rekayasa genetik.?

Chandra menegaskan kembali pernyataan tersebut ?Intinya proyek CDM harus dapat mengurangi emisi dan harus mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di negara berkembang,? tambah . Jika penggunaan pohon transgenik dinilai dapat merusak ekologi di Indonesia maka bisa tidak diperbolehkan dalam proyek CDM.

Chandra menerangkan pada dasarnya otoritas nasional yang memegang kunci dalam pelaksanaan CDM, sehingga walau pun COP9 United Nations Framework Convention on Climate Change/Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim, Desember 2003 memperbolehkan penggunaan pohon transgenik, pemerintah Indonesia lah yang memutuskan apakah akan menerima atau menolak proyek CDM yang menggunakan pohon transgenik.

Indonesia sudah mempersiapkan DNA selama hampir satu tahun. DNA inilah yang menetapkan kriteria dan indikator untuk menilai proyek yang akan dilaksanakan dibawah CDM. Proses penyusunan DNA dilakukan dua tahap. Pertama terlebih dahulu menetapkan kriteria dan indikator sektoral, yang kemudian dijadikan dasar penyusunan kriteria dan indikator nasional.

?Dibandingkan dengan negara lain, seperti Malaysia misalnya, draft DNA yang sedang disusun ini bisa dibilang paling komplit,? tambah Chandra. Hal ini dapat terjadi karena proses penyusunan drat DNA ini melibatkan multi pihak, dari sektor terkait di pemerintahan hingga LSM, untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh.

Diharapkan pada akhir April 2004 ini, penyusunan DNA sudah dapat diselesaikan. Untuk mempercepat proses, anggota DNA akan diangkat melalui Keputusan Menteri, tetapi jika dalam perjalanannya dibutuhkan legitimasi yang lebih tinggi, akan ditingkatkan menjadi Keppres.

Hal penting agar dapat terlibat dalam CDM adalah Indonesia harus terlebih dahulu meratifikasi Protocol Kyoto . Dalam proses Ratifikasi Protokol Kyoto ini, pada 1 April 2004 Kementrian lingkungan Hidup sudah mendapatkan Amanat Presiden untuk melaksanakan proses ratifikasi. Untuk langkah selanjutnya adalah pembahasan di tingkat DPR.
 
Tanaman transgenik tingkatkan penggunaan pestisida di AS

Tanaman transgenik tingkatkan penggunaan pestisida di AS


Hasil penelitian menunjukkan setelah delapan tahun (1996-2003) penanaman tanaman transgenik di Amerika Serikat, penggunaan pestisida (herbisida dan insektisida) meningkat menjadi lebih dari 25 juta kilogram.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Northwest Science and Environmental Policy Center (NSEPC) ini menumbangkan klaim dari industri benih transgenik yang menyatakan bahwa tanaman transgenik mengurangi penggunaan pestisida.

NSEPC mengambil data resmi Departemen Pertanian AS tentang penggunaan pestisida berdasarkan jenis tanaman dan wilayah negara bagian.

Data resmi itu menunjukkan pada tiga tahun pertama penanaman transgenik (1996-1998) memang terjadi pengurangan pemakaian pestisida sekitar 17,7 juta kilogram. Tetapi pada masa 2001/2003, lebih dari 36,5 juta kg pestisida disemprotkan di ladang-ladang transgenik.

Dr Damayanti Buchori, Ketua Jurusan Hama dan Tanaman Penyakit IPB, tidak merasa aneh dan heran ketika diminta komentarnya.

?Pada dasarnya prinsip bekerja tanaman transgenik sama seperti pestisida, sehingga pada saat serangga sasaran sudah berhasil mengembangkan resistensi terhadap bahan kimia tertentu maka tidak lagi efektif sehingga harus digantikan dengan jenis lain atau ditambahkan pemakaian pestisidanya,? kata Buchori menjelaskan.

Dibandingkan dengan tanaman konvensional, tanaman transgenik tahan herbisida khususnya kedelai mengalami peningkatan penggunaan herbisida secara signifikan. Penyebabnya adalah munculnya gulma super yang semakin lama semakin tahan terhadap herbisida , sehingga petani harus menyemprot lebih banyak herbisida untuk mengendalikannya.
 
Tanaman transgenik tahan herbisida kurangi populasi burung

Tanaman transgenik tahan herbisida kurangi populasi burung


Jurnal ilmiah Science edisi 1 September 2000 melaporkan hasil penelitian menggunakan model menunjukkan penggunaan tanaman transgenik tahan herbisida (genetically modified herbicide-tolerant ? GMHT) bisa mengurangi populasi burung di kawasan pertanian luasan sempit. Tetapi penggunaan GMHT kecil pengaruhnya pada jenis satwa lainnya.

Andrew Watkinson, dari University of East Anglia, di Norwich, Inggris, dan koleganya membuat sebuah model yang bisa digunakan untuk mensimulasikan pertumbuhan populasi gulma di antara tanaman GMHT. Dengan menggunakan model itu, mereka menyelidiki konsekuensi perubahan penggunaan hebisida berkaitan dengan penanaman GMHT. Hasilnya jumlah biji dari gulma bisa diperkirakan menurun hingga 90 persen dalam beberapa kasus.

Berkurangnya jumlah gulma mempengaruhi jumlah burung-burung. Diperkirakan oleh mereka, akibat penurunan ketesediaan biji-biji gulma bisa mengurangi jumlah burung skylark (Alauda arvensis), sejenis burung bernyanyi di Eropa, yang hidup di lahan pertanian.

Uji coba lapangan yang dinilai kontroversial sudah dimulai di Inggris tiga tahun yang lalu untuk menyelidiki konsekuensi penanaman tanaman GMHT pada keanekaragaman hayati. Hasilnya belum dilaporkan.

Intensifikasi pertanian selama beberapa dekade di Eropa telah memberikan dampak serius pada burung-burung, yang populasinya di Inggris menurun hingga 90 persen dalam 25 tahun terakhir ini, ungkap Watkinson.

?Introduksi secara luas tanaman pangan tahan herbisida akan berdampak pada menurunnya sejumlah burung yang hidup di kawasan pertanian jika tidak diambil langkah-langkah mitigasi,? kata Watkinson.

Model yang dikembangkan oleh Watkinson dan timnya menguji penanaman bit tahan herbisida dan dampaknya pada gulma utama tahunan Chenopodium album. Gulma ini dikenal dengan nama Lamb?s Quarters di Amerika Utara dan Fat Hen di Inggris.

?Hasil ini kemungkinan berlaku luas untuk jenis-jenis tanaman pangan, gulma, dan burung pemakan biji-bijian lainnya,? kata Watkinson menjelaskan.

Dalam laporannya di Science, Watkinson dan koleganya menekankan temuan mereka tidak hanya bisa diterapkan untuk melihat dampak dari rekayasa genetika. Pendekatan yang sama bisa digunakan untuk memperkirakan konsekuensi berbagai perubahan praktek pertanian lainnya.
 
Back
Top