cerpen: Dasar Kau Memang Copycat

Kalina

Moderator
Oleh: Prita safitri

SEHELAI syal berwarna ungu tua itu apik tergantung di etalase salah satu butik favorit Citta. Langkah Citta terhenti. Dia menahan napas melihat benda itu. Duh, kenapa warnanya harus ungu tua, bikin Citta nggak kuasa untuk berbelok dan sekadar melihat tag harga.

Lima digit angka terpampang di situ. Citta membelalak kaget. "Dua ratus lima puluh sembilan ribu rupiah? Batal deh," ujarnya. Ina yang sejak awal hanya diam di belakangnya kini ikut melihat tag harga.

"Murah kali segini. Kenapa nggak dibeli saja Cit?" Citta menoleh, lalu menggeleng tanda tak setuju. Sudah terlihat jelas, apa yang dianggap murah oleh Ina nggak sama dengan murah versi Citta. Daya beli mereka berbeda.

"Mending cari toko lain. Kayaknya ada syal setipe itu yang harganya jauh lebih murah. Pasti bagus kalau aku paduin sama atasan yang kemarin," celoteh Citta sambil beranjak pergi.

Benar saja dugaan Citta. Di toko lain dia menemukan syal sejenis yang harganya lebih miring. Tanpa banyak pertimbangan, Citta membeli syal tersebut. Saat itu dia berjalan-jalan sendirian dan tanpa sengaja melihat benda serupa.

Betapa terkejut Citta saat keesokan harinya bertemu Ina yang memakai syal persis yang diinginkannya di butik. Padahal, dia juga memakai punyanya kala itu. Alhasil, mereka bak kembar siam yang berpakaian serupa.

"Lho Na, kamu beli juga?" tanya Citta melongo. "Iya nih, katamu kan bagus. Ternyata, memang bagus," jawab Ina riang. "Ooooh," ujar Citta speechless.

"Keren ya?" tunjuk Ina pada sebuah MacBook Air. Laptop tipis itu memang terlihat enak dan ringan untuk dibawa ke mana-mana. "Lumayan," komentar Citta dengan datar. Siang itu mereka sengaja bolos les karena Ina berniat membeli sebuah laptop baru. Sudah dua jam mereka berputar-putar.

Keluar masuk satu toko ke toko lain. Tapi, Ina belum menunjukkan tanda-tanda akan memutuskan pilihan. "Sebenarnya mau cari yang kayak gimana sih?" tanya Citta agak putus asa. Perutnya sudah minta diisi. Satu lagi, awas kalau Ina membatalkan niat membeli laptop. Tahu gitu, tadi dia ikut les saja. Hari ini materi lesnya review pelajaran geografi buat persiapan ujian.

"Pokoknya yang keren. Yang nggak dipunyai anak-anak," tutur Ina sambil matanya sibuk melihat etalase toko. Citta menepuk dahi, masak mau beli barang bukan lihat kebutuhan. Melainkan, lihat siapa yang punya.

"Lho, seharusnya kamu lihat-lihat. Bujetnya berapa, terus kamu butuh buat apa. Kalau cuma buat ngetik-ngetik, ya nggak usah yang bagus banget," saran Citta.

"Jangan salah kamu, kudu stylish juga dong. Lagian, nggak enak kalau beli yang pasaran," respons Ina enteng.

"Gini saja, kamu salah kalau beli di sini. Soalnya, sudah pasti barangnya dikembarin orang. Coba kamu telepon Steve Jobs atau Bill Gates. Pesan khusus buat kamu, pasti nggak ada yang ngembarin, kan?" Kali ini Citta sudah sebal betulan.

Ina memang anak orang kaya. Pokoknya, nggak perlu heran kalau ternyata selain kebun sawit, Ina punya kebun duit. Tapi, Citta mau berteman bukan karena Ina kaya. Melainkan, mereka cocok dalam beberapa hal. Meskipun, nggak jarang Citta dibikin keki oleh Ina.

"Haha. Boleh juga tuh idenya. Tapi, omong-omong, Steve Jobs sama Bill Ga?*tes siapa sih?" Ina pasang muka polos.

"Astaga!"

Ina membeli laptop MacBook Air yang supertipis. "Berapa duit, Na?" tanya Dinar sambil mengelus si MacBook.

"Aduh, berapa ya? Lupa aku. Ya segituan itu," ujar Ina cuek.

Saat Ina sibuk mendemonstrasikan laptop di depan teman-teman sekelas, Citta justru asyik browsing menggunakan minilaptop punyanya. Laptop ukuran kecil berwarna putih tersebut dibelikan oleh mamanya beberapa bulan lalu. Untung, sekolah punya fasilitas wifi sehingga memudahkan siswanya mengakses internet secara gratis.

"Ta, gimana pakai ini?" Tahu-tahu Ina nemplok di bangku sebelahnya.

"Pakai apa?" tanya Citta tanpa menoleh ke arah Ina. Dia terlalu asyik menelusuri situs-situs yang memuat aneka kebudayaan Indonesia.

"Ini lho, cara pakai ini. Terus, munculin menu ini gimana ya?"

Waktu beli laptop kapan hari, Citta sudah mengingatkan Ina. Sistem operasi Mac beda dengan laptop biasanya yang menggunakan Microsoft standar. Tapi, waktu itu Ina bilang bukan masalah besar.

"Aku nggak ngerti, Na. Nggak pernah pegang. Sana deh, coba kamu minta diajarin Pak Halim," ucap Citta dengan menyebutkan nama salah seorang guru komputer mereka. Jujur, Citta sedikit risi dengan Ina yang sering menjadikan dirinya sebagai kiblat dalam membeli sesuatu. Kalau satu dua barang sih nggak apa-apa. Namun, sekarang sudah hampir semua barang mereka identik. Hm, kenapa ya Ina nggak beli saja barang-barang yang lebih bermerek mahal.

"Eh, aku bosan sama gaya rambutku. Ke salon ah!" celetuk Citta iseng di tengah pelajaran matematika.

"Iya nih. Aku juga bosan sama rambutku. Aku antar ya ke salon?" Ina berbaik hati menawarkan.

"Boleh saja. Memang kamu mau potong rambut juga?" tanya Citta.

"Mungkin. Sudah lama nggak potong. Rambutku sudah lumayan panjang," Ina mengelus rambutnya.

"Potong kayak Rihanna ah," ujar Citta. "Rihanna? Keren tuh. Aku juga mau," timpal Ina. Citta tersenyum penuh arti.

Sepulang sekolah, mereka berdua pergi ke salon langganan Citta. Pengunjung salon ramai sehingga mereka harus mengantre dulu. Saat giliran mereka, Citta mempersilakan Ina duluan.

"Tuh, ada satu kosong. Kamu duluan Na," ujar Citta berbaik hati.

"Oke. Aku duluan ya? Asyik, bergaya ala Rihanna," seru Ina.

Bukan maksud Citta berbuat jahat. Tapi, sesekali dia ingin menegur Ina. Setelah rambut Ina dibabat habis dan cepak seperti punya Rihanna, Citta mengurungkan niat belum siap punya rambut pendek.

"Ah, kamu kok gitu sih, Ta. Aku telanjur potong cepak gini," protes Ina.

"Lho, aku kan nggak nyuruh. Kamu sendiri yang mau," respons Citta kalem. ***

Penulis adalah pelajar, SMAN 4 Surabaya.
 
Bls: cerpen: Dasar Kau Memang Copycat

non kalin~ baca deteksi rubrik cerpen juga ya~

tar tunggu cerpen saia dimuat disana~ huohohohoho~
 
Bls: cerpen: Dasar Kau Memang Copycat

Hehe iya i love Jawa Pos Deteksi. Bagus-bagus. Hihih

Oke aku tunggu
 
Back
Top