Flash Fiction.

Dipi76

New member
Salah satu seni yang tumbuh bersama laju internet adalah Flash Fiction. Ketika pengguna mencari naskah-naskah pendek yang lebih mudah dibaca pada layar komputer.

Flash fiction adalah cerita yang sangat pendek. Ketika menuliskan sebuah flash fiction, ibarat anda maju ke medan perang dengan amunisi kata-kata yang terbatas. Untuk menyelesaikan cerita dan memenangkan perang, anda membutuhkan strategi dan teknik-teknik tersendiri.

Flash fiction sendiri memiliki definisi adalah sebuah cerita dengan panjang kata antara 300 sampai 1000 kata. Lebih panjang dari micro fiction (10-300 kata) tetapi lebih pendek cerita pendek yang telah kita kenal sebelumnya (3000-5000 kata.)

Flash fiction biasanya adalah sebuah cerita dengan satu tindakan atau langkah, terkadang merupakan titik puncak dari beberapa kejadian yang tidak tertulis atau disebutkan.

Yang perlu diperhatikan dalam menulis flash fiction :

1. Ide kecil

Cobalah untuk melihat ide yang lebih kecil pada sebuah cerita besar.

Untuk menuliskan hubungan antara orangtua dan anak, anda membutuhkan novel untuk menuliskannya. Pikirkan tema yang lebih kecil dari tema di atas. Gambarkan bagaimana perasaan anak yang keinginnnya tidak terpenuhi. Bagaimana sikap bapak pada tagihan telepon yang membengkak. Bagaimana ibu menyikapi rapor merah anaknya.

2. Lupakan pengantar pada pembukaan cerita

Ketika anda menuliskan cerita, jangan mengambil dua halaman hanya untuk menjelaskan pengantar cerita. Cari cara untuk menjelaskan semuanya pada paragraph pertama, lalu lanjutkan dengan sisa cerita.

3. Mulai dari pertengahan aksi

Senada dengan teknik nomor 2, mulailah bercerita di bagian tengah aksi. Seorang pria berlari. Bom berhasil dijinakkan. Seekor monster di dalam rumah. Anda tidak perlu mendeskripsikan lebih jauh lagi. Pembaca dapat membuat persepsinya sendiri berdasarkan cerita anda.

4. Fokus pada satu gambaran terkuat

Carilah satu gambaran terkuat lalu fokus hanya pada gambaran itu pada keseluruhan cerita.

5. Buatlah pembaca menebak-nebak sampai akhir cerita

Pertahankan misteri cerita selama mungkin. Pembaca mungkin tidak memiliki gambaran tentang apa yang terjadi pada sebagian besar cerita. Ini akan memaksa mereka untuk terus membaca. Di bagian akhir cerita, anda harus membayarnya dengan eksekusi cerita yang menarik.

6. Gunakan referensi atau rujukan

Dengan menggunakan referensi yang mengarah pada sebuah kejadian (yang terkenal) anda dapat menghemat banyak kata. Rujuk ke peristiwa sejarah. Gunakan situasi yang terkenal. Misalnya jika anda membuat cerita dengan set kapal Titanic, anda tidak perlu menjelaskan apa yang terjadi pada kapal itu karena semua orang telah mengetahuinya. Anda dapat menggunakan kata-kata anda untuk membuat gambaran yang lain.

7. Teknik memutar atau kembali ke awal cerita.

Mirip dengan teknik nomor 5, teknik ini mengijinkan penulis untuk membuat beberapa eksekusi akhir pada bagian akhir cerita. Bayangkan saja gaya sebuah guyonan, bagaimana guyonan baru terlihat lucunya di bagian akhir.

Keterbatasan jumlah kata flash fiction sendiri sering kali memaksa beberapa elemen kisah (protagonis, konflik, tantangan, dan resolusi) untuk muncul tanpa tersurat; cukup hanya disiratkan dalam cerita. Secara ekstrem, prinsip ini dicontohkan oleh Ernest Hemingway dalam cerita enam katanya, "Dijual: sepatu bayi, belum pernah dipakai."

Ada yang berani mencoba? :D

-dipi-
 
Kuku-Kuku Kaki Kakek Ku

"Haduuhh, sial"
"6 kali ini, Cu. Udah 6 kali dan semuanya disatu bagian ini. Coba bayangkan"
"Yah, kan nggak rugi, Kek. Bisa tumbuh lagi, kok"
" Ya memang, Cu, tapi sakitnya itu loh. Batu sialan. Bisa-bisanya dia ada di tengah sawah seperti ini. Ranjau ini namanya."

Kemudian dua insan sedarah itu menuju ke gubuk. Ada bekal makan siang di situ. Singkong rebus dan seceret kopi.

Satu potong singkong habis terlahap, lalu didorong oleh kopi dingin.

" Cresss "

Bunyi korek dinyalakan, diikuti ujung rokok yang terbakar.

" Wah, ini namanya kenikmatan hidup, Cu ". Asap rokok mengepul.

" Udah ilang sakitnya, Kek?"

" Ho-oh"


-dipi-
 
Bls: Menulis Flash Fiction, Yuk.

Si Mbak Bermata Nanar

" Mbak, jam segini saatnya saya terlelap. Paham kan?"
Si Mbak mengangguk
" Subuh saya harus sudah bangun. ngerti kan?"
Si Mbak mengangguk
" Tau kan kenapa saya shalat dulu sebelum tidur?"
Si Mbak mengangguk
" Al Quran ini selalu ada disamping bantal saya, jadi jangan macam-macam"
Si Mbak mengangguk
" Sudah berkali-kali aku bilang, aku tidak mau tahu apa yang sudah terjadi terhadapmu. Kamu paham nggak sih?"
Si Mbak mengangguk

"Lalu kenapa kamu masih di situ???"

Si Mbak cuma diam.
Berdiri dipojok kamar.
Dengan wajah pucat dan memar.
Dengan jubah putih terang.
Dan pandangan mata yang nanar.

Ahh...bau wangi aneh ini, kapan bisa hilang.



-dipi-
 
Bls: Menulis Flash Fiction, Yuk.

O ya, minta tolong dipilihin cerita yang sekiranya bagus ya?
terus minta pendapat juga soal cerita2nya, bagaimana interpretasi pembaca, bagaimana kejelasan cerita dan juga ditunggu kritik2nya.

Terima kasih sebelumnya. :)

-dipi-
 
Bls: Menulis Flash Fiction, Yuk.

Jatuh

Tanganku menggapai-gapai, mencoba mencari pegangan.
Tak satupun yang bisa ku raih.
Dinding tebing begitu licin. Jangankan pohon, tonjolan batu saja tak ada.
Mulus dan licin.
Angin panas deras menerpa. Semakin jauh aku jatuh, semakin panas terasa.
Habislah riwatku kali ini.
Tidak ada jalan keluar.
Dinding licin semakin cepat berkelebat.
Aku pasrah, dan menutup mata.
Sampai sebuah permukaan lembut menyambut punggungku.
Aku seperti mendarat di kapas. Lembut sekali.
Aku membuka mata, seorang lelaki tampan mengulurkan tangannya, membantuku berdiri.
"Selamat datang di neraka… jangan khawatir, kamu akan disiksa di sini untuk selamanya."
Nun jauh di depan sana, aku melihat api berkobar ganas.
 
Bls: Menulis Flash Fiction, Yuk.

Ulah Bapak

Aku benci bapakku.
Dia melakukan apa saja yang dia bisa untuk memaksaku melakukan hal-hal yang tidak aku sukai.
Mengajakku bicara ketika aku ingin tidur.
Menggodaku ketika aku bermain.
Memaksaku mendengarkan musik yang aku tidak sukai.
Bayangkan saja, aku dipaksa mendengarkan musik klasik! Mozart!
Beri aku Ikke Nurjannah, aku bahagia, bukan Mozart!
Bapakku memang sudah gila.
Sekarang, lihat apa yang dia coba lakukan padaku. Dia memaksaku untuk keluar dan bermain di tengah dinginnya malam.
Bahkan dia membuang selimutku jauh-jauh. Menggelitik. Menarik. Berteriak.
Bukan itu saja, bapak sampai mengundang orang lain untuk membantuku keluar dari kehangatan rahim Ibu. Aku benci bapakku.
 
Bls: Menulis Flash Fiction, Yuk.

Pohon Tua Di Atas Bukit

Aku memandang foto itu untuk kesekian kalinya hari ini. Foto hitam-putih sebuah pohon tua yang besar di atas bukit. Berdiri tegar tanpa tergoyahkan oleh angin badai sekalipun. Daun-daunnya yang rimbun memberikan keteduhan walau seterik apapun matahari bersinar.

Aku sendiri yang mengambil foto itu tahun lalu. Pohon itu mengingatkan aku akan suamiku. Laki-laki yang tetap tegar berdiri walau sekeras apapun masalah menimpanya. Laki-laki yang dengan kedua tangannya akan memeluk dan menenangkanku setiap kali aku terjatuh. Senyum yang selalu dia lemparkan sebelum berangkat ke kantor. Ya, pohon itu mengingatkanku padanya.

Di bawah pohon itu aku menguburnya bersama dengan perempuan sundal keparat itu.
 
Bls: Menulis Flash Fiction, Yuk.

Bilang Sama Dia!

"Pasti dia lagi sama perempuan itu lagi kan? Sudahlah, gak usah bohong! Lo gak usah nutup-nutupin lagi. Gua udah tahu semuanya!"

Aku cuma diam sementara suara di seberang sana membuat kupingku berkeringat.

"Kalau memang begini caranya untuk apa dia pake ngelamar segala? Sok pake nentuin tanggal, cari gedung segala macem! Bullshit semuanya!"

Untuk ketiga kalinya aku memindahkan handphone ke telinga yang lain.

"Bilang sama sahabat lo itu, mendingan batalin semuanya, pergi saja sana sama pelacur itu!"

Tuuut.

Aku menghela napas dan memandang langit-langit.

"Maafin pacar gue ya," ujar sebuah suara lirih. Aku memandang bibir darimana suara itu berasal, dan mengecupnya.
 
Bls: Menulis Flash Fiction, Yuk.

Selamat Jalan, Koh...

Aku tidak tahu siapa namanya. Dia juga tidak tahu siapa namaku, tapi kami selalu saja saling menyapa. “Selamat pagi, Pak Damai...,” begitu sapanya. Dan aku balik menyapanya, “Selamat pagi. Selamat bertugas, Koh.”

Yang dia tahu tentangku hanyalah aku anak perempuan Pak Damai. Dan yang aku tahu tentangnya hanyalah, dia seorang tukang parkir keturunan tionghoa dan, maaf, agak idiot. Tapi dari seorang idiot, dia banyak berbagi perhatian walau dengan caranya sendiri yang sederhana.

Minggu kemarin dia meninggal dunia dan kedudukannya digantikan oleh tukang parkir baru. Aku kenal namanya, dia juga kenal namaku, dan dia...tidak idiot, dan dia...tidak pernah menyapa….
 
Bls: Menulis Flash Fiction, Yuk.

Dua Sejoli

Aku memeluknya erat. Menghirup bau tubuhnya. Merasakan kehangatan kulitnya. Dan aku berbisik.

"I love you."

Dia menggeliat. Membuka separuh matanya, tersenyum, dan mengecup dahiku.

"I love you more," dan balas memelukku erat.

Tiba-tiba dia terlonjak. Terhenyak, mengambil jam tangan di meja samping tempat tidur.

"Aku harus pergi. Aku sudah terlambat."

Aku menggeliat dengan malas. Kecewa. Aku masih merindukannya. Kehangatannya.

Dia tahu. Dia memelukku dari belakang dan mengecup leherku.

"Lusa kita bertemu lagi di sini," janjinya. Aku tersenyum. Bibir kami bertemu. Mesra. Hangat dan penuh cinta. Kurapikan dasinya, dan dia mengancingkan bajuku.

Kami pun meninggalkan kamar hotel.

Pulang ke istri masing-masing.

 
Bls: Menulis Flash Fiction, Yuk.

SMS

Dia: Aku kangen.

Aku: Aku juga.

Dia: Kita ketemu yuk.

Aku: Tidak hari ini. Suamiku di rumah.

Dia: Tapi aku rindu. Persetan dengan si bangsat itu.

Aku: Jangan katakan itu. Kau tahu dia suamiku.

Dia: Kenapa kau pilih dia. Bukan aku.

Aku: Karena aku lebih dahulu bertemu dengannya.

Dia: Aku lebih kaya dari dia, lebih muda, dan lebih bergairah.

Aku: Jangan sombong! Tanpa dia kita tidak akan bertemu. Tanpa dia aku bukan siapa-siapa. Kau bukan siapa-siapa.

Dia: Tapi karena dia, aku tidak bisa bebas bercinta denganmu. Jadi, persetan dengan si jahanam itu.

Aku: Jangan sebut Bapakmu sendiri dengan panggilan itu.

 
Bls: Menulis Flash Fiction, Yuk.

Maling

Aku melihati sekitarku. Aku yakin tidak ada siapa-siapa.

Ayah dan Ibu tidak tinggal denganku di Bandung. Kalaupun iya, pasti sedang bekerja. Biasalah, orang tua workaholic. Menyebalkan, memang. Aku merasa tidak diperhatikan.

Aku tinggal dengan nenek. Dia sedang berada di halaman.

Aku membuka lemari baju di depanku. Ada sebuah bungkusan. Aku mengulurkan tangan dan mengambil lima lembar isinya. Lima ratus ribu. Setelah itu aku keluar dari kamar nenek di bagian belakang rumahku ini.

“Teh, kemari sebentar,” Nenek memanggil dan bermaksud memperkenalkanku pada temannya. “Ini cucu saya. Dia pintar, sekolah di smu bagus di kota ini. Rajin membantu saya, dan jujur,” katanya.
 
Bls: Menulis Flash Fiction, Yuk.

Sore di Kereta

Sore di kereta, aku tak duduk. Boro-boro. Bernafas saja sudah untung.

Seorang bapak dekil di sampingku. Bajunya kotor.Mukanya hitam.

Aku meliriknya. Barangkali dia kriminal, copet, atau tukang silet.

Tapi dia diam saja. Tidak bergerak. Mungkin dia menunggu waktu yang tepat untuk menggerayangi mangsanya. Termasuk aku.

Ketika kereta berhenti, aku segera menggeser berdiriku, menjauhinya. Tapi dia juga bergeser berdirinya, malah mendekatiku. Aku takut.

Dia membuka tas yang juga dekil, mengeluarkan sesuatu.

Ah, pistol. Dia mau membajak.

Aku lihat lagi. Bukan, itu bungkusan. Makanan.

“Sudah Magrib. Tadi saya dengar adzan dari luar. Adik mau buka puasa? Saya bawa makanan berlebih. Silakan.”
 
Bls: Menulis Flash Fiction, Yuk.

loteng

“Jadi kamu minta aku ambilkan mainanmu di loteng?”

Aku mengangguk.

“Kamu takut ke loteng sendiri?”

Aku mengangguk, lalu mencoret-coret kertas di hadapanku.

“Apa itu? Monster?”

Aku mengangguk lagi.

“Hahahaha, monster itu nggak ada, Nak.”

Aku menunduk dalam-dalam.

“Baiklah, nampaknya kamu memang benar-benar takut. Aku ambilkan ya…”

Ia beranjak naik. Ingin rasanya mencegahnya, tapi tidak mungkin. Aku harus lakukan ini.

Sejurus kemudian kudengar teriakannya. Kututup telingaku kuat-kuat, kubenturkan kepalaku ke lantai. Lalu hening.

Kemudian kurasakan cairan hangat menetes di tengkukku. Tubuhku berguncang, aku menangis.

Ia baik, berbeda dengan yang lain. Aku menyukainya. Tapi mau bagaimana lagi? Aku harus memberi makan adikku.
 
Bls: Menulis Flash Fiction, Yuk.

Pesan Berantai

"Sesungguhnya, semua manusia itu bersaudara, apapun agama atau kepercayaannya. Karena itu, janganlah kamu menyakiti manusia lain, apapun alasannya. Ingat itu!"

"Sesungguhnya semua manusia itu bersaudara, apalagi kalau satu agama atau kepercayaan. Karena itu, janganlah kamu menyakiti manusia lain. Ingat itu!"

"Sesungguhnya semua manusia yang satu agama atau kepercayaan itu bersaudara. Karena itu, janganlah menyakiti manusia lain yang seagama. Ingat itu!"

"Sesungguhnya hanya mereka yang memeluk agama kita yang bersaudara. Manusia lainnya bukan saudara kita. Disakiti juga tak apa. Ingat itu!"

"Sesungguhnya, pemeluk agama kita yang berdoanya seperti ini bersaudara. Yang berbeda cara, apalagi agama, jangan dibiarkan! Hancurkan semua! Ingat itu!"

Ah Pesan berantai ini harus dihentikan....
 
Bls: Menulis Flash Fiction, Yuk.

Pertengkaran

Aku mendengar lamat-lamat suara mereka dibalik dinding tipis ini.

“Ini salah kamu semua, kenapa kamu memaksaku melakukannya?”

“Jadi semua salahku? Siapa yang punya ide untuk menghabiskan akhir pekan di villa ayahmu, hah?”

“Aku hanya ingin bersama kamu, bukan berarti kita harus bercinta gila sampai pagi!”

“Kamu juga yang tidak berhenti menciumiku, jalang!”

“Kamu kan bisa pakai kondom, tolol! Aman kata kamu? Bisa kamu tarik tepat waktu? Bajingan!”

“Bukannya kamu juga yang menolak aku pakai itu? Hilang rasanya, kata kamu? Siapa yang tolol, sekarang?”

“Lalu kita apakan ini, hah?”

Dan kalian ingin tahu kenapa aku tidak ingin keluar dari rahim ini?
 
Bls: Menulis Flash Fiction, Yuk.

Roman Picisan

Aku pancing perhatiannya. Dia balas melirikku penuh arti dari seberang kantin. Aku lemparkan senyuman mautku. Dia balas tersenyum dengan mata nakalnya.

Dia main bola. Aku menonton di sisi lapangan. Aku melompat kegirangan setiap dia mencetak gol. Aku sorakkan namanya dan menyemangatinya. Dia menoleh. Dia lambaikan tangannya padaku.

Dia bermain poker. Dia begitu konsentrasi, tak seorang pun bisa mengganggunya. Aku lewati mejanya lagi. Dia mengalihkan matanya dari kartu ke aku. Dia panggil namaku dan mengucap, “Hai.”

Aku mau pulang. Dia antarkan sampai ke rumah. Aku bilang, “Sebenarnya, aku....” Dia taruh jarinya di bibirku. Aku diam. Dia….

Dia minta nomor telepon sahabatku.
 
Back
Top