[R.STORY] The Teacher's Apprentice -end-

Randy_Muxnahtis

New member
Note: Cerita ini.... ya.... mungkin 50:50...... 50% kisah nyata, 50% sisanya imajinasi gw...... atau mungkin 60:40...... 60% imajinasi, 40% kisah nyata..... yg pasti, inspirasi cerita ini berasal dr pekerjaan gw sbg seorang guru les bhs inggris, murid-murid gw (terutama murid2 favorit gw), manager gw, salah satu film jet lee, judulny "Ocean Heaven", dan.... sisanya imajinasi gw..... ^^ Tp, meskipun sebagian cerita ini nyata, tetap, ada beberapa bagian yang g modifikiasi pake imajinasi gw, n nama-nama karakter gw ganti..... jd gak kentara, mana yang fiksi, mana yang fakta..... so..... let's begin..... Oh, ya, gw lupa, satu lagi, inpirasi judul, berasal dari film "The Sorcerer's Apprentice" gw modif jd "The Teacher's Apprentice"..... ^^..... So, here goes the story......

Namaku Benny. Aku bekerja sebagai seorang guru les bahasa inggris di sebuah lembaga. Pekerjaan ini, adalah part time job..... aku bekerja di sela-sela jadwal kuliahku. Aku sudah bekerja cukup lama, sekitar 3 tahun.... dan aku memiliki beberapa murid kesukaan di tempatku mengajar....... Secara pastinya, aku memiliki sekitar 6-8 murid favorit....... Mereka adalah Andreas, Erika, Diana, Christine, Charles, Wahyudi, Ronald, dan Rendy. Namun, di antara 8 orang tersebut, Charles yang paling menonjol. Aku memilih mereka sebagai favorit, karena mereka hampir selalu mendapat nilai bagus dalam ulangan, dan perilaku mereka yang kalem di kelas. Charles, menjadi favoritku karena nilai-nilai ulangan dia yang paling bagus di antara yang lainya. Namun, ada masalah...... Charles memiliki kekurangan, yaitu, dia memiliki sifat yang agak autistik...... yah.... nobody's perfect...... Dan.... aku sendiri juga memiliki masalah..... masalahku sederhana saja..... aku menderita penyakit leukimia...... Namun, aku tidak membiarkan penyakit ini menghalangiku untuk melakukan aktifitas normal..... Aku suka pergi ke mall, bekerja, kuliah, dan sebagainya..... Ya.... jujur saja, manager-ku tidak tau akan masalah-ku yang satu ini.... Aku menutupinya dengan sangat rapi..... Tiap kerja, aku tampak sehat walafiat..... Kuliah juga, pergi ke mall juga..... selalu riang gembira....... like I said.... nobody's perfect..... Oh, ya, cerita ini menyangkut masalah antara aku dan Charles, jadi, aku tidak akan banyak menyinggung murid-murid favorit-ku yang lainya. Aku juga akan bercerita sedikit tentang Charles..... Charles, berusia 16 tahun.... Kelas 2 SMA..... Dia berpenampilan tinggi, bahkan lebih tinggi daripadaku, rambut berdiri, kaca mata, kulit coklat agak gelap.... Aku sendiri berpenampilan sedang, juga berkaca mata, kulit coklat namun lebih terang daripada kulit Charles.

"Jadi, fungsi present tense, tidak hanya buat rutinitas atau kebiasaan, atau kejadian alam, seperti yang kalian pernah belajar waktu kalian kecil. Dalam kasus ini, present tense dapat dipakai buat future tense, masa depan. Memang, kamu tau bahwa future tense memakai rumus Subject+Will+Verb dasar. Namun, future tense menggunakan present tense, sifatnya lebih formal dan lebih kuat daripada rumus Will. Sebagai contoh begini, The Train Arrives AT 9:00 P.M. Jadi, dalam konteks ini, arti dalam bahsa Indonesia, bukan rutinitas kereta itu, tapi Kereta Akan Tiba Pada Jam 9 Malam. Oh, ya, karena kalian sudah dewasa, sudah SMA, saya harap kalian sudah hafal rumus present tense, karena itu basic banget. Mengapa The Train Arrives At 9:00 P.M? Karena, jadwal kereta api, biasanya sudah pasti, formal." Kataku menjelaskan sebuah materi pada suatu kesempatan. Seorang murid menyahut, "Tapi, Sir, kan suka kereta api kita datangnya terlambat. Mana bisa formal?" Aku tersenyum kecil mendengar komentar itu. "Iya," kataku menjelaskan, "tapi, tetap saja, itu bersifat formal, karena resmi. Soal terlambat, ya.... itu di luar pelajaran kita, itu urusan teknis kereta api. Tapi yang penting, kamu tau bahwa present tense bisa dipakai buat future tense, untuk sifatnya yang formal. Jadi, jangan pake rumus Will melulu. Bosen." Setelah menjelaskan, aku menunggu sebentar, jika ada pertanyaan atau komentar lagi. Tidak ada. "Oke, sekarang, coba kerjakan latihan yang ada di buku. 5 nomor," kataku. Saat ini, aku sedang mengajar kelas Charles. Aku akan menjelaskan singkat tentang situasi kelas Charles. Kelas Charles berisi murid-murid level lanjut, karena murid-murid kelas ini sudah berusia sekitar SMP-SMA. Secara umum, mereka sudah remaja, namun sebagian dari perilaku mereka di kelas ini, harus aku tegur, seperti bermain HP atau ngobrol di kelas, atau mengerjakan tugas latihan dengan ogah-ogahan. Biasa, anak ABG, jadi agak memberontak. Namun, karena Charles favoritku, aku harus memberikan perhatian ekstra kepadanya..... Bukan karena dia favoritku, namun karena aku memiliki "misi khusus" untuk dia..... Dan aku sedang mempersiapkan Charles untuk menghadapi "misi khusus" yang akan kuberikan nanti..... Jadi, aku menempa dia hingga..... yah.... hingga aku meninggal nanti...... Dan, menurut perkiraan dokter, umurku paling lama, sekitar 2 tahun lagi...... Jadi, aku harus menempa Charles dengan sungguh-sungguh. Setelah latihan selesai, murid-murid mengumpulkan buku latihan mereka kepadaku, jadi aku bisa memeriksa hasil kerja mereka. Sebagian besar dari mereka mendapat nilai sekitar 60-75...... Mereka banyak salah karena rumus Verb present tense, seperti, lupa pemakaian "S/ES" atau salah penulisan, dan lain-lain. Charles mendapat nilai 65. Setelah aku selesai memeriksa semua, aku membahas jawaban yang benar untuk pertanyaan, dan meminta mereka untuk me-remedial jawaban yang salah. Singkat cerita, pelajaran selesai, namun, aku ingin menahan Charles. "Charles, kamu jangan pulang dulu." Aku memanggilnya ketika dia berjalan keluar pintu kelas. Dia mendengus tidak senang. "Apa lagi sich, Sir?" Katanya, tapi dia berjalan mendekatiku. Sudah cukup sering aku berbuat demikian, terutama jika nilai dia mendapat di bawah 70. "Charles, kamu belum paham ya, soal present tense untuk future?" Tanyaku sambil membuka buku pelajaran, halaman yang dibahas barusan. Charles memandang sekilas ke halaman yang aku tunjuk. "Iya ajah! Sir, masa cuma gara-gara salah pake "S/ES" masa saya salah, sedangkan Laura, Sir kasih nilai setengah?" Dia protes. "Charles, kamu itu udah SMA 2, sedangkan Laura baru SMP 1, wajarlah kalau dia mungkin lupa. Tapi kamu, udah gede, masa masih lupa sich, sama rumus basic kayak gini?" Aku menjawabnya, tapi sambil juga mengelak. Memang, sebetulnya, Laura kelas SMP 1, aku bisa saja kasih Charles nilai setengah seperti yang Laura dapat, atau Laura juga aku salahkan total. Namun, karena aku punya "misi khusus" untuk Charles, jadi...... Singkatnya, aku menjelaskan dua kali lagi bahan yang barusan murid-murid pelajari. Setelah dua kali menjelaskan, aku merubah peranku. Aku minta Charles berperan sebagai aku, sedangkan aku sebagai murid, dan aku minta dia untuk menjelaskan sekali saja tentang pelajaran barusan. Ketika aku meminta dia menjelaskan kembali, dia tampak tidak senang. "Iya ajah! Sir mau nge-lawak? Masa suruh saya jelasin ke Sir?" Katanya. Aku hanya memandangnya dengan serius. Ragu-ragu sebentar, Charles dengan terpaksa menjelaskan kepadaku tentang pelajaran barusan (dia boleh menjelaskanya dengan cara dia sendiri, asalkan poin pelajaranya tidak menyimpang). "Oke," kataku mengangguk, setelah dia selesai. Aku merasa cukup puas, meskipun dia menjelaskanya kurang baik, namun hal itu hanyalah masalah teknis, toh, dia sudah paham tentang pelajaran barusan. Hanya tinggal dirapikan saja cara dia menyampaikan materi pelajaran. Kebetulan, manager-ku masuk ke dalam kelasku. Manager-ku baru saja selesai mengajar di ruang kelas lain. Manager-ku tampak agak bingung melihat aku dan Charles. "Oh, ini Miss, tadi charles masih kurang ngerti tentang present tense. Jadi saya jelasin lagi. Dia masih pake "S/ES" buat present tense yang negatif dan interogatif, padahal mustinya "S/ES" cuma dipakai buat positif," kataku menjawab pandangan bertanya managerku. "Oh, begitu. Ok, kamu udah ngerti sekarang, Charles?" Managerku bertanya kepada Charles. "Udah, Miss." Charles menjawab pelan. Tak lama kemudian, kami semua bubar.
 
The Teacher's Apprentice ( PART 2 )

Suatu hari, AC di ruang kelas tempat aku mengajar, rusak. Tentu saja, hal ini membuat murid-muridku pada protes. "Sir gimana sich?! Kita udah bayar uang les mahal-mahal, masa ruang kelasnya gak dingin?" Protes Angelita, salah satu murid dari kelas Charles, dan dia juga ada sedikit feeling terhadap Charles. "Ya... mau gimana lagi? Dinamo AC-nya kebakar, jadi AC-nya gak mau nyala. Udah-udah, untuk sementara, kita pake kipas angin dulu." Kataku agak membujuk. Aku menyalakan kipas angin yang dipasang di dinding. Meskipun demikian, murid-murid masih agak bersungut-sungut protes, namun, paling tidak, udara jadi lebih sejuk. Charles, tiba-tiba berdiri, dan dia pindah ke kursi yang letaknya tepat di bawah kipas angin. Dan dia mulai memperhatikan kipas angin yang berputar. Tak sampai 15 detik kemudian, dia sudah tenggelam dalam dunia-nya sendiri, yaitu, kipas angin yang berputar. Tentu saja, murid-murid yang lain pada heran dengan perilaku Charles yang tidak biasa ini. Kevin, juga salah satu murid kelas ini, dan juga bersekolah yang sama dengan Charles, berkata kepada Charles, "Ngapain, lu, Char? Mau nge-lawak?" Namun Charles tidak menjawab. Dia sudah tenggelam ke dalam dunia kipas angin yang berputar. Aku, yang sempat membaca buku-buku tentang anak autistik, langsung paham, bahwa saat ini "kekurangan" Charles tersebut sedang muncul ke permukaan. Ya, salah satu gejala anak autistik adalah, tertarik dengan benda yang berputar. Aku berusaha sebisa mungkin untuk menolong Charles. Teman-temanya tidak ada yang tau tentang kekurangan Charles yang satu ini. "Ya... Maklum-lah, dia lagi pusing dengan pelajaran, jadi dia mau melawak sedikit," kataku menjawab Kevin. Lalu aku berkata kepada Charles, "buka buku." Namun Charles tetap fokus kepada kipas angin. Aku berkata sekali lagi, "buka buku." Dia masih asyik dengan kipas angin. Aku berkata sekali lagi, "buka buku," namun aku juga sambil berjalan ke arah kursi Charles, dan membuka bukunya. Akhirnya, Charles kembali ke pelajaran. "Oke, bahan buat ulangan mid-test level ini udah selesai, jadi, kalian akan mid-test gak lama lagi," kataku sambil memandang Charles, khawatir jika dia kembali asyik ke kipas angin. Namun dia sudah mulai konsentrasi ke buku, aku jadi tenang. "Tapi, sebelum kamu mid-test, saya mau yakin bahwa kamu udah paham betul tentang semua materi, jadi, hari ini saya akan kasih quiz tentang semua yang kamu pelajari sampe setengah buku ini," kataku melanjutkan. "Ah, Sir, kita kan baru selesai pekan ulangan di sekolah, masa mau ulangan lagi di sini?" Angelita kembali protes. Dengan tenang aku menyahut, "Lho, orang bahan-nya udah habis, ngapain ditunda-tunda lagi?" Jadi, aku menulis soal di papan tulis. Aku membuat sekitar 10-15 soal menyangkut materi yang sudah mereka pelajari.

Singkat cerita, mereka selesai mengerjakan soal yang aku buat, dan aku memeriksa pekerjaan mereka. Sebagian kecil dari mereka, sekitar 2-3 orang, mendapat nilai di bawah 60. 3 murid mendapat nilai sekitar 65-70. Dan Charles, paling tinggi, nilai 75. Setelah itu, aku mengembalikan buku mereka, dan aku menjelaskan kembali materi pelajaran, dan membahas kesalahan mereka dalam mengerjakan soal dan meminta mereka remedial yang salah. Akhirnya, pelajaran hari itu selesai. Ketika aku mau meninggalkan tempat kerja, gejala leukimia yang aku derita mulai kambuh, meskipun masih ringan. "Oh, shit," kataku pelan. Bergegas, aku menuju kamar mandi tempat les. Di dalam kamar mandi, aku membuka tas, mencari-cari, dan menemukan obat pereda gejala leukimia. Tanpa ragu-ragu, aku meminum obat tersebut. "Shit," kataku lagi. Aku bergegas pulang. Kalau seperti ini, obat itu hanya bekerja sebagai penahan, aku masih harus konsultasi kepada dokter. Saat di rumah, aku langsung bercerita kepada keluargaku bahwa tadi gejala leukimia-ku sempat kambuh waktu aku sedang di tempat kerja. Tanpa basa-basi, keluargaku langsung membawaku ke dokter. "Ben, Ben, tahan ya..." Ayahku membujukku. Ibu dan kakak perempuanku hanya bisa menangis. Aku tersenyum, "Dokter bilang, saya masih punya waktu 2 taon kan?" Ayahku tidak tersenyum, "aduh, Ben." Sergahnya, "itu kan cuma perkiraan dokter, siapa tau ternyata umur kamu lebih singkat daripada itu?" Kata ayahku lagi. "Malah, siapa tau, hari ini adalah hari terakhir kamu?" Kata ayahku lagi. Ibu dan kaka perempuanku tidak berkata apa-apa. Mereka mengis sambil berpelukan. Aku tau ayahku juga ingin menangis, namun dia menahanya.

Kami sampai di dokter. Kami langsung berkonsultasi. Dokter memeriksaku. Kami semua tegang, menunggu hasil periksa dokter. Akhirnya, dokter menghela napas dan berkata, "Maafkan saya, tapi kita semua sudah tau kondisi Benny, jadi saya katakan saja dengan terus terang. Menurut hasil periksa saya, terpaksa saya harus menarik perkiraan saya tentang umur Benny. Ternyata, kondisi Benny berkembang buruk lebih cepat daripada perkiraan saya sebelumnya. Maaf, saya katakan, tapi umur Benny, tersisa paling lama sekitar 18 bulan lagi.' Kata dokter sambil menggelengkan kepala. Kami semua saling berpelukan dan menangis.
 
The Teacher's Apprentice ( PART 3 )

Jadi, umurku hanya tersisa 18 bulan lagi..... Aku harus bergegas menyiapkan Charles untuk "misi khusus" yang akan kuberikan kepadanya. Aku memutar otak. "Yah... Terpaksa gue harus ganti rencana...." Kataku kepada diriku sendiri. Untuk sementara ini, aku belum mendapat ide. Rutinitas-ku masih berlangsung seperti biasa. Kuliah, mengajar les, dan sebagainya. Aku menyembunyikan penyakit leukimia-ku dengan cukup rapi. Waktu terus berganti. Waktuku jelas menjadi semakin dekat.

Suatu ketika, manager-ku masuk ke kelas tempat aku sedang mengajar. Kadang-kadang, manager-ku suka masuk ke kelas, entah untuk membantuku mengajar, atau kadang untuk hanya sekadar me-monitor suasana kelas. Pada kali ini, manager-ku me-monitor keadaan kelas. "Kevin, I know that your school have just finished the mid-semester test. So, how's your result?" Manager-ku bertanya. Memang, manager-ku tidak hanya memperhatikan situasi tempat les, namun juga situasi murid-murid di sekolah. Kevin, yang memang kemampuanya rata-rata, menjawab, "I got 64, Miss." Manager-ku kemudian memandang ke arah Angelita, "what about your score, Lita?" Angelita, yang kadang agak moody dalam belajar, dan lumayan pelupa dalam menghafal rumus tenses menjawab, "Below 60, Miss." Manager-ku langsung mengerutkan dahi, tanda tidak senang."Really? How come you get bad score? What was your test about?" kata manager-ku lagi. "About Present Perfect Tense, Miss," jawab Angelita. Manager-ku menghela napas. "Lita, kamu kan udah pernah belajar tentang present perfect tense di tempat les sini, masa kamu dapet nilai merah sich?" katanya. "Saya lupa rumusnya, Miss," jawab Lita. Manager-ku meninggikan suaranya, "Lupa? Lita, apa rumus present perfect tense?" Angelita diam sesaat, mengingat-ingat. "Um... Subject + Have/Has + Verb2" jawab Lita setelah ingat. Jawaban yang salah ini, makin membuat manager-ku tidak senang. Manager-ku berpaling ke arah Charles, "Charles, apa rumus present perfect tense?" Charles berpikir sebentar, lalu menjawab, "Subject + Have/Has + verb3." Namun, saat Charles menjawab, matanya tidak memandang ke arah manager-ku. Sebaliknya, dia menjawab sambil memandang ke arah lain. "Very good!" Kata manager-ku, lalu kembali berpaling ke Angelita. "Lita, apa rumus present perfect tense?" Katanya lagi. Lita menjawab, "Subject + Have/Has + Verb3." Lalu manager-ku berkata lagi, "Terus, waktu ulangan, kamu menjawab pake Verb2?" Lita mengangguk pelan. Manager-ku hanya bisa menggelengkan kepala. Aku lupa cerita, Kevin, Charles, dan Angelita berasal dari sekolah yang sama, hanya saja, Kevin dan Charles sekarang kelas X, sedangkan Angelita kelas VIII. Jadi, jadwal ulangan mid-semester mereka, kurang-lebih, hampir bersamaan. Merasa hopeless dengan Angelita, manager-ku berpaling kepada Charles. "And, what about you, Charles? What's your score?" tanya manager-ku. Charles, masih memandang ke arah lain, menjawab, "I got 70." Manager-ku, yang awalnya mengharapkan Charles mendapat nilai, paling tidak, 80, tampak heran. "Why? You're smart, how come you only got 70? With your ability, you should get at least 80." Kata manager-ku. Charles, masih memandang ke arah lain, menjawab, "The test had listening and reading session. I was confused with the listening part. The tape was played very fastly." Manager-ku sudah tau soal kekurangan Charles, jadi manager-ku itu memaklumi cara menjawab Charles, yang mungkin dianggap kurang sopan oleh orang lain. Namun, memang begitulah karakter anak autistik, mereka tidak memandang lawan bicara. Aku sendiri juga cukup tertarik dengan kasus Charles ini. Aku sempat membaca beberapa buku tentang autistik, mencari sedikit referensi dari internet, bahakan membagi hasil dari internet itu dengan manager-ku. Namun, teman-teman Charles ini tidak ada yang mengetahui soal kekurangan Charles. Meskipun demikian, Charles tidak memiliki sifat autistik yang parah. Kasus autistik Charles ini, hanyalah autistik ringan, dan dia juga sudah menjalani terapi, jadi dia bisa bergabung dengan masyarakat normal dan bersekolah di sekolah normal, tanpa harus masuk sekolah khusus. Namun, tetap saja, kekurangan Charles ini juga kadang muncul, seperti kali ini, dia berbicara tanpa memandang lawan bicara, dan pada kesempatan belum lama, di mana dia tertarik kepada kipas angin yang berputar. Namun, selain daripada itu, kekurangan Charles ini belum pernah muncul, maka dari itu, dapat aku katakan, Charles ini hampir tidak beda dengan manusia normal umumnya. Akhirnya manager-ku itu meninggalkan ruang kelas, dan aku kembali melanjutkan pelajaran. Ketika aku sedang mengajar, gejala leukimia-ku kambuh. Untungnya, sebelum pelajaran dimulai, aku sempat menyimpan obat leukimia-ku di dalam saku celana. Jadi, aku bergegas keluar kelas, dan menuju kamar mandi. Di kamar mandi, aku mengeluarkan obat tersebut dari saku celana, dan meminum obat tersebut. Setelah gejala leukimia itu reda, aku kembali ke kelas dan melanjutkan pelajaran. Karena belum lama aku konsultasi dokter, jadi untuk kali ini, aku tidak perlu konsultasi lagi. Aku bisa agak tenang.

Pelajaran pun selesai. Meskipun demikian, lagi-lagi aku menahan Charles sebelum dia pulang. "Charles, saya mau sedikit tanya kamu soal ulangan di sekolah," kataku. "Apa lagi sich, Sir?" Charles protes. Ya... jujur saja, aku memang cukup sering menahan Charles pulang. Aku mencari-cari alasan untuk menahan dia pulang, padahal, sebetulnya, aku ingin dia betul-betul siap dengan "misi khusus" yang akan kuberikan kepadanya setelah aku meninggal nanti. Dan, waktuku tidak banyak. Paling lama, sekitar 18 bulan lagi. Aku jadi berpacu dengan waktu. "Charles, kok kamu bisa dapat 70 ulangan di sekolah?" Kataku membuka pembicaraan. "Saya kan udah bilang tadi ke Miss Susan, saya gak bisa di bagian listening," kata Charles. Aku berpikir sebentar. "Tapi bagian reading, grammar, dan vocabulary, kamu bisa?" tanyaku. Dia mengangguk. "Emang ulangan di sekolah kamu itu materinya tentang apa?" aku menyelidiki. "Tentang passive voice. Vocabulary-nya disuruh kasih arti kata. Reading-nya lumayan gampang, lebih susah bahan reading di tempat les sini," kata Charles. "Maksud kamu 'arti kata' yang bagian vocabulary...?" tanyaku menyelidik. "Itu, Sir, misalnya ada definisi kata, kayak 'people who travel into space', nah, kita jawab 'astronaut'. Gitu, Sir." Jawabnya. "Oh, jadi dari definisi kata Bahasa Inggris, terus kamu disuruh kasih katanya?" Tanyaku. Dia mengangguk. Aku kembali tenang. "Hm... sepertinya Charles cukup bisa untuk menjalankan 'tugas khusus' yang nanti akan kuberikan kepadanya," kataku dalam hati. Akhirnya, kami semua bubar.

Sebelum kita melangkah lebih jauh, aku mau sedikit cerita mengenai murid favorit-ku yang lain. Semua murid favorit-ku masih belajar materi dasar-menengah. Mereka rata-rata kelas 4-6 SD. Begini, aku mengajar beberapa tingkat, yaitu tingkat SD dan SMP-SMA. Tentu saja, ruang kelas murid SD dan SMP-SMA berbeda, demikian pula dengan jadwal aku mengajar mereka. Hari Kamis dan Sabtu siang, aku mengajar kelas SD, sedangkan hari Selasa dan Jumat sore, aku mengajar kelas SMP-SMA. Dan, hanya Charles, murid SMA yang menjadi favorit-ku, sedangkan murid favorit-ku lainya masih berusia SD. Meskipun aku memiliki murid favorit SD, namun aku tidak memberikan "misi khusus" ini kepada mereka. Mereka terlalu muda, sedangkan Charles cukup memadai, jadi itulah sebabnya aku ingin memberikan "misi khusus" ini hanya kepada Charles. Itu-pun aku harus memastikan bahwa dia betul-betul siap dan mampu untuk menjalankan "misi khusus" tersebut. Jadi sekarang ini, aku masih sedang mengamati Charles, lalu apabila aku merasa dia kurang di sana-sini, aku juga sekalian "menempa" dia. Sayangnya, waktuku tidak banyak. Aku harus cepat.
 
The Teacher's Apprentice ( Part 4 - The Secret Mission Is revealed )

Akhirnya, waktuku hampir tiba. Hanya tinggal sekitar 4 bulan lagi. Sejauh ini, aku sudah melihat kemampuan Charles dalam bidang akademik-nya, dan aku merasa dia cukup siap. Namun, dari segi mental, dan "kekurangan" yang dia miliki, aku harus terus melatih dan me-nempa dia. Belakangan ini, aku sering mem-foto-copy bahan-bahan pelajaran untuk level SD, baik dari sumber luar, tapi terutama buku yang dipakai di tempatku mengajar yang kelas SD. Aku juga sudah menyiapkan sebuah kamus kecil untuk Charles. Dan, semakin singkat waktuku, semakin sering pula aku memberikan Charles soal-soal latihan materi Bahasa Inggris untuk level SD, dan aku menyuruh Charles untuk mengerjakanya. Syarat yang aku ajukan, dia harus mendapat nilai minimal 75 untuk tugas latihan yang aku suruh dia. Tentu saja, dia protes habis-habisan. Yah, aku tidak menyalahkanya. Masa, anak SMA mengerjakan soal Bahasa Inggris level SD, memangnya anak SD itu siapa, adiknya Charles? Lagipula, dia sendiri juga sibuk dengan sekolahnya. Jadi, wajar saja dia protes. "Sir, ngapain sich, kasih saya tugas buat anak SD gini?" Dia sering bertanya. "Saya punya tugas khusus buat kamu," kataku hanya tersenyum kecil. "Nanti, saya akan kasih tau tugas apa, kalau sudah tiba waktunya," kataku lagi. Tanpa banyak bicara lagi, Charles menyerahkan tugas latihan yang aku berikan pada waktu pertemuan sebelumnya. Segera, aku memeriksanya. Dia mendapat nilai 80. Begini, kadang-kadang tugas latihan yang aku berikan boleh dikerjakan di rumah, kadang-kadang, harus dikerjakan di depan mataku. Pertemuan terakhir, aku memberinya PR, jadi sekarang aku memeriksa PR-nya. "OK, kamu boleh pulang," kataku, puas dengan hasil kerja Charles. Hari ini aku tidak memberinya tugas latihan.

"OK, seakarang tinggal 2 tugas lagi," kataku kepada diriku sendiri. Aku mencari manager-ku. Untunglah, manager-ku belum pulang. "Miss, bisa kita bicara sebentar?" Kataku. Miss Susan mengangguk. Tanpa basa-basi, aku menjelaskan semua hal, terutama tentang penyakit leukimia-ku, dan betapa umurku hanya tersisa 4 bulan lagi. Miss Susan, manager-ku sangat terkejut, dan agak tidak senang karena aku menutupi penyakitku ini. Setelah aku bercerita panjang-lebar, akhirnya Miss Susan berkata, "jadi, saya harus mencari guru pengganti kamu, setelah kamu.... pass away...?" "Itu yang juga akan saya ceritakan kepada Miss sekarang," kataku menjawab. "Miss gak perlu memasang iklan lowongan pekerjaan di kampus-kampus atau koran. Saya udah ketemu calon yang cocok untuk mengganti saya mengajar di sini, atau, paling gak, untuk mengajar yang level SD." "Oh, ya, siapa? Temen dari kampus kamu?" Aku menggeleng. "Charles," jawabku. Sunyi agak lama.

Ya, benar, "tugas khusus" yang akan kuberikan kepada Charles adalah, aku ingin dia menggantikan aku mengajar setelah aku meninggal nanti. Aku tau bahwa dia masih SMA, namun, aku memperhatikan bahwa dia mempunyai kemampuan Bahasa Inggris yang sangat baik, terbukti dari nilai ulangan-nya yang bagus. Jadi, jika dia memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang bagus, maka dia cocok untuk menggantikan aku. Tentu saja, fakta bahwa dia masih SMA, juga bisa jadi kendala, apalagi, ada Kevin dan Angelita yang masih murid di tempat les ini. Maka itu, aku memberi tugas dia untuk mengajar yang level SD, dengan pertimbangan, dia sudah SMA, harusnya bisa mengurus materi SD, dan juga, jadwal SD berbeda dengan jadwal SMP-SMA, jadi kemungkinan Charles bertemu dangan Angelita dan Kevin di tempat les, dan kemudian Charles ketauan menggantikan aku, bisa di-minimalisir. Itulah sebabnya, aku banyak memberikan latihan materi Bahasa Inggris SD kepada Charles. Lewat tugas latihan itu, aku bisa mengukur kemampuanya. Dan, kemampuanya terbukti. Itulah "tugas khusus" yang akan kuberikan kepada Charles. Namun, tentu saja, masalah tidak semudah itu.

Akhirnya, Miss Susan mulai bicara lagi, "Ben, saya tau, Charles murid favorit kamu, dan saya juga tidak membantah bahwa memang Charles pintar. Tapi masalahnya, dia kan ada 'kekurangan', lagipula dia kan masih SMA, nanti bentrok dengan sekolahnya. Tambah lagi, kalau Charles ketauan Kevin dan Angelita mengajar di sini, menggantikan kamu, bisa gawat." Tanpa bicara, aku mengeluarkan semua tugas latihan Bahasa Inggris SD yang sudah Charles kerjakan, dan menyerahkanya kepada Miss Susan. Miss Susan melihat semuanya. "Miss, kalau Charles mengajar yang level SD, saya rasa tidak akan ada masalah. Lagipula, jadwal yang SD ini kan hari Kamis dan Sabtu siang menjelang sore, jadi kemungkinan Charles ketauan oleh Angelita dan Kevin bisa di-minimalisir. Dia tetap les yang level SMP-SMA sebagai murid. Tapi hari Kamis dan Sabtu, dia menggantikan saya," kataku. "Terus, gimana soal gaji untuk dia? Dia kan murid di sini, tapi sekaligus juga guru di sini? kalau saya mengikuti ide kamu, bakal ribet masalahnya," Miss Susan ber-argumen. Aku sudah memperkirakan hal itu, maka aku menjawab, "Memang, bakal aneh kalau Charles ini terlihat oleh murid yang lain tidak membayar uang les seperti murid lainya. Kita main sandiwara aja. Charles tetap membayar uang les sebagai murid. Soal gaji, itu terpisah dari dia murid di sini. Gaji ya gaji, uang les ya uang les. Memang agak ribet, tapi adil," kataku. Miss Susan berpikir sebentar, lalu berkata lagi, "Nah, dia kan ada 'kekurangan', dan kita di tempat les ini, belum pernah menerima orang yang 'kekurangan' untuk menjadi guru di sini." Aku menghela napas, "Miss gak percaya apa yang namanya miracle? Banyak orang yang 'kasus'-nya jauh lebih parah daripada Charles, seperti tidak punya tangan, atau buta, atau hal sebagainya, namun mereka punya potensi untuk digali. Liat orang-orang yang tidak punya tangan, tapi masih bisa melukis memakai kaki dan mulut mereka. Atau orang buta yang memiliki suara merdu? Saya tidak membantah bahwa Charles itu autistik, tapi dia kan sudah terapi, dan sudah berperilaku seperti manusia normal. Jadi, intinya, dengan kemampuan Bahsa Inggris dia, dan 'kekurangan' dia yang sudah tampak seperti manusia normal, saya yakin, dia tidak akan masalah menggantikan saya untuk mengajar level SD. Untuk yang level SMP-SMA ini, saya rasa Miss bisa mengoper kelas SMP-SMA ini kepada guru lain," kataku panjang-lebar. "Saya lihat dulu dech Charles ini bagaimana. OK, kalau begitu, mulai pertemuan berikutnya, saya akan selalu berada di kelas kamu untuk memperhatikan Charles. Apabila saya natinya sependapat dengan kamu, OK, saya akan ambil Charles untuk menggantikan kamu. Tapi, kalau saya merasa Charles tidak cocok, terpaksa saya harus mencari guru baru," kata Miss Susan akhirnya. "Cukup adil," kataku. Akhrinya kami bubar.
 
The Teacher's Apprentice ( Part 5-End )

Jadi, Miss Susan mulai hadir di kelas setiap aku mangajar di kelas Charles. Miss Susan memperhatikan nilai-nilai Charles, dan juga perilakunya di kelas. Setiap habis kelas, ketika murid-murid sudah bubar, aku dan Miss Susan berdiskusi mengenai Charles. "OK, setelah saya amati, saya sich juga tidak menemukan masalah untuk menunjuk dia menggantikan kamu. Meskipun dia ada 'kekurangan' dan juga dia masih SMA, tapi kemampuan bahasa inggris-nya bagus. Fine, saya putuskan kasih dia kesempatan buat gantiin kamu. Dia akan mengajar di level SD, sedangkan level SMP-SMA ini saya akan tawarkan ke staff lain yang mungkin masih ada waktu cukup luang. Pertemuan berikutnya, kita akan ajak Charles bicara. Dia nanti akan menjalani masa percobaan-training. Meskipun dia bahasa inggris-nya OK, tapi dia belum pernah mengajar, biar itu nanti saya yang urus." Miss Susan berkata kepadaku. Aku menjawabnya dengan senyum penuh rasa terima kasih, dan mengangguk. Akhirnya, setelah pelajaran berikutnya selesai, aku dan Miss Susan bercerita panjang lebar kepada Charles. Charles hanya bisa bengong, shocked dengan berita tentang penyakit leukimia-ku, dan dia hanya bisa menatap kosong dengan mulut terbuka lebar ketika aku dan Miss Susan menjelaskan bahwa dia akan menjadi Teacher's Apprentice, menggantikan-ku setelah aku meninggal nanti. Dia berpikir cukup lama sebelum memutuskan tawaran ini. Namun dia akhirnya menjawab, meskipun masih dengan ragu-ragu, "Jadi... Miss dan Sir mau saya gantiin Sir ngajar di sini setelah Sir meninggal nanti?" Aku dan Miss Susan mengangguk. "Saya udah memperhatikan kamu cukup lama, sekitar 2 minggu, dan saya rasa, tidak ada salahnya dicoba. Kamu memang belum pernah mengajar, tapi itu hanya perlu latihan praktek. Nanti kamu akan dicoba selama sekitar 3 bulan. Tapi, harusnya, mengajar anak SD bukan masalah dengan kemampuan bahasa inggris kamu," kata Miss Susan. Charles tampak ragu-ragu. "Terus, 'nasib' saya yang di level SMP-SMA gimana? Kalau Kevin dan Angelita tau soal ini, bisa gawat," katanya. "Oh, itu?" Kataku ringan. "Ya... kamu tetep les yang di level SMP-SMA sebagai murid. Kamu juga harus membayar uang les seperti biasa. Tapi kamu juga tetap menerima gaji kamu seperti biasa. Soal Kevin dan Angelita, makanya kamu ditempatkan di level SD yang jadwalnya beda dan kamu tidak perlu berkoar-koar kepada mereka. Itu, seharusnya cukup aman," kataku masih ringan dan santai. "Iya ajah!" Komentar Charles. "Ya... anggaplah ini permohonan terakhir dari guru kamu yang sekarat ini," kataku, masih ringan dan santai. "Tapi, jujur ya, Charles," Miss Susan ikut nimbrung. "Saya juga ada rencana setelah kamu lulus dari tempat les ini, saya juga rencana mau menawarkan kamu mengajar di sini. Dari segi nilai, nilai-nilai bahasa inggris kamu cukup memuaskan. Tapi, saya gak sangka, bahwa saya harus menawarkan ini kepada kamu, jauh lebih cepat daripada rencana saya." Kata Miss Susan. "Iya ajah!" Hanya itu yang keluar dari mulut Charles, tapi aku merasakan bahwa dia juga mulai tertarik dengan tawaran ini. "Kamu kan bisa dapat uang jajan tambahan, lagipula, jadwal sekolah kamu senggang kan pada hari Kamis dan Sabtu siang?" Kataku. Runtuhlah benteng Charles. Dia mau terima tawaran ini.

Singkatnya, kami bersama orang tua Charles membahas masalah ini. Orang tua Charles juga terkejut dengan berita ini. Mereka juga agak keberatan karena Charles masih SMA, tapi Miss Susan juga menjelaskan, apabila nanti Charles ada kesibukan di sekolah, dia boleh tidak masuk mengajar, namun harus kasih informasi sebelumnya. Akan tetapi, saat itu Charles kelas X, dan jadwal sekolahnya senggang di hari Kamis dan Sabtu siang. Jadi, paling tidak, Charles bisa bekerja menggantikan aku selama dia masih kelas X. Apabila nanti saat kelas XI dan dia menjadi lebih sibuk, dia boleh berhenti mengajar, karena urusan sekolah tetap harus diutamakan. Jadi, kita urus dulu yang masalah sekarang, dia ada waktu luang di hari Kamis dan Sabtu siang, jadi dia bisa mengajar. Apabila nanti kelas XI dia sibuk, itu urusan nanti. Setelah menimbang-nimbang, orang tuanya setuju. "Lagipula, Charles bisa sekalian latihan bahasa inggrisnya," kata ayahnya....

Maka, masuklah Charles ke kelas SD, kelas yang dulunya aku urus. Aku juga hadir di kelas itu, namun mereka semua tidak dapat melihatku. Hari itu hari pertama Charles mengajar menggantikan aku. Aku mengawasi bagaimana dia mengurus kelas ini. Jelas, dia tampak gugup, karena first day on the job. Miss Susan memperkenalkan Charles kepada murid-muridku, dan kemudian, masing-masing murid memperkenalkan dirinya kepada Charles. Tentu saja, karena hari itu adalah hari pertama Charles, Miss Susan masih harus banyak membantunya. Tapi tidak apa-apa. Itu perlu proses. Seperti aku dulu pertama kali mengajar di tempat ini. Aku tidak jauh berbeda dengan Charles. Gugup, bingung, kaku. Apalagi, Charles memiliki "kekurangan". Tapi, di sinilah apa yang kita sebut sebagai keajaiban terjadi. Orang yang tidak punya tangan, namun bisa melukis dengan indah hanya dengan memakai kaki atau mulut mereka. Orang yang cacat, namun bisa bermain piano dengan sangat merdu. Jika mereka bisa, mengapa Charles tidak? Atas dasar itulah mengapa aku memilih Charles sebagai penggantiku, di samping memang dia memiliki kemampuan bahasa inggris yang bagus. Jadi, aku mengawasi suasana di kelas itu. Aku mengawasi Charles selama sekitar 2 bulan. Dan, semakin dia tampil mengajar, dia memperlihatkan kemajuan. Selain itu, aku juga mengawasi murid-muridku. Namun, mereka tidak bisa melihatku. Aku pun dapat "beristirahat" dengan tenang, karena ternyata pilihanku atas Charles sebagai penerusku, My Apprentice, tidak salah. Malah, cenderung sempurna...
 
oho, ok, mungkin ceritanya sangat menarik dari judulnya sudah terlihat jelas.
tapi cara penulisannya, agak kurang rapih, hehe
penulisan dan gaya mengembangkan imajinasi penting buat pembaca memahaminya.
nanti, akan misa baca lagi, dari part 1
 
Back
Top