>>> NEGERI seribu BENCANA

sibin

New member
Dan tidaklah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, dan mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran? (QS. At-Taubah, 9: 126)​

Melanjutkan thread lama
di >>> Negeri Seribu BENCANA

Muhasabah Bencana (MP3) 1,8mb
http://www.mediafire.com/file/mqhgjmtnzo0/Indonesiaku.mp3

Kalau dalam versi ceramahnya KH Zainuddin MZ sore tadi di TVOne yaitu NEGERI 1001 BENCANA

VIDEO STREAMING
di MetroTV
Metro Highlights / Sabtu, 30 Oktober 2010 19:58 WIB
Negeri 1001 Bencana>:D<
http://www.metrotvnews.com/metromain/newsprograms/2010/10/30/7340/Negeri-1001-Bencana

VIDEO STREAMING
Memaklumi Bencana
Metro Highlights / Sabtu, 6 November 2010 19:41 WIB
http://www.metrotvnews.com/metromain/newsprograms/2010/11/06/7391/91/Memaklumi-Bencana

[<:)
 

Attachments

  • dibalik Gempa dan Merapi di Yogyakarta.zip
    31.6 KB · Views: 218
Last edited:
Bencana di Hadapan Kita
Dari gempa, tsunami dan gunung berapi, kita tampaknya harus siap hidup bersama bencana.
Jum'at, 5 November 2010, 21:32 WIB​


VIVAnews -- Suasana mencekam tatkala tim relawan memasuki Desa Argomulyo, Cangkringan, Yogyakarta, Jumat pagi, 5 November 2010. Bau belerang merambati udara. Asap masih mengepul dari rumah-rumah yang terbakar.

Suasana senyap. Tak ada kehidupan di sana. Di jalan desa berselimut abu, teronggok sepeda motor. Rusak parah. Di sebelahnya, sesosok jenazah terkapar. Pada sebuah rumah berselimut abu, tiga jasad lain ditemukan tergolek di tempat tidur: ayah, ibu, dan anaknya.

Tak semua dusun bisa ditembus saat itu. Hawa panas jadi penghalang. “Pohon dan rumah-rumah semipermanen terbakar di pinggir Kali Gendol,” kata Komandan Tim SAR Merapi, Suseno.

Tim pun berpacu dengan wedhus gembel, awan panas yang menyembur dari kawah Merapi. Siang itu tadi pencarian terpaksa dihentikan. Ada kabar awan panas meluncur lagi. “Terpaksa korban ditinggalkan, kami merapat ke pos, dan kembali lagi saat kondisi aman.”

Prioritas tim evakuasi tak hanya menemukan jasad tak bernyawa. Prioritas utama menyelamatkan warga yang belum sempat dievakuasi atau ngeyel tak mau mengungsi.

Di Dusun Kiara, Cangkringan, misalnya, ada seorang ibu mengunci diri di dalam kamar. Dia menolak diungsikan. "Akhirnya kami pakai cara paksa," kata Iman Surahman, relawan Dompet Dhuafa, kepada VIVAnews.

Meski jaraknya lumayan jauh dari puncak, 18 kilometer, Argomulyo termasuk desa yang terparah. Letaknya di tepi Sungai Gendol jadi sumber malapetaka. Sebab, ke sana lah awan panas mengalir.

"Wedhus gembel datang tiba-tiba," cerita Joko Supriyanto, warga Wonokerso, Argomulyo, Cangkringan, Sleman.

Pemuda 20 tahun itu masih ingat, perintah mengungsi datang pada pukul 23.00 WIB. Dia lalu mengantar anggota keluarganya ke lokasi pengungsian, sekaligus mencari mobil evakuasi untuk kakeknya yang menderita stroke.
Beberapa saat kemudian, dia kembali ke kampung.

Tapi sekitar pukul 00.30 WIB, awan panas menghadang. Kata Joko, bentuk awan itu putih pekat. Di gumpalan awan, ada bercak-bercak berpijar merah.
Mengikuti nalurinya untuk hidup, Joko meninggalkan motornya dan terjun ke got. Ia bersembunyi di kolong buk --jembatan kecil di kampung. Motornya hangus. Tapi dia selamat.

Ketika pulang ke rumah neneknya, Joko menemukan sang nenek tergeletak tewas di depan rumah. Tubuh perempuan tua itu hangus. Beruntyung kakeknya selamat, meski mengalami luka bakar.

Letusan yang tak biasa

Sejak awal, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah mewanti-wanti, letusan Merapi bisa bersifat eksplosif. Letusan dahsyat semalam membuktikan, prediksi ini benar.

"Ini adalah skenario ketiga yang tidak saya sukai. Ini dapat membuat eksplosif menjadi besar karena yang mendorong sekarang adalah magma paling dalam," kata Kepala PVMBG, Dr Surono, Jumat 5 November 2010 dini hari.

Itu sebabnya, Pusat Vulkanologi itu mengeluarkan imbauan agar pengungsi mundur dari titik maksimum batas bahaya 20 kilometer.

Soal magma yang menggelegak di dasar Merapi itu dibenarkan oleh para geolog dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Earth Observatory of Singapore (EOS).

Dalam sebuah diskusi, mereka menyimpulkan, letusan Merapi saat ini berbeda dengan letusan sebelumnya sejak 1870-an. Dulu, dia berasal dari magma dangkal, dengan kedalaman sekitar 2 kilometer. "Sekarang tipe eksplosif karena kelihatannya berasal dari magma yang sangat dalam, 6 sampai 10 kilometer," demikian informasi yang diperoleh VIVAnews, Jumat, 5 November 2010.

Situasi Merapi kian sulit diterka. Soalnya, peralatan yang masih bekerja hanya seismometer. Sementara, alat monitoring deformasi (EDM dan tilt meter), pencatat gas, dan alat monitoring visual, rusak. Akibatnya, tak ada data cukup untuk menjawab apakah letusan Merapi bakal lebih besar atau tidak.

Para geolog pun was-was. Mereka tak bisa mengira berapa besar kantung magma-dalam, dan berapa besar feeding dari bawah, atau mantel Merapi. Meski begitu, ada cara lain yang bisa membantu memprediksi letusan selanjutnya. Para ahli akan melihat komposisi kimia dari bahan-bahan yang dimuntahkan.

Sejak awal, Merapi memang tak biasa. Proses menuju erupsi terhitung sangat cepat. Data PVMBG mencatat, perubahan status dari Normal menjadi Waspada terjadi pada 20 September 2010. Sebulan kemudian, pada 21 Oktober 2010, ia meningkat menjadi menjadi Siaga. Lalu menjadi Awas – level tertinggi?empat hari kemudian pada 25 Oktober 2010, hanya sehari sebelum Merapi muntab.

Letusan yang menular?

Merapi bukan yang pertama. Dua bulan sebelumnya, Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Barat, meletus pada Minggu 29 Agustus 2010. Mengagetkan, karena sudah lebih dari 400 tahun gunung itu tidur panjang.

Kini, di saat Merapi bergolak, sejumlah gunung berapi malah ikut menggeliat. Dua gunung berstatus Siaga, Gunung Ibu dan Karangetang. Sementara 21 lainnya dinyatakan waspada, dua di antaranya – adalah Anak Krakatau dan Semeru.

Anak Krakatau penting diperhatikan, karena letaknya tak jauh dari Jakarta. Pada 1883, letusan Krakatau menciptakan getaran yang menghancurkan sebagian Batavia. Saat ini memang aktivitas Anak Krakatau sedang tinggi-tingginya. Sudah tiga pekan ini, Anak Krakatau terus menyemburkan magma dan abu.

Sementara, Semeru sudah menyemburkan awan panas. Ini pertama sejak 2008 silam. Tapi geliat Semeru belum begitu berbahaya. Pemukiman warga jauhnya sekitar 11 kilometer dari puncak Semeru.

Sempat beredar spekulasi, letusan Merapi memicu reaksi berantasi erupsi di gunung api lainnya. Dalil itu terbantahkan. Ed Venzke dari Smithsonian Institution's Global Volcanism Program di Washington mengatakan, meski jarak satu sama lain dekat, sistem vulkanik secara umum saling terisolasi satu-sama lain.

"Tak ada bukti sahih yang menyatakan aktivitas Merapi pada gunung lainnya," kata dia, seperti dimuat LiveScience, 2 November 2010.

Salah satu pembanding, ketika gunung berapi Eyjafjallajokull di Islandia meletus, gunung itu tidak memicu letusan Krafla, gunung berapi tetangga yang lebih besar. Padahal di masa lalu, keduanya pernah berdentum bareng.

Sementara, Kepala Sub Bidang Pengamatan Gunung Api PVMBG Agus Budianto mengatakan naiknya aktivitas vulkanik sejumlah gunung berapi ini bisa dijelaskan sederhana. “Itu hal wajar. Posisi Indonesia sangat dinamis sekali, tempat pertemuan tiga lempeng besar dunia. Itulah bumi kita,” kata dia.

Tiap tahun, memang biasa ada kejadian letusan. “Gunung Batutara di utara Lembata itu meletus terus, tapi itu normal. Itu memang kelakuan dia, letusan kecil-kecil tapi intensitasnya rendah,” kata dia. Sejumlah gunung juga rajin ‘batuk’. Misalnya, Gunung Bukono di Halmahera Utara, Karangetang di Sulawesi Utara. “Seperti juga yang terjadi pada Anak Krakatau,” Agus menambahkan.

Mirip dengan Merapi, erupsi Krakatau juga bersifat eksplosif alias meletus. “Tapi, Krakatau intensitasnya lebih rendah,” tambah dia.

Sementara, kaitan gempa dengan letusan gunung berapi dijelaskan geolog LIPI, Dr Danny Hilman. Kata dia, gelombang gempa bisa menaikkan magma gunung. Namun, itupun tergantung tingkat kematangan magma.
“ Kalau magma gunung itu kosong mau digoyang gempa ratusan kali juga dia tidak aktif. Tapi karena kebetulan dia sudah matang, kantung magmanya sudah penuh, ditembak sama gempa. Ya dia bisa keluar,” kata Danny kepada VIVAnews.

Rentannya nusantara

Bumi Indonesia sejatinya rentan. Letaknya taknya berpijak di fondasi tak kokoh –di antara Lempeng Eurasia, Australia, India, Lempeng Sunda dan Lempeng Pasifik saling menumbuk.

Nusantara rawan bencana letusan gunung berapi dan gempa, serta tsunami. Gempa kolosal terjadi pada 2004 lalu, pecahnya megathrust Sunda telah memicu gempa di Aceh dengan kekuatan 9,1 skala Richter, disusul tsunami menewaskan 230.000 orang di sejumlah negara.

Indonesia juga rumah bagi lebih dari 130 gunung berapi aktif. Kelud dan Merapi adalah teraktif. Sejumlah letusan gunung api kolosal pernah terjadi di nusantara. Pada 1883 saat Krakatau meletus, energinya 13.000 kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Suaranya menggelegar, terdengar seperdelapan penduduk Bumi, sampai ke pulau-pulau kecil di Laut Afrika Timur.

Guncangannya memicu tsunami di wilayah perairan Selat Sunda. Lebih dari 36.000 jiwa tewas saat itu. ??Sementara, Tambora yang meletus pada 1815 adalah terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah.

Panasnya menyembur melubangi atmosfer, dan mengubah iklim dunia. Tak ada musim panas pada 1816 di Eropa dan Amerika Utara -- 'the year without summer'. Tambora turun ke dalam tanah beberapa ribu kaki, meninggalkan kawah besar di puncaknya.

Dan, jangan lupakan letusan dahsyat Gunung Toba di Sumatera, 74.000 ribu tahun silam. Letusan itu menyemburkan debu sekitar 800 kilometer kubik abu ke atmosfer. Dunia gelap saat itu – diduga kuat sebagian mahluk hidup mati karena tak mendapat sinar matahari.

Abu letusannya menyebar di di India, Samudera Hindia, Teluk Bengala, dan Laut Cina Selatan bahkan terjebak di lapisan es Greenland, Kutub Utara. Letusan itu meninggalkan kawah sepanjang 100 kilometer, dan lebar 35 kilometer.

Kita mengenalnya sebagai Danau Toba, danau vulkanik terbesar di dunia.
• VIVAnews

http://sorot.vivanews.com/news/read/187141-bencana-di-hadapan-kita
 
Jalur Bandul Maut Tsunami
Ancaman gempa besar Mentawai mengintai. Energinya 30 kali lipat gempa Padang 2009.​

VIVAnews - Boleh jadi ini adalah ulang tahun yang paling berkesan bagi James Hutchison. Ia patut bersyukur, karena masih bisa menikmati usianya yang baru saja genap 30 tahun. Pria asal Sisters Beach Waratah – Wynyard Tasmania Australia itu, lolos dari sergapan maut tsunami saat berlibur di Macaroni's Resort, yang terletak di sebelah barat daya Pulau Pagai Utara, Mentawai.

Walaupun tempat itu berada pada lokasi yang berjarak lebih 80 km dari pusat gempa Mentawai, yang mengguncang 25 Oktober lalu, namun resor ini tak bisa menghindar dari terjangan tsunami yang menyertai gempa tersebut.

Ketika goyangan gempa sekuat 7,2 Skala Richter dirasakan pada sekitar pukul 21:42:20 WIB, saat itu Hutchison dan dua rekannya yang juga berasal dari Sisters Beach, Brad Peters dan Tom Fraser, tengah duduk-duduk di bar restoran yang terletak di lantai 1 bangunan utama resor yang berlantai tiga.

“Bagaimana bila akan terjadi tsunami? Sepertinya kita musti lari ke lantai paling atas gedung ini,” kata Hutchison, seperti diceritakan ibunya, Lynn, kepada ABC.

Benar saja. Selang lima menit, gelombang bergemuruh datang. Tanpa ampun, tsunami sejangkung 3 meter memporak-porandakan bungalow-bungalow di tubir pantai.

Listrik mati. Bersama staf resor dan turis-turis lain dari AS dan Eropa, Hutchison cs. cuma bisa menonton peristiwa mengerikan itu dari lantai 3 bangunan utama. Walaupun kebanyakan wisatawan adalah peselancar, namun kali ini mereka tak yakin benar apakah bisa selamat dari ombak maut.

Di kegelapan, mereka melihat bagaimana ombak memuntahkan segala sesuatu yang menghalanginya. Ada tubuh-tubuh yang terlempar ke wilayah hutan. Beberapa di antaranya menyangkut di dahan pohon kelapa. Ada pula perahu motor yang terempas hingga terbakar.

Untung saja bangunan utama resor tak tumbang digedor ‘beton air’ yang datang bertubi-tubi. Sejak peristiwa gempa dan tsunami besar Aceh 2004, oleh si empunya resor, Mark Loughran, bangunan itu memang dibuat untuk tahan tsunami. Pondasi-pondasinya menggunakan pohon kelapa, sehingga lentur saat diterjang tsunami.

Tak hanya Macaroni’s Resort, malam itu, daerah yang sepanjang musim surfing dipadati sekitar 5000 penggiat olahraga ekstrim itu, kini benar-benar ditimpa musibah yang ekstrim. Seantero pantai barat daya Bumi Sekkerai dihunjam ombak gergasi. Bahkan menurut keterangan saksi mata, ada daerah-daerah yang diterjang tsunami setinggi sekitar 15 meter atau setinggi pohon kelapa.

Mirisnya, bencana ini tak langsung mendapat perhatian publik, karena sulitnya akses informasi dari daerah bencana. Jaringan komunikasi putus, dan daerah di Pulau Pagai belum tersentuh listrik. Sampai Selasa, 26 Oktober pagi, Koordinator Pusat Pengendalian Operasional Penanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Barat Ade Edward kepada VIVAnews, masih menyatakan bahwa tidak ada korban jiwa akibat gempa itu.

Hal senada diungkapkan kepala pusat data dan humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Priyadi Kardono. Berita ini pun sempat tertutup oleh bencana letusan Merapi, yang terjadi sehari setelah gempa.

Padahal, efek gempa dan tsunami Mentawai itu lebih besar daripada letusan Merapi saat itu. Rumah-rumah terlihat rata dengan tanah, setidaknya 427 orang meninggal, 75 lenyap, 170 luka berat, 324 luka ringan, dan 15.097 warga di empat kecamatan; Sipora Selatan, Sipora, Pagai Utara, Sikakap, dan Pagai Selatan, mengungsi.

Gempa besar berikut

Menurut ahli paleotsunami Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawidjaya, gempa Senin malam lalu yang berpusat di 78 km barat daya Pagai Selatan itu merupakan rentetan dari gempa di wilayah itu yang terjadi pada 2007. Lokasinya pun berada di bagian utara dari pusat 2007 dan di sebelah selatan lokasi potensi gempa besar, yang sejak jauh-jauh hari, telah diperkirakan para peneliti.

Dari pola gempa-gempa besar di wilayah itu, siklus gempa besar di zona subduksi Mentawai selalu berulang mengikuti siklus 200 tahunan. Gempa terakhir terjadi pada tahun 1797 dan 1833. Karena itulah Danny memperkirakan tak lama lagi bakal ada gempa besar di segmen Mentawai yang meliputi wilayah Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, hingga pertengahan Pulau Pagai Selatan.

Dari hasil kalkulasi Danny, gempa bermagnitudo 8,4 pada tahun 2007 di wilayah itu, hanya melepaskan tidak lebih dari 1/3 jumlah energi tekanan tektonik yang terakumulasi. Artinya, masih ada sekitar 2/3 energi lagi yang tersimpan, yang bisa memicu gempa bermagnitudo 8,8 hingga 8,9. Danny memperkirakan potensi gempa di segmen Mentawai itu memiliki energi 30 kali lipat daripada gempa Padang 7,9 SR pada 30 September 2009, yang menewaskan lebih dari 1.100 orang dan meluluh-lantakkan 135.000 rumah penduduk.

Gempa besar Mentawai bisa saja terjadi saat ini, atau terjadi pada 30 tahun mendatang. Masalahnya, gempa di Pagai Selatan pekan lalu sama sekali tak mengurangi potensi gempa 8,8 itu, dan boleh jadi justru akan mempercepatnya.

Menurut pakar gempa dari Earth Observatory of Singapore, Profesor Kerry Edward Sieh, yang juga mitra Danny Hilman, dari data gempa di wilayah itu antara 1797 dan 1833, sebagian besar dari megathrust antara Pagai Selatan dan Pulau Batu belum pernah patah sejak 1797 atau bahkan seratus tahun sebelumnya. Ini menyebabkan slip antara 8 hingga 12 meter bisa terjadi pada bagian megathrust itu.

"Data GPS juga mengimplikasikan bahwa patahan dari megathrust bisa terjadi di sisi bagian samudera, bawah, maupun sisi dalam kepulauan itu. Dan bila itu terjadi dalam satu waktu, maka besarnya gempa akan memiliki magnitudo sekitar 8,8," kata Sieh kepada VIVAnews lewat surat elektronik.

Sieh menambahkan, gempa 1797 di wilayah itu juga diikuti oleh sebuah gelombang tsunami yang diperkirakan mencapai setidaknya 5 meter di Muara di Padang.


Sayangnya, ancaman yang sudah di depan mata itu, sepertinya tidak diikuti persiapan yang cukup untuk mengantisipasinya. Saat gempa di Pagai Selatan terjadi, tidak ada alat pendeteksi tsunami (buoy) yang berfungsi di daerah ini. Alat terdekat yang sedianya dipasang di sebelah timur Mentawai pun, ternyata rusak dan belum sempat diperbaiki.

Menurut Direktur Jendral Daerah Pesisir dan Lautan Departemen Kelautan dan Perikanan yang juga pakar pemodelan tsunami, Subandono Diposaptono, alat-alat pendeteksi yang ditempatkan di daerah lain pun mengalami nasib yang kurang lebih sama, dirusak oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, atau rusak akibat ditempeli trintip (hewan laut seperti kerang) yang mengurangi sensitivitas sensor tersebut.

Deputi Kepala Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Rizal Djamaluddin mengakui, dari 23 buoy sensor pendeteksi tsunami di seluruh Indonesia, hanya dua yang beroperasi dengan baik, yakni yang kini berada di perairan Simeulue dan perairan Banda. Sensor buoy baru di sekitar perairan Mentawai, baru akan segera dipasang di bagian barat Pulau Siberut.

Sumatera Barat juga baru berencana membangun gedung tahan gempa senilai Rp46 miliar yang akan difungsikan sebagai tempat evakuasi tsunami. Gedung yang menerapkan konsep seismic base isolator itu nantinya akan berlokasi di area Kantor Gubernur Sumatera Barat, Jalan Jenderal Sudirman, Padang. Tapi entah kapan gedung itu benar-benar bisa diselesaikan.

Tak hanya itu, kesiapan pemerintah dalam mengkoordinir masa tanggap darurat juga masih perlu ditingkatkan. Banyak pihak yang mengeluhkan koordinasi penanganan bencana Pagai lalu. Akibatnya, bantuan sempat menumpuk di daerah Sikakap dan sempat terhambat untuk didistribusikan. Selain itu, berbagai pihak yang turun tangan ke daerah lokasi kerap jalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi.

Padahal, Indonesia yang seringkali disebut sebagai ‘negara supermarket bencana’, tengah mengalami peningkatan potensi bencana. Rizal mengatakan dinamika kebumian di Indonesia baik gempa, gunung api, tsunami, dikendalikan oleh tiga lempeng tektonik di Indonesia.

Walaupun gempa Mentawai dan letusan gunung Merapi memang belum bisa dikatakan berhubungan langsung. Namun, sumber energi awalnya sama, yakni akibat dorongan-dorongan lempeng tektonik yang ada (lempeng Indo-Australia, Eurasia). "Ada yang keluar sebagai gempa akibat tekanannya melampaui daya tahan batuan, ada juga yang ekspresinya berupa letusan gunung berapi," kata Rizal.

Kemungkinan saling mempengaruhi antara aktivitas tektonik dengan aktivitas vulkanik, kurang lebih juga diungkapkan oleh Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Hery Harjono. Menurut Hery, seperti orang yang duduk bersebelah-sebelahan, ketika salah satunya duduknya bergeser, maka secara berantai perubahan itu akan menggeser posisi orang-orang di sebelahnya.

Hery memiliki pengalaman empiris, saat terjadi gempa Liwa pada Februari 1994. Saat itu ia mendirikan 13 stasiun seismograf bersama Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono, dan mencatat adanya peningkatan aktivitas geothermal-vulkanik pada gunung berapi Suoh di Lampung, akibat gempa tektonik sebesar 6,5 SR itu. Kasus yang sama, juga terjadi pada saat terjadi gempa hebat di Chile tahun 1960.

Setelah gempa dan tsunami di Pagai Selatan Mentawai pekan lalu, kini gunung Merapi terus menunjukkan aktivitas vulkanik yang tinggi. 22 status gunung berapi lainnya pun meningkat, dan gempa besar Mentawai lainnya juga terus mengintai.

Menurut Subandono, tak cuma gempa tektonik, meletusnya gunung berapi pun ternyata bisa menyebabkan timbulnya tsunami. Contohnya yakni saat Gunung Krakatau meletus pada 27 Agustus 1883. "Saat itu ketinggian run-up tsunami mencapai 44 meter dan menghempas terumbu karang seberat 100 ton ke atas daratan."

Tsunami raksasa itu menyapu bersih Anyer dan Merak sehingga tak ada lagi bangunan yang tersisa. Total 36 ribu nyawa melayang tersapu tsunami. Efek tsunami juga terasa hingga ke Srilanka, Bombay India, bahkan tercatat oleh tide gauge di Teluk Biscay, dan Pelabuhan Le Havre Perancis yang berjarak lebih 16 ribu km dari lokasi.

Sebulan setelah bencana, mayat-mayat masih terlihat bergelimpangan di pantai-pantai Pulau Jawa dan Selat Sunda. Sampai setahun kemudian pun, tengkorak dan kerangka korban ditemukan hingga di Pantai Zanzibar.

Subandono menambahkan, gugusan gunung berapi dan zona subduksi di Indonesia yang menjadi daerah rawan bencana letusan vulkanik, gempa dan tsunami, mirip seperti jalur pendulum yang siap ‘meledak’ sewaktu-waktu. Sejak dahulu, gempa-gempa besar di sekitar samudra Hindia yang berimbas tsunami, berayun-ayun dari satu titik ke titik lain di jalur bandul maut itu.

(Laporan Eri Naldi - Padang | kd)
• VIVAnews

http://sorot.vivanews.com/news/read/187143-bandul-maut-tsunami
 
@sibin
Ulasan dan alasan
Sangat menarik
Itulah kalau Senior kawakan
Baru turun gunung
Selamat bergabung kembali kawan
 
Negeri Seribu Bencana


Negeri Seribu Bencana
Giatkan Belajar Menghadapi Bencana


Gunung Anak Krakatau, salah satu gunung berapi di Tanah Air yang masih aktif Setelah gempa Padang 30 September 2009, Indonesia harus bersiap menghadapi bencana-bencana lain yang sedang mengintip ingin keluar.

Di antara keindahan dan kekayaan alam Indonesia yang memiliki kurang lebih 17.500 pulau ini, tersembul pula potensi bencana yang besar.

Berada di antara empat lempeng aktif (Lempeng Pasifik, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Filipina) menjadikan Indonesia rawan gempa tektonik sekaligus berpeluang timbulnya gelombang tsunami. Kemudian, berada dalam jalur Cincin Api Pasifik (The Pasific Ring of Fire), juga menjadikan Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki gunung berapi aktif terbanyak di dunia sekaligus gempa vulkanik yang mengiringinya.

Di samping itu, posisi Indonesia yang secara astronomis berada pada 60LU – 110LS dan 950BT – 1410BT dan secara geografis teletak di antara dua benua yakni Benua Asia dan Australia serta diapit dua samudera yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, membuat negeri ini menjadi salah satu wilayah yang mengalami dampak langsung dari gejolak iklim el nino yang menyebabkan perubahan iklim ekstrim berupa kemarau panjang atau sebaliknya hujan ekstrem yang sering berakibat kekeringan atau banjir.

Mengenai gempa, meskipun sudah ada alat sistem peringatan dini (early warning system) yang memperingatkan jika sewaktu-waktu gempa datang tidak terduga. Namun untuk memperkirakan secara tepat kapan, dimana, dan besar dampak dari gempa yang akan terjadi masih belum dapat dilakukan. Terkait dengan hal tersebut, pengetahuan akan gempa dan segala upaya meminimalisasi dampaknya adalah hal yang mutlak untuk diketahui.

Secara histografi, Indonesia merupakan wilayah langganan gempa bumi dan tsunami. Tsunami misalnya, dalam sejarahnya sudah sering terjadi di Indonesia. Tsunami tertua di Indonesia tercatat terjadi di Laut Banda 17 Februari 1674. Selama kurun waktu 200 tahun (1801-2000) tidak kurang 161 tsunami terjadi di Indonesia ditambah yang terakhir tsunami Aceh 2004.

Demikian juga dengan gempa bumi. Negeri ini telah mencatatkan puluhan bahkan ratusan gempa sepanjang ingatan manusia. Di antaranya, negeri ini mencatatkan gempa besar akibat meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883, gempa yang mengakibatkan tsunami di Aceh 26 Desember 2004, hingga yang teranyar, gempa berkekuatan 7,6 skala richter yang terjadi di Padang, Sumatera Barat.

Gempa yang terjadi di Padang merupakan gempa tektonik akibat pergeseran lempeng bumi di dalam perut bumi yang melintang dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, NTT, dan Maluku yang sangat rawan mengakibatkan gempa. Keadaan geologi akibat pertemuan lempeng-lempeng tektonik menjadikan Indonesia memiliki kondisi geologi yang sangat kompleks.

utama_12_71.jpg
Selain dikepung empat lempeng dunia, Indonesia masuk dalam jalur rangkaian gunung api aktif di dunia (The Pasific Ring of Fire). Sekitar 90 persen gempa bumi terjadi di bawah air pada daerah cincin api yang terletak di lingkaran Lautan Pasifik.

Cincin Api Pasifik ini membentang di antara subduksi maupun pemisahan lempeng Pasifik dengan lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, lempeng Amerika Utara dan lempeng Nazca yang bertabrakan dengan lempeng Amerika Selatan. Ia membentang dari mulai pantai barat Amerika Selatan, berlanjut ke pantai barat Amerika Utara, melingkar ke Kanada, semenanjung Kamsatschka, Jepang, Indonesia, Selandia Baru dan kepulauan di Pasifik Selatan.

Indonesia sendiri sekarang memiliki 500 gunung berapi yang 128 di antaranya masih aktif. Zona kegempaan dan gunung api aktif Cincin Api Pasifik ini sangat terkenal, karena dalam sejarahnya, setiap gempa hebat dan tsunami dahsyat dari kawasan itu, menelan korban jiwa manusia yang amat banyak. Konsekuensi logis kekompleksan kondisi geologi inilah yang menjadikan banyak daerah di Indonesia memiliki tingkat kerawanan bencana alam yang tinggi.

Lempeng-lempeng bumi ini memiliki ketebalan berbeda-beda satu sama lain, antara 10 Km dan 50 Km. Lempeng-lempeng itu bergerak mengambang di atas magma, cairan kental dan panas di perut bumi, sehingga selalu berinteraksi satu sama lain. Pertemuan antarlempeng ini bisa berupa subduksi (penunjaman) seperti antara Lempeng Indo-Australia yang menunjam ke Lempeng Eurasia, atau saling tarik-menarik (divergensi), atau saling geser. Daerah penunjaman antardua lempeng inilah yang disebut sebagai zona subduksi.

Seperti diuraikan dalam beberapa penelitian ahli, kecepatan gerak lempeng-lempeng ini antara 1 cm dan 13 cm per tahun dengan arah tertentu untuk setiap lempeng. Pada saat terjadi pertemuan antarlempeng, akan terjadi penumpukan energi akibat tekanan antarlempeng yang mengakibatkan ketidakstabilan. Dan, bila batuan pada daerah tersebut tidak mampu lagi menahan tekanan, batuan tersebut akan patah sambil melepaskan energi. Energi inilah yang merembat ke permukaan bumi dengan gelombang longitudinal, gelombang transversal dan gelombang panjang atau gelombang permukaan, yang menggoyangkan semua yang ada di permukaan bumi.

Gelombang longitudinal bergerak dengan kecepatan 7-14 km per detik yang merambat dari sumber gempa ke segala arah. Gelombang inilah yang pertama sekali dirasakan di daerah gempa atau disebut juga gelombang primer. Sedangkan gelombang transversal kecepatannya bisa mencapai 4-7 km per detik yang terjadi bersamaan dengan gelombang primer atau disebut juga gelombang sekunder. Dan gelombang panjang atau gelombang permukaan, yaitu gelombang gempa yang merambat di permukaan bumi dengan kecepatan sekitar 3,5 - 3,9 km per detik yang menimbulkan paling banyak kerusakan.

Peristiwa inilah yang terjadi dan bakal terjadi berulang-ulang di Indonesia, sejalan dengan posisi daerahnya yang dekat dengan zona subduksi. Artinya, tumbukan antarlempeng atau kerak bumi inilah yang menyebabkan gempa terus terjadi silih berganti.

Ketika satu lokasi lapisan bebatuan di batas kerak bumi runtuh karena merapuh menahan desakan lempeng, bebatuan itu akan mencari posisi baru yang stabil. Selama proses ini berlangsung, akan terjadi serangkaian gempa susulan (aftershock), pascagempa utama. Hal ini dapat mengakibatkan bangunan yang retak dan rapuh menjadi roboh. Kejadian ini juga bukan hanya meruntuhkan bangunan, melainkan juga membuat tanah longsor, merekah, dan ambles.

Zona lempeng yang mengelilingi sejumlah kawasan di dunia yang diperkirakan masih aktifKeadaan ini sangat mustahil untuk dihindari, sebab rangkaian pergerakan lempeng-lempeng bumi yang menutupi dan mengapung di atas magma tak akan pernah berhenti. Sementara Indonesia, seperti disebut di atas, terletak di antara empat lempeng bumi yang aktif, yaitu Lempeng Pasifik, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Filipina yang selalu bergerak dan saling berinteraksi.

Pergerakan Lempeng Pasifik relatif ke arah barat, Lempeng Indo-Australia bergerak relatif ke utara, dan Lempeng Eurasia bergerak relatif ke tenggara. Jika terjadi tumbukan antarlempeng itu, disitulah dapat menghasilkan tsunami seperti yang terjadi di Aceh dan Nias, Sumatera Utara.

Data Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukan bahwa ada 28 wilayah di Indonesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami.

Di antaranya
NAD,
Sumatera Utara,
Sumatera Barat,
Bengkulu,
Lampung,
Banten,
Jateng dan DIY bagian Selatan,
Jawa Timur bagian Selatan,
Bali,
Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Kemudian Sulawesi Utara,
Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Selatan,
Maluku Utara,
Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di Papua,
serta Balikpapan di Kalimantan Timur.

Namun secara umum, Pulau Kalimantan relatif aman karena jaraknya yang agak jauh dari daerah pertemuan antarlempeng, sedangkan daerah yang paling rawan adalah pantai barat Sumatera, selatan Jawa, selatan Nusa Tenggara Timur, utara Papua, dan Sulawesi.

Gempa berkekuatan 7,6 SR (menurut BMKG-Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) yang memorakporandakan Kota Padang dan Pariaman yang getarannya terasa hingga Kuala Lumpur dan Singapura, Rabu 30 September 2009 lalu, menurut para ahli adalah akibat gempa tektonik dari pergerakan lempeng dan tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia.

Namun menurut pakar gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Danny Hilman Natawidjaya, gempa itu tidak berpusat di zona subduksi lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia. Kemungkinan, menurut Danny seperti diuraikan di harian Kompas (1/10/09), pusat gempa di Padang terjadi di ujung patahan jauh di bawah dasar laut. Hal itu dikatakannya karena gempa yang terjadi tidak sampai memicu tsunami. Hal itu menurutnya karena pergerakannya dominan horisontal, tidak vertikal, dan lepasnya lebih dalam. Kalaupun ada, seperti dilaporkan, tsunami-nya kecil, yakni sekitar 20 centimeter, yang terukur di pantai barat Padang.
 
Ancaman Lain

Setelah gempa Padang 30 September 2009, pertanyaan yang masih mengganjal berikutnya adalah bagaimana dengan zona subduksi di kawasan Mentawai yang sampai sekarang belum juga pecah. Para ahli geologi memberi aba-aba, ketika Padang diguncang bencana, sebenarnya yang harus dibaca adalah ancaman gempa yang lebih besar, yaitu ancaman gempa dari zona subduksi di kawasan Mentawai. Segmen Mentawai merupakan bagian dari sistem kegempaan di barat Sumatera yang terbagi dalam empat segmen utama (Simelue, Nias, Mentawai, Enggano).

Mekanisme pergeseran lempengMenurut guru besar dan ahli gempa dari ITB Sri Widiyantoro, gempa Padang berpotensi memicu potensi gempa besar yang ada di jalur tersebut. Tetapi, dia mengaku tidak tahu apakah itu sudah cukup besar untuk membuat zona di Mentawai bergerak. Jangka waktunya pun menurutnya tidak diketahui. Bisa beberapa bulan atau beberapa tahun.

Lebih lanjut mengenai zona ini, menurut ahli lainnya, panjang jalur kawasan Mentawai yang belum melepaskan energi itu sekitar 300-400 kilometer, mulai dari Pulau Siberut, Pulau Sipora, sampai ke Pulau Bagai Utara dan Bagai Selatan.

Masih terkait dengan hal itu, beberapa peneliti mengakui terus fokus mengantisipasi dampak kegempaan di zona subduksi segmen Mentawai yang sudah mengumpulkan energi sangat besar untuk dilepaskan dan paling rawan menimbulkan tsunami itu. Danny Hilman dari LIPI misalnya mengatakan, segmen kegempaan Mentawai perlu mendapat perhatian setelah gempa Padang. Sebab, sumber gempa tersebut berada di tepi barat segmen Mentawai atau yang disebut megathrust yang terbentang dari Pulau Siberut hingga Pulau Pagai.

Penelitian LIPI di Kepulauan Mentawai menunjukkan, tahun 1650 pernah terjadi gempa di atas 8 SR di Pulau Siberut. Tahun 1797 dan 1883 gempa berskala sama kembali muncul di daerah itu. Sejak 10 tahun terakhir, gempa di segmen Mentawai bertalu-talu. “Munculnya gempa terakhir di Padang, bisa mengusik segmen Mentawai yang tidur, hingga menimbulkan tsunami,” kata Danny.

Dia juga menambahkan, gempa-gempa di kepulauan di barat Sumatera itu periode pengulangannya sekitar 200-300 tahun. Hal ini akibat efek penunjaman dari lempeng Indo-Australia yang menekan ujung lempeng Eurasia di bawah bagian barat sesar Semangko hingga ke kepulauan di pesisir Sumatera.

Bebatuan di ujung lempeng pada suatu waktu akan melenting karena tidak mampu lagi menahan tekanan itu. Hal ini ditandai dengan gempa besar, pergeseran posisi daratan di segmen itu, dan menjauhnya pulau dari daratan beberapa meter dari posisi semula.

Beberapa pantai yang tidak memiliki karakateristik zona kegempaan tinggi, kini mengalami gejala-gejala gerakan tanah yang semakin intensif akibat resonansi dan responsif energi seismik gempa semakin menekan daerah yang tadinya stabil, yaitu di sekitar pantai Timur Sumatera, daerah Selatan dan Utara Laut Jawa, serta Pantai Timur Kalimantan Barat.

Semakin ke timur, seperti dirilis harian Sindo (5/12/2007), potensi gempa semakin besar. Di Pulau Jawa, diperkirakan terletak mulai Majalengka, Kuningan, Bandung, hingga Pelabuhan Ratu. Kemudian, Cianjur, wilayah selatan Semarang, membujur hingga ke Tegal. Sedangkan di Indonesia Timur, beberapa wilayah yang rawan gempa dan tsunami antara lain adalah Irian dan Maluku. Dimana potensi bahaya gempa dan tsunaminya dua kali lebih tinggi dibandingkan Sumatera.

Pascagempa Padang, ancaman lain yang mengintai sebagai efek dari gempa itu adalah tanah longsor dan ambles. Hal ini terjadi di daerah perbukitan karena berkurangnya tutupan lahan yang diakibatkan berkurangnya areal hutan di kawasan lereng. Daerah-daerah seperti itu akan mudah tererosi dan longsor bila hujan terjadi. Longsor terjadi apalagi saat peralihan dari musim kemarau ke musim hujan, terutama di daerah berjenis tanah yang mudah lepas. Ketika terguyur hujan terus-menerus, ikatan yang melemah itu akan putus karena menanggung beban air di pori-porinya. Putusnya ikatan itulah yang membuat longsor.

Ancaman longsor menjadi makin besar ketika di lereng yang rapuh itu bertengger bangunan, apalagi ketika diguncang gempa. Selain longsor, amblesnya permukaan juga dapat terjadi di daerah yang diterjang gempa. Teorinya, akibat gempa, sumber air di bawah tanah akan teraduk hingga terjadi likuifaksi atau pelembekan tanah. Tanah yang mengalami pembebanan tinggi dan berongga pun akan mudah ambles.

Selain itu, ancaman lain yang paling membahayakan adalah Patahan Lembang yang berada di Kota Bandung. Seperti dikutip Kompas.com (6/10/09) Patahan Lembang yang berada di utara Kota Bandung akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian dan kajian sains, baik oleh LIPI maupun BMKG Bandung karena sesar yang diyakini masih aktif ini menyimpan ancaman besar akan gempa.

Menurut Eko Yulianto, peneliti Paleoseismologi dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, berdasarkan hasil penelitian lembaganya, dengan panjang bentang Patahan Lembang 22 kilometer, potensi kekuatan gempa bisa mencapai 6,7 SR. Dampaknya diperkirakan mampu menyamai kejadian gempa di Yogya, Mei 2006, yang menewaskan ribuan warga.

Disebut demikian, karena struktur tanahnya memiliki kesamaan, yakni tanah endapan muda bekas danau purba. “Lapisan tanah ini belum terkonsolidasi betul sehingga efeknya mirip bubur di mangkuk ketika digoyangkan. Guncangannya berhenti, tetapi goyangan masih terjadi,” kata Eko. Bahkan menurut Brian Atwater, peneliti paleotsunami ternama dari United States Geological Survey (USGS), ancaman bencana Patahan Lembang termasuk kategori kelas dunia. Sebab, patahan berada di dekat kawasan kota yang sangat padat, yang sangat jarang terjadi di dunia.

Lebih lanjut menurut Eko, masih banyak lagi di daerah Bandung yang rawan akan gempa seperti Sesar Cimandiri yang membentang dari Kabupaten Sukabumi hingga ke Lembang di Bandung bagian utara dan Sesar Baribis di sekitar Kabupaten Majalengka yang juga menyimpan ancaman lain karena juga mengakumulasi energi. Sedangkan daerah Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan Bandung Selatan termasuk daerah yang terdekat dengan pusat gempa dan zona subduksi lempeng.

Sementara Ibukota DKI Jakarta, walau tidak mempunyai potensi menjadi episentrum atau pusat gempa, tapi harus tetap waspada akan pengaruh gempa di daerah sekitarnya. Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sugeng Triutomo juga mengingatkan, selain faktor keamanan itu, harus diperhatikan ancaman amblesnya bangunan. Karena, ketika terjadi guncangan gempa, likuifaksi atau pelembekan tanah dapat terjadi. Tanah yang mengalami pembebanan tinggi akan ambles, apalagi jika di bawahnya berongga. Untuk mencegah ancaman tersebut, menurutnya, di Jakarta harus ada pengendalian penyedotan air tanah, bahkan harus ada upaya pengisian kembali air tanah dalam.

Sementara itu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Departemen ESDM memberikan peringatan pada sejumlah wilayah rawan bencana akibat gerakan tanah sepanjang Oktober 2009. Lembaga itu menyebutkan, sejumlah wilayah yang berpotensi terjadi gerakan tanah sehingga bisa menimbulkan bencana adalah, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam dan Kalimantan Barat.

Selain besarnya kekuatan gempa, struktur tanah ikut memperparah dampak gempa. Gempa tektonik berkekuatan 5,9 SR yang mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah 27 Mei 2006 yang menewaskan 6.223 orang, dan menimbulkan kerusakan yang parah pada bangunan-bangunan lainnya misalnya. Kerusakan parah terjadi akibat gempa dangkal, struktur tanah Yogya, dan cekungan berisi pasir dari pegunungan api yang dikelilingi batuan keras dengan patahan (sesar) Opak. Cekungan pasir membuat gempa dangkal tersebut memantul-mantul secara horisontal, membuat gempa berlangsung lebih lama dan memperparah kerusakan bangunan yang ada di atasnya. Sehingga walau hanya berkekuatan 5,9 SR, tapi efeknya sangat menghancurkan.

Demikian juga gempa berkekuatan 7,3 SR di Tasikmalaya, Jawa Barat, 2 September 2009 lalu. Menurut para pakar, banyaknya korban dan kerusakan dalam peristiwa itu akibat struktur tanah. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono mengatakan, struktur tanah di wilayah Jawa Barat bagian Selatan dan struktur bangunan yang dibuat masyarakat menjadi penyebab banyaknya korban jiwa.

Struktur tanah di Kota Padang, Sumatera Barat juga menurut pakar geologi yang juga Koordinator Dewan Pakar IAGI Sumut dan NAD Jonathan I Tarigan tergolong lentur, makanya dalam peristiwa gempa pada 30 September 2009 lalu, banyak bangunan atau gedung yang mudah roboh. Sementara di Jambi, karena struktur tanahnya lebih keras di samping gempa yang terjadi di bawah daratan sehingga tidak begitu banyak korban dalam gempa berkekuatan 7,0 SR di provinsi itu, tepatnya di Kota Sungai Penuh pada 1 oktober 2009 lalu.

Surono mengatakan, di Jambi relatif tak ditemukan aluvial (endapan muda) gunung api, sementara di Padang lapisan aluvialnya tebal. Jadi, di Jambi dampak guncangan tidak separah di Padang. Ia juga menggambarkan kondisi di Padang, seperti halnya kondisi Jawa Barat selatan yang didominasi oleh tanah urai, sedangkan karakter tanah Sungai Penuh relatif padat sehingga meredam getaran.

Sikap Masyarakat Terhadap Lingkungan

Selain bencana akibat proses alamiah seperti gunung berapi, gempa dan tsunami, sikap masyarakat yang tidak menghiraukan perilakunya dalam berinteraksi dengan alam juga sering mengundang bencana di negeri ini.

Sekadar contoh, masih segar di ingatan kita akan tragedi jebolnya Situ Gintung pada Maret 2009. Tanggul yang terletak di Ciputat, Tangerang, itu jebol sehingga air tumpah ke pemukiman di sekitarnya dan mencabut puluhan nyawa penduduk. Dalam hal ini, pemerintah dianggap bersalah karena tidak teliti memeriksa kelayakan tanggul tersebut. Sementara masyarakat juga turut dianggap bersalah karena membangun rumah di lokasi yang sudah ditetapkan sebagai jalur hijau tersebut.

Contoh lain bencana akibat ulah manusia adalah banjir bandang di Mandailing Natal beberapa bulan lalu sebagai dampak penebangan hutan tanpa melakukan penanaman ulang. Ketika itu, air hujan yang cukup panjang dan deras tidak bisa lagi ditahan hutan yang sudah gundul sehingga membuat Sungai Batang Gadis meluap dan merendam enam desa di Kecamatan Muara Batang Gadis.

Banjir akibat menyempitnya sungai oleh tumpukan sampah penduduk juga sudah menjadi masalah berulang di negeri ini. Jakarta sebagai wajah Indonesia termasuk salah satu daerah yang setiap tahun mengalami persoalan ini. Setiap tahun masyarakat ibukota negara ini selalu was-was menghadapi banjir yang salah satunya karena ulah masyarakat yang suka buang sampah di sungai. Bahkan saking banyaknya sampah, sungai-sungai yang mengalir di kota ini disindir dengan sebutan ‘supermarket’ terbesar di dunia karena hampir semua benda bisa dijumpai mulai dari yang kecil-kecil seperti plastik, kardus hingga yang besar seperti kasur, sofa dan sebagainya.

Belajar dari pengalaman masa lalu, ditambah dengan masih besarnya ancaman bencana yang menghadang, kiranya bangsa ini mau belajar menghadapi bencana. Tragedi alam yang memang tidak bisa dihambat hendaknya dihadapi dengan pintar-pintar beradaptasi. Sementara bencana akibat ulah manusia sendiri hendaknya dihadapi dengan pertobatan dan kesadaran bahwa ulahnya itu bisa membunuh orang lain, anak cucunya, atau mungkin dirinya sendiri. MS,BHS,RIE (Berita Indonesia 71)

http://www.beritaindonesia.co.id/berita-utama/negeri-seribu-bencana/
 
Aktivitas Anak Gunung Krakatau Meningkat
Senin, 22 November 2010 12:08 WIB

29102010_gunung_anak_krakatau.jpg

Letusan yang dikeluarkan oleh aktivitas Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda terus mengalami peningkatan dari 207 (Sabtu, 20/11) menjadi 210 kali (Minggu, 21/11).

"Untuk jumlah letusannya mengalami peningkatan dari hari sebelumnya, 207 kali menjadi 210," kata Kepala Pos Pemantau Gunung Anak Krakatau (GAK) di Desa Pasauran, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Provinsi Banten Agung S Pambudi, Senin.

Meski jumlah letusannya bertambah, akan tetapi masih menurut Anton, untuk jumlah total kegempaannya menurun, dari 741 kali pada Hari Sabtu, turun menjadi 732 pada hari berikutnya. "Secara keseluruhan, dari Sabtu ke Minggu kemarin, total kegempaannya data yang ada pada perekem pos pemantau turun," katanya menambahkan.

Dan secara rinci, dari total kegempaan pada Minggu (21/11) sebanyak 732 kali, untuk vulkanik dalam (VA) 7 kali, vulkanik dangkal (VB) 77 kali, letusan 210 kali, tremor harmonik 2 kali, hembusan 241 kali, dan tektonik jauh 1 kali.

"Untuk statusnya sendiri masih sama, Level II atau `waspada`. Dan kami masih merekomendasikan warga agar tidak mendekat pada radius dua kilometer dari lokasi," katanya menambahkan.

Sementara untuk Hari Sabtu (20/11) dari total kegempaan 741 kali, rinciannya VA 2 kali, VB 77 kali, letusan 207, tremor letusan 223 kali, tremor harmonik 3 kali, 229 kali untuk hembusan. "Jumlah kegempaannya masih fluktuatif, kadang naik, dan turun," kata Anton menambahkan. (Ant)

http://nusantara.tvone.co.id/berita/view/45825/2010/11/22/aktivitas_anak_gunung_krakatau_meningkat/
 
Back
Top