cersil- Peristiwa Bulu Merak

radiaku

New member
attachment.php

Cerita ini adalah salah satu favorite gw, Ceritanya dalam dan agak sedikit berat.
Dan rumit yang menjadi ciri khas dari Gulong aka Khulung.
Kalau elu mengharapkan, cerita anak remaja dengan kisah cengeng dan teen , ini bukan cerita yang elu harap.

Jangan harap disini elu akan menemukan
  • Pahlawan disini tak ada yang dapat mukjizat jadi sakti,
  • Ataupun seorang berwajah tampan kemudian menikah dengan wanita cantik,
  • Seorang yang suci ataupun lainnya.
  • Membela kejahatan dan menyelamatkan dunia.
  • Kaya raya,
  • dan hal hal yang luar biasa yang elu liat di sinetron ataupun di film film.


Gw share karena ini adalah salah satu cerita yang benar benar mengena di hati gw. Favorite banget dah...

Note:
Cerita ini adalah tentang Pho Ang Soat, Seorang pendekar nomor 1, golok yang cuma bisa membunuh orang. Tidak menyelamatkan tapi mengambil nyawa.

Seorang pendekar yang kehilangan arah tujuannya, Kekasihnya meninggal karena dirinya. Sebuah kontras karena Kekasihnya adalah seorang Pelacur. Tapi akhirnya dia menemui orang yang berwajah sama dengan kekasihnya. Membuka luka lama yang di pendamnya dalam dalam.

Percakapan Merak

"Kau sudah membacanya?" tanya Ibu jari.
"Ehm, sudah," sahut Toh Lui.
Ibu jari menghela napas, katanya, "Aku tahu, kau tidak
akan puas dengan keterangan yang kudapat ini, tapi bahan itu
saja yang dapat kami peroleh, maklum tiada seorang lain pun
yang bisa tahu lebih banyak dari bahan-bahan yang kami
dapatkan ini."
"Bagus sekali."
Ibu jari mengedipkan mata, tanyanya memancing, "Berguna
tidak bahan-bahan itu untukmu?"
"Tidak."
"Sedikitpun tidak berguna?"
Toh Lui mengangguk, berdiri lalu mondar-mandir sekejap,
lalu duduk pula, katanya dingin, "Masih ada dua hal yang
paling penting."
"Ah, masa betul?" seru Ibu jari.
"Dulu pernah dia tertipu oleh seorang perempuan, sehingga
nasibnya begitu mengenaskan."
"Siapakah perempuan itu?"
"Seorang pelacur bernama Jui Nong," sahut Toh Lui.
Ibu jari menghela napas, katanya, "Selalu aku merasa
heran, kenapa lelaki yang pintar selalu tertipu oleh pelacur?"


Merak tiba-tiba menyela, "Karena lelaki yang pintar hanya
menyukai perempuan yang cerdik, perempuan yang cerdik
kebanyakan suka jadi pelacur."
Toh Lui menjengek, "Kukira dia ini pasti pernah tertipu juga
oleh pelacur."
Berubah air muka Merak, namun dia masih bisa tertawa,
tanya, "Apa pula hal kedua yang tidak lengkap dalam data
itu?"
"Dia mengidap penyakit," ujar Toh Lui.
"Penyakit apa?"
"Penyakit ayan."
Bersinar mata Ibu jari, katanya, "Bila penyakitnya itu kumat,
apakah dia juga bergelimpangan dan mengejang serta berbuih
mulutnya?"
"Ya, penyakit ayan hanya satu macam," ucap Toh Lui.
Ibu jari menghela napas gegetun, katanya, "Seorang
timpang yang berpenyakit ayan ternyata mampu meyakinkan
golok kilat yang tiada bandingannya di jagat ini."

Toh Lui berkata, "Dia pernah menggembleng diri, konon
sedikitnya empat jam waktu yang digunakan untuk berlatih
golok, sejak berusia lima tahun setiap hari sedikitnya dia
mencabut goloknya sebanyak dua belas ribu kali."
Ibu jari menyengir kuda, katanya, "Sungguh tak nyana kau
lebih jelas tentang seluk-beluknya daripada kami."
 

Attachments

  • 01-perisitiwa-bulu-merak.jpg
    01-perisitiwa-bulu-merak.jpg
    63.3 KB · Views: 860
Last edited:
Prolog

Karya Gu Long (Khu Lung)
Disadur Oleh Gan KH
Judul Asli : Tian Ya, Ming Yue, Dao
Pertama kali dicetak tahun 1975
Judul Barat : The End of the World atau The Bright Moon
atau The Sabre

Prolog

"Jauhkah ujung langit?"
"Tidak jauh!"
"Manusia berada di ujung langit, mana mungkin ujung langit
jauh?"
"Apa warna bulan purnama?"
"Biru. Sebiru lautan."
"Bulan purnama berada dimana?"
"Berada dalam hatinya, hatinya adalah bulan purnama."
"Bagaimana dengan goloknya?"
"Golok berada dalam genggamannya!"
"Golok seperti apakah itu?"
"Goloknya begitu luas, begitu sunyi bagai ujung langit,
begitu suci, begitu murung bagai bulan purnama, terkadang
sewaktu goloknya menyambar, seolah yang ada hanya
kekosongan!"
"Kekosongan?"
"Kosong, halus, melayang seolah ada seolah tak ada,
seakan tak berwujud namun seakan berada dimana pun."
"Tapi goloknya seperti tak terlampau cepat."
"Golok yang tak cepat mana mungkin bisa tiada tandingan
di kolong langit?"
"Karena kecepatan goloknya telah melampaui batas
kecepatan yang pernah ada!"
"Bagaimana dengan manusianya?"
"Manusianya seperti belum kembali, tapi perasaannya telah
hancur-lebur."
"Berada dimana jalan kembalinya?"
"Jalan kembali berada di depan mata."
"Dia tidak melihatnya?"
"Dia memang tidak melihat."
"Karena itu tidak menemukannya?"
"Walaupun sekarang tidak menemukan, cepat atau lambat
suatu pasti akan menemukannya!"
"Pasti dapat menemukan?"
"Pasti!"
 
Last edited:
Bab 1 Di Ujung Langit .

Magrib telah mendatang. Pho Ang-soat berdiri dibawah
cahaya mentari kemuning yang hampir terbenam
diperaduannya. Hanya dia seorang yang berada dipancaran
cahaya mentari, seolah-olah tinggal dia seorang saja yang
ketinggalan hidup di mayapada ini.

Tanah tegalan belukar sepanjang ribuan li, karena
kesunyian yang mencekam ini sehingga terasa rona
mentaripun telah berubah, berubah menjadi warna kelabu
yang hampa dan telantar.

Demikian pula orangnya. Tangannya menggengam sebilah
golok. Tangan yang memucat putih, golok yang hitam legam.
Bukankah warna putih dan hitam itu perlambang kehidupan
yang mendekati kematian? Bukankah kematian itu terasa
hampa dan kesuyian yang kelewat batas?

Sorot mata nan lengang bola mata yang hampa dan
kesepian, seolah-olah dia sudah melihat bayangan kematian,
apakah kematian itu sendiri sudah berada didepan matanya?
Pho Ang-soat berjalan kedepan. Langkahnya perlahan,
namun tidak pernah berhenti, umpama kematian sedang
menanti disebelah depan dia juga tidak akan pernah berhenti.
Gayanya berjalan memang aneh juga lucu, kaki kiri
melangkah dulu setapak kedepan, kaki kanan lalu diseretnya
maju mendekat, setiap langkahnya kelihatan amat susah dan
berat. Tapi jalanan yang pernah ditempuhnya tak terukur
panjangnnya, namun setiap langkah adalah hasil dari
gerakkan kedua kakinya.

Berjalan dengan cara demikian, entah kapan baru dia akan
berhenti. Pho Ang-soat sendiri tidak tahu, hakikatnya dia tidak
mau dan tidak pernah memikirkannya. Sekarang dia sudah
berjalan sampai disini. Bagaimana didepan? Apa betul
didepan ada kematian?

Memang benar, tatapan matanya sudah menandakan
bayangan kematian itu, apa yang digenggam ditangannya
juga kematian, karena goloknya itu perlambang kematian.
Golok hitam, gagangnya juga legam, demikian pula
serangkanya juga hitam. Kalau golok ini perlambang
kematian, golok ini justru adalah jiwanya pula.
 
Last edited:
Cuaca makin guram, memandang jauh ke depan sudah
kelihatan bentuk sebuah bayangan kota yang samar-samar.
Dia tahu itulah Hong-hong-kip, kota kecil yang cukup makmur
ditengah tanh belukar diluar perbatasan. Pho Ang-soat tahu
letak dari Hong-hong-kip ini, karena kota itulah tempat dimana
bayangan kematian sedang dicarinya. Tapi dia tidak tahu,
bahwa Hong-hong-kip sekarang sudah mati, sudah runtuh
sudah sepi.

Jalan raya dalam kota kecil ini tidak panjang, tidak lebar,
namun ada puluhana toko dan warung berderet disepanjang
jalan raya itu. Tidak sedikit kota-kota kecil seperti ini dalam
dunia, keadaannya seperti itu juga, bobrok dan reyot, warung
yang jorok, harga barang yang murah, keluarga sederhana
dengan yang jujur dan bajik.

Sekarang keadaan sudah berbeda, karena Hong-hong-kip
walau ada warung dan toko, namun sudah tiada penghuni,
seorang manusiapun tidak terlihat dalam kota ini.
Pintu atau jendela rumah-rumah disepanjang jalan raya ini
ada yang terbuka ada pula yang tertutup rapat, namun
semuanya sudah kotor berdebu dan lapuk, luar dalam rumah
bertumpuk selapis debu tebal, gelagasi malah sudah
menghias berbagai pelosok rumah-rumah itu.

Seekor kucing hitam terkejut oleh derap langkah yang
mendatangi, kucing ini bergerak lamban dan malas, tidak
selincah dan cekatan seperti kucing umumnya yang
kelaparan, dengan dengus napasnya yang berat dia beranjak
menyebrang jalan, bentuknya sudah tidak mirip seekor kucing
lumrah.

Kelaparan memang mampu merubah bentuk segalanya?
Mungkinkah kucing kering itulah satu-satunya jiwa yang
ketinggalan hidup dalam kota kecil ini?

Hati mulai dingin jari-jari tangan Pho Ang-soat juga mulai
dingin, lebih dingin dari mata golok yang dipegangnya.
Kini dia sudah berdiri ditengah jalan raya, menyaksikan
dengan mata kepalanya sendiri. Tapi dia masih belum bisa
percaya, tidak berani percaya dan tidak tega untuk percaya.
Bencana apakah yang menimpa tempat ini? Bagaimana pula
terjadinya bencana itu?

Angin menghembus lalu, papan merek dari sebuah toko
melambai dengan suaranya berkeriut ditiup angin, lapat-lapat
masih kelihatan bekas tulisannya yang sudah luntur oleh hujan
dan terik matahari. "Warung tua keluarga Tan, arak wangi
simpanan lama." Semula merek warung ini adalah reklame
termegah dikota kecil ini, namun sekarang sudah luntur dan
kropos kayunya, tak ubahnya gigi orang tua yang sudah
ompong.

Ternyata keadaan warung arak itu sendiri jauh lebih
menyedihkan dari papan reklame yang terpampang didepan
pintu. Pho Ang-soat berdiri diam tak bergerak, matanya
canang mengawasi papan reklame yang terombang-ambing
ditiup angin, bila angin berhenti menghembus, baru dia
beranjak perlahan, mendorong pintu melangkah masuk
kewarung arak ini, tak ubahnya memasuki sebuah kuburan
morat-marit setelah dikeduk oleh kawanan perampok.
Dulu Pho Ang-soat pernah datang ketempat ini. Arak
tempat ini meski tidak terlalu enak, tapi juga tidak jelek, jelas
tidak menyerupai cuka, tempat ini dahulu juga tidak mirip
kuburan.

Setahun yang lalu tepat. Setahun yang lalu, warung arak ini
yang ramai dalam kota kecil ini, pedagang atau pelancongan
yang hilir-mudik keutara atau keselatan pulang pergi pasti
melewati Hong-hong-kip, bila masuk kekota kecil ini siapapun
pasti mampir dikedai arak ini minum beberapa cawan baru
melanjutkan perjalanan.

Bila air kata-kata sudah masuk perut, mulutpun akan
ngobrol panjang lebar, adalah pantas kalau kedai arak ini
menjadi ramai dan ribut, manusia mana yang tidak suka
berada ditempat yang ramai.

Karena itu kedai arak ini merupakan rumah terbesar
disepanjang jalan raya ini, tidak sedikit orang yang menjamu
para sahabatnya dengan hidangan paling mahal menurut
ukuran tarip dikota kecil ini maka pemilik kedai selalu berseri
tawa menyambut langganannya.

Tapi pemilik kedai yang biasanya murah senyum itu kini
tidak kelihatan, meja-meja yang semula bersih mengkilap kini
berdebu, guci dan mangkok berserakan dilantai semuanya
sudah pecah dan hancur, bau wangi arak yang merangsang
semangat berganti bau apek, bau busuk yang memualkan.
Percakapan dan kelakar yang ramai disertai gebrakan meja
para tamu dan penjudi yang mujur diruang depan, sementara
bendo yang merajang daging dan sayur-sayuran didapur,
bunyi daging yang digoreng diatas wajan yang mendidih
minyaknya, kini sudah tidak terdengar pula, bila angin lalu
menghembus santer menimbulkan suara "ber", kedengaran
seperti getaran sayap kelelawar yang terbang dari neraka.
Hari sudah petang.

Perlahan Pho Ang-soat beranjak kesana, menuju
kepojokan, membelakangi dinding menghadap kepintu,
perlahan dia berduduk. Setahun lalu waktu dia datang
ketempat ini, juga duduk disini. Tapi tempat ini sekarang
sudah mirip kuburan, tempat yang sudah tidak meninggalkan
kesan dan patut ditinggali lagi. Tapi kenapa justru dia duduk
ditempat lama? Apa dia ingin mengenang masa lalu? Atau
sedang menunggu?

Jikalau sedang mengenang masa lalu, lalu apa yang terjadi
setahun lalu sehingga patut dia mengenangnya? Umpama
menunggu, apa pula yang sedang dinantikan? Apakah
kematian? Ya, memang kematian.
ooooOOoooo
 
Malam akhirnya menyelimuti alam semesta. Tiada lampu
tidak ada lilin, tidak ada api hanya ada kegelapan. Dia
membenci kegelapan, sayang kegelapan itu mirip kematian,
siapapun takkan bisa menghindarinya. Kalau kegelapan sudah
tiba, bagaimana dengan kematian?

Dia duduk tak bergeming, tangannya tetap menggenggam
goloknya, mungkin dia masih bisa melihat tangannya yang
pucat, namun takkan bisa melihat goloknya lagi. Golok yang
hitam sudah terlebur didalam kegelapan. Apakah goloknya itu
juga merupakan kegelapan itu? Apakah setiap kali goloknya
terayun, siapapun takkan mampu menghindarinya?

Kegelapan yang membeku diam, keheningan yang
mencekam, dari jauh sayup-sayup terdengar irama musik
yang kalem mengalun terbawa angin. Dalam keadaan seperti
ini, situasi yang mencengkam, irama musik itu kedengarannya
seperti lagu-lagu dewa yang kumandang dari langit.

Begitu mendengar irama musik ini, sorot mata yang semula
hampa, mendadak seperti mengunjuk suatu mimik yang ganjil,
peduli mimik ganjil serupa apa, yang jelas mimik itu bukan
membayangkan rasa senang atau riang.

Irama musik makin keras dan dekat, ditengah alunan musik
itu, terdengar pula sebuah kereta yang mendatangi. Kecuali
dirinya, apa benar masih ada orang lain yang sengaja menuju
kekota kecil yang sudah hancur ini? Sorot matanya sudah
pulih sedia kala, kaku dingin, tanpa ekspresi, tapi genggaman
jari-jarinya digagang golok ternyata lebih kencang.

Mungkinkah dia sudah tahu siapa yang bakal datang?
Apakah orang ini yang sedang dia tunggu? Apakah orang itu
pula jelmaan dari kematian itu?

Apakah itu lagu dewa? Tiada manusia pernah
mendengarnya. Tapi bila seorang mendengar sehingga
sanubarinya terbuai, malah jiwa raganya seperti terbaur
didalam irama musik itu, maka mereka akan beranggapan
musik itulah lagu dewa.

Tapi Pho Ang-soat tidak terpengaruh lagu ini, dia tidak
terlena atau terbaur didalamnya. Dia masih tetap duduk
tenang ditempatnya, mendengar dengan tenang. Mendadak
delapan lelaki baju hitam perawakan kekar melangkah cepat
dan lebar masuk kedalam kedai, setiap orang membawa
sebuah keranjang bambu besar, dalam keranjang berisi
berbagai macam barang yang aneh-aneh, diantaranya
termasuk sapu, kemoceng dan kain untuk membersihkan.
Jangan kata menyapa, melirikpun tiada yang memandang
kearah Pho Ang-soat, begitu memasuki kedai, mereka lantas
sibuk bekerja, tiada yang bicara, tanpa komando, tapi kedai
arak ini telah mereka bersihkan dengan rapi. Bukan saja
cekatan, merekapun bekerja tekun dan rajin. Seperti kejadian
ajaib saja, kedai yang berdebu dan morat-marit, dalam
sekejap, telah dibikin bersih, rajin seperti serba baru.

Bila kedelapan lelaki itu usai bekerja dan mundur keluar
pintu serta berdiri jajar diambang pintu, muncul empat gadis
jelita berpakaian kembang, mereka juga membawa keranjang
bambu, cuma bentuknya berbeda, lebih kecil dan enteng.
Mereka menata kembang, mengeluarkan arak, piring,
mangkok dan berbagai hidangan lezat serta mengisi cangkir
dengan arak.

Kecuali pojokan dimana Pho Ang-soat sedang duduk,
setiap pelosok kedai arak ini telah dibersihkan, dinding dihiasi
lukisan, kerai kerang menjuntai dipintu, meja juga sudah diberi
taplak, sampai lantaipun digelari babut merah menjurus
panjang keluar pintu.

Maka muncul pula rombongan pemain musik yang terdiri
dari gadis-gadis jelita sambil menari lenggang-lenggok mereka
memetik harpa, meniup seruling, menabuh kecapi, begitu
gemulai mereka memasuki kedai pula. Ditengah alunan musik
merdu itu mendadak terdengar suara kentong ditabuh sekali,
ternyata kentongan pertama sudah tiba, dari lubang jendela
memandang jauh keluar, tampak seorang berbaju putih
sedang memeluk kentongan, bagai bayangan setan berdiri
menyepi ditengah kegelapan. Dari mana pula datangnya
tukang kentong ini? Bukankah dia sedang memberi peringatan
kepada orang yang menghadapi kematian? Lalu siapa yang
dia peringati?

Ketika kentongan berbunyi, maka gadis-gadis jelita itupun
mulai menyanyi pula sambil menari. Sebelum nyanyian
berakhir, ditengah gerak gemulai gadis-gadis jelita itu, tampak
Yan Lam-hwi sedang beranjak masuk, waktu dia memasuki
kedai arak ini, keadaannya seperti orang mabuk.
ooooOOoooo
 
Last edited:
Bab 2 Mawar Dari Ujung Langit .
Apa benar Yan Lam-hwi sudah mabuk?
Dia sudah duduk, duduk disamping kembang semerbak,
duduk dikelilingi gadis-gadis jelita, duduk menghadapi meja
perjamuan dengan secangkir arak wangi. Araknya warna
kuning, sekuning bunga mawar yang segar. Setangkai bunga
mawar berada ditangannya, cangkir arak juga dipegangnya,
harum bunga menyejuk badan, bau arak memabukkan.
Akhirnya dia mabuk dan meloso jatuh didepan lutut gadis
jelita, arak kuning dalam cangkir mengalir membasahi
pakaian. Gadis itu juga seperti mabuk, cekikik tawanya
semerdu kicau kenari, wajahnya nan jelita tersenyum cerah
dan mekar.

Yan Lam-hwi masih terlalu muda, muda gagah, tampan dan
kaya-raya, hidup dikelilingi gadis-gadis cantik, kembang mekar
semerbak dengan arak wangi nomor satu, betapa riang-
gembira kehidupan ini? Tapi kenapa dia justru menikmati
kesenangan hidup ini dikota yang sudah mati ini? Memangnya
kedatangannya juga lantaran Pho Ang-soat?

Sejak masuk dia juga tidak pernah melirik kearah Pho Ang-
soat, seolah-olah tidak merasakan bahwa ditempat ini masih
ada seorang Pho Ang-soat yang juga hidup. Demikian pula
sikap Pho Ang-soat seperti tidak melihat kehadiran mereka.
Tiada kembang mekar, tiada perempuan cantik dan tiada arak
didepan matanya, seperti ada pagar tembok tinggi yang
menutupi pandangannya sehingga dia terisolir dari kehidupan
riang-gembira ini. Memang kenyataan sudah lama Pho Ang-
soat terisolir dari kehidupan riang-gembira itu.
ooooOOoooo
 
Kentongan berbunyi pula, sudah kentongan kedua. Makin
banyak arak tertenggak keadaan semakin payah, suasana
riang inipun bertambah, seolah-olah mereka sudah melupakan
duka cita kerisauan hati dan penderitaan dalam kehidupan
umum ini.

Didalam cangkir masih ada arak, kembang mawar masih
berada ditangannya, seorang gadis cantik bertanya sambil
memeluk lengannya: "Kenapa kau menyukai bunga mawar?"
"Karena mawar ada durinya."
"Kau suka duri?"
"Ya, aku suka duri untuk menusuk orang, menusuk
hatinya."

Gadis itu menarik tangannya yang sakit karena tertusuk
duri, hatinyapun ikut tertusuk, dengan mengerut alis dia
berkata menggeleng: "Alasanmu tidak baik, aku tidak suka
dengar."
"Memangnya apa yang suka kau dengar?" Yan Lam-hwi
tertawa, "mau kau mendengar sebuah kisah?"
"Sudah tentu mau."
"Konon pada jaman dahulu kala, waktu kembang mawar
pertama mekar disuatu tempat yang jauh letaknya, ada seekor
burung yang elok, karena menyukainya, sampai dia rela mati
dari pucuk dahan kecemplung keair dan mati tenggelam."
"Indah benar ceritanya," merah bola mata gadis cantik itu,
"tapi terlalu menyedihkan."
"Kau keliru," Yan Lam-hwi tertawa riang, "mati bukan suatu
tragedi yang menyedihkan, asal kau bisa mati dengan gagah,
mati sebagai ksatria, apa salahnya mati?"
Si gadis mendelong mengawasi mawar ditangannya,
mawar itu seperti sedang tersenyum kepadanya, lama dia
menjublek, mengawasi tanpa berkedip, akhirnya dia menghela
napas, katanya: "Pagi hari ini, akupun ingin memberi beberapa
kuntum mawar kepadamu, memakan banyak waktu baru aku
berhasil mengikatnya diikat pinggangku, sayang ikat
pinggangku kendor, mawarpun runtuh. Kelopak kembangnya
bertaburan dihembus angin melayang jatuh kedalam air. Air
mengalir kearah timur, menghanyutkan kelopak mawar untuk
tidak kembali lagi. Alunan air sungai berubah merah menyala,
namun lengan bajuku terasa masih berbau harum," lalu dia
angkat lengan bajunya. "Coba kau cium, kau harus
menciumnya, sebagai tanda kenangan kami yang terakhir
kali."

Yan Lam-hwi mengawasi lengan bajunya, perlahan dia
menggenggam tangannya. Pada saat itulah kentongan
berbunyi pula. Kentongan ketiga.

Mendadak Yan Lam-hwi mengipatkan tangannya, irama
musikpun berhenti mendadak. Mendadak pula Yan Lam-hwi
mengulap tangan: "Pergi."

Suaranya laksana kutukan iblis, suasana yang semula
riang penuh semangat kehidupan mendadak berubah sepi
lengang, tinggal dua orang saja, penabuh kentong
dikegelapan itupun sudah tidak kelihatan bayangannya.
Demikian gadis yang tertusuk oleh duri mawar juga telah
pergi, kalau tangannya tertusuk, hatinyapun tertusuk lebih
parah. Kereta semakin jauh, alam semesta kembali diliputi
keheningan.

Tinggal sebuah dian yang masih menyala dalam kedai,
sinarnya redup, menerangi sepasang bola mata Yan Lam-hwi
yang mencorong bagai sepasang lampu senter. Mendadak dia
angkat kepala, dengan kedua bola matanya yang menyala dia
menatap lurus kepada Pho Ang-soat. Umpama betul orangnya
sudah mabuk, ternyata tatapan matanya tidak kelihatan
mabuk.

Pho Ang-soat masih tetap duduk diam, tidak mendengar,
tidak melihat, tidak bergerak.
Yan Lam-hwi malah berdiri. Setelah dia berdiri baru terlihat
dipinggangnya menyoren sebatang pedang, gagangnya
berwarna merah, kerangkanya juga merah, merah menyala,
lebih merah dari bunga mawar, lebih merah dari warna darah.
Kedai yang baru saja diliputi kegembiraan, mendadak
berubah sepi diliputi hawa membunuh. Dia mulai melangkah
menghampiri Pho Ang-soat. Umpama dia sudah mabuk,
pedangnya yakin tidak mabuk. Tangan sudah memegang
pedang, tangan yang putih, pedang yang merah.
Golok Pho Ang-soat juga terpegang kencang, goloknya itu
tidak pernah terlepas dari tangannya. Golok hitam lambang
kematian, pedang merah bagai darah, maka jarak antara
golok dan pedang itu semakin dekat. Demikian pula jarak
kedua orang itu makin dekat. Nafsu membunuh makin tebal.
Akhirnya Yan Lam-hwi berada didepan Pho Ang-soat,
mendadak dia mencabut pedang, sinar pedang laksana sinar
mentari yang cemerlang, semarak laksana warna mawar yang
ditimpa cahaya mentari. Hawa pedang menyambar diantara
kedua alis Pho Ang-soat.

Pho Ang-soat tetap tidak melihat, tidak mendengar dan
tidak bergerak. Dimana hawa pedang menyambar, kerai
monte yang terurai diatas pintu rontok berjatuhan, bak
umpama tetesan air mata si cantik-jelita.

Maka sinar pedangpun lenyap mendadak. Pedang masih
berada ditangan Yan Lam-hwi, dengan kedua tangan dia
memegang pedang lalu diangsurkan kedepan Pho Ang-soat.
Itulah pedang tajam yang tiada bandingannya dikolong langit.
Yang dilancrkan juga ilmu pedang yang tiada tandingan
diseluruh jagat. Kenapa sekarang dia serahkan pedang itu
kepada Pho Ang-soat? Dia datang dari jauh, berpesta-pora,
minum sepuasnya, dia mencabut pedang, mengayun dan
mengangsurkan pedang, lalu apa sih maksud dan tujuannya?
Tangan itu kelihatan putih, pedang yang sudah keluar dari
serangkanya juga kelihatan pucat dibawah sinar dian yang
redup.

Tapi rona muka Pho Ang-soat lebih pucat lagi. Akhirnya dia
bergerak perlahan, dia angkat kepala menatap tajam pedang
ditangan Yan Lam-hwi. Wajahnya tidak menunjukkan
perubahan mimik, hanya pelupuk matanya yang mulai
menyipit.

Yan Lam-hwi juga menatapnya lekat-lekat, bola matanya
yang bercahaya menampilkan perasaan yang ganjil, entah itu
rasa senang karena sudah mendekati kebebasan? Atau duka
lara karena apa boleh buat.
Kembali kepala Pho Ang-soat terangkat, kini dia menatap
bulat bola matanya, seperti baru sekarang dia melihatnya.
Begitu sorot mata mereka bentrok, seolah-olah menerbitkan
percikan kembang api.

"Kau sudah datang," mendadak Pho Ang-soat bersuara.
"Ya, aku sudah datang."
"Aku tahu kau pasti datang."
"Sudah tentu aku datang, kau tentu tahu, kalau tidak buat
apa setahun yang lalu kau bebaskan aku?"
Pandangan Pho Ang-soat melorot turun menatap pula
pedang ditangannya, perlahan dia bersuara: "Sekarang sudah
setahun menjelang."
"Ya, setahun tepat."
"Setahun yang panjang."
"Setahun yang pendek."

Jangka setahun, sebetulnya panjang atau pendek?

Mendadak Yan Lam-hwi tertawa-tawa, nada tawa yang
membawa sindiran tajam, katanya: "Kau merasa setahun
panjang karena kau selalu menanti, menanti pertemuan hari
ini."
"Dan kau?"
"Aku tidak pernah menunggu," ucap Yan Lam-hwi tertawa
tawar, "walau aku tahu hari ini aku pasti mati, tapi aku bukan
manusia yang takut mati, bukan orang yang menunggu
kematian."
"Ya, karena banyak pekerjaan yang harus kau bereskan,
maka kau merasa setahun ini terlalu pendek bagimu?"
"Ya, kenyataan memang terlalu pendek."
"Sekarang apakah urusanmu sudah beres? Apakah
keinginanmu sudah tercapai?"
ooooOOoooo
 
Sekarang golok berada ditangan, tangan diatas meja. Lama
Yan Lam-hwi menatap golok hitam legam itu, lalu berkata
perlahan: "Setahun yang lalu, aku kalah oleh golokmu."
"Mungkin kau tidak pantas kalah, sayang sekali kau masih
terlalu muda, namun permainan pedangmu justru sudah
terlalu tua."

Yan Lam-hwi diam saja, seperti sedang mengunyah dua
patah kata tadi, agak lama kemudian baru dia berkata pula
perlahan: "Waktu itu kau pernah tanya kepadaku, apakah ada
persoalan hati yang belum tercapai."
"Ya, aku pernah tanya hal itu."
"Waktu itu pernah kuberitahu kepadamu, umpama benar
ada persoalan yang belum tercapai juga adalah urusan
pribadiku, urusan pribadiku selamanya aku sendiri yang
menyelesaikan."
"Ya, aku ingat."
"Waktu itu akupun memberitahu kepadamu, setiap saat kau
boleh membunuhku, tapi jangan harap kau dapat mengeduk
rahasia hatiku, supaya aku menjelaskan persoalan yang
kuidam selama ini."
"Dan sekarang …"
"Sekarangpun demikian."
"Tetap tidak mau kau jelaskan?"
"Kau meminjamkan waktu setahun supaya aku
menyelesaikan persoalan yang ingin kubereskan, sekarang
setahun sudah tiba aku …"
"Kau mengantar kematian …"
"Benar, aku mengantar kematian," pedang digenggamnya
kencang, "maka sekarang kau boleh membunuhku."

Dia mengantar kematian. Dia datang dari Kanglam,
menempuh ribuan li perjalanan ternyata hanya untuk
mengantar jiwa untuk dibunuh. Bahwa dia bermabukan,
bermain perempuan lacur, berdendang dan bernyanyi, tidak
lain hanya untuk menikmati kesenangan hidup terakhir
sebelum ajal. Kematian seorang kesatria, mati secara indah.
ooooOOoooo
 
"Setahun yang lalu, ditempat ini, seperti sekarang, aku bisa
membunuhmu."
"Kau menunda setahun lamanya, karena kau percaya aku
pasti akan datang."
"Kalau kau tidak datang, selamanya mungkin aku tidak
akan bisa menemukan kau."
"Mungkin sekali."
"Tapi kau datang juga."
"Ya, aku pasti datang."
"Bila cita-citamu belum terlaksana, aku masih bisa memberi
kelonggaran setahun."
"Tidak usah."
"Tidak usah, katamu?"
"Bahwa hari ini aku sudah kemari, aku sudah bertekad
menerima kematian."
"Kau tidak ingin hidup setahun lagi?"

Mendadak Yan Lam-hwi tertawa besar sambil mendongak,
katanya: "Seorang lelaki sejati hidup didunia ini, jikalau tidak
mampu memberantas kelaliman, membalas dendam, umpama
hidup sepuluh tahun lebih lama juga sia-sia, lebih baik mati
saja." Dia tertawa, namun nada tawanya lebih mirip raung
tangisan yang menyedihkan, tangis penderitaan.
Pho Ang-soat mengawasi, setelah orang berhenti tertawa,
baru dia berkata: "Tapi cita-citamu belum terlaksana.:
"Siapa bilang?"
"Aku yang bilang. Aku dapat melihatnya."
Yan Lam-hwi menyeringai dingin. "Umpama benar cita-
citaku belum terlaksana, kan tiada sangkut-pautnya dengan
kau."
"Tapi kau...."
"Kau bukan orang yang cerewet, akupun tidak ingin banyak
bicara dengan kau."
"Jadi kau ingin lekas mati? Sampai matipun kau tidak mau
membeber cita-citamu yang belum tercapai itu?"
"Ya," tegas dan berat, laksana golok membacok paku,
agaknya tiada seseorang didunia ini yang mampu merubah
tekadnya.

Punggung jari Pho Ang-soat yang menggenggam golok
sudah memutih, otot hijau merongkol. Bila golok ini
meninggalkan sarungnya, kematianpun akan datang, tiada
seorangpun didunia ini yang mampu melawannya. Apakah
sekarang goloknya siap keluar dari sarungnya?"
Dengan kedua tangan Yan Lam-hwi pegang pedang,
katanya: "Aku lebih senang mati dibawah pedangku sendiri."
"Aku tahu."
"Tapi kau tetap ingin menggunakan golokmu."
"Kau punya persoalan yang tidak mau kau bereskan,
demikian pula aku."
Yan Lam-hwi menepekur, katanya perlahan: "Setelah aku
mati, sudikah kau merawat pedangku ini?"
Dingin suara Pho Ang-soat: "Pedang ada orangnya hidup,
orang mati pedangpun lenyap, bila kau mati, pedang ini akan
tetap mendampingi kau."
Yan Lam-hwi menghela napas panjang perlahan, memejam
mata serta berkata: "Silahkan, silahkan turun tangan."
Golok Pho Ang-soat sudah bergerak, sebelum
meninggalkan kerangka, mendadak dari luar terdengar suara
gemuruh seperti roda raksasa menggelinding dijalan berbatu,
disusul "Blang" yang menggetar seisi rumah. Daun pintu yang
memang sudah keropos mendadak semplak berhamburan,
sebuah benda menggelinding masuk laksana roda kereta,
itulah sebuah bola bundar berwarna kuning emas kemilau.
Pho Ang-soat tidak bergerak, Yan Lam-hwi juga tidak
berpaling. Bila bola emas itu menggelundung dibelakangnya,
sekejap lagi bakal menumbuk punggungnya.

Tiada seorangpun yang kuat menahan terjangan bola emas
ini, terjangan yang tidak mungkin bisa ditahan oleh tenaga
manusia yang berdarah daging.

Pada saat itulah golok Pho Ang-soat tercabut. Hanya sekali
sinar golok berkelebat lalu berhenti. Segala suara, semua
gerakan, berhenti seluruhnya. Bola emas yang menerjang
datang dengan dahsyat, hanya sekali tutul dengan tajam
goloknya, lantas berhenti bergerak. Pada saat yang sama
itulah, dari dalam bola emas itu mendadak melesat keluar tiga
belas batang ujung tombak runcing menusuk punggung Yan
Lam-hwi.

Yan Lam-hwi tetap tidak bergerak, kembali Pho Ang-soat
yang bertindak. Dimana sinar golok menyambar, ujung tombak
rontok seluruhnya. Bola emas yang kelihatannya berat ribuan
kati itu sekilas telah dibacoknya menjadi empat potong.
Bola emas ini ternyata kosong, laksana kelopak bunga saja
empat potongan bola itu merekah keempat penjuru, lalu
muncullah seseorang. Seorang kate, manusia kerdil duduk
bersimpuh diatas tanah, bila kelopak bola itu jatuh perlahan
menyentuh bumi, orang kerdil ini tetap duduk diam tidak
bergerak sedikitpun.

Sambaran golok sekali tadi, sekaligus membabat kutung
tiga belas batang tombak, sekalian membelah bola emas itu
menjadi empat potong, maka dapat dibayangkan betapa besar
tenaga dan kecepatan samberan golok itu, seolah-olah sudah
membaur dengan kekuatan gaib yang ada di dunia ini, boleh
dikata itu sudah termasuk segala perobahan ilmu pedang
yang paling top di dunia ini, cukup ampuh untuk
menghancurkan apa saja di dunia ini.

Tapi setelah tombak putus bola terbelah, manusia kerdil ini
tetap bersimpuh di tanah, bukan saja tidak bergerak, mimik
mukanya juga kaku tidak menunjukkan perobahan, tak
ubahnya manusia kayu, seperti pinokio.

Daun pintu jebol, genteng juga runtuh, sekeping genteng
kebetulan jatuh mengenai manusia kerdil itu "Klotak" suaranya
keras, ternyata dia memang betul adalah manusia kayu.
Namun Pho Ang-soat tidak pernah lepas pandang. dia tidak
bergerak, diapun diam.

Benarkah manusia kayu bisa bergerak? Kenyataan
manusia kayu ini memang bergerak. Malah bergerak cepat
bagai kilat, gerakannyapun aneh dan ganjil, mendadak
dengan tubuhnya yang kecil itu nyeruduk kepunggung Yan
Lam-hwi.

Tidak memakai senjata, dengan badan sendiri sebagai
gaman, seluruh badan termasuk kaki tangan adalah gaman.
Gaman apapun yang paling dahsyat di dunia ini pasti
digunakan manusia, karena gaman itu sendiri adalah benda
mati. Tapi gaman yang satu ini justru adalah gaman hidup.
Pada saat yang sama, lantai kedai yang kering keras itu
mendadak merekah, sepasang tangan mendadak
menyelonong keluar merogoh sepasang kaki Yan Lam-hwi.
Aksi yang tak terduga dan luar biasa inipun mengejutkan.
Umpama Yan Lam-hwi ingin berkelit juga sudah tidak mampu
bergerak lagi.

Sepasang tangan yang keluar dari tanah manusia kayu
yang mendadak bergerak, serangan atas dan bawah, kaki
manusia kayu menjepit pinggang, sepasang tangan sudah
siap mencekik tenggorokkan. Serangan serentak dari atas dan
bawah ini bukan saja aneh bin ajaib, jelas telah direncanakan
secara sempurna pula, mereka yakin sekali gebrakan pasti
tidak akan gagal.

Sayang sekali mereka lupa, bahwa disamping Yan Lam-hwi
masih ada sebilah golok. Golok Pho Ang-soat. Golok yang
tiada tandingan di langit maupun di bumi. Kembali golok hanya
berkelebat sekali, sekalipun cukup berlebihan. Empat tangan
seketika tergores luka berdarah, tangan manusia kayu
ternyata juga mengeluarkan darah. Darah yang merah namun
raut mukanya yang kelam dan kering tampak mulai berkerut.
Pegangan terlepas, empat tangan telah melepas
pegangannya, seorang menerobos keluar dari dalam tanah,
sekujur badan berdebu, bentuk seperti manusia tanah diapun
seorang kate. Gerakan kedua orang kate ini serasi dan mirip
satu dengan yang lain. Ditengah udara mereka bersalto dan
jatuh kearah pojokan yang sama lalu mengkeret seperti
trenggiling.
Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke dalam kerangkanya,
orangnya tetap diam. Demikian pula Yan Lam-hwi, hakikatnya
dia tidak bergerak atau berpaling.
Manusia tanah mendekap tangan yang terluka, mendadak
dia mengomel: "Gara-garamu hingga aku terluka, kau terlalu
yakin bahwa sergapan kita pasti tidak akan gagal."
Manusia kayu menjawab: "Ya, perhitunganku meleset."
Manusia tanah mendesis gemas: "Perhitungan meleset,
maka kau harus mati."
"Bahwa tugas ini tidak terlaksana, pulang juga dihukum
mati, lebih baik mati sekarang saja."
"Mati dengan cara apa yang kau inginkan?"
"Aku ini manusia kayu, sudah tentu harus dibakar."
"Bagus, lebih baik kalau terbakar sampai jadi abu."
Manusia kayu menghela napas, entah darimana dia
keluarkan ketikan api, terus menyulut badan sendiri. Api lekas
menyala, manusia kayu lantas ditelan kobaran api yang
semakin besar.

Manusia tanah sudah menyingkir kesamping, mendadak
dia membentak keras: "Jangan sekarang kau belum boleh
mati, kau masih menyimpan tiga ribu tahil uang kertas kalau
terbakar, uangmu takkan berguna lagi."
"Kemarilah kau mengambilnya." terdengar sahutan dari
tengah kobaran api.
"Aku takut kebakar." sahut manusia tanah.
Terdengar helaan napas dari dalam kobaran api,
mendadak sejalur air menyembur keluar dari gugusan api
yang menyala, laksana hujan saja menciprat kemana-mana,
kebanyakan jatuh ditengah kobaran api sehingga
menimbulkan suara mendesis yang ramai, maka mengepullah
asap tebal. Kobaran api besar itu seketika padam hanya oleh
siraman sejalur air putih, kini berganti kepulan asap putih yang
semakin tebal. Manusia kayu terbungkus di dalam kepulan
asap tebal, siapapun tiada yang melihat bagaimana bentuknya
sekarang setelah terbakar.

Bahwasanya Pho Ang-soat tidak pernah perhatikan
kejadian sekelilingnya, yang diperhatikan hanya seorang. Yan
Lam-hwi sendiri seolah-olah tidak ambil peduli akan apa yang
terjadi disekitarnya. Lekas sekali asap tebal itu makin meluap
sehingga seluruh kedai arak ini ditelannya, asap terus
merembes keluar melalui celah-celah pintu, lobang jendela
dan atap genteng. Angin menghembus lalu diluar, asap yang
keluar seketika buyar tertiup angin.

Kucing yang kurus kering bermalas-malas di luar tadi
sedang menyebrang jalan pula kearah kedai, sambil
merunduk dia sembunyi dibelakang sebuah saka. Kebetulan
angin menghembus lalu membawa segumpal asap lewat
disekitar tubuhnya. Kucing itu seketika roboh, setelah
kelejetan terus tak bergerak lagi. Setelah mengalami banyak
penderitaan, kelaparan yang tidak mungkin kuat ditahan oleh
manusia. Kucing ini masih bertahan hidup, tapi hanya
hembusan asap lalu cukup membuatnya mati dan mayatnya
pun luluh tinggal kerangka saja.
ooooOOoooo
 
Bab 3 Bulan Terang Di Atas Loteng .


Waktu itu Pho Ang-soat dan Yan Lam-hwi juga sedang
berdiri ditengah asap tebal itu.
Akhirnya asap itu buyar. Asap yang dapat mencabut
nyawa, entah betapa banyak kaum ksatria yang gugur oleh
asap ini?
Bila asap telah buyar, sepasang mata manusia kayu
tampak bersinar, dia percaya bahwa kedua orang itu pasti
sudah roboh. Terbayang dalam benaknya mereka sedang
meregang jiwa. Meronta dan merintih, merayap kedepannya
mohon diberi obat penawarnya. Demikian pula halnya Ciok
Pa-thian dan Tang Hou juga berlutut di depannya meratap
minta belas kasihan. Padahal mereka adalah orang kuat yang
gagah berani di dunia persilatan, namun dikala menghadapi
elmaut, seorang yang pemberani sekalipun juga berobah
lemah dan penakut. Penderitaan dan keputusasaan orang lain
dianggapnya sebagai hiburan yang menyenangkan.
Tapi sekali ini dia yang putus asa dan kecewa.
Pho Ang-soat dan Yan Lam-hwi ternyata tidak roboh,
mereka tetap tegak ditempatnya, mata merekapun
memancarkan cahaya.
Sinar yang terpancar dari bola mata manusia kayu sudah
padam seperti kobaran api diatas badannya. Pakaiannya yang
terbakar hangus juga sudah lenyap tertiup angin lewat tinggal
badannya yang hangus hitam itu mirip kepingan baja yang tak
meman api, tapi juga mirip seonggok kayu yang terbakar jadi
arang.

Mendadak Yan Lam-hwi berkata: "Kedua orang ini adalah
Ngo-heng-siang-sat."
Pho Ang-soat hanya mendengus sekali.
"Dalam emas tersembunyi kayu, api dan air satu sumber.
Menghilang meminjam bumi tangan setan menangkap kaki,
merupakan sergapan yang susah dijaga sebelumnya. Nga
heng siang sat adalah salah satu dari pembunuh bayaran
yang memperoleh honor tinggi, konon sekarang mereka sudah
menjadi kaya raya, harta miliknya sudah laksaan tahil emas.
Sayang sekali banyak hartawan didunia ini, dalam pendangan
kebanyakan orang ternyata tidak berharta sepeserpun.

Lekas manusia tanah unjuk tawa dipaksakan, katanya: "Dia
inilah emas, kayu, api dan air, aku hanya tanah belaka, aku ini
mirip keledai dungu, mirip kacang tanah, mirip ajning kurap"
dia mengawasi golok ditangan Pho Ang soat, golok itu sudah
berada dalam serangka, golok hitam. setelah menghela napas
dia tertawa getir, "Umpama kami tidak kenal Pho Tay hiap,
juga harus kenal golokmu itu "
Manusia kayu berkata: "Soalnya kami tidak menduga
bahwa Pho Tayhiap akan membelanya"
Pho Ang soat berkata dingin: "Jiwanya ini sudah menjadi
milikku. tahu"
"Ya." Manusia kayu mengiakan. Kecuali aku, siapapun tak
boleh mengganggu seujung rambutnya"
Manusia tanah mengiakan. Lalu katanya: "Asal Pho tayhiap
sudi mengampuni jiwa kami, kami akan segera enyah dari sini"
"Enyah" Pho Ang soat segera menghardik.

Segera kedua orang itu memang menggelundung keluar,
menggelundung mirip bola.
Yan Lam-hwi tertawa, katanya: "Aku tahu kau pasti takkan
membunuh mereka"
"O, apa alasannya?" tanya Pho Ang soat. "Karena mereka
tidak setimpal"
Pho Ang soat menatap golok ditangannya, mimik wajahnya
menampilkan kesepian yang tak terperikan. Tidak banyak dia
punya kawan, hingga sekarang musuhnyapun tidak banyak
lagi. Memang berapa banyak pula manusia dalam kolong
langit ini yang setimpal untuk dirinya mencabut golok?
Perlahan Pho Ang soat berkata: "Aku pernah dengar,
mereka membunuh Ciok Pa thian, honornya tiga belas
laksaan tahil"
"Memang benar."
"Nilai jiwamu sudah tentu jauh lebih tinggi dibandingkan
Ciok Pa-thian."
"Sudah tentu lebih mahal."
"Tidak banyak orang yang mampu membayar honor tinggi
kepada mereka untuk membunuhmu."
Terkancing mulut Yan Lam-hwi.
"Kau tidak bersuara lagi, karena kau sudah tahu siapa
orang itu."
Yan Lam-hwi tetap bungkam tidak memberi tanggapan.

"Cita-citamu yang belum tercapai, yaitu untuk menghadapi
orang yang satu ini?"
Mendadak Yan Lam-hwi tertawa dingin, jengeknya, "Terlalu
banyak yang kau tanyakan."
"Tidak kau jelaskan?"
"Tidak."
"Baiklah, silakan pergi."
"Aku tidak boleh pergi."
"Jangan lupa kau pinjam setahun kepadaku, dalam jangka
setahun ini, kau tetap hutang terhadapku."
"Kau ingin aku membayar? Bagaimana aku harus
membayar?"
"Selesaikan dulu apa yang harus kau selesaikan."
"Tapi aku…"
"Kalau kau seorang laki-laki sejati, umpama benar ingin
mati juga harus gugur secara jantan," demikian desis Pho
Ang-soat seraya menatapnya tajam, kalau dia angkat
kepalanya, Yan Lam-hwi justru tertunduk, seolah-olah dia
tidak ingin memperlihatkan mimik mukanya. Mimik muka yang
tidak bisa dimengerti oleh siapapun, entah itu duka dan
penasaran, ataukah penderitaan? Atau ketakutan?
"Pedang masih lengkap, jiwamu juga belum layu, kenapa
tidak berani kau menghadapi kenyataan ini?"

Mendadak Yan Lam-hwi angkat kepalanya, kedua tangan
menggenggam kencang pedang, katanya tegas, "Baik, akan
kulakukan, tapi setahun kemudian aku pasti datang."
"Aku tahu," ujar Pho Ang-soat.
Arak masih ada di atas meja, mendadak Yan Lam-hwi
mencengkeram guci arak, katanya, "Kau tetap tidak minum?"
"Tidak minum," jawaban Pho Ang-soat tetap lantang dan
tegas.
Kini ganti Yan Lam-hwi yang menatapnya, katanya, "Apa
benar orang yang tidak pernah minum arak pikirannya selalu
jernih?"
"Belum tentu," pendek jawaban Pho Ang-soat.
Yan Lam-hwi terloroh-loroh sambil menengadah, sisa
setengah guci arak dia tenggak sampai habis lalu melangkah
lebar keluar pintu. Guci dilempar seenaknya.

Langkahnya lebar jalannya cepat. Karena dia tahu jalan
yang harus ditempuhnya terbentang panjang dan lebar di
depan, bukan saja penuh aral rintang juga tak berujung jauh
dan jauh sekali.

Kota mati, jalan raya yang sudah menjadi belukar. Dunia
menjadi lengang oleh kesunyian yang beku seolah-olah tiada
kehidupan lagi di keremangan malam ini.
Malam ini kebetulan bulan purnama, bulan bundar, jikalau
hati manusia sudah cedera, memangnya kenapa kalau bulan
purnama? Yan Lam-hwi melangkah lebar di bawah bulan
purnama, bukan saja langkahnya lebar juga kokoh dan cepat.

Tapi Pho Ang-soat tetap mengintil dari kejauhan,
betapapun dia melangkah lebar, betapa cepatnya, setiap kali
dia menoleh segera dia melihat si cacad yang sebatangkara
ini, dengan langkahnya yang berat dan gayanya yang lucu,
tetap mengintil di belakang dalam jarak tertentu.
Bintang-bintang bertaburan di angkasa raya, bulan sudah
condong ke barat, malam ini sudah akan menjelang. Fajar
telah tak jauh lagi, namun dia masih berada di belakang dalam
jarak yang sama, dengan langkah dan gaya yang sama pula.
Akhir kali menoleh Yan Lam-hwi tidak tahan lagi, segera dia
berseru keras, "Apakah kau ini bayanganku?"
"Bukan," sahut Pho Ang-soat.
"Kenapa kau menguntit aku?"
"Karena aku tidak menghendaki kau mati di tangan orang
lain."
Yan Lam-hwi tertawa dingin, katanya, "Tak usah kau
berjerih payah, selamanya aku pandai menjaga diriku sendiri."
"Betulkah kau mampu?" tanya Pho Ang-soat. Sebelum Yan
Lam-hwi menjawab dia sudah menambahkan, "Hanya seorang
yang tidak kenal cinta kasih baru dia dapat menjaga dirinya
sendiri, kau ini seorang pemuda romantis."
"Dan kau?"
"Umpama aku tahu adanya cinta, juga sudah kulupakan,
sudah sejak lama sekali."

Roman mukanya tetap pucat kaku, lalu siapa dapat meraba
di belakang sikapnya yang kaku ini menyembunyikan
pengalaman hidup merana? Kenangan yang membawa siksa
derita? Bila seseorang benar-benar sudah tidak memiliki
hatinya, cinta sudah pudar, lalu siapa pula dalam dunia ini
yang mampu melukai hatinya, melukai lahir batinnya?
Yan Lam-hwi menatapnya bulat-bulat, katanya perlahan,
"Bila kau berpendapat kau mampu menjaga dirimu sendiri,
kukira kaupun keliru."
"Kenapa keliru?"
"Paling sedikit masih ada seorang yang mampu melukai
kau."
"Siapa?"
"Kau sendiri."
ooooOOoooo
 
Fajar menyingsing. Matahari telah terbit. Cahaya surya
telah menerangi mayapada, menyinari batu pilar di pinggir
jalan, di atas batu itu terukir tiga huruf besar yang berbunyi
Hong-hong-kip. Hanya batu pilar itu dengan tiga ukiran huruf
yang sama, tidak berbeda sejak setahun yang lalu.
Sebenarnya Pho Ang-soat bukan lelaki yang gampang
menunjukkan suka dukanya, tapi waktu dia melewati batu pilar
itu, tak betahan dia menoleh dan melirik beberapa kali.
Memangnya tiada sesuatu ayng abadi didunia ini, demikian

pula kehidupan manusia mengalami banyak perobahan hanya
tempat saja ini saja yang tidak mengalami banyak perobahan.
Ternyata Yan Lam hwi dapat meraba isi hatinya, mendadak
dia tanya: "Kau tidak mengira?"
Pho Ang soat manggut manggut, katanya "Aku tidak
mengira, kau justru tahu bahwa tempat ini sudah menjadi kota
mati, maka kau membawa rombongan musik dan pelacur
serta hidangan lezat itu kemari"
Ternyata Yan Lam hwi tidak menyangkal.
"Tentunya kau juga sudah tahu kenapa tempat ini berobah
menjadi kota mati?"
"Sudah tentu aku tahu"
"Apa sebabnya?"
Terpancar perasaan derita dan amarah yang bercampur
baur pada sorot mata Yan Lam hwi, agak lama kemudian baru
dia berkata perlahan: "Karena aku"
"Karena engkau? Bagaimana kau bisa membikin kota yang
makmur menjadi kota mati?"
Yan Lam Hwi tutup mulut. Bila dia menutup mulut, bentuk
bibirnya kelihatan tebal kaku dan kedutan, seolah olah
mendekati kejam dan buas. Oleh kerana itu bila dia sudah
bungkam, siapaun sudah harus tahu bahwa dia menolak
diajak bicara karena itu Pho Ang soat pun menutup mulutnya.
Akan tetapi mata mereka tidak boleh terpejam, waktu
mereka menoleh pula kearah depan bersamaan mereka
 
melihat seekor kuda mencongklang pesat dari cabang jalan
bebelaj kiri yang bertanah tandus kearah sini, kusa itu
memang berlari bagai terbang.
Kudanya bagus, penunggangnya juga cekatan dan cukup
ahli, begitu mereka menoleh melihat kuda itu. kuda dan
penunggangnyapun sudah berasa didepan mata.
Mendadak Yan Lam hwi memburu maju sambil menjejak
kaki, tubuhnya melejit bersalto diudara, melesat lewat diatas
kepala kuda, bila dia sudah menginjak kakinya dibumi pula tali
kekang kuda itupun sudah dipegangnya dan ditariknya
kencang. selama tubuhnya berdiri kokoh, sekokoh tonggak
yang terpendam didalam tanah, hanya dengan sebelah
tangannya dia berhasil menguasai kuda binal ini. Kuda itu
meringkik sambil berjingktak berdiri dengan kaki belakang.
Karuan penunggang kuda membentak gusar, pecut ditangan
terayun menghajar kepala Yan lam hwi. Tapi pecutnya itu juga
kena ditangkap, kontan penunggangnya tertarik jatuh
jumpalitan, wajahnya kelihatan basah oleh keringat, saking
murka dan menahan takut, kulit dagingnya tampak kedutan
dan berkerut kerut, dengan terbeliak dia mengawasi Yan Lam
hwi.
Yan Lam hwi tersenyum, katanya: "Kenapa kau buru buru
menempuh perjalanan?"
Penunggang kuda itu menahan sabar, setelah melihat
kepandaian Yan Lam Hwi yang mengejutkan, tak bisa tidak
dia harus bersabar, tak berani dia menjawab; "Aku hendak
melayat"
"Apakah familimu ada yang mati?"
 
"Ya, pamanku yang kedua."
"Bila kau memburu kesana, apakah kau mampu menolong
jiwanya?"
"Tidak bisa, jelas tidak mungkin."
"Kalau kau tidak bisa menghidupkannya lagi, kenapa pula
kau membedal kuda sekencang itu?"
Penuggang kuda itu bertanya: "Sebetulnya apa
kehendakmu?"
"Aku ingin membeli kudamu ini."
"Tidak kujual."
Sekenanya Yan Lam hwi merogoh sekeping emas dilempar
kedepan orang itu, ujarnya: "Mau tidak menjualnya?"
Penunggang kuda terbelalak kaget, lama dia menjublek
mengawasi kepingan emas itu, akhirnya dia menarik napas
panjang dan menggumam: "Orang mati tak bisa hidup lagi,
buat apa aku buru buru menempuh perjalanan"
Yan Lam hwi tertawa, dia mengelus bulu suri sikuda jantan
yang gagah ini, katanya kepada Pho Ang soat dengan
tersenyum: "Aku tahu aku takkan mampu meninggalkan
ungkau, tapi sekarang aku sudah memiliki enam kaki"
Pho Ang soat diam saja.
Yan Lam hwi tertawa besar, serunya mengulap tangan:
"Selamat bertemu, setahun lagi kita bertemu" kudanya kuda
pilihan, penalanya juga terbikin oleh tukang yang ahli, baru
saja dia hendak melompat kepunggung kuda mendadak sinar
 
golok berkelebat. Pho Ang saot telah memcabut goloknya
namun hanya sekali berkelebat, golok itu sudah kembali
kedalam selangkanya, kuda itu tidak terkejut kerananya,
orangpun tiada yang terluka, semberan sinar golok tadi seperti
bintang jatuh diangkasa raya, membawakan harapan dan
keindahan bagi umat manusia, jadi bukan lagi rasa ketakutan,
kaget atau ngeri.
Akan tetapi Yan Lam hwi justru teramat kaget, matanya
menatap golok digenggaman tangannya, katanya: "Aku tahu
biasianya jarang kau mencabut pedang. Golokmu itu bukan
untuk dipamerkan kepada orang kali ini kenapa tanpa sebab
kau justru mencabut golok?"
"Karena pahamu"
"Karena pahaku?"
"Jangan kira kau punya enam kaki, begitu kau naik
kepunggung kuda ini, maka kau tidak akan punya kaki lagi,
sebuah kakipun tiada "
Memicing ngeri mata Yan Lam hwi, mendadak dia
menoleh, segera dia melihat darah.
Darah kental itu mengalir, bukan mengalir dari tubuh
manusia, juga bukan keluar dari badan kuda. Tapi darah itu
mengalir dari dalam pelana. Penunggang kuda yang sudah
duduk dipinggir jalan mendadak melompat, laksana anak
panah dia menerobos jauh kesana.
Ternyata Pho Ang soat tidak merintangi, demikian pula Yan
Lam hwi tidak mengudak, malah menolehpun tidak. Matanya
terus menatap pelana, perlahan dia ulur dua jarinya menarik
 
pelana ternyata yang dijinjingnya hanya bagian atas. Pelana
yang terbuat secara antik ini sekali bocah ternyata terbelah
menjadi dua.
Kenapa pelana bisa mengalirkan darah? Jelas tidak
mungkin. Darah itu dingin, karena darah itu mengalir dari
tubuh ular, dan ular itu berada didalam pelana. Empat ekor
ular beracun, empat ekor ular itupun terbacok putus oleh
selarik sinar golok tadi.
Jikalau seseorang duduk diatas pelana. jikalau pelana itu
berlobang hingga kepala ular bisa menongol keluar, jikalau
seseorang telah membuka tutup lobang itu.
Jikalau empat ekor uler itu sekaligus mengigit paha
penunggang kuda. Apakah penunggang kuda itu masih
mampu mempertahankan pahanya? Terbayang semua hal ini,
mau tidak mau berkeringat dingan telapak tangan Yan Lam
hwi.
Tapi sebelum dia mencucurkan keringat dingin. kupingnya
sudah mendengar jeritan yang mengerikan, seperti dana
manusia yang mendadak ditusuk pedang. Penunggang kuda
yang melarikan diri tadi sudah mengembangkan ginkang Yan
cu sam jau cui melesat tujuh tombak jauhnya. Tapi waktu dia
melompat untuk keempat kalinya, mendadak mulutnya
menjerit panjang, tubuh yang sudah terapung diudara seketika
terjungkal jatuh.
Samberan sinar golok tadi bukan saja membelah pelana,
memotong ular, ternyata juga melukai hatinya, waktu dia
terjungkal roboh, lalu meringkel dan kelejetan seperti ular yang
sekarat. Tiada orang menoleh menyaksikan keadaannya.
 
Perlahan Yan Lam-hwi menurunkan pelana yang berada di
tangannya, waktu dia angkat kepala, matanya menatap tajam
wajah Pho Ang-soat.
Tangan Pho Ang-soat menggenggam golok, golok di dalam
sarungnya.
Lama Yan Lam-hwi merenung, akhirnya menarik nafas
panjang, katanya, "Sayang aku dilahirkan terlambat, belum
pernah aku melihatnya."
"Apa kau pernah melihat pisau Yap Kay?" tanya Pho Ang-
soat.
"Sayang aku tidak berjodoh, aku…"
"Kau tidak berjodoh, tapi beruntung dulu ada juga orang
yang melihat pisaunya menyamber…"
"Tapi orang yang pernah melihat pisaunya itu semua sudah
mati?"
"Umpama orangnya belum mati, hatinya pasti sudah
mampus."
"Hatinya mampus?"
"Siapa saja, asal pernah melihat pisaunya itu menyerang,
maka selama hidup dia tidak akan berani memakai pisau lagi."
"Tapi Yap Kay menggunakan pisau terbang."
"Pisau terbang juga pisau."
 
Yan Lam-hwi mengakui, hanya mengakui. Pisau memang
banyak jenisnya, pisau jenis apapun dia tetap pisau, pisau
jenis apapun dapat untuk membunuh orang.
"Kau pernah menggunakan pisau?" tanya Pho Ang-soat.
"Tidak," sahut Yan Lam-hwi pendek.
"Pernah kau melihat orang yang benar-benar mahir
menggunakan pisau?"
"Ya, hanya beberapa gelintir saja."
"Kalau begitu kau tidak setimpal bicara soal pisau."
Yan Lam-hwi tertawa, ujarnya, "Betul mungkin aku tidak
setimpal bicara soal pisau, mungkin golokmu juga bukan tiada
tandingan di kolong langit ini, hal ini aku tidak bisa pastikan,
aku hanya bisa memastikan satu hal."
"Satu hal apa?"
"Sekarang aku punya enam kaki, kau sebaliknya hanya dua
saja," di tengah gelak tawanya kembali dia mencemplak ke
punggung kuda. Meski pelana sudah rusak, ular sudah mati
tapi kuda itu tetap segar bugar. Lari kuda seperti berlomba
dengan angin meninggalkan kepulan debu di belakangnya.
Pho Ang-soat menunduk, mengawasi kaki sendiri, sorot
matanya memancarkan perasaan yang sukar dilukiskan, entah
itu mencemooh atau menyindir, "Kau keliru, aku bukan hanya
dua kaki, aku hanya punya satu."
ooooOOoooo
 
Setiap kota tentu ada restoran, setiap restoran tentu
berusaha dalam jangka panjang tentu mempunyai pelayanan
yang istimewa, masakan yang khas.
Tapi tidak demikian dengan Ban-siu-kou ini,
keistimewaannya adalah mahal, mau apapun yang tersedia
disini, meski hanya sepiring nasi putih dan segelas teh juga
harganya jauh lebih mahal dari restoran lain di manapun.
Manusia memang banyak cirinya, menghamburkan uang,
bermuka-muka, menjaga gengsi merupakan salah satu ciri
terlemah dari watak manusia. Oleh karena itu, suatu tempat
yang memasang tarif tinggi, usaha dagangnya justru maju.
Waktu Yan Lam-hwi keluar dari Ban-siu-lou, melihat
kudanya yang terikat di luar pintu, tak tertahan dia berteriak.
Dua kaki betapapun tak lebih unggul dari enam kaki. Siapapun
asal dia manusia pasti punya keinginan untuk membebaskan
diri dari bayangan sendiri, bukankah inipun salah satu ciri dari
manusia. Tapi waktu dia menarik tali kekang kuda sebelum
berbuat lebih banyak, matanya tawanya seketika kuncup.
Karena begitu dia angkat kepala, matanya sudah melihat
Pho Ang-soat. Pho Ang-soat berdiri di seberang jalan,
mengawasinya dingin. Wajah yang pucat, sorot mata dingin,
golok yang hitam.
Yan Lam-hwi tertawa. Pantat kuda dipukulnya sekali, kuda
lari pergi. Dia tetap berdiri di situ, dengan tersenyum dia
mengawasi Pho Ang-soat. Lari kuda meninggalkan kepulan
debu, bila debu sudah buyar tertiup angin baru dia
menyeberang jalan menghampiri Pho Ang-soat, katanya
tersenyum, "Akhirnya kau toh menyusulku juga. Karena siapa
 
pun yang ingin kau kuntit, maka jangan harap orang itu dapat
lolos."
Pho Ang-soat hanya bersuara dalam mulut.
Yan Lam-hwi menghela nafas, katanya, "Untung aku ini
bukan cewek, kalau dikuntit seketat ini, tidak ingin kawin
dengan kau juga tidak mungkin."
Wajah yang pucat itu mendadak menampilkan rasa jengah,
warna merah yang menakutkan, ternyata pelupuk matanya
pun berkerut dan kedutan seperti menahan derita yang luar
biasa. Entah ada derita apa yang menjadi kenangan dalam
benaknya? Hanya sepatah kata kelakar yang tidak disengaja
kenapa bisa membuatnya begitu merana?
Yan Lam-hwi segera tutup mulut, selamanya dia tidak suka
melukai hati orang. Bila tanpa sengaja dia melukai hati orang,
sanubarinya sendiripun akan ikut merasa sedih.
Maka kedua orang ini berdiri berhadapan di emper depan
sebuah toko roti.
Di dalam toko kebetulan ada seorang nenek tua kurus
kering yang membawa dua bocah laki perempuan sedang
memilih roti. Belum keluar pintu, kedua bocah itu sudah ribut
minta makan roti, di mulut nenek itu berkata, "Di jalanan tidak
boleh makan." Tak urung dia membuka bungkusan, merogoh
keluar dua potong roti dan dibagikan kepada kedua cucunya.
Tak nyata setelah menerima roti kedua bocah itu malah
makin ribut. Yang laki mencak-mencak dan berteriak, "Kenapa
Siau Bing diberi roti yang lebih besar? Aku minta tukar."
 
Sudah tentu bocah perempuan itu tidak mau, bocah laki itu
lantas memburu hendak merebut, yang perempuannya berlari
kejar mengejar mengelilingi si nenek, mau mencegah juga
kalah gesit, terpaksa si nenek hanya berkaok-kaok, menghela
nafas serta geleng-geleng.
Anak perempuan larinya sudah tentu kalah gesit dan cepat,
karena kewalahan berputar di sekitar badan sang nenek,
akhirnya dia berlari ke belakang Yan Lam-hwi, menarik lengan
baju Yan Lam-hwi seraya berseru, "Paman yang baik,
tolonglah aku, dia ini perampok cilik."
Anak lelaki itu berteriak, "Mana bisa paman ini membantu
kau, kita kan sama-sama laki, biasanya lelaki membantu
lelaki."
Yan Lam-hwi tertawa, walau nakal tapi kedua anak ini
kelihatan pintar dan lincah jenaka. Yan Lam-hwi juga pernah
mengalami masa kanak-kanak, masa kanak-kanak adalah
masa keemasan, masa yang tiada arti duka-lara dan masa
kanak-kanak takkan pernah kembali lagi, teman bermain sejak
kecil yang tak pernah terlupakan dalam benaknya, entah
sekarang sudah menikah dengan siapa.
Dari kenakalan kedua bocah laki perempuan ini, seolah-
olah dia melihat masa lampau waktu dirinya juga masih kanak-
kanak dulu, mendadak hatinya diliputi rasa hangat, mesra tapi
juga mendelu, tanpa sadar dia menarik kedua bocah itu serta
berkata lembut, "Kalian jangan ribut, biar paman membelikan
roti pula untuk kalian, setiap orang sepuluh buah."
Berseri wajah kedua bocah itu, seri tawa jenaka yang riang,
berebut kedua orang ini memeluknya, Yan Lam-hwi juga
mengulur tangan, seorang satu hendak dipeluknya.
 
Back
Top