- Ketika Aku Mencintai Kebencianku, Untukmu -

Re: Cerbung - Ketika Aku Mencintai Kebencianku, Untukmu -

Aku berdiri dan mengikuti dibelakangnya. Berjalan dijarak sejauh yang aku bisa buat dari punggungnya. Aku terhenti di depan pintu kamar. Kamarku dan kamarnya. Seketika rumah ini terdengar begitu diam, dingin, sepi, .... menakutiku.

Dia membuka pintu, menyuruhku masuk lebih dulu dengan matanya yang terarah padaku.
Apa yang bisa aku lakuin??? , aku masuk dan duduk di atas bad. Menjauhkan wajah dari pandangan matanya. Masih membiarkan rumah yang baru aku dan Taka tempati ini tetap sepi dan dingin.

Taka menggapaikan lengannya ke puncak kepalaku, mengecup ujung kepalaku, " Tidurlah.. Aku ngga akan mengganggu.."
 
Last edited:
KETIKA SATU HAL MENJAUHKAN KITA.........
MENETAP TETAP
DIBALIK TEMBOK KAYU YANG SIAP UNTUK DIHANCURKAN
DIMANAKAH HATI KITA YANG TELAH JAUH TERPECAH BELAH


TAK KUTEMUKAN LAGI SATUPUN,
HINGGA SAAT KU BERLARI MENGEJARNYA.
WAKTU YANG TELAH LAMA MENINGGALKANKU



Irza, dimana kamu..??!
tidak peduli y, kamu sama keadaanku hari ini?
4 tahun sudah, Za...
janjimu dulu 3 tahun kau akan kembali.. tapi ini tahun ke 4, dan kamu ngga juga datang.
Apa aku bodoh, Za? Apa aku bodoh karena dalam hatiku aku masih sangat tahu disana.. di tempat kamu berdiri sekarang, Za.. kamu menantikan aku.
Seperti ucapanmu dulu,.. bahwa kamu akan selalu merindukan aku dan menunggu waktu bisa melihat senyumku lagi.

Irza,
yang aku tau hanya kamu orang yang bisa menenangkan hatiku. Bukan orang lain, Za
 
Kupandangi lelah sepasang mata terkatup tenang di sebelahku membaringkan diri. Taka -suamiku- lelaki yang entah memiliki kekuatan seperti apa, tapi dia selalu mengeraskan kepala dan hatinya menghadapiku. Padahal ngga sedikit caci makiku aku keluarkan di depan hidungnya, bahkan penolakan keras dan kasar aku lakukan padanya. Tapi entahlah, terbuat dari apa isi otaknya hingga membuatnya bisa bertahan dengan semua perlakukanku yang aku sendiripun tak betah melakukannya.

Dia tertidur. Lelap.

Aku mengalihkan pandangan ke arah langit-langit kamar kami, bukan.. ini kamarnya.. tidak aku.
Apa yang harus aku lakukan setelah ini..?
kembali terfikir apa yang sejak beberapa hari ini selalu aku fikirkan. Berharap bisa membuatku terlepas bebas dari ikatan yang baru saja aku ikat sendiri ke dalam tubuhku. Bersama dia. Seseorang yang kini tertidur disampingku.
 
" Belum tidur ya?? Tidurlah... " suara seseorang disebelahku terdengar. Kembali mengingatkan. " Jangan begadang, tadi siang semua orang juga lelah.. capek.. tidurlah. "

Aku beringsut seolah memberitahunya aku terganggu dengan nasihatnya barusan. Tangan kiriku menarik selimut dan menenggelamkan kepalaku kedalamnya. Berharap bisa tidur detik itu juga.

semoga dia bisa membenci aku sama seperti aku membenci dia
 
yang aku tahu semua laki-laki sama.. tapi tidak denganmu, Za
yang aku tahu semua laki-laki memiliki cara berfikir sama, tapi kamu bisa membuatku kembali berfikir bahwa masih ada seorang yang tidak seperti itu, Za
Caramu memeluk aku. Caramu tersenyum mendengarkan ceritaku. Caramu menyentuh tanganku. Caramu menatapku. Aku rindu kamu Irza.
Dengarlah, Za.. aku masih setia menunggumu.. meski aku telah menikah dengan seorang lelaki yang tak jauh berbeda menyebalkannya dengan lelaki lainnnya. Lihat aku, Za.. aku bisa membuatnya membenci aku

Aku ingin kamu, Za
bukan dia... bukan Narantaka



aku masih ingat dengan jelas bagaimana ayah menyeret mama ke kamar mandi dan menyiramnya dengan air.. mengacuhkan tangis mama yang merasa kesakitan dalam hatinya menahan semua perlakuan papa. Semua tingkah papa.
Entah apa yang ada dipikiran Almarhum Papa.. tapi aku benci dia.
Dalam hati aku tidak malu menyimpan ini.. aku tidak malu menyembunyikan kebencianku pada papaku sendiri. Walaupun darah dalam denyut nadiku adalah darahnya.. Aku berharap bisa menukarnya dengan darah dari tubuh orang lain.

Aku ingat dengan jelas, bagaimana papa dengan tidak pedulinya membawa wanita selingkuhan papa ke rumah dan meminta mama melayani wanita jalang itu dengan seluruh hormat, seperti ratu baru. Bukan mama yang membenci dia.. tapi aku. Aku benci papa dan aku benci wanita simpanannya itu.

Sekalipun aku tidak merasakan ada kecupan hangat papa dipipiku.. tidak sekalipun rasanya.

Begitu sibuknya papa dengan semua urusannya yang aku tidak mau peduli apa itu. Sampai bisa menghalalkan segala dalih dan dalilnya saat bisa menyiksa dan menyakiti mama di depanku.

Bekas luka di kakiku,.. saat berulang kali papa pukul aku karena tak mau patuhi dia.. rasanya tak akan setimpal dengan kematian papa. Tidak setimpal dengan mengakhiri hidup sendiri. Bunuh diri. Memangnya apa yang papa fikirkan saat itu? apakah dengan mati lalu semua selesai begitu saja??
Bahkan aku lebih bisa mengatakan kalau papa orang terbodoh dan tertolol yang pernah aku temui..

Semuanya sudah berlalu.. dan aku terus meninggalkannya dibelakangku.. tapi masa lalu adalah bayangan yang tak akan pernah bisa hilang.

Aku benci lelaki seperti itu, Pa...
Dan aku menemukan sosok lain dalam dirimu, Irza
 
# 4 #

di bulan ke tiga Pernikahan yang tak pernah aku inginkan seumur hidupku
---------------


Aku berbaring telentang. Menerawang jauh langit malam yang tergambar jelas dari jendela kamar. Sengaja tak kututup -aku biarkan terbuka lebar- mempersilakan hewan malam dan juga dingin angin menerobos berkeliaran melewati jendela dan menyampaikan diri padaku.

Aku akan kembali.. Sungguh, Tunggulah Aku
!

Kembali aku terlena oleh kata-kata terakhir Irza sebelum dia pergi meninggalkan aku. Oh,..apa yang harus aku lakukan sekarang?? Aku ingin tetap menunggunya, tapi bagaimana dengan lelaki yang sekarang selalu berada di dekatku dan berhak memiliki aku. Karena telah menikahi aku. Aku ingin menunggunya, ingin selalu menunggunya. Selalu.

Angin dingin malam berganti hujan. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Hampir tengah malam dan aku ingat Narantaka belum juga pulang. Hmm,.. sesibuk apa dia hingga belum pulang selarut ini?

Aku berjalan turun dari bad dan menarik daun jendela, menarik tirai dan menutup seluruh jendela dengan sempurna.

tuk tuk tuk... suara pintu utama diketuk dari luar. Sepertinya Taka pulang. Lihat betapa betah dia dengan seluruh isi kantornya, jam segini baru berani mengetuk pintu pulang.

Kubuka pintu. Kudapati Narantaka berdiri menunduk, bajunya basah kuyup.. Oh, dia kehujanan... mengapa? mana mobilnya?? Sesaat mataku tertuju pada seorang anak laki-laki yang lebih basah kuyup daripada Taka disampingnya. Bersama uang sepuluh ribuan Taka menyodorkan payung pada anak itu dengan tangan yang mulai gemetar kedinginan, dan mengucapkan terimakasih. Sedetik kemudian anak itu menatapku, tersenyum, sedikit menganggukkan kepala dan berpamitan.

Taka langsung masuk rumah. Sementara mataku masih terpaku pada anak laki-laki itu. Uhh, kasihan sekali dia. Bahkan aku tak berpaling dari anak itu saat Taka memanggilku dan memintaku mengambilkan handuk untuknya.

"Ada apa, Cessie?" tanya Taka penasaran memperhatikan aku.

Aku berlari ke sudut ruangan. Mencari payung. Ku raih dan seketika aku bergegas keluar. Tak mempedulikan suamiku yang mungkin semakin kebingungan melihatku. Entah aku ingin apa, tapi aku ingin anak itu, atau mengobrol dengannya. Ku hampiri dia yang masih berdiri di sisi jalan -hendak menyebrang-. Ia memegang payung tapi tidak menggunakannya. Mengapa? Membiarkan hujan mengguyur tubuhnya dan membuat dirinya menggigil kedinginan.

"Dik, " panggilku.

"Saya, Bu? " jawabnya seraya tersenyum meski bibirnya terlihat jelas sudah berubah warna kebiruan.

" Kamu mau kemana? " tanpa menutupi rasa iba sedikitpun. Sungguh aku tak pandai menutupi perasaanku. Tuhan, aku tak tega melihatnya seperti ini.

Tangan kanannya mengangkat payung yang dibawanya setinggi dada -menunjukkan padaku- , " Ojek payung, Bu. "

"Tapi kamu basah kuyup, Dik. Kamu mau mampir dulu? Keringkan dulu tubuhmu lalu kembalilah jadi ojek payung. Mau?? " rayuku membujuk dengan suara sedikit kencang karena takut suara hujan mengalahkan apa yang ingin aku katakan padanya. " Mau ya? "

Wajahnya tertegak lesu bahunya menurun tajam, ada apa?? apakah aku salah bicara? matanya tergerak ke arah pintu rumah. Ku lihatTaka sedang berdiri disana, memperhatikan dengan seksama. Tak lama dia menatap kearahku, aku tau dia ingin mengatakan sesuatu, maka aku berjongkok di depannya. Menyejajarkan arah mataku tepat di tatapannya agar dia tak harus mendongak lagi. " Tapi Bu, saya harus kerja. Saya punya seorang adik dan dia menungguku. Saya tidak bisa. "

" Mampirlah sebentar... "
Tuhan aku ingin memeluknya. Aku ingin merengkuhnya. Matanya begitu lesu. Begitu lelah tapi penuh dengan semangat dan harapan.

" Saya tidak bisa, Bu. "

" Heyy,!! " teriakku karena tiba-tiba dia berlari meninggalkan aku. Seolah dia tak ingin mengenalku sedetikpun. Seolah dia ketakutan melihatku.
 
Aku kembali masuk ke dalam rumah, disambut oleh Taka dengan wajah penuh tanda tanya, " Ada apa, Cess? "

Wajahku masih merengut. Merasa telah kehilangan sesuat yang sangat berharga bagiku. Lesu dan tidak bersemangat. Payung yang tadi menemaniku membujuk anak kecil itu aku taruh begitu saja di dekat pintu tanpa aku katupkan terlebih dahulu. Kemudian berlalu dari depan suamiku tanpa menggubris pertanyaannya atau sedikit rasa pedulinya terhadapku. Tak menganggapnya ada. Apakah benar aku begitu menakutkan??
 
Hujan di luar rumah masih terus menjatuhkan anak anak panah airnya dengan tak ampun. Angin dingin 'pun semakin bisa membuat tubuh-tubuh yang membiarkan kulitnya tak dibungkus oleh kain-kain tebal menggigil kedinginan.

Rasa dingin juga sudah mulai menggigiti ujung jari-jari kaki dan tanganku. Ku perhatikan Taka berjalan mondar mandir kesana kemari tak karuan seperti sedang mencari sesuatu. Aku yang sedari tadi duduk santai di sofa sambil melamunkan sesuatu yang kurasakan telah barusaja hilang dariku, menaikkan kaki dan menyelimuti diri, gemas melihat lelaki yang kata orang adalah calon Ayah dari anakku itu berlagak meniru setrikaan yang sukar melicinkan pakaian.

" Cari apa sih, Ka? "

Taka menoleh kearahku. Mengibas-ngibaskan kedua tangannya seakan-akan melakukan senam kebugaran. " Dingin. "

Ah, dasar bodoh.. bagaimana tidak?? pakaiannnya basah, dan dia malah mondar mandir ngga jelas. Kenapa tidak pergi ke kamar mandi. Mandi. Lalu ganti baju. Bodoh!

Ku hampiri dia didepan sana, tak dekat, tak terlalu jauh dariku. " Ya iyalah dingin! bajumu basah... ganti gih. Mandi. "

" Mandi? " ulangnya menyangsikan apa yang barusan aku sarankan. Tatapan matanya selalu hangat dan aku benci melihatnya karena aku selalu ingin melihatnya menatap dengan tatapan seperti itu.... dan juga bodoh.
 
Bodoh... aku entahlah, aku senang menyebutnya bodoh... karena dia memang BODOH. Dan entah mengapa aku mulai terbiasa melihatnya bertingkah bodoh di depanku. Ku perdekat diriku ke hadapannya, menyentuh kancing teratas kemeja kerja basahnya, meloloskannya dari lubang tempatnya mengaitkan diri dengan gerakan sedikit menggoda. Lihat si bodoh ini akan bagaimana setelah aku melakukan ini.. tanpa memperlihatkan pandangan mataku kearahnya. Licik sekali kamu Cessie!

Tangan dingin Taka menggenggam pergelangan tanganku -menghentikan yang aku lakukan-. " Mau apa? "

axaxa....
tawaku dalam hati. Tuu 'kan? dasar b o d o h.
" Mandi!.. kan tadi aku aku sudah bilang?... maaannndi. "

Terlihat jelas dia sempat menelan ludah saat aku meneruskan membuka kancing bajunya satu persatu. Juga saat aku menanggalkannya dari tubuhnya. Masih tanpa memandang ke arah matanya, ku raih lengan kanannya dan menuntun dia menuju kamar mandi. Menutupkan pintu untuknya setelah menyodorkan handuk. Dasar boodoooooh... apa yang dia pikirkan sampai dia gugup dan menelan ludah seperti tadi?
Kembali aku menahan tawa dalam hati... Hmmpt!
 
Kembali aku menaikkan tubuh ke atas sofa dan membungkus diri dengan selimut yang sebelumnya aku tinggalkan disana. Ini sudah hampir pagi, kepalaku mulai berdenyut-denyut lirih mengingatkanku malam ini aku belum tidur. Tubuhku mulai lelah melamunkan hal yang sedikit membuatku merasakan kehilangan si anak lelaki tadi. Ku pejamkan mataku. Sudahlah lupakan saja, mungkin lain kali aku bisa kembali bertemu dia.

memang apa yang ingin kau perbuat untuk anak itu? teriak suara dari dalam kepalaku sendiri. Entahlah, aku juga tidak tahu.. jawabku konyol.

Terdengar suara langkah kaki dan aku kembali membuka mata, tak tahu sudah berapa lama aku tertidur.. atau mungkin bahkan hanya melamun dan tidak tidur sebentar 'pun.

Taka mendekat. Duduk di sofa yang lebih pendek di sebelah kanan dan terlihat bingung mau bicara atau melakukan apa. Lelaki macam apa dia?

Lalu kau sendiri wanita macam apa, Cessie? kembali suara dalam kepalaku membisikkan gelitikkannya. Memangnya harus seperti apa? jawabku kesal. Dia suamimu,.. harusnya kau perlakukan dia sama seperti istri lainnya memperlakukan suaminya. Hhah!! diam kau.. Aku juga bisa. Hanya saja aku tidak ingin. Ingin?? Iya. tidak ingin. Benarkah tidak ingin??

Ah, kau membuatku bimbang!!

Tunjukkan padanya kalau kau bisa seperti wanita lainnya. Kau tidak bodoh sama seperti dia. Kau patut disebut istri olehnya.

Cihh,.. memang siapa yang ingin disebut istri darinya?

Kau!!

Tidak. Aku tidak. Aku lebih ingin memikirkan kembali anak lelaki itu daripada seorang lelaki di depanku ini..!
ugh, kembali hatiku mencelos seperti kembali kehilangan sesuatu. Berulang kali terasakan. Sungguh tak enak di hati. Pikiranku jadi tak menentu. Aku mulai cemas. Aku resah. Aku gelisah. Aku takut. Takut???
ya! aku takut. Aku merasa suatu hari nanti akan datang hari dimana aku akan kehilangan semua orang. Semua orang. Tidak ada yang menginginkan aku. Tidak ada yang pedulikan aku. Tidak ada. Satu 'pun.
 
Last edited:
Kembali aku melamun lagi.. mulai kehilangan arah, sampai kapan akan seperti ini terus? Ah.. bahkan sepertinya kata 'kehilangan' menjalari tubuhku.. lebih parah ketimbang udara dingin pagi buta saat ini. Benar-benar tidak bisa lagi berfikiran waras seperti biasanya. Ada apa ini?

Aku menatap wajah Taka yang masih saja terdiam kaku -mencoba membaca pikirannya-. Mencari cari kata apa yang sedang asik dia alunkan di dalam hatinya hingga bisa membuatnya sangat kalem seperti itu. Taka menyandarkan punggungnya ke sandaran dudukan sofa dan mencoba memposisikan tubuhnya jauh lebih nyaman dari sebelumnya. Matanya mengamati dinding, seolah-olah sedang mencari noda kecil yang mengotori dinding dengan telitinya. Sampai akhirnya dia menatapku, ku balas tatapan matanya dengan sedikit berani dan tak peduli -masih mencari tau apa yang mungkin sedang dia pikirkan-.

Ahh, bodoh! apa yang kau fikirkan Cessie? untuk apa aku mencari tau apa yang sedang dia fikirkan?? apa peduliku padanya??
 
Tanganku meraih lengan Taka, menariknya untuk duduk di sebelahku. EH!! apa yang aku lakukan?? halah.. tidak akan terjadi apa-apa, sudahlah.

Taka menurut. Dia duduk di sebelahku, mengambil tempat terjauh di sudut sofa. Selimut yang membungkusku aku tarik dan ku buat untuk bisa membungkus tubuh yang jauh lebih besar ukurannya.. tubuhku dan tubuh Narantaka. Seakan-akan mengecil karena harus bisa menyelimuti 2 orang yang sedikit berjauhan.. aku perdekat dudukku menempel lengan Taka, mengusahakan agar selimut tak kesusahan menghangatkan kami.

Ya,.... hangat.. lebih hangat ketimbang saat aku berselimut seorang diri. Ini hangat tubuh Taka, hangat tubuh lelaki yang sudah menjadi suamiku dan belum pernah mau aku disentuh olehnya.

" Kenapa dari tadi diam gitu? " Tanyaku mencoba membuka pembicaraan yang belum pernah sebelumnya aku lakukan dengannya.

" Nggak ada. " Tubuhnya masih terarah ke depan... tidak condong sedikitpun ke arahku. Kepalaku sampai miring-miring mencari matanya untuk bisa memandang kearahku... aku ingin tatapan itu... aku ingin hangat tatapan itu..

" kenapa?? " tanyaku penasaran.. mulai menggoda. Tanpa sadar telunjuk tangan kananku bermain-main di pundaknya.. bergerak melingkar melingkar di ujung bahunya sama seperti anak TK yang sedang asyik belajar menggambar.

Tangan Narantaka memegang telunjukku yang sedang asik dengan permainan barunya -menghentikan-. " Nggak ada. Cuma tadi aku masih kedinginan saja. "

Aku duduk tegak, membuatku kembali terjauh darinya. " Sekarang masih dingin? "

Taka menggeleng lemah.

" Ow,, sudah ngga ya? " aku dengan nakal menarik selimut yang kami pakai berdua lalu menjauh darinya dan memakai sendiri selimut itu dengan rakus. Masih dengan tatapan mata yang menggoda. Mencoba membuatnya bersikap lebih hangat padaku.

Tak ada reaksi. Bahkan wajahnya muram dan masih terlihat gelisah. Dia kenapa sih?? membuatku kesal saja!

Ku buang mukaku darinya. Tak lagi memiliki keinginan memperbaiki hubungan meski sedikit. Dasar BODOH!! tidak lihat apa aku memberinya kesempatan mendekati aku?
 
Igh,.. lihat dia! Si bodoh ini. Apa sih yang ada di otaknya? mengapa begitu bodoh?? Kalau aku jadi dia aku akan memeluk perempuan yang sudah susah payah mendekatkan diri ke tubuhnya. Dasar Bodoh!!! Tidak lihatkah aku sejak awal jumpa dengannya tidak pernah sebaik ini padanya?? Bodoh!!

" TAKA " Panggilku ketus padanya... sudah mempersiapkan bom apa yang akan aku lemparkan ke mukanya sebentar lagi. Dia pikir dia siapa berani membuatku kehilangan harga diri seperti tadi??

Suamiku diam bergeming. Hanya menggulirkan bola matanya menatap aku dari jauh.

Arghtt... DIA BIKIN AKU TAMBAH KESAL. Dasar Otak BEBAAL









Ah, bodoh.. tinggalkan saja orang bodoh seperti dia.. untuk apa berlama lama dengan orang bodoh seperti dia.
 
Aku kembali padanya. Mendekati dia. Lebih dekat dari sebelumnya. Menarik bahu besarnya. Membuatnya menatap aku sepenuhnya.




..

Membiarkan bibirnya mencium mulutku.
hhh??? apa yang aku lakukan?
Tidak apa! Teruskan saja... jangan pikirkan yang lain untuk saat ini. Nikmati saja.
tidak,... tidak sekarang...
Jawabku mulai gamang.. kembali bimbang.

Ku tarik kepalaku. Menyuruhnya melepaskan gigitan lembut di bibir bawahku meski tampak tak rela Taka melepaskan juga. memandang dalam-dalam bulatan hitam di mataku. Sama sama mencari tau.

apa yang baru saja aku lakukan?

Tapi yang tadi memberi kehangatan lebih padaku. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Bahkan tidak Irza sekalipun. Apa yang aku pikirkan?

Telapak tangan Taka menyusupkan diri ke dalam rambutku.. membuat dirinya lagi-lagi menempel di tubuhku. Memulai kembali.

Seluruh tubuhku merasakan hangat saat Narantaka menyentuhkan tangannya di tengkukku dan mengecup bibirku lembut. Ku ikuti alunan lirih mulutnya dengan memejamkan mata. Apa ini Tuhan?? aku bisa merasakan detak jantungnya.. berdetak kencang tapi hatiku tenang.
 
# 5 #


Perseteruan kuat dalam hatiku selalu timbul dan timbul lagi. Sial!!... ini pasti gara-gara pagi buta beberapa hari itu. Aku mengutuk diri sendiri.. lagi dan lagi... Bagaimana tidak? Setelah waktu itu aku menantang Taka menciumku dia jadi terlihat berani dan suka mencari-cari kesempatan untuk mendapatkan kesempatan berikutnya. Ah,, benar-benar salah langkah!

Matahari bertengger di pusat langit, menerangi dengan seluruh kemampuannya. Tumben, hari ini panas tak seperti hari-hari biasanya yang selalu terguyur hujan atau sekedar tergelantungi oleh mendung-mendung langit.

Banyak hal yang terasa berubah setelah aku menikah dengan Narantaka. Tak ada lagi pekerjaan, karena aku tak diperbolehkan bekerja oleh mertuaku. Dan kebosanan yang menetap di hari-hariku yang hanya menunggui rumah dan menunggui Taka pulang dari tempatnya kerja. Seperti ini 'kah seorang istri?? sesekali aku ke teras, membersihkan sudut sana sini tapi tak jua menghilangkan kebosanan. Terkadang aku mencari kegiatan baru seperti membuat sebuah taman kecil di samping rumah dan sebuah kolam ikan di sebelahnya. Mencari teman baru.

Tapi aku masih merasa kesepian. Siapa yang bisa menghilangkan perasaan buruk seperti ini?? Huh!!




Pukul 4 sore,

Samar-samar terdengar suara mesin mobil Taka barusaja menepi di depan pintu garasi. Hm, seperti biasa... pekerjaan seorang istri, menyambut kedatangan suami dengan tersenyum. Ahh, bahkan aku muak menyebutnya berkali-kali walau hanya sekedar mengingatkan diriku sendiri untuk -setidaknya- bersikap ramah padanya tanpa harus membuka hati untuknya, sementara saja.

Kakiku gontai berjalan keluar, mencari letak pintu dan menghampiri Sang Suami yang baru saja pulang kerja dalam keadaan lelah. iya ya ya..

Taka mengamit bahuku dan mencium keningku -seperti biasa-, " Ada apa hari ini. "

Pertanyaan apa itu?? memangnya dia buta apa menanyakan itu padaku??? Aku melepaskan tangan Taka dari bahuku tanpa menyembunyikan bibirku yang mengerucut. " Ada!... "

" Iya?? Apa?? " Tanyanya bersemangat. Benar-benar aku menikahi mahluk paling tidak peka di dunia, olok olokku dalam hati sambil terus mengutuk dan mengutuk.

" Apa? " Kembali Taka mengulang pertanyaannya, ingin segera menghapus rasa penasarannya yang dibat-buat.

" Itu... sama seperti kemarin. Lalu kemarinnya lagi. Dan kemarinnya lagi. Trus kemarinnya lagi. Yaa... itu, BOSAN. " Ku lantunkan jawabanku dengan menatap Taka di atas sofa dan memperlihatkan raut mukaku yang berubah saat mengucapkan -BOSAN- di akhir kalimatku. Membuatnya ikut mengubah raut muka.
 
Back
Top