- Ketika Aku Mencintai Kebencianku, Untukmu -

" Oooh.. "

Ha?? apa?? Ooh??? itu saja yang bisa dia keluarkan?? Ya Ampuunnn.... kembali aku mengutuk diri sendiri. Sebenarnya mahluk paling tidak peka dan tidak peduli itu siapa di rumah ini?? Aku atau Dia??

Aku berjalan ke dapur. Mengambilkan segelas air putih dingin untuk Taka, menyodorkan gelas dingin berisi air dingin yang tadi kuambilkan ke tangan Taka. Aku duduk manis di samping Taka saat gelas di tangannya membengkok ditumpahkan isinya oleh tangan Taka. Sekejap saja sudah habis tak bersisa, gelas kosongnya kembali di sodorkan kepadaku. " Lagi? "

Narantaka menggeleng. Ku letakkan gelas itu ke atas meja di depanku sembari mempersiapkan kata-kata untuk mengungkapkan keinginanku untuk kembali bekerja. Aku bosan kalau mesti setiap hari seperti ini. Ini aku seorang wanita yang terlahir untuk bekerja keras. Bukan darah wanita yang suka berleha-leha keluar masuk salon hanya untuk duduk tenang dan menikmati hasil keringat orang lain.

" Taka?? " Aku harus bisa. Aku harus bisa keluar dari rumah ini.

" Hmm?? " Jawabnya bergumam. Narantaka menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, melepaskan kaca matanya dan mengusap-usap kasar matanya dengan punggung tangan kiri.

Ku telungkupkan kedua telapak tanganku di atas lengan kanan Taka, membuat seolah - olah aku sedang memohon padanya. " Aku boleh kerja lagi 'kan? "

Taka memandangi wajahku, memandangi tangan-tanganku yang terdarat pasti diatas lengan kanannya seakan tidak percaya.

Ku guncang-guncang lengan Taka dengan manja,.. mungkin butuh sedikit rayuan supaya dia menyetujui permintaanku. Masih dengan wajah memelas, " Boleh 'kan? "

Narantaka tertawa. Membuatku sedikit bingung. Apa yang lucu? " Boleh,.. tapi cium aku lagi seperti waktu itu. "

Tawanya semakin menjadi ketika melihat air mukaku yang kembali mengerucut dan membuang muka saat dia menjulur-julurkan lehernya mendekatkan muka padaku. Ugh, dia menyebalkan!!
 
Taka menarik diri dan menyandarkan punggung lebih kedalam sandaran sofa, " Ya sudah kalau tidak mau. "

" Takaaaaa, " wajahku mulai keruh kehabisan akal. Agh, dasar otak mes*m -serapahku padanya- " IIigghh, "

" Panggil aku sayang. " Pintanya mulai menyebalkan.

Akh.. apa-apaan sih ini? Sial Sial!! aku ternyta harus serumah dengan orang menyebalkan macam begini.. sial!!, " Sayaaang, ayolah.. "

" Coba sekali lagi... " Matanya menatapku geli. Ada tawa yang tertahan di bibirnya dan terlihat jelas ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh otak kotor di balik kepalanya. Apa itu?? aku ngga ngerti.

" Sayang, ayolaah.. bolehkan? kalau aku minta itu? "

Taka mengubah duduknya, meletakkan kacamatanya ke atas meja, menatapkan tubuhnya menghadapku, tersenyum, dan, " Iya.. boleh, "

Huuuhh, ternyata semudah ini. Yes!! " Bener ngga apa? "

" Iya boleh. Yaudah sini, buka bajunya. " Seringai giginya berubah di atas kepalaku. Bulu kudukku berdiri seketika. Menyadarkanku bahwa aku terjebak. Bodoh kamu Cessie,

aku mengingat-ingat kembali apa yang aku katakan barusan padanya. Sayang, ayolaah.. bolehkan? kalau aku minta itu? Agh.. bodoh... bodoh bodoh..!! Sadar akan kebodohan kedua yang aku lakukan. kalimat itu, -Sayang, ayolaah.. bolehkan? kalau aku minta itu?- Ahh.. bodoh

Tangan Taka mengapit kuat kedua bahuku. Menjatuhkan tubuhnya keatasku sementara aku terjepit diantara sudut sofa dan tubuhnya. Tanganku terkatup kuat menutupi dadaku, menghindari kejadian terburuk yang bisa terjadi setelah ini. " Ayoo, buka.. katanya minta "

" TAKA.. " teriakku menghindari mulutnya mencium pangkal sudut bahu dan leherku. Ah, benar-benar sial, aku susah bergerak seperti ini bagaimana bisa aku menghindari dengan benar?

Kepala Taka datang menyerbu berkali-kali, membuatku kehilangan kesempatan bernafas dengan leluasa. Melindungi diri.

" Ayo buka sini bajunya. Mana? aku ingin lihat. "

Aku terus bertahan. Sampai-sampai ingin menangis dibuatnya. Lemah sekali?? Payah!!? Kemudian aku mengerutkan diri. Menaikkan kakiku dan menekuknya menutupi tubuh depanku dan ku tundukkan kepalaku keatas lutut. Menutup diri dengan prisai dengan sangat sangat sempurna.

Taka berhenti. Benarkah sudah berhenti??? Narantaka mengelus pucuk kepalaku, membuang nafas pelan disana, mengecupnya pelan dan bangkit. Ku rasakan tak ada lagi beban berat tubuh Taka yang tertelungkup di dekatku. Aku 'pun menghela nafas lega. Huh, dasar menyebalkan!!
 
Aku masih terdiam membatu. Tanganku memeluk kakiku lebih erat dari sebelumnya. Membenamkan kepalaku lebih kuat dari sebelumnya. Aku ingin menangis. Aku merasa lemah, merasa murah, merasa kotor, merasa telah disentuh.

Air mataku jatuh juga, terdesak oleh segerombolan pikiran-pikiran dan sumpah serapah dari pikiranku sendiri.

Terisak lirih.

Aku sudah berusaha menyembunyikannya tapi mengapa semakin aku menahan diri untuk tidak menangis air mataku semakin deras jatuhnya.
 
Ada 2 tangan kuat dan satu bahu lapang yang menuntunku untuk mendekat. Aku merasa lemah sekali, sangat amat lemah, bahkan tak bisa menolak saat aku melihat Taka di depanku dan menyediakan bahunya untukku bisa menangis lebih terang-terangan.

Memelukku erat, seperti menegaskan padaku kalau dia meminta maaf atas yang barusan.

Entahlah, aku memejamkan mata dan menjatuhkan dahiku ke puncak bahunya dan menangis tak peduli.Tanpa sadar kedua tanganku mengepal dan memukul-mukulkan dirinya di dada lelaki yang sedang memelukku dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang?

" jahat.. " desisku lirih tak mengurangi debit pukulan di dadanya. Mungkin sebenarnya semakin kuat dan semakin kencang aku memukul mukul dadanya. Dia diam saja aku memukulnya dari tadi, membuatku tak tega untuk terus memukul-mukulnya.

Tubuhku menjauh, memintanya meregangkan pelukannya.

Narantaka menolak. Tangannya semakin kuat menarik punggungku, mengembalikanku ke bahunya. Huh! aku terlalu lemah untuk memberontak lagi. Ku biarkan saja dia memelukku, silakan peluk aku sepuasmu, tapi jangan lebih dari itu.

Lututku lemas, rasanya lelah sekali. Lututku turun tanpa aba-aba, tangan kiri Taka meraih pinggangku dan membuatku lebih dekat padanya. Beban di tubuhku semakin berat saja, keluhku dalam hati.

Nafas Narantaka naik turun teratur, terasa jelas di kepalaku, mendesir desir tenang. Kepalanya ia sandarkan di sofa, dan tubuhnya ia biarkan bersandar diatasku. Membuatku seperti bantal yang disandarkan di atas sofa dan ia pakai untuk menopang tubuhnya agar lebih tinggi dan lebih nyaman. Untuk tidur.

Benar saja dia begitu tenang, dia tertidur diatasku, dengan tetap memelukku dan menjatuhkan kepalanya di atas sofa. Memberiku pembungkus tubuh hidup yang hangat. Mengajakku untuk ikut memejamkan mata di bahu kanannya.

Apa aku salah kalau aku tidak menginginkan keberadaannya? apakah aku salah kalau aku tidak mengizinkan dia menyentuhku lebih dari ini? apakah aku salah kalau aku menginginkan tubuhku tetap utuh tanpa pernah boleh dia menyentuhku tanpa boleh dia setubuhi aku?? kembali terpikirkan banyak pertanyaan janggal di kepalaku. Aku biarkan semua tanda tanya tanda tanya beterbangan bebas berputar putar di kepalaku dengan mata terpejam. Dengan sedikit isak yang belum sepenuhnya selesai aku redakan.
 
Membuatku lupa sesaat bahwa pernah terbersit dipikiranku untuk ingin bisa keluar dari rumah ini, entah untuk bekerja atau apalah namanya. Lupa bahwa aku harus meminta persetujuan Taka untuk memperbolehkanku berada kembali di luar rumah.
 
bagus ceritanya, kerenn,,
masih jauh ya? tapi yang di expose kok adegan itu terus,,hehehehe

awaiting for the next,,,,, :)
 
~Antara Benih Baru dan Masa Lalu~

# 6 #



Hm,.. satu tahun sudah aku bersama Narantaka. Suamiku satu itu setidaknya meskipun dia menyebalkan dan tidak pengertian dia selalu bisa menuruti apa mau ku. Dia mengizinkan aku tinggal di sini sementara dia tinggal di luar kota karena harus pindah ke Kantor Cabang yang baru saja dia dan ayahnya bangun. Yaa, walau awalnya harus ada pertengkaran terlebih dahulu, tapi aku tau aku akan menang. Dan selalu akan menang. Dia juga mengizinkan aku kembali bekerja. Karena aku tidak ingin kembali mengajar, aku membuka sebuah butik yang design-designnya aku buat sendiri. Baru berjalan 7 bulan, tapi sudah bisa mengajariku banyak hal.

" Di Cafe depan ya, Pak. " Pintaku pada bapak sopir taxi di balik kemudinya. Ini hari setahunnya pernikahanku, dan setidaknya aku mengingat itu. Walaupun tidak akan memberikan kejutan untuk suamiku. Huuhh, memangnya apa yang bisa aku berikan untuknya? Bukankah dengan aku menghormatinya, melayaninya -meskipun tidak ada acara ranjang-, menghargainya, menganggapnya ada itu sudah lebih dari cukup?
 
Meja No. 13
______________


Aku duduk, memesan Jus dan kembali merenung... Oh, rasanya aku suka sekali melamun dan merenung memikirkan banyak hal. Walaupun kadang aku sendiri bingung apa yang sedang aku pikirkan.


" PERGI KAMU DARI HADAPAN SAYA WANITA!!! "

Teriakan siapa?? Oh, dibelakangku.. tepat ada di meja dengan nomer selisih satu dari nomor mejaku. Mana Jus pesananku? Sesaat aku mulai terganggu oleh teriakan tadi, sesaat kemudian aku merasakan hatiku gelisah.

" Pa, kita harus bicarakan ini. Untuk kita, untuk anak kita. " Desak seorang wanita, istrinya -tebakku- pada seorang lelaki tinggi bertubuh kurus, bersuara menggelegar dan memiliki mata yang menyeramkan saat memelototkan matanya. Seperti saat ini.

Aku menggeleng-gelengkan kepala lemah. Yah, seperti itulah semua laki-laki. Brengsek, tidak berperasaan, tidak mau menggunakan otaknya dan seenaknya sendiri. Lalu senang memaksakan kehendak, kasar, suka membentak, senang menakut-nakuti dan gemar sekali menyakiti.

Ya.. karena dalam kepalamu, laki-laki adalah ayahmu. Ayahmu yang telah membawa istri simpanannya ke dalam rumah dan memulai perpecah belahan keluarga. Memukulmu. Meludahi ibumu. Membuangmu dan menyiksa ibumu. Hanya untuk menyenangkan istri barunya.

Iya benar. Ujarku menyalami sikutan sinis kata hatiku sendiri. Memang seperti itu. Kembali aku menggeleng-geleng lemah.
 
Dan pertikaian semakin memanas...
Ah, sial... apakah benar nomer 13 benar-benar membawa sial?? Pikirku cepat setelah melirik nomer yang tersandar kuat di tengah meja, bertuliskan angkan 13.

Aku berdiri. Sudah, aku pergi saja. Menunggu kepulangan Taka bisa dimana saja. Tidak harus disini. Kataku mengajak bicara tanganku sendiri seperti orang gila -bagi orang lain, tapi tidak bagiku-.

Baru saja aku berdiri, tubuhku terdorong badan lembut wanita yang tadi bertengkar dibelakangku, tak bisa sigap, hampir saja dia membuatku terjatuh namun terhalang meja.

" SUDAH SAYA BILANG PERGI KAMU DARI HIDUP SAYA. DASAR WANITA!! " Tegas lelaki di depanku, seolah sedang menghukumi aku. Wanita di pangkuan tubuhku mulai menangis deras, terisak-isak. Sesekali dia memegangi perutnya seolah sedang menjaga sesuatu di dalam sana.

Dia berdiri tegak kembali, menghamburkan diri ke hadapan lelakinya yang juga sudah berdiri tegak jauh lebih tenang dari sebelum dia berteriak beberapa detik lalu. " Pa, kehamilanku ini anak kita. Percayalah... "

Hamil ya? Pantas saja tangannya terus menerus mengelus perutnya.

Kakiku terpaku. Tak mau dilangkahkan. Ayo pergi dari sini. Ayoo... ampunku memohon pada kakiku sendiri sementara mataku masih terus memperhatikan dua orang di depanku. Tak memperhatikan orang-orang lain yang juga memperhatikan apa yang aku perhatikan.

Tangan laki-laki jangkung yang terlihat tak begitu berotot terangkat dengan lengan wanitanya, mencengkiwingnya seperti mengangkat leher kucing sambil jijik, melemparkan tubuh wanita itu jauh-jauh darinya. Astaga, kasar sekali!

Lalu ingatanku kabur. Apa yang terjadi di depanku sangat tidak indah dipandang oleh mataku. Menjijikan dan memuakkan. Membuat tubuhku melayang-layang. Terbang jauh meninggalkan waktu, kembali ke masa lalu. Waktu terus membiarkan aku melayang-layang membuatku ketakutan. Aku hanya diam terpana melihat lelaki di depanku meraih rambut istrinya, menamparnya, bahkan memukul kepalanya dengan tangan terkepal. Seperti laki-laki bertengakar dengan sesama jenis. Orang-orang berkerumun, mendorongku semakin maju ke depan, membuatku menyaksikan apa yang tidak pernah aku ingin saksikan.

Seorang bapak-bapak tua dengan tergopoh-gopoh mengangkat tubuh jangkungnya dan memisahkan dia dari teman bertarungnya. Ada darah di puncak kepalanya, luka akibat gelas yang sengaja di tubrukkan ke kepalanya entah kapan itu terjadi, entah.. aku masih melayang.

Kakiku bergerak gerak di tarik tangan seseorang di bawahku, sedikit memaksaku kembali ke tempat -tidak lagi terbang melayang sendirian-. Wajah penuh air mata dan tangan kuat menggapai dan menarik-narik kakiku, memintaku menolongnya. Kakinya tercecer darah, berasal dari pusat kewanitaannya. Aku teringat -bukankah dia hamil?-.

Otakku berat sekali diajak berfikir saat seperti ini. Kosong melompong. Aku mengangkat tubuhnya, membopongnya keluar Cafe dengan tertatih, dia mengucapkan kalimat-kalimat di telingaku sambil menangis, tapi aku tidak menggubris, otakku terlalu sibuk hanya untuk sekedar mendengarkan. Ku antarkan dia ke rumah sakit terdekat naik Taxi dan baru aku sadari aku melakukannya -menolong wanita ini dan mengantarnya ke rumah sakit untuk dia dan bayinya, calon bayi di kandungannya- setelah sampai di rumah sakit, duduk sendirian memikirkan apa yang barusaja terjadi.

Pikiranku masih tergantung dimana-mana. Tidak jelas, tidak fokus, antara sadar dan tidak sadar. Aku panik. Dan merasa sendirian.
 
2 Jam aku duduk, berdiri, berjongkok, berdiri bersandar... gelisah sekali walaupun masih tidak tau apa yang sebenarnya membuatku merasa gelisah seperti ini. Sudah aku coba mengalihkan perhatianku ke tempat lain, tapi perasaan gelisah dan seperti di sayat-sayat selalu kembali menyelimuti lagi.

Orang yang -mungkin- aku tunggui keluar dari bangsalnya. Berjalan lambat dengan seorang suster disampingnya. Kenapa keluar?? bukankah akan lebih baik dia tidur di dalam?? beberapa hari mungkin. Setelah dekat dia menyalamiku dan memberi tahuku namanya 'Rika'. Kami berdua duduk di kursi tunggu. Entahlah, terjadi begitu saja... Kepalaku rasanya masih melayang tak tentu. Tak bisa membedakan dan membenarkan, ataupun menyalahkan.

" Terimakasih, " Katanya ramah. Ku lirik wajahnya yang tersenyum pahit dan tertunduk lesu. " Aku jadii... merepotkan mbak. "

Tidak ada yang bisa tubuhku buat selain tersenyum sejadinya. Ah, mengapa hari ini aku jadi bodoh sekali..

Kemudian seorang lelaki datang menjemputnya. Mengucapkan terimakasih padaku dan pamit pulang.

Lagi-lagi, terjadi begitu saja. Sepertinya otot otot syaraf di kepalaku terlilit sesuatu hingga membuatku seperti ini. Kosong melompong dan tidak bisa berfikir benar -sama sekali-.

Aku 'pun pulang. Lupa ada seseorang yang harus aku tunggu dan dia telah berjam-jam menungguku menjemputnya.
 
" Mengapa tidak menjemput? " Kudapati Narantaka berdiri di depan pintu. Membukakan pintu untukku. Astaga,... benar... bukan kah aku harus menjemput dia tadi?? Ah, bagaimana bisa lupa?

" Akuu,.. mmm... " Gelisah.. aku berpikir seceat mungkin... " Tadi ada urusan mendadak. Maaf. "

Gontai aku melenggang masuk ke dalam rumah tapi tanganku dicekal. Memaksaku menatap matanya dengan berani -kembali mengajak bertengkar-. Aku sudah bilang aku tidak suka dipaksa, tidak suka di kekang, tidak suka di kasar.

" Tunggu! " Narantaka melepaskan kacamatanya dan menatap langsung mataku dengan matanya. " Aku mau bicara. "

Ku tarik lenganku lepas darinya. Menghadap ke arahnya dengan berani.

" Aku pikir ini hari ulang tahun pernikahan kita. Dan aku pikir ini hari seharusnya kita bisa berdua. Kita butuh waktu berdua. Kamu istri dan aku suami. Bukan begitu? " Matanya nanar dan aku berpaling dari tatapan itu secepat kilat. Menutupi rasa bersalahku. Mungkin seharusnya seperti itu, tapi aku tidak pernah berharap menjadi istrimu!

" Iya.. aku minta maaf. "

" MAAF?? " Suaranya meninggi. Lebih tinggi dari Gunung. Lenganku diraihnya kasar dan memaksaku kembali memandang kearah matanya dalam-dalam. Oke, aku ikuti.

Ini bukan hal besar yang harus dibicarakan keras seperti ini. Apa yang dia pikirkan memangnya? Bahkan aku sebenarnya tidak peduli dengan hari ini. Ada atau tidak mungkin akan lebih baik jika tidak pernah ada pernikahan dengannya sejak awal. " Iya maaf,, tadi aku... ada sesuatu. Jadi aku ngga bisa jemput. "

Narantaka berpaling menatap langit-langit membuang senyum sinis penuh hinaan. Membuatku merasa seperti sampah di pinggiran jalan.

" Kenapa??! Oke.. aku salah. Maaf. " Aku berjalan mundur, hendak menghilang darinya, " Aku minta maaf. " Ugh, kesal aku dibuat olehmu.

" SAMPAI KAPAN KITA SEPERTI INI TERUS, CESS?? " teriaknya di belakangku. Masih dengan tawa sinisnya yang lekat sekali di bibirnya. Muak sekali aku melihatnya. " HE?? SAMPAI KAPAN?? SAMPAI KITA KERIPUTAN??? BAHKAN KAMU NGGAK PERNAH KASIH AKU TUBUH KAMU. "

apa? dia bilang apa?? tubuhku??

" Ada apa, Cess?? Mengapa berhenti?? apa aku salah ucap?? " Aku berbalik, melihatnya memandangku dari kejauhan, dari balik pintu kamar yang baru saja hendak aku masuki dan mengunci diri di dalam. " Apa aku salah?? Kapan kamu benar-benar jadi istriku?? setahun sudah, Cess.. Dan kita hanya seperti ini. "

Menelan ludah aku hidup berdua dengan lelaki seperti dia. Menyebalkan.

" Kapan kamu akan benar-benar berdiri disampingku?? kapan kamu benar-benar menganggap aku? kapan kamu akan benar-benar melihat aku sebagai suamimu? " Mata Narantaka mulai memerah.

Kalau dia ingin tau jawabannya, aku akan beritahu dia bahwa aku tidak akan pernah melakukan itu. Tidak akan pernah.

Narantaka berjalan mendekat. " Setahun sudah aku bersabar. Aku menghargai kamu. Aku belajar memahami kamu. Memahami kebencian kamu. TAPI BAHKAN KAMU NGGA PERNAH MELIHAT USAHA AKU. SEAKAN AKAN AKU SATU DARI ORANG-ORANG YANG KAMU BENCI. KEMANA HATI KAMU?? APA AKAN SEUMUR HIDUP KAMU MEMBENCI LAKI-LAKI. "

" Mereka memang pantas aku benci. "

" TERMASUK AKU? "

Narantaka berdiri tepat di depanku, satu ubin di depanku. Matanya berkaca-kaca, merah. " iya. " Jawabku lesu.

" Ooh, HAHA... Cessie,... buang jauh-jauh semua pikiran buruk kamu. Kamu terlalu mendramatisir hidupmu. Semua mahluk punya masa-masa buruk. Tapi semua itu bukan untuk menjadikan kamu seperti ini. " Hardiknya mendalil di depanku dengan tangan terayun ayun seperti sedang bermain operet.

" Iya. Lalu? " Ah, aku bosan berbicara dengan mahluk tak berhati seperti dia. Apa yang bisa dia pikirkan?? Bukankah dia mahluk yang selalu senang menkmati hidup dan tidak bisa berempati?

" Kemana hatimu, Cess? " Lenganku kembali diraih olehnya, memasang mata nanar penuh penderitaan di depanku. " Apa yang bisa membuatmu sadar, Cess?? Kemana hatimu? "

Aku melepaskan diri. Acuh. Meraih gerendel pintu, bergerak maju, " Hatiku sudah mati. " Menutup pintu dan meninggalkan dia di balik sana.
 
tik tik tik, terdengar suara jam dinding berdetik perlahan...
ku buka mataku dan sadar aku terbangun di tengah malam, kamar masih dalam keadaan gelap dan pengap. Bahkan aku tidak mandi dan tidak berganti pakaian, juga tidak makan malam. Ku pegang ujung perutku yang mulai meneriaki lambungku karena terasa lapar dan aku keluar setelah menghidupkan lampu kamar.

Narantaka tertidur di atas sofa, lengkap dengan kaus kaki, dasi, kemeja, tas-nya pun masih tertempel lekat di pelukannya. Ironis sekali gelengku dalam hati. Kakiku berlalu menghampiri dapur, mengambil segelas minum dan beralih ke kamar mandi setelah meneguk habis isi gelasku.

Hanya mengerlingkan sudut mataku padanya -lelaki yang mungkin bagi orang lain adalah dewa bagi rumah ini- setelah semua yang ingin aku kerjakan tengah malam itu selesai. Berlalu dan membiarkannya tidur di sofa.
Kembali tidur, tanpa menutup pintu. Kalau dia mau pindah, pindah saja, itupun jika dia berani masuk kamar!
 
Last edited:
# 7 #
Antara Masa Lalu dan Benih baru Bag. 2



Angin BErhembus kencang sekali, menerbangkan rambutku. Aku terdiam, berdiri di sudut peron stasiun kereta api. Memandangi orang-orang yang terlihat mondar mandir di depanku dengan kesibukan masing-masing.

Apakah kamu ingin menangis? Tanyaku pada mataku sendiri. Tidak.. Aku menghela nafas pelan, mencari sedikit rasa lega untuk sejenak... Meyakinkan diri sendiri. Sudah setangah jalan aku pergi, apakah harus aku kembali lagi?

Pernikahan bodoh yang aku pikir bisa membuatku sedikit menghilangkan ketakutanku akan lelaki ternyata hanya memperburuk keadaan saja. Aku tidak bisa, ternyata, aku tidak bisa hidup dengan lelaki. Jadi jangan salahkan aku kalau aku memutuskan untuk pergi dari rumah dan meninggalkan -yang kata orang adalah- suamiku. Sendirian disana, dengan semua sikap bodoh, menyebalkan, menjengkelkan, dan cueknya. Bahkan hanya untuk menyelesaikan masalah saja dia tidak bisa. Terlalu bawel dan pencemburu. Narantaka terlalu naif dengan semua sikapnya, bahkan dia tidak bisa membuatku selalu ingin berada di dekat dia, justru hanya bisa membuatku ingin berada jauh-jauh dari tatapan matanya.

Kalau saja dia tau, sebenarnya aku suka tatapan matanya. Teduh sekali. Tapi sikapnya yang bodoh menutupi itu dan membuatnya seakan tidak berarti sama sekali.
 
Kereta yang aku tunggu datang. Terimakasih, terimakasih sudah datang tepat waktu, tolong antarkan aku pergi jauh dari sini. Sembunyikan aku dimana saja asalkan tidak bertemu dengan orang-orang yang membuatku benci.


Ku pikir bahagia datang bila aku mencoba tersenyum,
Aku sudah tersenyum pada semua orang.
Tapi hatiku masih terasa kosong,.. dan hampa
dimakamkan dimana kebahagiaan untukku?

Menjijikkankah aku?
Benarkah panggung sandiwara yang aku jalani ini?
ataukah hanya mimpi buruk yang tak mau berhenti
selalu datang menjemputku dan meninggalkan aku berdiri sendirian
 
Di belahan dunia yang tidak ingin aku tau,




Narantaka berjalan timpang, bahu miring dan muka terlipat. Murung. Penat. Banyak hal yang menggelayuti matanya, mendung sekali.

" Naran??! " membuat si empunya nama menoleh dan mencari sumber suara yang menyebutkan namanya. Dilihatnya di sebrang jalan seorang perempuan melambaikan tangan penuh semangat -dan penuh cinta-, tangannya menenteng kantong kantong belanjaan. Dia berlari setelah Narantaka menyahutnya dengan senyumnya. Saat sudah berada di depan Narantaka, wanita itu memeluknya, hangat sekali, " Hai.. Kemana saja kamu? "

" Aku ada. Kapan pulang? Ku dengar kamu kuliah di luar kota? " Terlihat sebuah kursi panjang 5 meter dari tempat mereka berdiri, dan Narantaka berinisiatif mengajaknya duduk. Mempersilakan wanita itu mengajaknya ngobrol lama.

Tas-tas belanjaan di tangannya ia turunkan, menaruhnya di pangkuannya. Wajah wanita itu cerah, berbinar-binar, seperti telah menemukan sesuatu yang sudah sangat lama sekali dia cari. " Ia, baruu aja kemarin aku sampai sini. Makanya hari ini ini aku belanja banyak, hihihi. Aku kangen rumah, makanya aku pulang. " Matanya mengerjap manis, banyak senyum manja dan tertawa penuh semangat disana-sini " Juga kangen kamu. "

Narantaka terhenyak mendengar kalimat terakhir tadi. " Ooh, benarkah? " Kemudian Narantaka menunduk, masih tersenyum -walau pahit kelihatannya-. Terus mendengarkan celoteh orang disampingnya tanpa memperlihatkan kesal walau suaranya sedikit memekikkan telinga. Kencang sekali. Sesekali Taka mengangguk, tersenyum, menggeleng di sela-sela kisah panjang itu.

" Aku masih cinta kamu, Naran. " Tatapan wanita itu berubah tiba-tiba, mendadak serius dan penuh kekhawatiran. " Boleh tidak? kalau aku...... mmm.... Aku masih.. berharap bisa.......... aku masih sayang kamu. Naran, sungguh, bisa 'kan? kalau kita seperti dulu? "

Narantaka hanya tersenyum lalu berpaling. Sesaat setelahnya dia menggeleng mantap. " Aku sudah menikah. " membuat wanita disampingnya tertegun lama.

" Kapan? Mengapa aku tidak tahu? "

" Maaf, aku tidak memberitahumu. Sudah sejak lebih dari setahun yang lalu. "

Narantaka membiarkan tangan kanannya di genggam, membiarkan lengannya di tarik lebih dekat. Membiarkan seseorang di sebelahnya menangis dalam diam.

" Sudahlah, masih banyak lelaki yang jauh lebih baik daripada aku. " Dilihatnya wanita di depannya semakin menunduk, menggenggam tangannya semakin kuat. Narantaka mengangkat tangan kirinya, mengelus rambut hitam legam di depannya penuh sayang.
 
Back
Top