JINGGA

"“Sorry, gue ada keperluan ke ruang guru,”" jawabnya ketus, yang malah
membuatkan senyum lebar tersungging di bibir Langge. Interesting.

"“Bentar doang ya elah! Pelit waktu banget sih? Langge."” Ia menyodorkan
tangannya. Nadanya barusan tidak menggoda, murni ingin mengajak kenalan. Ebiet
mempesonanya. Entah karena wajah, kepintaran, keketusan, Langge tidak dapat
mencerna perasaannya.

“"O. Gue kira Jingga. Abis rata-rata barang yang lo punya warnanya jingga sih.”"

Ebiet melangkah meninggalkan Langge dalam kekecewaan karena kegagalannya
dalam mencapai target. Ebiet bahkan tidak mau menyebutkan namanya untuk Langge.
Tetapi, Langge justru makin tertarik dengan cewek itu. Pertama, Ebiet
memperhatikannya karena gadis itu menyadari bahwa ransel, tali sepatu dan dompet
Langge berwarna jingga. Yang kedua, karena gadis itu mengatakan "“jingga"”, bukan
"“oranye"”, seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya yang menyebut “merah jambu”
menjadi “"pink" -”—seolah-olah pink itu merupakan kata dalam Bahasa Indonesia.
 
Februari 2004
Langge membuka matanya. Hari sudah gelap. Ia pun melihat ke arah arloji
digitalnya-—yang lampunya berwarna jingga. Terang saja, sudah pukul tujuh lewat
setengah jam. Wajar jika sekolah benar-benar sepi. Tetapi Langge sudah sangat terbiasa
akan hal itu. Ia terbiasa bermain basket sampai malam setelah latihan sepakbola sehingga
tidak ada pilihan lain selain trespassing, sebab, gerbang sudah dikunci satpam sebelum Ia
pulang.

Satpam sekolahnya, Soeroto dan Sariyadi namanya. Keduanya dulu begitu gagah
berani, tubuhnya seperti siswa-siswi Taruna Nusantara, Magelang. Namun sekarang
sudah lumayan gaek dan sering mengobrol dengan anak-anak di SMA tersebut, termasuk
Langge. Jadi Soeroto dan Sariyadi sudah tahu bahwa rumah Langge begitu dekat dengan
sekolahnya, mereka juga sudah tahu bahwa Langge jago memanjat, jadi mereka juga
memilih tidak peduli terhadap tingkah laku seorang anak yang membuat mereka dimarahi
wakepsek berkali-kali karena kecolongan memberi kesempatan bagi sang berandal untuk
tidak mengikuti pelajaran Fisika dan Biologi-—dua pelajaran yang paling Langge benci.

Ia menatap langit sekali lagi. Warnanya sudah gelap sekali, tidak ada jingga yang
tadi, meski secercah saja. Ia pun membereskan atribut latihan sepakbolanya kemudian
beranjak, melangkah dengan santai menuju gerbang. Memanjat gerbang dengan santai.
Loncat dari gerbang dengan santai pula. Di saat santai itu lah Ia mendengar teriakan
seorang perempuan. Langge nyaris mati mendadak mendengarnya.

"“Eeeeeh! Tungguuu!”" Begitu bunyi teriakannya. Langge segera menengok. Tebak
Ia melihat siapa. Ya, Ebiet. Berlari dengan tergesa-gesa menuju gerbang.

"“Langge, tolong bukain dong. Lo gimana caranya bisa keluar?"” tanyanya panik.

"“Manjat,”" jawab Langge simpel. Ia berkata sedatar mungkin, karena memanjat
memang merupakan salah satu hobinya sejak dulu :D

"“Terus? Masa gue manjat?”" tanya Ebiet lagi, nadanya sedikit ketus dan
meremehkan. Ekspresinya sedih sekaligus bingung, dicampur malu, tidak ada lagi
ekspresi independent woman yang sering sekali dilihat oleh Langge.

"“Terseraaaah..."” kata Langge tidak peduli, inginnya membalas perbuatan ketika
Ebiet Ia ajak kenalan. Ebiet yang cuek dan tidak peduli. Ia juga bisa menjadi cuek dan
tidak peduli.
 
Ebiet memperhatikan roknya yang bermodel span, bukan A-line, dan panjangnya
sebetis pula. Bagaimana caranya Ia bisa memanjat pagar sekolah yang setinggi itu?

"“Ini gue bawa celana bola... Pake aja, gak apa-apa. Tapi, lo manjat sendiri ya?”"
kata Langge dengan asalnya. Ia tidak peduli.

"“Ah, Ngge, gue gak bisa manjat!"” Ebiet berusaha meyakinkan Langge. “"Apalagi...
Gue punya acrophobia.”"

"“HAH? Apaan tuh? Takut gue?"” Langge bertanya sekenanya, mengingat Ia hanya
tahu bahwa fobia berarti ketakutan yang berlebihan akan sesuatu. Mana mungkin Ia tahu
jenis-jenis fobia? Ia lebih suka slogan Daredevil, a man without fear.

“"Gue punya ketakutan yang teramat sangat terhadap ketinggian...”" jelas Ebiet
dengan nada kekanak-kanakan. Lucu sekali kedengarannya di telinga Langge, membuat
hatinya mulai luluh, perlahan... “"Gue takuuuut...”" tambahnya.

"“Terus, apa hubungannya sama gue?!"” Kebalikan dari gejolak hatinya, Langge
malah membalas Ebiet yang ketus dengan ketus pula, harga diri gue mau ditaruh di
mana?!


Ebiet segera meminta kepada Langge untuk membantunya, semanja-manjanya,
“Langge... "Please, bantuin gue manjaaaat, gue nggak bisa, dan gue takut. Please...
Please...”"

"“Nggggaakk! Gue mau pulang! Laper, tau! Ngapain juga gue ngurusin orang yang
gue gak kenal. Lo aja gak mau nyebutin nama lo ke gue waktu itu!”" Beg. Come on. Beg!

Langge hanya menunggu satu kalimat terucap dari bibir Ebiet, untuk membuat
semua mimpinya menjadi kenyataan. Seluruh mimpinya yang adalah tentang Ebiet.
Semuanya.

“"Gue takut,"” jawab Ebiet singkat, tidak ada kata atau partikel lainnya yang
menempel di belakang frase itu. “"Please, Ngge... Please... I will do anything!”"

Nah. Kalimat Sakti terucap. Langge hanya perlu mengucapkan satu kalimat lagi,
untuk mencapai segalanya.

"“Anything?"” ulang Langge.

"“Yes, yes, anything!"” jawab Ebiet— yang masih sepanik tadi, sehingga tidak dapat
berpikir panjang lagi. Apalagi hari sudah sangat gelap. Apabila Langge tidak mau
menolongnya, bisa-bisa Ia menginap di sekolah. Ia harus mengakui bahwa gedung
sekolah di malam hari begitu menyeramkan karena tidak berpenghuni. Berbeda dengan di
siang hari yang begitu berwarna dan menyenangkan baginya, walau tanpa teman
sekalipun.

"“Oke, lo harus jadi cewek gue selama...”" –-lamanya- – "“3 hari. How’s that sound?”"
tanya Langge kemudian, dengan nada mengejek, sekaligus mengancam.

"Eeeh? Enak aja! “Whatever. Sekarang tolongin gue!"” pinta Ebiet. Langge
melakukan hal itu dengan senang hati.

* * *​

Tiga hari telah berlalu. Ternyata, tiga hari itu belum segalanya. Tidak pernah
menjadi untuk selamanya. Sekarang hari-hari saya sepi tanpa kehadiran Ebiet. Meskipun
kemarin-kemarin Ia pun tidak berkata apa-apa, hanya menjadi “"pacar"” saya di dalam
bisu, tetap saja hari saya terasa lebih berwarna. Paling tidak, dibandingkan dengan
biasanya
.

"“Ebiieeet sayaaaang...”" panggil Langge ketika melihat mantan pacarnya di
kantin. Di hadapannya. Si gadis berkulit putih dengan kacamata ber-frame tebal berwarna
toska. Hari ini rambutnya digerai dan Ia tidak memakai sweater. Langge tetap deg-degan.
Bayangkan, kemarin-kemarin meskipun status mereka pacaran, boro-boro ‘jalan bareng’,
cuma status saja yang menempel di antara mereka berdua. Bedanya, Ebiet tidak begitu
galak menanggapi Langge.

"“Eh, perjanjian kita, cuma tiga hari. Hari ketiga itu udah kemarin. Kenapa masih
manggil sayang-sayang segala?"” tanya Ebiet simpel dan langsung pada maksud
pertanyaan. Berbeda sekali dengan Langge yang begitu ahli dalam hal berbasa-basi.

"“Ya karena gue sayang sama lo,"” jawab Langge, lebih simpel dan praktis lagi.

"“Gue gak mau pacaran sama orang bego!”"

Itu kalimat terakhir yang ingin saya dengar.
 
Last edited:
5 – Four, Four, Four
Juni 2006
Rumah Ebiet, 15:33

LANGGE INGIN SEKALI MENGAJAK EBIET MENGUNJUNGI RUMAH TALITEMALI.
Sebab itulah, sore ini, Langge mendatangi rumah Ebiet untuk mengajak gadis itu
pergi. Lagipula, sudah lama juga Ia tidak bertemu dengan ibunya Ebiet. Ia mengetuk
pintu beberapa kali, dan langsung dibukakan oleh sang nyonya rumah. Tanpa menundanunda
lagi, Langge segera menyapa beliau.

Assalamu’alaikum, Tante..."” sapanya.
"“Eh, Langge. Sudah lama tidak bertemu ya, Nak. Mari, mari, masuk,”" ujar beliau.
Inilah salah satu hal yang Langge sukai dari ibunya Ebiet. Begitu friendly dalam
menyikapi kehadirannya. Bahkan kadang-kadang Langge merasa bahwa Si Tante jauh
lebih ramah dan menyenangkan dibandingkan anaknya yang seringkali dingin dan ketus.
Dua kepribadian yang selalu saling mengisi. Ia menyalami dan mencium tangan ibunya
Ebiet tersebut, baru kemudian masuk ke dalam rumah.

"“Ehm, Tante, Langge mau ngajak Ebiet pergi. Boleh nggak?"” tanyanya.
“"Wah, mau ke mana? Buru-buru sekali?”"
“"Ke Rumah Talitemali, Tante. Panti asuhan, Langge mau ajak Ebiet bertemu
dengan adik-adik asuh Langge,”" tuturnya.

Terbersit di kepalanya saat-saat Ia masih duduk di kelas 1 SMA dan untuk
pertama kalinya ngapel ke rumah Ebiet. Pertama kali berkenalan dengan ibunya. Pertama
kali mencium pipinya. Huh...

"“Wow, I love kids,”" tambah sebuah suara. “"Hai!"” sapa Ebiet, yang sudah
berpakaian rapi. Rapi dalam arti kata siap untuk berpergian, bukannya fully dressed up.
Sore itu, Ebiet mengenakan kaus bermotif batik dan celana sate berbahan jins. Langge
tersenyum dengan dua alasan karenanya. Pertama, karena Ebiet cantik sekali
dandanannya hari itu, seperti sebelum-sebelumnya. Ebiet banget: nasionalis. Kedua,
karena Ebiet menyapanya, itu justru menjadi alasan sekunder.

“"Bu, aku boleh pergi ya?"” tukas Ebiet kemudian, setelah mencium pipi ibunya.
“"Ibu gak diajak?”" tanya sang ibu. Langge tertawa mendengarnya.
“"Boleh kok, Ibu emangnya mau ikut? Boleh kan, Ngge?"” Ebiet melirik ke arah
Langge yang sudah pasti mengiyakan.

"“Boleh dong, Tante. Ayo, Tante ikut aja yuk!"” Langge malah menyambut godaan
tersebut. Jika Ia tidak bisa pergi berjalan-jalan bertiga bersama Mama dan Ebiet
sekaligus, mungkin mengajak ibunya Ebiet bisa menjadi salah satu pilihan cerdas. Ia pasti
bisa tahu banyak tentang Ebiet melalui ibunya, dan kemungkinan memperoleh restu
untuk memacari Ebiet (lagi) tentunya lebih besar.

"“Ah, enggak deh, Ibu bercanda kok. Ibu mau ke rumah Eyang. Kalian hati-hati ya,
baik-baik ya di jalan,”" tukasnya. Langge dan Ebiet segera pamitan dengan sopan dan
santun, lalu berjalan ke dalam mobil Langge.
“
"Berangkat yuk! Kita mau ke mana sih? Kok ada anak-anaknya segala tadi? Aku
nggak dengar jelas...”" tanya Ebiet ketika sudah berada di dalam mobil Langge.
Sebenarnya, Langge prefer untuk pergi ke mana-mana menggunakan motor trail
kesayangannya, atau malah naik angkutan umum. Tapi, bersama Ebiet? Tidak mungkin
Ia mengajak cewek itu pergi naik motor di depan ibunya.
 
Langge masih menerawang ke saat-saat mereka masih bersama. Mengingat yang
dulu mereka pernah jalani berbarengan. Dengan Langge yang masih malas-malasan dan
berandalan, sementara Ebiet selalu menjadi siswi paling pintar di sekolah mereka.

Saat-saat di mana Langge begitu menikmati detik-detik membersihkan kacamata
Ebiet dengan kemejanya, atau saat-saat di mana Ebiet bercerita dengan bahasa sangat
tinggi, yang terkadang membuat Langge tidak mengerti, sekaligus membuat wawasan
dan pengetahuannya bertambah. Saat-saat di mana Ebiet bersikeras pulang sendiri dengan
bis kota, meskipun Langge berbaik hati ingin menemaninya, tapi ditolak mentah-mentah
oleh pacarnya. Saat-saat di mana mereka berdua pergi ke Gramedia, Ebiet di bagian
politik sementara Langge di bagian komik. Ebiet bahkan mendapat beasiswa untuk pergi
ke Singapura, yang membuat mereka harus berpisah.

Tapi, masih ada juga hal-hal yang sama seperti dulu. Ebiet yang sok kuat tetapi
sebenarnya begitu manja di hadapan Langge, mereka berdua yang sama-sama begitu
menyukai seni, Langge yang masih suka trespassing dan memotret, Langge yang masih
keras kepala, dan Ebiet yang selalu menerimanya apa adanya.

Seandainya waktu bisa berhenti, biarkan aku selalu berada di sebelahmu.
 
April 2004
Sakit hati Langge terhadap Ebiet masih belum usai, meskipun “bulan cinta” itu
sudah lewat dua bulan. Selama dua bulan tersebut, Langge tidak henti-hentinya
melancarkan '‘manuver’' pendekatan terhadap Ebiet. Salah satu usahanya adalah belajar di
depan mata Ebiet, mengikuti les bimbingan belajar yang diikuti Ebiet, klinik mata
pelajaran, loncat-loncat kegirangan ketika hasil ulangannya yang bagus dipampang di
majalah dinding, dan sebagainya. Langge benar-benar belajar segiat mungkin.

Dua bulan ini pula Langge harus menelan rasa pahit ditolak wanita. Ebiet, yang
seolah-olah tidak pernah mempedulikan dirinya.

Sore itu, Langge mengunjungi pameran fotografi yang diselenggarakan oleh Keke
Tumbuan di MES 56.

“You know me therefore I am”

Begitulah judul pamerannya. Langge melangkah dengan gontai, menjelajahi
setiap jengkal dinding ruangan yang dipenuhi foto. Beberapa foto memiliki kertas kosong
di bawahnya, di mana para pengunjung dapat memberikan komentar akan foto tersebut.
Pameran foto ini mengingatkan pengunjungnya akan fenomena situs Friendster yang
sedang meledak di kala itu, dengan menampilkan foto yang berusaha memancing
kalimat, “"lho, ini kan temen gue? Kok dia kenal ini juga?”" dan sebagainya.

Langge tidak begitu menikmati pameran, karena pikirannya melayang ke manamana.
Apalagi, ternyata hari pembukaannya adalah tanggal 3 April-—kemarin, padahal
Langge ingin sekali bertemu teman-teman sesama penikmat fotografinya di malam
pembukaan. Langge telat sehari.

Awalnya Langge ragu, sebenarnya hari pembukaannya kemarin atau hari ini.
Tetapi mengingat hari ini adalah tanggal 4 April 2004, yang berarti dapat ditulis 040404(kata orang, tanggal bagus9), pastinya Keke membuka pamerannya hari ini. Alasan yang
simpel sebenarnya. Namun, Langge salah mengira-ngira. Keke Tumbuan mungkin jauh
lebih idealis daripada Langge.

Di saat pikirannya sedang melayang itulah Ia dikejutkan oleh suara perempuan,
lagi.

"“STALKER!”" jerit perempuan itu.

Langge segera menengok ke arah suara yang mengucapkan kata berarti
‘penguntit’ itu.
“
"Are you talking to me, Little Miss Sunshine?”" tanya Langge. Beberapa detik
kemudian Ia sadar bahwa yang mengajaknya bicara tentu tidak dapat disebut Little Miss
Sunshine, melainkan seorang Ebiet. "“EEEEH? ENAK AJA LU NGATAIN GUE
STALKER?!"” Langge benar-benar tidak terima sampai-sampai ikut-ikutan menjerit juga,
meskipun bukan ‘jerit’ secara harfiah.

"“Ya lagian, tiap gue ngelihat ke suatu arah di sekolah, pasti ada lo. Sekarang? Ada
lo juga!”"

"“Eh, Non, mikir dong. Jangan memutarbalikkan fakta! Bisa aja lo yang ngikutin
gue tapi sok-sok gak tau! Sok-sok lugu! Apa-apaan tuh?"” balas Langge.

"“Well, the truth is, I’m not a stalker, and I’m annoyed with your presence,"” ucap
Ebiet, dingin. Seperti biasanya, dan Langge sudah sangat terbiasa diperlakukan seperti
itu, terutama oleh Ebiet.

"“While the truth is, you can’t always have what you want, and I love you. Why do
we meet here? It’s written by the stars..."
” Mendengar kalimat gombal dari Langge itu,
Ebiet segera membenarkan posisi kacamatanya yang tebal itu dan buang muka. Beranjak
pindah dari tempatnya berdiri, yang ternyata, tangannya keburu ditahan oleh Langge.

"“I love you. I really, really love you."” Langge meremas jemari Ebiet ketika
mengutarakan kalimat itu. Deg-degannya hilang sudah, Ia begitu lega, meskipun takut
ditolak. Bukan takut, tetapi Ia merasa yakin, akan ditolak oleh Ebiet. Bagaimanapun juga,
Ebiet memang jauh lebih pintar daripadanya. Ebiet juga sangat cantik. Langge kalah di
dalam segala hal kecuali dalam hal '‘memanjat'’ dan trespassing.

"“By the way, IQ gue 166 pas psikotes kemarin. Gue gak bego, for your info,”"
terang Langge lagi, berharap Ia akan mendapat nilai lebih di mata Ebiet. Ebiet menatap
mata Langge dalam-dalam.

"“I had never said I didn’t love you too.

Laki-laki itu menatap sekeliling. Indahnya kalimat itu disinari lampu yang
terpantul dari dinding ruangan yang juga berwarna jingga, warna yang paling Langge
sukai.

Sejak saat itu, Langge mati-matian memaksa Ebiet untuk menyebut bahwa 04-04-
04 merupakan tanggal “jadian” mereka berdua. Memang benar, setelah hari itu, Langge
dan Ebiet resmi berpacaran, meskipun Langge tidak meresmikannya. Langge hanya tahu
bahwa Ebiet menyayanginya, begitupun sebaliknya.

Begitu banyak hal yang kami lewati bersama, mungkin akan saya ceritakan. Ehm,
pasti akan saya ceritakan. Tapi, lain kali.
 
6 – Simple Moments

Juni 2006
Rumah Talitemali, 16:19
Sesampainya di Rumah Talitemali, Langge dengan bangga memperkenalkan
Ebiet di antara anak-anak Talitemali. Ia berkata pada Ebiet bahwa anak-anak itu adalah
adik-adiknya, sehingga Ebiet juga harus merasakan hal yang sama. Kepada anak-anak itu
pun Langge memperlakukan hal yang serupa. Mereka harus menganggap Ebiet seperti
mereka menganggap Langge. Kakak.

Beberapa saat kemudian, pandangannya lagi-lagi terkunci pada seorang anak yang
duduk di pojok ruangan, seperti biasanya, memainkan permainan kartu Solitaire
menggunakan kartu reminya.

"“Hai, Jingga,”" sapanya singkat, mengingat Jingga juga belum tentu menanggapi
sapaan tersebut.

Jingga menatap Langge sekali, kemudian menatap kartu yang sedang Ia mainkan
lagi. Sementara anak-anak yang lain selalu berusaha menarik perhatiannya dan Ebiet,
entah kenapa Langge justru selalu tertarik kepada Jingga, yang tidak pernah antusias akan
kedatangannya (selain fakta bahwa nama anak itu begitu Ia sukai).

"“Kamu belum kenalan sama kakak itu ya? Namanya Kakak Ebiet,"” terang
Langge, berusaha memulai obrolan ringan dengan anak itu. Jingga tidak menanggapi apaapa.
"“Itu pacarku, kakak kamu juga berarti."”

“"Bukan."” Hanya kata itu yang muncul dari mulut Jingga. Kakakku cuma satu.
Sekilas, Langge merasa Jingga mirip dengan Ebiet ketika pertama kali Langge ajak
kenalan. Dingin dan selalu ketus jika diajak bicara, tidak banyak omong dan sibuk
dengan urusannya sendiri. Tetapi, jika Langge berhasil berpacaran dengan gadis seperti
itu, kenapa Ia tidak bisa bersahabat dengan anak kecil yang setipe?

"“Kamu punya kakak?"” tanya Langge kemudian. Jingga tidak menjawabnya,
malah semakin sibuk dengan mainannya. Langge menghela nafas panjang. Butuh
kesabaran yang sangat banyak untuk menghadapinya, tapi saya tahu saya bisa.


Ia memilih bersabar dengan beranjak, menghampiri mantan kekasihnya. “"Ebiet
gimana? Suka di sini?”"

Ebiet tersenyum lebar, namun, manis sekali di mata Langge. Gadis itu hari ini
memakai kacamata yang sudah lama tak Ia pakai karena di Singapura Ia terbiasa
menggunakan contact lens (yang meskipun begitu Ebiet tetap saja tergolong di dalam
kubu “Asian Nerds”). Hal tersebut membuat Langge semakin bernostalgia dengan masamasa
awalnya di SMA. Masa-masa ketika Ia rajin bermain bola, futsal, maupun basket
dan pulang larut, sementara sekarang Ia lebih sering pulang tepat waktu demi tanggung
jawab. Alasan lain Ia melakukannya juga mungkin karena jam malamnya sekarang lebih
panjang daripada ketika baru lulus sekolah menengah pertama.

"“Seru! Adik-adiknya lucu-lucu banget. Ebiet senang."” Ebiet tersenyum, manis
sekali. Langge selalu menyukai senyum itu.

"“Mau pulang jam berapa? Habis ini mau ke mana?"” tanya Langge.

"“Hmh... Terserah Langge deh. Kemarin kan sudah ke Ragusa, sekarang terserah
kamu mau ke mana, Ebiet ikut... Ebiet nggak apa-apa kok pulang agak malam, kan
jarang-jarang Ebiet di Jakarta menemani Langge.”" Ebiet tersenyum lagi, lalu kemudian
kembali bermain dengan anak-anak yang antusias melihat kedatangan gadis itu.
 
Langge teringat akan salah satu janjinya. Ia menarik Ebiet keluar dari bangsal itu
menuju ke tengah-tengah Rumah Talitemali, di mana terdapat banyak perosotan dan
ayunan. Langge mempersilahkan Ebiet untuk duduk di salah satu ayunan, kemudian
mengayunkannya untuk Ebiet.

“"Ebiet, sebelum sama Mama Papa, Langge dibesarkannya di panti ini, makanya
Langge senang ada di sini, kayak di rumah sendiri. Mereka semua juga Langge anggap
adik sendiri, gue senang deh Ebiet juga bisa merasakan hal yang sama kayak Langge,”"
ujar Langge kepada Ebiet kemudian. Ia terus mengayun ayunan yang diduduki Ebiet
dengan pelan dan hati-hati.

Ebiet tersenyum mendengarnya.

“"Suasananya kekeluargaan sekali. Kadang-kadang Ebiet gak menemukan yang
kayak gini di rumah... Mungkin karena cuma berdua dengan Ibu.”"

"“Iya, Langge juga. Mama Papa gak seramah orang-orang di sini. Kalo Langge
jenuh di rumah, ya kabur aja ke sini."” Ia mengatakannya sambil membayangkan tentang
keluarganya di rumah. Ia teringat janji yang tadi.

Ia pun meraih tangan Ebiet dan diajaknya berlari, menuju seseorang yang ingin Ia
perkenalkan pada Ebiet.

"“Ibu!"” sapa Langge terhadap Ibu Minah. “"Kenalin, Bu, ini teman dekat Langge,
namanya Ebiet."” Sejenak kemudian, Langge menyesal telah menyebut ‘teman’ sementara
di dalam hatinya Ebiet lebih dari teman.

Ebiet tersenyum penuh hormat terhadap Ibu Minah, meskipun pada awalnya Ia
tidak tahu siapa wanita paruh baya itu.

"“Ini yang merawatku sebelum diangkat sama Mama Papa... Hehehe...”" terang
Langge, seolah-olah membaca pikiran Ebiet.

"“Nak Ebiet cantik sekali,"” komentar Ibu Minah. Yang dipuji hanya tersipu malu.

Ibu Minah tidak berhenti-berhenti menyerocos dan mengajak Ebiet mengobrol. Ia
berkata terang-terangan bahwa Langge sering sekali bercerita tentang Ebiet. Beliau juga
menceritakan kebiasaan-kebiasaan memalukan ketika Langge kecil, bahwa Langge
senang sekali mematikan radio ketika sedang marah, atau setiap jam 9 pagi Ia selalu
membuat mainan perahu dari kertas, sehingga dalam setahun, Langge selalu memiliki
365 buah perahu kertas. Ketika itu Langge memang belum bisa bicara, namun gerakgeriknya
sudah bisa menjelaskan hampir semua hal yang menyenangkan baginya.

* * *

Bubur Ayam Barito, 17:26
"“Ya ampun, Langge kelaperan ya? Makannya lahap banget. Lucu deh.”" Ebiet
belum mulai menyantap bubur ayam pesanannya, sementara Langge sudah menghabiskan
setengah mangkuk. Seluruh cheesestick yang disajikan di atasnya juga sudah Ia kunyah.
Ebiet pun mulai menyuap bubur ke dalam mulutnya.

Sepertinya Langge memang kelaparan, mengingat tenda Bubur Ayam Barito
letaknya memang sangat dekat dari Rumah Talitemali, hanya terpisah oleh factory outlet
Heritage. Langge tersenyum tipis dengan mulut yang kepenuhan bubur. Ekspresinya
sangat lucu, Ebiet sampai tertawa melihatnya.

Sebuah tawa yang begitu Langge rindukan.
 
Ia sejenak berhenti menyantap makanannya dan menatap mata Ebiet. Suasananya
memang begitu merakyat, tanpa ada gelap malam berbintang, yang ada hanya lembayung
langit yang berkali-kali Ebiet deskripsikan dengan kata '‘Langgeeee, serem banget yah
warna langitnya.'
’ Warna langit yang berubah-ubah, tidak konstan, tetapi seolah menyatu,
dihiasi awan altostratus.

Mereka juga tidak berada di pinggir pantai, tidak berada di tempat yang romantis.
Tapi bagi Langge, saat-saat seperti ini begitu menyenangkan (he thinks he cannot do
anything in a romantic way, by the way
). Saat-saat di mana Ebiet mentertawakan cara
makannya, saat-saat di mana Ebiet membersihkan mulut Langge yang celemotan, seperti
beberapa detik barusan. Hal itu menurutnya memang memalukan —kesannya dia cowok
yang sangat manja. Nyatanya, semua ini tetap saja menyenangkan baginya. Saat-saat di
mana semua hal yang dilakukan Ebiet menjadi seperti mesin waktu, membawanya ke
masa lalu.

Ia tersenyum sendiri saat itu. Hmmm, melankolis. Ebiet segera memperhatikan
raut wajah Langge yang boleh dibilang berubah menjadi... manis? Dan senyumnya yang
begitu... dreamy.

"“Ih, kok senyum-senyum?”" tukas Ebiet. Lamunan indah Langge terpecah.
“
"Hah? Enggak kok, senyam-senyum apa sih?!"” katanya panik, berhubung baru
ke-gap sedang bengong dengan “manis”. Sangaaat memalukan sebenarnya.

"“Yeee, marah. Berarti benar kan kamu senyum-senyum tadi! Kok sewot gitu sih?
Dasar Langge, gengsian melulu."”

"“Iya deeeeh, iya aku senyum-senyum! Puas?”"

"“Kenapa senyum-senyum coba?”"

"“Gak tau, lagi seneng aja...”"

"“Maksud kamu?” tanya Ebiet, tidak mengerti."

"“Ya senang karena menjalani saat-saat seperti ini sama si cewek yang takut air."
"Eh, aku masih takjub. Kamu benar-benar pertama kali ke Monas pas sama aku ya? Dua
tahun lalu, iya kan?"” Langge membuka topik, meskipun masih melankolis juga. Ah,
namanya juga nostalgia. Dari dulu Langge senang seperti ini, mengingat-ingat masa
lalunya, namun sendirian saja. Sekarang Ia memiliki teman untuk mengingat kenangan
yang sama. Bahkan, orang yang mengalami kejadian itu, yang juga Langge alami.

Ebiet tertawa lagi. “"Iya."”

* * *

Juni 2004
"“Duduk sini aja ya, Biet?"” pinta Langge, ketika menemukan sebuah bench
berukuran sedang -—pas untuk berdua!- —yang menghadap ke arah Monumen Nasional,
simbol Jakarta yang dibangun pada tahun 1961 sampai 1975. Mungkin bagi sebagian
kaum high class di Jakarta, Monas adalah tempat yang norak, dan terlalu merakyat,
apalagi di zaman serba modern ini. Tetapi, Langge tidak merasakan hal yang sama.
Menurutnya, di sana Ia bisa melihat Jakarta seutuhnya. Jakarta yang keras, tetapi
memiliki penduduk yang menikmatinya, bahkan dapat melupakan masalah mereka hanya
dengan berbaring di rumput, berlari di atasnya sambil menerbangkan layangan di siang
hari. Langge ingin sekali dapat merasakan hal yang sama.

"“Iya.”" Ebiet menurut, dan duduk di sebelah Langge. Ia menatap ke langit, lalu
kecewa karena hanya menemukan sedikit bintang. Mungkin karena hari baru selesai
petang. “"Yah, bintangnya cuma 2-3, Ngge,"” katanya dengan nada menyesal.
 
"“Kan langitnya belum gelap-gelap banget. Udah gitu, bintang itu sama aja kayak
kamu ngelihat sebuah lampu yang jauh dari tempat kamu berdiri. Kalo di sekitar kamu
ada lampu juga, lampu yang jauh itu gak kelihatan terang kan? Sama juga kayak bintang.
Lagipula, sekeliling kita kan udah terang banget, terang aja bintangnya kalah...”" jelas
Langge.

“"Itu sih aku juga tau, Ngge,"” protes Ebiet, karena tidak ingin dianggap bodoh oleh
Langge, apalagi Ia pernah dengan jahatnya berkata '‘gue gak mau pacaran sama orang
bego’'
. Ia berusaha melupakan kalimat barusan, mencari topik yang lain. “"Cahayanya
bagus ya? Dari Istiqlal, Katedral, lampu mobil yang berlalu-lalang...”"

Ebiet kerap kali merasa, Jakarta adalah satu kota multikultur yang indah,
meskipun hectic, seperti Singapura. Dari tata kota saja, Masjid Istiqlal dan Gereja
Katedral berada begitu dekat, berseberangan. Seolah-olah menjadi simbol bahwa Jakarta
menerima perbedaan suku, agama, ras dan adat. Berbeda dengan beberapa bagian lain di
Indonesia yang rusuh dan berperang antar saudara hanya karena agama.

"“... kamu.”" tambah Langge - cheesy.

Ebiet segera menengok ke arah pacarnya, antara kaget dan sedikit kesal. Mungkin
memang pada dasarnya cowok-cowok itu penggombal ya?

Langge tersenyum lebar.

"“Kalo aku gak di sini, kamu gak bisa lihat apa-apa dong? Kan gelap!"” kata Ebiet.

"“Lho, kan ada cahaya dari Istiqlal, Katedral dan lampu mobil kata kamu tadi. So,
no worries!"
” jawab Langge, merusak suasana. Ebiet cemberut mendengar jawaban
annoying itu. Untuk memperbaikinya, Langge menambahkan, “"Kenapa emangnya,
Biet?”"

"“Kan lusa aku tes beasiswa. Misalnya dapat beasiswanya, akhir bulan depan aku
udah nggak di sini,"” ujar Ebiet lagi, menatap Langge dengan serius.

Senyum laki-laki berusia 15 tahun itu pun memudar. Menghilang. Tetapi
kemudian, Ia berusaha untuk tersenyum lagi. Kendati sebenarnya Ia perlu berusaha
dengan susah payah untuk melakukannya.

"“And then, what? So what? You can live in Antartica if you want to, and I will still
love you
. Gue susul kalau perlu deh,"” tandasnya, tulus dari dalam hatinya. "“Eh, ini gak
bercanda loh. Asal gue punya duit sih, apa aja deh buat lo.”"

Ebiet menaikkan kakinya ke atas bangku tersebut. Memeluk kakinya dengan erat,
mengikuti angin yang kian lama semakin dingin, menusuk tubuhnya. “"Huh... Dingin
banget ya...." Padahal baru jam setengah delapan.”

Langge yang tadi sedang menikmati indahnya langit malam itu, menengok ke
arah Ebiet. Tersenyum lagi. Entah mengapa, semenjak mereka berdua berpacaran,
Langge tidak pernah bisa berhenti tersenyum, apapun yang menimpanya.

Ia sebenarnya merasakan sensasi dingin yang sama dengan yang dirasakan oleh
gadis yang di sebelahnya. Bedanya, daya tahan tubuhnya jauh lebih kuat, dibandingkan
Ebiet yang sepertinya begitu ringkih. Begitu harus Ia lindungi.

"“Iya, dingin." Dengan bego-nya, "I didn’t bring any jacket, sweater, those stuffs,
though I knew that tonight would have been more romantic if I took my sweater off and
put it on you. But since I didn’t bring it, while tonight is very cold and windy, you may
lean on me if you want to,"”
tukasnya, tulus.
 
Langge tidak berani menyentuh bagian tubuh manapun dari pacarnya, karena
sejauh yang Ia tahu, Ebiet orangnya independen dan impulsif. Ia bisa marah-marah
selama seminggu jika Langge salah bicara atau melakukan suatu kesalahan. Seperti
ketika mereka berdua pergi ke toko buku dan Langge menyarankan kepada Ebiet untuk
membeli buku “"Chicken Soup for The Teenage Soul”—atas" saran Fari. Ebiet malah
ngambek dan berkata, "“Emangnya aku sedepresi apa sih sampai butuh buku self-help?!"
”
Ia pun tidak berharap Ebiet mau memeluknya. Baginya, seperti ini saja sudah
cukup. Semua hal yang sebenarnya biasa saja, akan menjadi hal yang menakjubkan
apabila Ia alami dengan Ebiet.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Berlalu. Ia tetap berterima kasih kepada Tuhan
atas hal itu. Tidak ada kata-kata yang terucap, dan seperti sebelumnya, bagi Langge
semua itu sudah cukup membuatnya merasa... bahagia.

Tanpa Langge kira, Ebiet menarik tangan kiri Langge untuk Ia lingkarkan di
bahunya. Gadis itu menyenderkan kepalanya di dada Langge, memeluk tubuh Langge
dari samping. “"Dingin banget..."” katanya, sembari memejamkan matanya kuat-kuat.

Langge agak terkejut, namun dengan refleks Ia memeluk Ebiet, lebih erat
daripada dekapan Ebiet pada tubuhnya. Simpel alasannya, supaya Ebiet tidak kedinginan
lagi.

"“Kamu bilang aja kalo udah mau pulang. Karena kalo kamu tanya aku, aku sih
gak mau...”"

"“Ibu bilang, jam sembilan harus udah di rumah, kita kan pergi hampir seharian...”"
jawab Ebiet, merasa tenang dan nyaman di dalam pelukan Langge yang hangat.
“
"Oke!"
”
Mereka berdua membicarakan semua hal, semua topik yang mereka tahu. Dari
hal-hal yang tidak penting untuk dibicarakan, sekolah, bahkan masa depan. Impian
Langge yang ingin menjadi fotografer dan pergi keliling dunia. Impian Ebiet yang ingin
mewakili Indonesia berdiplomasi dengan banyak negara sambil tetap terus melukis.

Detik dan menit berlalu, tanpa terasa, sudah hampir jam setengah sembilan
malam. Dalam hitungan menit, mereka harus pulang.

Ebiet menatap jam arloji di tangan Langge yang sedang menggenggam
tangannya. "“Ngge, we have to go home soon. But I don’t want this to end...”"

Langge tidak melepas pandangannya dari puncak Monumen Nasional yang indah
sekali warnanya di malam hari. Warna emasnya disinari lampu-lampu sorot terkadang
seperti lebih terang dari bulan yang kecil, jauh dan pucat. “Me neither,” ujarnya.

"“What do we do now?”" tanya Ebiet lagi, dengan manjanya.

Langge akhirnya menatap gadis di sebelahnya, tersenyum lagi dengan gembira.
“
"Enjoy it. I love you, Ebiet.”"
 
7 – One Fun Day​

“PENGUMUMAN SPMB KAPAN, ANGGA?” TANYA PAPA.
Langge duduk di meja makan, di kursi yang memang biasanya Ia duduki entah
sejak kapan. Yaitu, di kursi yang berada di ujung meja. Papa duduk berhadapan dengan
adik pertamanya, Vane, di sebelah Mama yang duduk berhadapan dengan adik
bungsunya, Tare. Sementara Langge, tidak berhadapan dengan siapa-siapa.

Dari tahun ke tahun, posisi duduk di rumahnya memang selalu seperti itu. Tidak
pernah berubah. Langge kerap merasa bahwa posisi tersebut mungkin tidak jauh berbeda
dengan posisinya di mata kedua orangtua angkatnya, yang begitu Ia sayangi. Pernah
Langge mencoba untuk mengubah semuanya dengan duduk di tempat adik pertamanya
biasa duduk, atau di tempat Mama biasa duduk. Hal itu Ia lakukan tidak lain dan tidak
bukan adalah untuk mendekatkan dirinya dengan Papa, karena kadang-kadang hubungan
mereka masih saja kurang harmonis. Langge jarang bisa memandang Papa sebagai
ayahnya, Ia lebih sering menganggap beliau sebagai atasannya, seniornya, atau
semacamnya, karena perilaku Papa padanya yang juga tidak pernah berubah. Papa marah,
dan selalu marah jika posisi duduk itu berubah.

Langge berusaha mengingat-ingat kapan SPMB akan diumumkan. Jujur saja, Ia
benar-benar lupa pada saat ini, dan Ia memang selalu membenci tanggal-tanggal yang
harus diingat. Kebencian itu merupakan salah satu alasan utama mengapa Ia mati-matian
memaksa Ebiet untuk menganggap bahwa 4 April 2004 merupakan tanggal jadiannya
dengan Ebiet, karena angkanya gampang diingat. Itulah juga mengapa Ia lebih sering
memperkenalkan dirinya sebagai ‘Langge’, bukan nama aslinya—‘Erlangga’, supaya
jauh lebih gampang diingat. Biar tidak ada lagi yang harus bertanya, "“Uhhmmmm...
Erlangga yang mana ya? Gue punya 3 teman yang namanya Erlangga.”"

Langge terus saja berusaha mengingat-ingat. Namun, hasilnya nihil. Nol besar.

“"Nggak tahu, Pa. Sekitar akhir bulan ini,"” jawabnya, segan. Menurutnya, Papa
pasti memprotes jawaban tidak konkret tersebut.

"“Kamu niat kuliah nggak sih?"” tanya beliau. Aduh, Pa. Langge kan sudah pernah
bilang kalau Langge gak mau kuliah dulu. Apalagi di kedokteran!
Ia membohongi
dirinya lagi sekarang.

"“Niat kok, Pa. Iya, nanti Langge lihat jadwalnya lagi dan langsung lapor sama
Papa."” Mendengar jawaban Langge, beliau mengacuhkannya dan berbicara dengan anak-anaknya
yang lain.

"“Fian, bagaimana LDKS-nya kemarin?"” Papa berbicara pada Elfian, yang lebih
sering Langge panggil Vane—lagi-lagi agar gampang diingat. Namun, Papa tetap lebih
suka memanggilnya Fian, seperti beliau lebih senang memanggil nama Angga ketimbang
Langge.

Vane kemudian bercerita panjang lebar mengenati kegiatannya bersama
sekolahnya tempo hari, yaitu berkemah di Cibubur. Langge membatin dalam hati, betapa
zaman tidak pernah berubah. Selalu saja diadakan LDKS yang menurutnya tidak penting,
yang isinya hanya mengenai “kepemimpinan” yang ternyata berupa outbound, evaluasi,
ceramah sampai nangis-nangis a la ESQ, atau malah minta tandatangan senior lagi seperti
waktu masa orientasi. Langge memang tidak pernah menyukai hal-hal serupa.
 
Selesainya Vane bercerita, Langge angkat bicara lagi. “"Mama, Papa, Langge
kan ada rencana menggelar pameran foto. Langge mau beli kamera LOMO, kamera
manual yang tanpa diedit bisa menghasilkan foto yang pop-art, lebih ekspresif karena
warnanya bagus. Nggak sampai sejuta kok, lagian kan sebentar lagi Langge ulang tahun,
boleh nggak—”?"

Belum selesai Ia berbicara dan menjelaskan fitur kamera yang Ia idam-idamkan
tersebut, Papa keburu memotong kalimatnya seraya menggelengkan kepalanya dengan
tegas.

"“Kamu beli saja sendiri ya, Angga.”"

Langge benar-benar ingin menggerutu mendengarnya. Tare yang baru kelas 5 SD
bahkan dibelikan ponsel canggih berkamera 3.2 megapiksel! Langge tidak pernah
meminta hal yang tidak benar-benar Ia butuhkan, tetapi tidak pernah diberi juga oleh
ayahnya.

Ia menahan keinginannya tersebut, supaya tidak kena marah lagi. Selalu saja Ia
salah bertindak di depan ayahnya.

Dermaga, 16:52​
“"Sudah Juli aja ya? Gak berasa. Tiga minggu lagi Ebiet pulang..."” kata Ebiet,
sambil menatap ke arah hamparan samudera luas. Bukan pulang, Biet. Kamu pergi,
koreksi Langge dalam hati. Langge yang tadi masih sibuk dengan kameranya, segera
menengok ke arah Ebiet.

Sore yang cerah itu mereka habiskan di dermaga, di pinggir pantai di Ancol.
Mereka berdua baru selesai berjalan-jalan di pasar seni, melihat lukisan-lukisan yang
menurut Ebiet sangat menarik. Maklum, di Singapura, Ia jarang pergi-pergi melihat
pameran lukisan. Bahkan boleh dibilang tidak pernah.

Tadi pagi, Langge menjemput Ebiet dengan mobilnya dan segera membawa gadis
itu ke daerah Jakarta Utara, untuk mencoba segala wahana yang ada di Dunia Fantasi
(Dufan). Berhubung (ternyata) hari itu tiket terusan masuk ke Dufan diskon 50% (which
means
untuk 2 orang hanya perlu bayar 1 tiket), Dufan begitu ramai. Mereka berdua lebih
banyak memperhatikan pemandangan sambil mengobrol, atau hanya menikmati
kesunyian yang mereka ciptakan di dalam keramaian.

Apalagi karena acrophobianya, tidak banyak wahana yang berani Ebiet naiki.

Dunia Fantasi, 13:20
“"Masa gak mau naik Halilintar sih?"” tanya Langge. Ebiet menggeleng dengan
ekspresi kekanak-kanakannya. "“Uhm... Rajawali juga nggak mau?"” Ebiet menggeleng
lagi. “"Itu yang gajah-gajahan?" Langge gak tau namanya.” Tanggapan Ebiet masih sama.
Begitu juga dengan wahana lainnya yang memacu adrenalin, maupun yang ada
hubungannya dengan ketinggian. “"GILAAA! Kalo semuanya gak mau, buat apa kita ke
Dufan?!"” kata Langge sewot.

"“Serem tau, kan bahaya. Indonesia kan belum tentu seaman di luar negeri,”"
tanggap Ebiet, simpel.
 
"“Kamu nih kebanyakan tinggal di Singapore, tau nggak? Niagara-gara sama
Arung Jeram mau yah?"” pinta Langge, memohon. Karena jika tidak, mereka berdua tidakakan menaiki wahana apapun di sini selain main bom bom car, simulator, Perang Bintangdan menonton Balada Kera.

Akhirnya Ebiet mengangguk. Seperti biasanya, dua wahana tersebut tentu saja
ramai pengunjung. Jadi kira-kira setengah jam mereka mengantri untuk wahana Niagaragara
saja. Sampai ketika tiba giliran Ebiet dan Langge, sejenak Ebiet menolak naik
karena takut melihat ketinggian slide yang akan Ia lewati nanti. Tetapi, Langge matimatian
membujuk Ebiet sampai akhirnya gadis itu setuju.

Tempat yang kosong hanya dua kursi di belakang, tiga kursi yang di depan sudah
diisi oleh pengunjung yang lain. Awalnya Langge meminta Ebiet yang duduk di
depannya, tetapi Ebiet justru mati-matian menolak dan memohon balik.

"“Langgeeee, Ebiet takut..."” ujarnya sambil memegang bahu laki-laki yang duduk
di depannya. Yang dipanggil hanya tertawa renyah mendengarnya.

"“Gak apa-apa, kan ada Langge. Kalo kenapa-kenapa, peluk Langge aja, hehe...”"
Langge tersenyum menggoda. Ebiet cemberut. Ia diam sepanjang perjalanan menuju ‘air
terjun’. Ketika tanjakan, jadilah Ebiet kembali histeris karena ketakutannya yang
berlebihan akan ketinggian.

"“Langgeeee, turun yuk, Ebiet gak jadi mau naik ini...”" Ebiet berujar dengan nada
sangat memohon. "“Please, please, please! Turun aja, berhentiin perahunya, ayo dong.
Kita turun! Turun!”" jeritnya ketakutan.

"“Lho, loncat dari sini maksud Ebiet? Enggak ah, Langge belum sempat ngelamar
Ebiet. Nanti-nanti aja kalo mau loncat dari sini, kalo kita udah punya anak-cucu yah...”"
Watcher memberi peringatan dari mikrofon bahwa penumpang tidak boleh menunduk
dan harus berpegangan.

Ebiet semakin deg-degan mendengarnya. Ia meremas bahu Langge yang sejak
tadi tidak Ia lepas dari pegangannya.

"“Yuk, Biet. Satu, dua, ti..."” Kendaraan yang membawa mereka berdua menuruni
air terjun yang dimaksud. Ebiet menjerit ketakutan saat itu. Namun, ternyata ada perasaan
lain yang berdesir di hatinya setelah berhasil melewati turunan itu dengan basah kuyup.
Perasaan lega.

Dermaga, 16:53
“"Mau naik Niagara-gara lagi nggak kapan-kapan?"” tanya Langge iseng. Kalau
Ebiet mau, berarti ada kesempatan untuk meledek gadis impulsif itu. Sementara jika
sebaliknya, tentunya ada kesempatan yang lebih banyak untuk melakukannya.

"“Hmmm, mau deh. Seru ya tadi?”"
“"Yup. Kok Ebiet masih histeris aja sih? Ebiet ketakutan sama banyak hal ya?
Setelah dipikir-pikir, uhm... Ketinggian, danau, kecepatan, boneka, apa lagi ya tadi? Pake
vertigo pula pas di Rumah Miring, aneh-aneh amat sih kamu?"” Langge tersenyum setelah
mengucapkannya.

Terkadang Ia merasa, Ebiet jauh lebih dewasa darinya, tetapi tidak jarang Ia
menganggap Ebiet adalah seorang anak kecil yang sebatang kara, dan Langge-lah yang
harus menemaninya. Melindunginya dari segala hal yang Ia takutkan.

"“Ya kan bukan maunya Ebiet kayak gitu. Lagian Ebiet pemberani kok!”"
protesnya, tidak terima dibilang penakut oleh Langge.

"“Iya, iya, Ebiet pemberani...” "Ia mengacak-acak rambut Ebiet yang lembut itu.
 
Klik! Klik! Klik! Kamera Langge mulai beraksi lagi. Memotret banyak panorama
indah di hadapannya. Entah suasana pantai, hamparan samudera, duck-cycles, atau justru
seorang gadis yang menemaninya pergi ke sini.

"“Eh, Ngge,"” panggil Ebiet sambil sesekali berpose untuk kamera Langge. Pose,
dalam arti kata, senyum tipis tapi manis. Ia tidak pernah berpose dengan gaya lain.

“"Hmmm?"” gumam Langge seadanya.

“"Kenapa sih Langge suka banget sama warna jingga? Jakmania ya?”"

Langge berhenti memotret, sementara Ebiet tertawa terbahak-bahak, puas sekali.

"“Kenapa ya? Banyak... Awalnya sih ya suka aja. Jingga itu warna yang familiar
sama hidup semua orang kali, terutama orang Indonesia. Warna kereta api ekonomi,
warna tempat sampah, bola basket, warna seragam tim SAR, warna langit sore...
Lagian, kata “'jingga'” bagus aja menurutku, gak seperti “oranye”. Emang kenapa tiba-tiba
nanya?"” tukas Langge, tidak marah sama sekali meskipun Ebiet mengejek warna
favoritnya.

"“Abiiis... Barang-barang kamu banyak banget yang warnanya jingga. Dulu tali
sepatu, tas ransel, dompet, rubber band, apa lagi tuh. Banyak banget deh... Kirain nama
kamu Jingga beneran,"” jawab Ebiet, dengan nada bahwa Ia clueless.

"“Namaku Jingga beneran? Emangnya kamu dengar gosip kayak gitu dari mana
sih?"” Langge dibuat Ebiet semakin bingung.

"“Dari... Vena.”"

“"Vena?”"

“"Iya, teman SMA kita dulu yang anak cheers. Katanya, nama kamu tuh Jingga,”"

Ebiet bercerita dengan begitu sederhana dan polos. Langge terbelalak mendengarnya.
Jelas-jelas Vena mengenalnya dengan baik, apalagi jadwal latihan cheerleaders SMAnya
barengan dengan jadwal latihan tim bola sekolah, sehingga mereka cukup sering
bertemu. Seandainya Ia masih duduk di kelas 3 SMA, bisa-bisa Vena sudah Ia marahi
habis-habisan. Maksud Vena apa ya? Ngerjain gue apa Ebiet?

"“Kok Vena tiba-tiba ngomongin aku ke kamu?"” Langge mengernyitkan dahinya,
bingung.

Ebiet tersenyum lebar. “I asked her about you

"“WHAT?! So you DID want to know my name too!!!”" pekik Langge, kesal. Kalau
memang sebenarnya begitu, mengapa dulu Ebiet terlalu sok jual mahal kepadanya? Yang
diteriaki hanya diam dan memalingkan pandangan ke hamparan samudera yang peaceful.
Dalam hati, Langge senang begitu mengetahui bahwa dari dulu Ebiet juga sudah
jatuh cinta padanya, jauh sebelum kejadian di MES56 maupun Tragedi Panjat Pagar
mereka.

* * *​

Everyday that I spent with her are the best days of my life.
Langge memasukkan amplop cokelat itu ke dalam bis surat yang Ia lewati.
Amplop itu berisi lamaran magang dan curriculum vitae-nya untuk pemegang lisensi
Starbucks Coffee di Indonesia. Hal itu merupakan salah satu di dalam daftar impiannya,
magang sebagai barista sambil menunggu bangku kuliah. Kira kira dua minggu lagi Ebiet pergi ke Singapura, meneruskan sisa beasiswanya yang tinggal setahun lagi. Langge
membayangkan betapa membosankannya hidupnya nanti tanpa Ebiet.
 
Back
Top