Malang nian nasib Indonesia. Pengamat ekonomi Iman Sugema menggambarkan Indonesia ibarat tikus mati di lumbung padi. Perumpamaan itu diambilnya melihat kondisi krisis energi yang dialami Indonesia.
Padahal, dalam hitungannya, melihat produksi minyak dan gas dalam negeri, seharusnya tak ada krisis yang dialami. Persoalan utamanya, menurut Iman, adanya inefisiensi dalam tata niaga migas tanah air.
"Indonesia itu mengalami surplus energi. Kalaupun digunakan untuk kepentingan domestik dan ekspor, kita tidak harus mengalami krisis energi seperti sekarang. Sangat tidak masuk akal kalau PLN mengatakan ada kekurangan pasokan energi. Jadi, kita itu ibarat tikus mati di lumbung padi. Produksi surplus tapi krisis. Ini menunjukkan kusutnya pengelolaan migas," kata Iman, dalam diskusi di Kantor Indonesia Bangkit, Jakarta, Minggu (6/7).
Catatan tahun 2005 yang dikumpulkan ekonom dari Tim Indonesia Bangkit menunjukkan, Pertamina melakukan ekspor minyak mentah sebanyak 35.000 barrel perhari dan BP Migas melakukan eskpor yang sama sejumlah 34.000 barrel per hari. Padahal, Pertamina dan BP Migas dinilai belum perlu melakukan ekspor minyak mentah. Sebaiknya, dialihkan untuk memenuhi kebutuhan refinery dalam negeri.
Oleh karena itu, ujar Iman, hak angket BBM yang saat ini digadang DPR harus dijadikan kesempatan untuk melakukan reformasi total di sektor energi. Beberapa poin yang disampaikannya, pertama, melakukan reorientasi supply management (manajemen pasokan).
"Maksudnya, kita sekarang ini mengonsumsi energi yang mahal. Kita impor 300.000 barrel per hari. Tapi, kita menjual energi yang murah dan bagus ke China, yaitu gas dengan harga 1/6 harga gas dunia. Ini bentuk penyimpangan. Reorientasi supply domestik bisa dilakukan dengan mengalihkan konsumsi dari minyak ke gas dan batubara yang jauh lebih murah," kata Iman.
Kedua, katanya, hak angket memberikan peluang besar untuk melakukan investigasi segala macam bentuk penyelewengan di sektor migas.
Padahal, dalam hitungannya, melihat produksi minyak dan gas dalam negeri, seharusnya tak ada krisis yang dialami. Persoalan utamanya, menurut Iman, adanya inefisiensi dalam tata niaga migas tanah air.
"Indonesia itu mengalami surplus energi. Kalaupun digunakan untuk kepentingan domestik dan ekspor, kita tidak harus mengalami krisis energi seperti sekarang. Sangat tidak masuk akal kalau PLN mengatakan ada kekurangan pasokan energi. Jadi, kita itu ibarat tikus mati di lumbung padi. Produksi surplus tapi krisis. Ini menunjukkan kusutnya pengelolaan migas," kata Iman, dalam diskusi di Kantor Indonesia Bangkit, Jakarta, Minggu (6/7).
Catatan tahun 2005 yang dikumpulkan ekonom dari Tim Indonesia Bangkit menunjukkan, Pertamina melakukan ekspor minyak mentah sebanyak 35.000 barrel perhari dan BP Migas melakukan eskpor yang sama sejumlah 34.000 barrel per hari. Padahal, Pertamina dan BP Migas dinilai belum perlu melakukan ekspor minyak mentah. Sebaiknya, dialihkan untuk memenuhi kebutuhan refinery dalam negeri.
Oleh karena itu, ujar Iman, hak angket BBM yang saat ini digadang DPR harus dijadikan kesempatan untuk melakukan reformasi total di sektor energi. Beberapa poin yang disampaikannya, pertama, melakukan reorientasi supply management (manajemen pasokan).
"Maksudnya, kita sekarang ini mengonsumsi energi yang mahal. Kita impor 300.000 barrel per hari. Tapi, kita menjual energi yang murah dan bagus ke China, yaitu gas dengan harga 1/6 harga gas dunia. Ini bentuk penyimpangan. Reorientasi supply domestik bisa dilakukan dengan mengalihkan konsumsi dari minyak ke gas dan batubara yang jauh lebih murah," kata Iman.
Kedua, katanya, hak angket memberikan peluang besar untuk melakukan investigasi segala macam bentuk penyelewengan di sektor migas.