Polisi Harus Bersikap Adil ! Kapan Akkbb Diperiksa ?

sibin

New member
PKS : POLISI HARUS BERSIKAP ADIL ! KAPAN AKKBB DIPERIKSA ?

Ditulis Oleh : Redaksi
Jakarta,Polisi juga harus mengusut tuntas terkait dugaan aksi tanpa izin, penggunaan senjata api, dan pernyataan-pernyataan penghinaan yang dilakukan AKKBB." Penangkapan sudah tidak benar, kalau tidak terlibat kenapa ditangkap," Bagaimana Pak Polisi ?

Aparat kepolisian diingatkan agar tidak terlena dengan penangkapan sejumlah anggota Front Pembela Islam (FPI). Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) juga harus diperiksa.

"Kepolisian jangan hanya fokus kepada penyelidikan dan penangkapan Laskar Pembela Islam dan FPI, tapi juga memeriksa pihak AKKBB," kata Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddik dalam pesan singkatnya kepada okezone, Rabu (4/6/2008).

Mahfudz berharap penyelesaian hukum kasus Monas dilakukan secara adil dan objektif terhadap FPI dan AKKBB. Polisi juga harus mengusut tuntas terkait dugaan aksi tanpa izin, penggunaan senjata api, dan pernyataan-pernyataan penghinaan yang dilakukan AKKBB.

"Jika proses hukum dilakukan sepihak, dikhawatirkan justru memicu kemarahan balik yang lebih serius," tukasnya.

Sementara itu, DPP PKS mengimbau pimpinan-pimpinan ormas dan parpol Islam untuk mengambil inisiatif guna mendamaikan suasana. DPP PKS juga menyerukan agar semua pihak tidak bereaksi dalam bentuk kekerasan terhadap FPI. "Karena hal ini akan memicu konflik yang lebih luas yang korbannya adalah masyarakat," imbuhnya.

Sementara itu Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lainnya , Soeripto menyayangkan aksi pengkapan yang dilakukan aparat polisi gabungan Mabes Polri dan Polda Metro Jaya terhadap 57 anggota Front Pembela Islam (FPI).

"Penangkapan sudah tidak benar, kalau tidak terlibat kenapa ditangkap," ujar Soeripto saat berbincang dengan okezone.com, Rabu (4/6/2008).

Menurutnya, penangkapan dilakukan terhadap oknum yang bertanggungjawan atas aksi kekerasan di Monas. Penangkapan kali ini, dinilainya tidak tepat sasaran.

"Penangkapan jangan di sapu bersih, tapi betul-betul oknum yang melakukan kekerasan," ungkapnya.

Lebih lanjut, dirinya meminta, aparat bisa bersikap lebih prosesional dalam mengusut kasus ini. Sebab, sejauh ini penangkapan dilakukan secara brutal.

"Seharusnya diusut secara profesional, siapa yang memerintahkan melakukan aksi yang ditangkap. Kalau Habib Rizieq yang memerintah, yang ditangkap dia jangan main comot saja," tegasnya.

Bahkan, dirinya menilai, Intelijen belum bekerja secara profesional dalam memetakan oknum yang harus ditangkap dan oknum yang tidak terlibat.

Sedangkan Rudi Satrio, pengamat hukum dari Universitas Indonesia (UI), saat dihubungi detikcom, mengakui jika Polisi melakukan penangkapan, karena terpengaruh opini publik yang menyudutkan.

"Seperti yang kita lihat, selama ini media sangat menyudutkan FPI. Sosok FPI dinilai paling bersalah, padahal ada orang lain (AKKBB) yang juga melakukan pelanggaran hukum," kata Rudi

Akibatnya, kata Rudi, polisi melakukan penangkapan bukan didasarkan pada penegakan hukum yang ada. "Polisi terobsesi dengan opini yang telah terbangun. Bukan kebijakan yang harus dilakukan suatu lembaga," tambah Rudi.

Sebab, dalam pandangan Rudi, massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) saat berunjuk rasa di Monas dinilai memprovokasi massa FPI. Seharusnya, AKKBB bisa dimintai pertanggungjawaban oleh aparat kepolisian.

Rudi menilai, AKKBB sengaja untuk tidak memahami situasi yang ada. AKKBB juga sengaja memancing dan memprovokasi massa FPI di tengah berbagai penolakan yang cukup deras terhadap Ahmadiyah.

"Mereka (AKKBB) juga memancing masalah. Ini yang harus menjadi diperhatikan aparat penegak hukum," kata Rudi.

okezone.com
 
Provokasi, Sekali Lagi Provokasi! [1]

Selasa, 10 Juni 2008

Presiden menanggapi peristiwa Monas seakan kudeta. Kedubes AS pun melibatkan diri. Padahal itu tawuran biasa yang selalu terjadi di Indonesia. Ada apa? SKB sudah terbit. Tapi peristiwa ini adalah ?pelajaran!?

Oleh: Amran Nasution *

Hidayatullah.com--Kiranjit Ahluwalia memang membunuh Deepak. Suatu malam di bulan Mei 1989, ketika sang suami tidur lelap ia siram kedua kakinya dengan bensin, ia sulut dengan korek api. Lima hari kemudian, Deepak menghembuskan napas terakhir di rumah sakit. Wanita beranak dua itu pun ditangkap polisi.

Pada mulanya peristiwa di Southall, pinggiran barat London ini, dianggap pembunuhan biasa. Pengadilan memvonis wanita asal Punjab, India, yang berimigrasi ke Inggris itu, dengan hukuman seumur hidup. Tapi guru bahasa Inggrisnya di penjara melaporkan kasusnya kepada seorang pengacara berpengaruh.

Dari sini cerita menjadi seru. Terutama setelah kelompok pembela hak perempuan Asia dan kulit hitam, Southall Black Sisters, aktif berdemonstrasi membela Kiranjit agar dibebaskan dari penjara. Pers berebut meliputnya, para ahli hukum memperdebatkannya, para kolumnis menganalisanya.

Ternyata Kiranjit adalah kisah wanita Timur yang tabah, mengabdi kepada suami, menjaga martabat keluarga, tapi provokasi demi provokasi dari Deepak berujung pembunuhan.

Deepak pecandu alkohol berat, punya hobi menyiksa istri. Kalau sudah marah apa yang ada di tangannya ia pukulkan, dan itu sering terjadi di depan mata dua anak mereka yang masih kecil. Ke mana pun Kiranjit lari, ia kejar sampai dapat dan babak-belur.

Itulah yang terjadi di malam nahas. Setelah puas menyiksa istrinya Deepak tertidur dalam mabuk beratnya. Ketika itu Kiranjit berpikir, baik kalau kaki Deepak ia bakar agar tak mampu lagi mengejarnya. Dengan demikian ia bisa lepas dari siksaan. Maka wanita yang sehari-hari bekerja menyortir surat di sebuah kantor pos, membakar kaki suaminya.

Pengadilan banding pada 1992, memvonis bebas Kiranjit yang telah tiga tahun mendekam di penjara. Hakim berpendapat ia memang tak berniat membunuh. Kata Kiranjit di depan sidang, ??Saya tak pernah berencana membunuhnya. Saya hanya ingin ia berhenti menyakiti saya.??

Menurut hakim, peristiwa terjadi karena Kiranjit menderita depresi berat akibat perlakuan Deepak. Vonis ini kemudian seperti ditulis The Guardian, 4 April 2007, menjadi preseden sejarah hukum di Inggris. Tahun lalu, sutradara asal India di London, Jag Mundhra, mengangkat tragedi ini ke dalam film berjudul: Provoked: A True Story (Provokasi: Sebuah Kisah Nyata).

Bila diamati peristiwa Monas (Monumen Nasional), Minggu, 1 Juni 2008, kelompok Front Pembela Islam (FPI) adalah Kiranjit: pihak yang melakukan tindakan melawan hukum akibat tak tahan menghadapi provokasi demi provokasi para tokoh liberal yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).

Kelompok-kelompok Islam ini ? termasuk MUI ? sudah lama menjadi bulan-bulanan pemberitaan media massa yang lebih berpihak kepada kelompok liberal dan isu-isu yang mereka bawa. Mulai kasus RUU Pornografi dan Pornoaksi, berbagai aliran sesat, dan terakhir Ahmadiah.

Adnan Buyung Nasution, misalnya, seenaknya bilang MUI supaya dibubarkan karena mengeluarkan fatwa Ahmadiah. Penasehat Presiden itu mengejek-ejek salah seorang tokoh MUI yang tak lain koleganya sesama penasehat Presiden. Padahal dalam pandangan kelompok Islam ini, MUI harus dihormati karena merupakan kumpulan para ulama. Buyung beberapa kali menantang-nantang mereka dengan sangat emosional.

Tulisan para aktivis liberal di koran, majalah, atau wawancara di televisi, selalu menyerang atau mengejek-ejek mereka atau sesuatu yang mereka yakini dan muliakan. Di dalam selebaran untuk mengerahkan pendukungnya ke Monas, 1 Juni 2008, AKKBB menuduh kelompok anti --Ahmadiah adalah anti-- UUD dan Pancasila serta persatuan nasional. Mereka akan memaksakan rencana mendirikan negara Islam, mengganti dasar negara.

Di bawah pernyataan tercantum 289 nama, sejumlah di antaranya tokoh terkenal. Mulai Gus Dur, Goenawan Mohamad, Adnan Buyung Nasution, Marsilam Simanjuntak, Asmara Nababan, Rahman Tolong, Ulil Abshar Abdala, sampai Syafii Maarif dan Amien Rais. Selebaran dimuat di koran sebagai iklan, selain tersebar ke mana-mana. Itu amat meresahkan FPI, FUI, dan lainnya yang sejak lama berpendapat Ahmadiah harus dilarang karena mencederai Islam. Sebagaimana Kiranjit mereka tampaknya terus diprovokasi.

Amat wajar polisi berusaha agar massa kelompok FPI dan AKKBB tak bertemu ketika 1 Juni 2008, keduanya melakukan demonstrasi. Kenyataannya kelompok AKKBB tak peduli. Mereka seakan ingin berhadapan dengan kelompok FPI.

Kedutaan Besar Amerika

Siang itu di depan Istana Merdeka, massa Hizbut Thahrir Indonesia (HTI), FPI, MMI, dan FUI, melakukan demo anti-kenaikan harga BBM. Dari arah Hotel Indonesia muncul massa AKKBB yang berdemo menentang pelarangan Ahmadiyah. Dari pengeras suara di atas mobil terdengar suara mengejek FPI sebagai ??laskar kapir??, ??laskar setan??.

Provokasi itu menyebabkan kelompok massa FPI yang dipimpin Munarman kehilangan kesabaran. Meski salah seorang dari massa AKKBB mengeluarkan pistol dan menembakkannya ke atas sampai empat kali, tak ada gunanya. Saat itu pistol lebih berfungsi sebagai alat provokasi daripada pencegahan. Terjadilah insiden. Sejumlah massa AKKBB terluka, beberapa sempat dirawat di rumah sakit.

Bentrokan sesungguhnya kecil saja. Setidaknya lebih kecil dibanding banyak kerusuhan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Di Ternate, Maluku Utara, misalnya, sejumlah rumah dibakar. Sebelumnya, dalam pemilihan Bupati Tuban, Jawa Timur, bukan cuma rumah, pendopo bupati, kantor KPU, kantor partai, mobil dan beberapa properti lain dibakar. Apalagi kalau dibandingkan dengan kerusuhan Ambon, Poso, atau pembantaian orang Madura di Kalimantan.

Tapi kali ini hiruk-pikuknya bukan kepalang. Koran, radio, dan televisi menjadikannya berita utama dengan tema menyerang kelompok FPI. Ormas itu harus dibubarkan karena merupakan organisasi kekerasan.

Saking bersemangat, koran TEMPO memuat mencolok foto Munarman mencekik seseorang yang disebutnya anggota AKKBB, tanpa pengecekan. Ternyata Munarman sedang berusaha mencegah anggotanya sendiri berbuat anarkis. Berita foto itu sangat menjatuhkan Munarman dan tampaknya akan menjadi kasus hukum.

bersambung...
 
Demonstrasi menuntut pembubaran FPI pecah di pelbagai daerah terutama di Jawa Timur, basis Gus Dur. Berbagai tindak kekerasan diterima FPI daerah. Malah di Banyuwangi, mucikari dan pelacur turut berpartisipasi mendemo FPI. :wataw:

Seakan negara dalam keadaan darurat, Presiden SBY tampil menyampaikan pernyataan resmi dari Istana. ??Negara tak boleh kalah oleh kekerasan,?? katanya. Gaya penampilan Presiden, mimiknya, tekanan kalimatnya, menggambarkan seakan FPI dan kelompoknya telah melakukan kudeta. Gaya Presiden yang berlebihan itu tambah memojokkan FPI.

Padahal kalau bentrok begitu saja harus ditanggapi Presiden langsung, setiap hari ia harus tampil. Ikutilah radio atau televisi, hampir setiap hari ada bentrok massa. Penyebabnya macam-macam, mulai Pilkada, demonstrasi BBM, tawuran antar-kampus atau antar-sekolah, tawuran antar-geng motor, rebutan lahan parkir, sampai sengketa tapal batas desa. Penyerbuan polisi ke Universitas Nasional, sebelumnya jauh lebih keras dari peristiwa Monas. Tapi Presiden diam saja. :hmmm:

Yang jelas bentrokan Monas menguntungkan pemerintah. Soalnya, FPI, Hizbut Thahrir Indonesia (HTI), dan ormas Islam lainnya, merencanakan demonstrasi besar-besaran anti-kenaikan harga BBM mulai 6 Juni 2007. Demonstrasi itu akan diteruskan dengan gerakan mogok massal nasional. Berbagai persiapan sudah dilakukan.

Ketika polisi menggerebek kantor FPI ditemukan segepok selebaran berjudul, ??Lumat SBY-YK??. Lumat singkatan lima tuntutan ummat: batalkan kenaikan harga BBM, turunkan harga sembako, nasionalisasi aset negara yang dikuasai asing, bubarkan dan nyatakan Ahmadiyah sebagai organisasi terlarang, dan usir NAMRU-2 dari Indonesia serta bersihkan kabinet dari antek Amerika Serikat.

Melihat tema yang mereka usung, gerakan itu akan merepotkan pemerintah sekalian menyulut gerakan anti-Amerika di Indonesia. Aksi itu rupanya harus dicegat jangan sampai terjadi maka meletuslah peristiwa Monas.

Lihatlah aktivitas Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat di Jakarta. John Heffern, Kuasa Usahanya, sibuk mengunjungi korban dari AKKBB di Rumah Sakit Gatot Subroto. Keesokan hari, Kedubes mengirimkan pernyataan resmi ke media massa mengutuk aksi kekerasan Monas. Belum cukup. Pernyataan itu mengajari Pemerintah Indonesia :ktawain: agar menjunjung kebebasan beragama bagi warganya sesuai UUD. Itu jelas intervensi urusan dalam negeri Indonesia.

Bagaimana mungkin orang-orang Kedubes itu masih punya keberanian moral mengutuk kekerasan Monas, sementara negaranya adalah imperium kekerasan yang sudah membunuh 1 juta manusia di Iraq. Menangkap, menahan, dan menyiksa ratusan orang di Guantanamo, tanpa mengadilinya lalu diam-diam melepaskannya.

Pantas Naomi Wolf, aktivis dan kolumnis dari New York, penulis buku laris The Beauty Myth, menuduh negeri itu sedang menuju pemerintahan fasis (fascist shiff). Riset yang dilakukan wanita ini menemukan seluruh ciri-ciri pemerintahan Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, dan Augusto Pinochet di Chili, ada pada pemerintahan Bush.

Bagaimana mereka mengajari kebebasan beragama di Indonesia, padahal banyak pendeta dan pengikut Mormon mendekam di penjara Amerika karena melakukan poligami sesuai ajaran agama yang mereka yakini. Apa beda mereka dengan Ahmadiah? Pendeta David Koresh dan puluhan pengikutnya diledakkan polisi federal FBI sampai terbakar berkeping-keping karena mendirikan sekte Kristen sendiri. Masih ada cerita lain yang mengerikan seperti itu.

Di Guantanamo, Al-Quran mereka cemplungkan ke dalam WC ? seakan hal lumrah ? agar orang yang mereka periksa marah dan bicara terbuka. Dari pengakuan eks tahanan Guantanamo yang telah bebas, penghinaan Al-Quran jadi metode pemeriksaan tersendiri, selain berbagai model penyiksaan lainnya seperti waterboarding, menyiramkan air ke wajah sehingga korban sesak bernapas seakan tenggelam.

Di Iraq, tentaranya latihan menembak dengan Al-Quran sebagai target. Apakah mereka masih berhak bicara kebebasan beragama?

* Penulis Direktur Institute For Policy Studies
 
ada kecenderungan pengadu dombaan oleh media.. jadi kita mesti lebih bijak lagi menyikapinya
 
Plus ditemukan suspect baru yang diduga menjadi provokator (itu loh, yang bawa2 pistol)

kasus UNAS juga mungkin ada dalangnya... Bukan "mungkin" deh, tapi "pasti"...
 
Back
Top