Seorang tentara Kamboja sambil membawa alat persenjataan berat, berpatrohi di sekitar Candi Preah Vihear, menunggu serangan militer Thailand yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Penetapan UNESCO atas candi itu sebagai salah satu warisan dunia telah memicu ketegangan di antara kedua negara.
PREAH VIHEAR -- Ketegangan di perbatasan Thailand-Kamboja memuncak Jumat 18 Juli 2008. Baku tembak bahkan hampir meletus Kamis malam antara 500-an tentara Thailand dan 800-an serdadu Kamboja yang berjaga di sekitar candi yang jadi rebutan di daedrah perbatasan di Provinsi Preah Vihear.
Sejumlah saksi mata mengatakan, personel militer kedua kubu saling mengacungkan senjata. �Mereka dua kali saling mengacungkan senjata selama sekitar 10 menit. Itu terjadi saat 50-an serdadu Kamboja memasuki area candi untuk mengamankan persediaan makanan bagi para biksu,� kata seorang saksi mata.
Kesaksian itu dibenarkan Brigadir Chea Keo, komandan pasukan Kamboja yang bertanggung jawab atas serdadu di Preah Vihear. "Pasukan kami dan pasukan Thailand memang sudah saling bidik. Tapi, komandan masing-masing pasukan lantas berdiskusi dan keadaan bisa dikendalikan lagi," ujarnya.
Dari kubu Thailand, Kolonel Chay Huay Soongnern menegaskan bahwa pasukannya tidak dikirim ke perbatasan untuk berperang. "Mereka dikirim ke sana untuk mengusir warga Thailand yang hendak demo di kawasan sengketa itu," tandasnya. Hari itu, sedikitnya 4.000 aktivis nasionalis Thailand memang berparade ke sekitar candi untuk menggelar protes.
Letjen Nipat Tonglek, juru bicara Tentara Kerajaan Thailand, kemarin juga menegaskan, Komandan Tertinggi Militer Thailand Jenderal Boonsrang Niampradit akan bertemu Wakil Perdana Mentetri sekaligus Menteri Pertahanan Kamboja Tea Banh di kota perbatasan Aranyaprathet, besok 21 Juli 2008. Keduanya akan mengupayakan jalan keluar untuk mengatasi konflik di perbatasan tersebut.
Sejauh ini, ketegangan yang terpicu perebutan candi itu masih bisa diatasi. Satu-satunya konflik terbuka yang terjadi adalah bentrok antara penduduk dan demonstran Thailand. Penduduk tidak terima karena kawasan tempat tinggal mereka dijadikan ajang pertempuran berbau politik. (AP/AFP/hep/soe)