Banten : Sebuah Tinjauan Sejarah

nizhami

New member
de-hautman.jpg


Pada tahun 1522 Jorge d'Alboquerque, gubernur Malaka, mengutus Henrique Leme dengan hadiah-hadiah yang diperlukan kepada raja Sunda, Raja Samiam namanya, untuk menjalin hubungan dagang dengan dia. Tiba di pelabuhan Sunda, Henrique Leme diterima dengan baik oleh raja yang mempunyai kepentingan untuk bersahabat dengan orang-orang Portugis, baik untuk mendapatkan bantuan dari mereka dalam perjuangannya terhadap orang Mor (maksudnya orang-orang Islam), maupun untuk kepentingan perdagangan. Pada tanggal 21 Agustus 1522 diadakanlah suatu perjanjian: raja Sunda memberikan izin kepada orang-orang Portugis untuk membangun sebuah benteng; raja akan memberikan kepada mereka berkapal-kapal lada sebanyak mereka inginkan, sebagai tukaran barang‑barang yang diperlukan oleh negeri itu; lain dari itu sebagai pernyataan persahabatan, dari hari mereka mulai membangun benteng itu, raja akan menghadiahkan setiap tahun 1.000 karung lada, yaitu 351 sentenar, kepada raja Portugal. Dari pihak anak negeri, yang menjadi saksi perjanjian itu adalah Mandari Tada, Tamungo Sangue de Pate dan Bengar, syahbandar Sunda. Kepada ketiga orang ini, yang menjadi orang‑orang terutama dalam negeri itu, raja memberikan perintah supaya menunjukkan kepada Henrique Leme tempat bagi benteng itu dan bagi tugu peringatan guna menguatkan perjanjian itu. Dengan suatu pesta besar, baik dari pihak orang Portugis maupun dari pihak anak negeri, tugu batu itu dibangun pada muara sungai sebelah kanan di sebuah tempat yang disebut Calapa. Membangun sebuah tugu peringatan merupakan suatu kebiasaan bagi orang‑orang Portugis, setelah mereka menduduki sebuah daerah yang baru mereka temukan. Dari perjanjian itu dibuat dua helai turunan, satu untuk Samiam, dan satu, yang juga ditandatangani oleh raja, untuk Leme. Setelah selesai satu dan lainnya, dan kedua belah pihak telah bertukar‑tukaran hadiah, kembalilah Leme ke Malaka. Jorge d'Alboquerque dengan segera mengirimkan kabar kepada raja Portugal tentang apa yang telah dilakukannya, yang menurut pandangannya untuk kepentingan Malaka, tanpa meminta izin terlebih dulu dari raja. Raja Portugal menerima baik hal itu, dan ketika pada tahun 1524 wakil raja, Conde Almirante (yaitu Vasco da Gama), akan berangkat ke India, ia memberikan perintah kepadanya untuk membangun benteng itu dengan segera di bawah pimpinan Francisco de Sa, yang turut bersama dengan dia. Akan tetapi wakil raja itu dengan segera meninggal dunia dan penggantinya, Henrique de Menezes, mengangkat Francisco de Sa menjadi panglima Goa. Ketika Lopo Vaz de Sampaio memegang pemerintahan (yaitu pada permulaan 1526), Francisco de Sa dipecat, karena kewajibannya adalah sesuatu yang lain. la menyuruh persiapkan sebuah armada, yang terdiri dari dua buah galyun, sebuah gale, sebuah galeota, sebuah camuella, dan sebuah brigantin. Dengan kapal‑kapal ini Francisco de Sa berangkat.

Di tengah pelayaran ia menyatukan diri dengan Pero Mascarenhas yang sedang dalam perjalanan menyerang Bintang,
[1] dan baru setelah ekspedisi itu berakhir (yakni akhir 1526) ia terus ke Sunda. Oleh karena topan, kapal brigantin di bawah Duarte Coelho tercerai dari kapal‑kapal lainnya dan terkandas di pelabuhan Calapa. Awak‑kapal awak‑kapalnya dibunuhi oleh orang‑orang Mor (Islam) yang berkuasa di sana sejak beberapa hari, setelah mereka merebut kota itu dari tangan raja kafir, sahabat orang‑orang Portugis. Orang Mor yang merebut kota itu adalah seorang dari keturunan rendah, namanya Faletehan ‑ sekali‑sekali Falatehan ‑ dan dari kelahiran Pasai di Sumatra. Ketika orang‑orang Portugis merebut kota ini (yaitu tahun 1521), ia pergi ke Mekah, dan di sana selama dua atau tiga tahun melakukan telaah‑telaah keagamaan; setelah itu ia kembali lagi ke Pasai. Karena melihat daerah itu tidak sesuai baginya untuk menyiarkan Islam oleh karena adanya benteng Portugis di situ, ia pergi ke Japara dan mengaku sebagai kadi Nabi Muhammad. la meng‑Islam‑kan raja dan banyak orang lainnya. Bahkan ia mendapat seorang adik raja sebagai isteri. Dari sana ia berangkat dengan izin raja ke "Bantam, stad van Sunda" (Banten, kota Sunda) untuk melanjutkan pekerjaan peng‑Islam‑annya. la diterima dengan baik. Kepala pemerintahan kota masuk Islam dan memberikan kepadanya fasilitas-fasilitas yang perlu untuk menyiarkan agamanya lebih lanjut.

Faletehan yang melihat betapa baik keadaan untuk rencana-rencananya: sifat kota itu yang membantu, raja negeri yang berkediaman di pedalaman, meminta kepada iparnya, raja Japara, untuk mengirimkan isterinya dan beberapa pasukan kepadanya. Raja Japara mengabulkan permintaan ini dan mengirimkan 2.000 orang. Ketika tuan rumah Faletehan melihat orang‑orang Jawa, ia memberitahukannya kepada raja. Tetapi Faletehan bertindak dengan cerdasnya, hingga ia menjadi dan tetap menjadi tuan kota dan negeri itu. Oleh karena itu ketika Francisco de Sa tiba di pelabuhan Sunda, maka bukan saja tidak membicarakan pembangunan sebuah benteng, bahkan ia menderita beberapa kerugian karena Faletehan, sehingga ia, karena tidak siap untuk berperang, memutuskan untuk kembali ke Malaka
[2].

Inilah uraian yang panjang lebar tentang pertemuan‑pertemuan pertama antara orang‑orang Portugis dengan Jawa Barat yang disebut mereka Sunda. Cerita ini berasal dari Barros. Kisah perjalanan Francisco de Sa disampaikan pula kepada kita oleh penulis‑penulis Portugis lainnya, yaitu Gastanheda, Correa, Couto, dan Francisco d'Andradat [3], tetapi dengan beberapa perbedaan, yang untuk tujuan kita tidak penting. Hanya di sini hendaklah diingatkan, bahwa Couto menempatkan peristiwa-peristiwa ekspedisi yang malang itu secara khilaf di Banten dan bukannya di Calapa, seperti yang dimaksud oleh penulis‑penulis yang lebih tua dengan "pelabuhan Sunda”,[4] dan menurut keempat orang pengarang ini, Samiam, sahabat orang Portugis, ketika itu telah meninggal dunia. Hal‑hal yang penting dari Barros tentang perjalanan Henrique Leme dibenarkan oleh perjanjian yang asli dengan Sangiang,[5] dan bagi kita hal ini memberikan kepercayaan besar kepada ceritanya yang selanjutnya tentang Sunda. Hanya nama‑nama anak negeri perlu mendapat koreksi. Tapi tidak semua nama dapat kita kembalikan kepada bentuk‑bentuk aslinya. Dalam perjanjian itu disebut sebagai para wakil Sangiang, "mandarin‑nya" (menteri) yang terutama, yang bernama "mandarym Padam Tumungo" (Tumenggung), dua orang mandarin lainnya, dengan nama Ssamgydepaty (Sang Adipati) dan Bemgar; dan syahbandar, Fabyam namanya, beserta banyak orang‑orang utama lainnya.

Terlebih dulu akan kita ikuti lebih lanjut cerita‑cerita Portugis [6] sebelum membandingkannya dengan cerita‑cerita anak negeri untuk melihat atau menarik kesimpulan‑kesimpulan dari perbandingan‑perbandingan.
Tentang kerajaan Sunda yang kecil, tetapi sedang berkembang itu, yang banyak mengeluarkan lada di mana rajanya mencari persahabatan dengan orang Portugis, telah dapat diceritakan oleh Barbosa (1516)[7] Barros pun mengatakan, bahwa setelah direbutnya Malaka oleh Alfonso d'Alboquerque pada tahun 1511, maka Sangiang Sunda sebagaimana juga raja‑raja Indonesia lainnya, mengadakan hubungan dengan orang Portugis. Dalam uraian umumnya tentang Sunda ia menceritakan kekhususan‑kekhususan yang berikut. Pedalamannya lebih bergunung‑gunung daripada pedalaman Jawa.[8] Pelabuhan‑pelabuhan yang terutama enam jumlahnya, yaitu Chiamo, Xacatra, yang juga disebut Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam, dengan pelabuhan‑pelabuhan mana orang Portugis mempunyai lalu‑lintas perdagangan[9] Ibukotanya disebut Daio dan terletak sedikit ke pedalaman. Ketika Henrique Leme mengunjungi pulau itu, kota itu mempunyai, menurut kepastian orang, 50.000 penduduk dan kerajaan itu mempunyai 100.000 orang tentara. Tetapi oleh karena peperangan dengan orang Mor, jumlah tersebut sangat berkurang. Negeri itu sangat kaya dengan bermacam‑macam makanan. Penduduknya tidak begitu suka kepada peperangan, tetapi hidupnya ditekankan kepada penyembahan dewa‑dewa mereka. Mereka banyak mempunyai kuil‑kuil untuk menyembah dewa‑dewa itu.

Mereka itu musuh-musuh besar orang‑orang Mor, lebih‑lebih setelah mereka ditaklukkan oleh seorang Sangue de Pate de Dama. Undang‑undang mereka membolehkan mereka menjual anak‑anak lelaki mereka. Wanita‑wanitanya tampak baik‑baik rupanya, dan mereka itu di kalangan tinggi sangat suci dalam hal kewanitaan, hal mana tidak terdapat pada lingkungan yang rendahan. Banyak bihara untuk para wanita yang ingin memegang teguh kesucian mereka, tetapi lebih didorong oleh alasan‑alasan mencari pujian ketimbang oleh alasan‑alasan kesalahan. Orang-orang kalangan tinggi menaruh puteri‑puteri mereka di dalam bihara, jika mereka tak dapat dikawinkan menurut keinginan mereka. Bagi wanita‑wanita dipandang suatu kehormatan, bahwa mereka, jika suami mereka meninggal dunia, turut mati bersama‑sama dengan sang suami. Tetapi jika mereka takut mati, maka masuklah mereka ke dalam bihara sebagai orang saleh. Pergantian mahkota turun dari bapak kepada anak laki-laki. Orang sangat bangga memakai senjata‑senjata yang diukir permai. Hasil terutama negeri itu adalah lada, yang jumlahnya setiap tahun lebih dari tiga puluh ribu sentenar.
[10]


[1]
Maksudnya, Bintan, salah satu pulau di gugusan Kepulauan Riau (penyalin).
[2]
Barros IV livr. I c.13.
[3]
Fern. Lopez de Castanheda, Historia do descobrimento a conquista da India pelos Portugueses, VII cap. 26 dan 3; Gasp. Correa, Lendas da India, II halaman 727 dan III halaman 92‑93; Conto IV livr. III cap. 1; Francisco d'Andrada, Chronica do muyto alto a muyto poderoso Rey . . . Dom Jono o III, parte II cap. 7.
[4]
Kesalahan Couto ini dapat dimaklumi. Ketika ia menulis karyanya bagian ini, yaitu pada tahun 1597 (Rouffaer dalam BKI, 6, VI halarnan 159) Banten telah mendesak Sunda ‑Kalapa dan pelabuhannya adalah Sunda (dengan penamaan ini dimaksudkan Banten, misalnya dalam D'eerste Boeck halaman 27 r). Nama Sunda Kalapa ketika itu sedikit banyak telah kuno, sekalipun tidak sama sekali tak dipakai lagi (lihat tentang S.K. Rouffaer dalam Enc. v. Ned. Indie IV halaman 17, kolom ke‑2 dan de Haan, II, halaman 158, nt. 2). Tempat itu dinamai kembali Jayakerta dan Surakarta atau Sulakarta.(bandingkan Brandes dalam TBG, XXXVH, halaman 425), nama yang terakhir adalah bentuk keliru oleh pengaruh r yang kedua, sedangkan kependekan Jakerta menjadi Jaketra. Nama‑nama itu boleh jadi ‑ ini tidak lebih dari hanya suatu dugaan saja ‑ berasal dari 1527, setelah direbutnya kota itu, benteng terutama Pajajaran, oleh Faletehan (jayakerta = kemenangan yang selesai, surakerta = keberanian yang berhasil, pahlawan).
[5]
Dalam AIguns documentos do Archivo Nacional da Torre do Tombo acerca das navegagoes a conquistas portuguezas . . . halaman 460‑461.
[6]
Di sini saya sampaikan terima kasih saya yang hangat kepada tuan Rouffaer bagi kesudiannya meminjamkan kepada saya untuk diperiksa catatan-catatannya tentang tempat‑tempat di Jawa Barat oleh penulis-penulis Portugis, catatan‑catatan yang merupakan tambahan dan pengawasan yang baik atas apa yang dicatat publikasi-publikasi yang dikenal, terutama publikasi‑publikasi Van Tiele.
[7]
Barbosa, edisi tahun 1867, halaman 368.
[8]
Barros memandang Sunda sebagai pulau yang berdiri sendiri.
[9]
Yang terbanyak nama‑nama itu mudah dikenal kembali dan telah pula diidentifikasi oleh Veth (Jaya 1, halaman 278). Hanya dua nama, Chiamo dan Chiguide memberikan kesulitan. Yang pertama kelihatannya untuk Cimanuk, sebagai juga dikatakan Veth secara bertanya, dan yang kedua untuk Cikande, sebagaimana dikira‑kirakan oleh R.A, Kern (Ind. Gills 1906, halaman 688. Het Landefijk stelsel in het Bari tensche rijk). Tentang ibukota Daio lihat di bawah.
[10]
Barros N livr. I c.12.
 
Akhirnya kita kemukakan cerita petualangan Pinto. Sekali waktu ia singgah di Banten untuk keperluan urusan‑urusan dagang; ia terpaksa tinggal beberapa lama di sana, karena pada waktu itu tidak ada persediaan lada. Ketika ia telah dua bulan di situ, datanglah seorang wanita, Nhay Pombaya namanya, sebagai utusan sultan Demak, maharaja Jawa, untuk mengundang ipar dan vasalnya, Tagaril, secara pribadi turut serta bersama dia menyerang Pasuruan. Tanggal 5 Januari 1546 berangkatlah raja Sunda dengan 7.000 orang prajurit. Di antara mereka ada 40 dari 46 orang Portugis yang pada waktu itu berada di Banten, tertarik oleh janji-janji akan mendapat keuntungan‑keuntungan dagang. Adalah di luar rencana kita untuk memberikan pandangan Pinto yang panjang‑lebar tentang perjalanan perang itu. Bagi tujuan kita cukuplah untuk mengingatkan, bahwa ekspedisi itu tidak berhasil sama sekali karena kematian sultan Demak yang ditikam oleh seorang pemegang perisai yang dipermalukan. Pinto masih turut menyaksikan kekalutan yang terjadi setelah itu, sampai Pate Sidayu ‑ sultan tidak meninggalkan pengganti yang berhak ‑ dipilih menjadi sultan. Setelah itu ia minta izin kepada raja Sunda untuk kembali ke Banten bersama orang‑orang senegerinya yang masih ada. Sultan memberi mereka beberapa hadiah, juga untuk ahli-ahli waris orang‑orang Portugis yang gugur, kemudian diberinya izin untuk kembali.[1]

Jika usaha‑usaha orang Portugis untuk menjalin hubungan‑hubungan resmi dengan Sunda tidak berhasil karena keadaan-keadaan yang berubah,[2] yang terjadi kits‑kira pads permulaan tahun 1527, maka untuk relasi‑relasi dagang, peralihan agama itu bukanlah suatu alangan. Pinto mengatakan, Banten sebuah tempat "di mana orang‑orang Portugis biasanya berdagang". Keterangannya ini dibenarkan oleh sepucuk dokumen dari tahun 1554, yaitu daftar timbangan berat, ukuran panjang, dan mata uang, yang dipakai di tempat‑tempat perdagangan, di mana orang‑orang Portugis datang. Di situ juga ada seorang kepala "qumda", di bawah siapa disebut sebagai pelabuhan‑pelabuhan Calapa, yaitu pelabuhan Cumda, dan Bocaa, terletak 15 mil dari yang pertama, dengan pelabuhan mana barangkali dimaksud Banten. Keduanya termasuk di bawah raja yang sama.[3]

Bahwa daerah Jawa Barat pada waktu itu menjadi daerah takluk Demak, ternyata dari keterangan Urdaneta, yang pada tahun 1535, dalam perjalanan pulang ke tanah‑airnya dari Maluku menyinggahi Panarukan. la mengabarkan bahwa raja Demak yang Mor (Islam) dan raja yang paling besar di Jawa itu, berkuasa atas lada dari Sunda.[4]

Sekarang apakah berita‑berita Portugis ini dapat disesuaikan dengan berita‑berita yang diberikan kepada kita oleh tradisi-tradisi dalam negeri? Sayang tidak, sebagaimana halnya seringkali demikian. Dan mengingat, bahwa kronik‑kronik anak negeri sedikit saja dapat dipercaya, haruslah kita mengambil berita‑berita Portugis sebagai landasan untuk suatu rekonstruksi sejarah yang lebih tua, sekalipun sumber ini tidak selamanya sama murninya. Tentang petualang Pinto, misalnya, diketahui, bahwa ia seringkali membantah dirinya sendiri, dan dengan tak diragukan lagi telah menyuguhkan cerita‑cerita yang diambil dari petualang‑petualang lain sebagai ceritanya sendiri.[5] Tetapi tentang keterangan Barros mengenai masuknya Islam di Jawa Barat, patutlah diperiksa satu dan lainnya. Umpamanya, keterangan bahwa Faletehan, setelah berada di Mekah, tidak menetap di kota tempat kelahirannya, karena ia berpendapat, bahwa daerah itu tidak baik untuk melakukan dakwah Islam oleh karena adanya sebuah benteng Portugis, adalah aneh sekali. Seolah‑olah Pasai tidak sudah sejak lama sebelum pertengahan abad ke‑14 telah menjadi Islam, ketika pelancong Marokko, Ibnu Battuta, menjadi tamu seorang raja Islam! Sama anehnya pula berita tentang sultan Japara yang di‑Islamkan oleh Faletehan; Japara, yang sudah sejak 1513 berada di bawah Dipati Unus yang telah beragama Islam, Dipati Unus yang sama yang pada ± 1518 merebut Majapahit dan diserukan menjadi raja tetangga Demak [6]

Meskipun demikian, pada Barros dan Pinto ada beberapa keterangan yang memberikan kaitan dengan tradisi anak negeri, yang barangkali dapat menjadi petunjuk untuk keluar dari kerumitan pelbagai berita dan tradisi. Bagaimanapun, berhubung dengan itu kita akan mencoba menerka ciri‑ciri Faletehan dan Tagaril. Adalah keterangan Barros, bahwa Faletehan menikah dengan adik sultan Japara, dan pernyataan Pinto, bahwa Tagaril ipar sultan Demak. Tetapi, jika begitu, haruslah kita bertolak dari perkiraan, bahwa Japara adalah suatu kekhilafan untuk Demak, atau dengan raja Japara dimaksudkan raja Demak, yang membawahi Japara, dan di mana Japara adalah pelabuhan Demak, sebagaimana kemudian ratu perempuan Japara ‑ setelah terbagi‑baginya kerajaan Demak ‑ disebut Ratu Kali Nyamat dan Ratu Japara, nama yang pertama menurut nama ibukotanya dan yang kedua menurut kota pelabuhannya; dan dengan demikian sultan Demaklah yang mengirimkan kepada Faletehan 2.000 orang pasukan tempur. Demikianlah maka sesuai pula dengan keterangan lain dari Barros, di mana ia mengatakan, bahwa penduduk Sunda yang kafir itu mencoba merugikan Islam, lebih‑lebih setelah mereka ditaklukkan oleh seorang Sang Adipati Demak, ‑ yaitu oleh Faletehan ‑ dengan keterangan Pinto, yang pada tahun 1546 menamakan raja Sunda, yaitu dalam hal ini Banten, seorang vasal raja Demak, dan sesuai pula dengan berita dari Urdaneta. Demak dan bukanlah Japara yang pada zaman bertindaknya Faletehan, yang paling berkuasa di Jawa.

Tradisi‑tradisi anak negeri menceritakan tentang perkawinan‑perkawinan antara Banten dan Carebon pada satu pihak dan Demak pada pihak lain. Tetapi kesesuaian tentang ini tidak ada. Sajarah Banten mengatakan kepada kita, sebagaimana telah kita lihat, tentang suatu perkawinan antara Hasanuddin dengan seorang puteri sultan Demak, tetapi tidak dijelaskan lebih jauh. Dari keadaan yang diceritakan itu, bahwa ketika Demak diserang oleh Majapahit, serangan itu dipatahkan, dan Majapahit dijatuhkan, maka rupa‑rupanya ternyata, bahwa dalam hubungan dengan tradisi lain yang dikenal tentang jatuhnya Majapahit ‑ menurut tradisi ‑ yang dimaksud adalah sultan pertama Demak. Tetapi di tempat lain di dalam Sajarah Banten dikatakan, bahwa cerita tentang jatuhnya Majapahit itu berlainan. Lain dari itu, menempatkan perkawinan Hasanuddin pada waktu jatuhnya Majapahit, yaitu ± 1518, tidak pelak lagi kekeliruannya, karena Banten, seperti ternyata dari Barros, ketika itu tidak berada di bawah kekuasaan Islam.
Dalam suatu naskah Banten yang lain, yaitu Sajarah Banten Rante‑rante, mertua Hasanuddin disebut Sultan Ahmad Abdularifin ibn Molana Dipati Anom ibn Molana Tranggana ibn Molana Arya Sumangsang; yakni Pangeran Palembang Anom dan isterinya Pangeran Ratu.[7] Jadi di sini kita melihat suatu cerita yang menyimpang dari tradisi yang biasa tentang sultan-sultan Demak, melainkan ia berdiri sendiri dengan deretan Molana yang panjang itu yang nampaknya mencurigakan.

Lebih dapat dipercaya adalah keterangan Corn de Bruin, yang pada bulan Juli 1706 datang ke Banten, dua kali diterima oleh sultan, dan dalam daftar keturunan sultan‑sultan Bantennya yang panjang‑lebar, agaknya ia memberikan keterangan-keterangan yang didapatnya dari pihak yang berhak. Di sini pun. isteri Hasanuddin bernama Pangeran Ratu. Tetapi ia disebut sebagai puteri sultan Demak, Arya Tranggana, anak Arya Sumangsang, anak "Copo" di "Muchul".[8]

Menurut kronik‑kronik yang berasal dari Jawa Tengah, Babad Tanah Jawi dalam bentuknya yang bermacam‑macam, ada tiga orang sultan Demak, yaitu Raden Patah alias Panembahan Jimbun alias sultan Bintara, anaknya, Pangeran Sabrang Lor dan seorang anak yang lain, Pangeran Trenggana. Semua redaksi Babad Tanah Jawi menceritakan tentang suatu perkawinan seorang anak perempuan sultan Demak I, namanya Ratu Mas atau Ratu Mas Nyawa dengan seorang Pangeran atau Panembahan Carebon [9] Sultan Demak II mangkat setelah memerintah sebentar dengan tidak meninggalkan anak. Dari anak-anak sultan Demak III, dalam beberapa redaksi Babad Tanah Jawi dikatakan, bahwa salah seorang dari mereka kawin dengan Pangeran Carebon [10] Jadi di sini ada dikatakan tentang dua perkawinan antara Demak dan Carebon. Hanya sayang tidak diterangkan lebih jauh pangeran-pangeran mana dari Carebon adalah menantu‑menantu sultan Demak itu.

Dalam hal ini tradisi pada Raffles tidak bercela tentang ketegasannya. Diterangkan di sana bahwa seorang anak perempuan Panembahan Jimbun, bernama Nyai Bintara, nikah dengan Molana Ibrahim dari Carbon, yang oleh karena itu dihormati dengan gelar Pangeran Makdum Jati, yaitu dengan demikian bukanlah lain melainkan Sunan Gunung Jati, sedangkan pada tempat lain pada Raffles kita baca, bahwa seorang anak perempuan sultan Demak III, bernama Baliga, telah nikah dengan seorang anak laki‑laki sultan Carebon, yang menjadi kepala daerah Banten, jadi Hasannuddin.[11] Keterangan yang pertama kita jumpai juga pada Roorda van Eysinga.[12]
Sama sekali menyimpang dari Babad Tanah Jawi adalah suatu daftar keturunan raja‑raja Jawa, tapi daftar tersebut tidak banyak mendapat kepercayaan kita. Menurut daftar itu, sultan Bintara mempunyai sembilan orang anak. Seorang anak perempuan bernama Raden Ayu Kirana, kemudian bernama Ratu Mas Purnamasidi, telah menikah dengan Panembahan Banten, sedangkan seorang anak perempuan lainnya, Raden Ayu Wulan, kemudian disebut Raden Mas Nyawa, telah nikah dengan Panembahan Carebon.[13]

Lain pula tradisi‑tradisi yang kita dapati dari Carebon. Menurut Babad Carbon, Sultan Demak I memberikan anak perempuannya, Ratu Nyawa, kepada gurunya, Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati menerima puteri itu untuk anaknya, Pangeran Agung Anom, yang tak lama kemudian meninggal oleh bajak‑bajak laut, yang setelah itu maka jandanya dikawin oleh saudaranya, Pangeran Pasarean. Kecuali beberapa penyimpangan, boleh dikatakan yang di atas ini diceritakan juga oleh naskah‑naskah Carebon Wawacan Sunan Gunung Jati,. Sakrah Para Wali, dan suatu kompilasi tradisi yang bukan saja mengenai Carebon, melainkan juga mengenai Mataram dan Banten, yang dibuat oleh Pangulu Abdulkahar. Dalam karya‑karya ini tidak disebut, bahwa Ratu Nyawa pada mulanya diberikan kepada Sunan Gunung Jati, sedangkan nama suaminya yang pertama di sini bukan Pangeran Agung Anom, melainkan Bratakalana. Kecuali itu menurut Wawacan Sunan Gunung Jati, dan karya Abdulkahar, Ratu Nyawa bukanlah anak Sultan Demak I, melainkan anak Pangeran Trenggana, Sultan DemakIII. Kedua naskah ini menceritakan juga, bahwa seorang anak laki‑laki dan seorang anak perempuan Sultan Demak III nikah dengan seorang anak perempuan dan seorang anak laki‑laki Pangeran Sebakingkin, yakni Hasanuddin. Selanjutnya Babad Carebon dan Wawacan Sunan Gunung Jati menceritakan tentang pernikahan Pangeran Sabrang Lor, Sultan Demak II, dengan seorang anak perempuan Sunan Gunung Jati. [14]

Tentang perkawinan Sunan Gunung Jati dengan seorang puteri Demak sebagaimana dikatakan dalam Raffles dan Roorda van Eysinga, dan sangat boleh jadi dalam hubungan dengan tradisi‑tradisi itu juga yang dimaksud oleh Babad Tanah Jawi, maka tradisi Carebon dan Banten tidak menceritakannya. Naskah‑naskah Carebon yang telah dikatakan di atas ini, menyebut sebagai isteri‑isteri Sunan Gunung Jati ‑ kecuali perbedaan kecil‑kecil dalam nama‑nama ‑ adalah; 1. Nyi Babadan, anak Ki Gede Babadan, 2. Nyi Rara Jati, anak Ki Gede Jati, 3. Ratu Kawunganten, seorang puteri Pajajaran, yang menjadi asal cabang Banten, 4. Rara Tepasan, seorang perempuan Majapahit, ibu asal dari sultan‑sultan Carebon.[15] Ketiga isteri yang disebut paling belakang ini kita temukan juga dalam silsilah raja‑raja Carbon, yang disusun pada tahun 1766 oleh empat orang tumenggung atas permintaan Residen Armenault.[16] Menurut Wawacan Sunan Gunung Jati dan karya Abdulkahar, masih ada seorang isteri Sunan Gunung Jati lagi yang kelima, seorang puteri Cina.[17] Orang keramat ini tentulah tak'kan memperisteri kelima mereka sekaligus bersama‑sama, karena empat orang adalah maksimum jumlah isteri bersama‑sama sekaligus yang diperkenankan oleh hukum Islam kepada seseorang.

Sajarah Banten tidak menceritakan tentang pernikahan‑pernikahan Sunan Gunung Jati. Dua buah naskah Banten lainnya, Sajarah Banten Rante‑rante dan sebuah karya Tubagus Muhammad Kanari, menyebut sebagai isteri‑isteri Sunan Gunung Jati, Nyi Babadan, seorang perempuan dari Majapahit, dan seorang dari Pajajaran, dan dengan demikian, untuk sebagian sesuai dengan tradisi Carebon.[18] Tetapi dalam daftar nama-nama para anak yang dilahirkan dari perkawinan‑perkawinan itu ia menyimpang lagi.


[1] Pinto, Peregrinayao, ap.172‑180.
[2] Setelah perjalanan Francisco de Sa yang tak berhasil, dikirim lagi sebuah eskadron yang kuat ke Sunda, tetapi ekspedisi itu gagal karena ketidak‑mauan awaknya, ketika tujuan perjalanan itu yang dirahasiakan didengar mereka, dan karena badai yang mengucar‑ngacirkan eskadron itu (lihat Tiele dalam BKI, 4, I, halaman 400).
[3] Tiele dalam BKI, 4, IV, halaman 306.
[4] Pada Navurete, Colleccion etc., V, halaman 431; lihat juga Tiele dalam BKI, 4, III halaman 22 dan 27.
[5] Tentang ini, lihat Tiele dalam BKI, 4, IV, halaman 285‑288.
[6] Lihat ulasan Rouffaer yang sarat dokumentasinya tentang jatuhnya Majapahit dalam BKI, 6, Vi. Di situ kita lihat juga penolakan terhadap anggapan yang membuat Dipati Unus sebagai raja Sunda. Sekalipun demikian, kesesatan ini kembali dalam suatu catatan karangan yang dinukil di atas ini dari R.A. Kern.
[7] S.B. Rante‑rante, halaman 20 dan 64.
[8] Corn. de Bruin, Reizen over Moskovie, door Persie en Indie, halaman 383.
[9] Tentang pelbagai redaksi Babad Tanah Jawi, lihat Bab III. Saya tunjukkan di sini hanya beberapa penerbitan yang terkenal Babad‑Meinsma, halaman 61; Babad Tanah Jawi, diterbitkan pada Edisi Van Dorp,1, halaman 171; Babad Pajajaran, diterbitkan oleh F.L. Winter pada Voorneman, H, halaman 61.
[10] Babad edisi Meinsma, halaman 74.
[11] Raffles, II, halaman 148 dan 150. Tetapi pada halaman 143 menurut tradisi, yang juga ada disebut dalam S.B., Hasanuddin kawin dengan anak Raden Patah.
[12] P.P. Roorda van Eysinga, Handboek etc. Ill bk., II j. I halaman 37 dan 43.
[13] Dinukil oleh Rouffaer dalam BKI, 6, VI, halaman 141, Catatan.
[14] B. Carebon (dalam VBG, LIV) halaman 113 dan 124; W.S.G. Jati, halaman 133‑134 dan 129; Saj. para wali, halaman 279 dan 393‑400; Abdulkahar, halaman 140 dan 143-145 (ketiga naskah terakhir dinukil menurut naskah‑naskah dalam koleksi Sn.H.). Lihat tentang karya‑karya tersebut Bab III.
Cerebon, Cerbon, Carbon, Carbon dan Cirebon, adalah bentuk‑bentuk yang bermacam‑macam tentang nama yang sama. Mengikuti S.B. saya menulis Carebon, tetapi menukil kronik tersebut menurut judulnya sendiri: Babad Cerbon.
[15] W.S.G. Jati, halaman 48, 68, 79, dan 102; Saj. para wali, halaman 179, 183, 213, dan 231; Abdulkahar, halaman 80, 83, 94 dan 99; B. Carbon, halaman 85, 93, dan 99.
[16] Pada de Jonge XI, halaman 180‑181
[17] W.S.G. Jati halaman 66; Abdulkahar, halaman 94 dan 141. Pubi Cina itu disebut dalam Babad Cerbon; tentang perkawinan dengan Sunan Gunung Jati, ternyata tidak terang.
[18] S.B. Rante‑rante, halaman 48; Tbg. Muhammad Kanari, permulaan (naskah kol. Sn. H.). Demikian juga suatu referat tradisi anak negeri (Jawa Barat) dari tahun 1710, berjudul "Oorspronk van de eerste heerschappye ofte de beginselen van de Javaanse regeringen op het eijland Groot Java, Opgesteld uyt de nude Javaansche schriften en de verhaalen". (Biang Lala, IV, 1, halaman 272), dan Corn. de Bruin, halaman 382.
 
Tentang dapat dipercayanya keterangan, bahwa ibu Hasanuddin seorang puteri Pajajaran, dapat dikatakan bahwa dalam hal ini ada suatu kecenderungan tertentu yang tidak dapat diabaikan. Bukankah karena itu sebabnya maka Hasanuddin adalah ahli‑waris yang berhak atas kerajaan Pajajaran. Contoh-contoh tradisi dengan maksud‑maksud yang semacam itu akan kita kemukakan pada tempat lain dalam buku ini.[1]

Juga hal tidak disebutnya perkawinan Sunan Gunung Jati dengan seorang anak Sultan Demak I, sebagaimana yang dengan tegas dikatakan Raffles dan Roorda van Eysinga, dan seperti kiranya yang dimaksud oleh Babad Tanah Jawi, belum merupakan suatu bukti. Karena dalam tradisi‑tradisi Carebon dan Banten sendiri ternyata kepada kita, betapa menyimpangnya beberapa perkawinan itu diceritakan, sekalipun tak dapat disangkal, bahwa hal itu bagaimanapun akan membangunkan rasa aneh, bahwa suatu perkawinan dengan seorang anak perempuan raja Islam yang pertama di Jawa ‑ masih terus menurut orang‑orang Jawa ‑ oleh tradisi itu tidak dipegang teguh di kalangan keturunan‑keturunan Sunan Gunung Jati.

Oleh karena pertimbangan‑pertimbangan ini, rasanya kita tidak terlalu berani untuk memberikan nilai kepada keterangan Babad Tanah Jawi, yang redaksi aslinya berasal dari kira-kira permulaan abed ke‑18, dan sehubungan dengan itu, kepada keterangan‑keterangan pada Raffles dan Roorda van Eysinga. Tradisi Banten dan Carbon pun mengenai pernikahan‑pernikahan antara putera‑putera Sunan Gunung Jati dan puteri‑puteri Demak dapat kita terima sebagai betul. Maka kita tariklah kesimpulan‑kesimpulan dari berita‑berita yang kita kemukakan ini tentang perkawinan‑perkawinan antara Carebon dan Demak ‑ dan inilah maksud kita: 1. perkawinan Sunan Gunung Jati dengan seorang puteri dari Sultan Demak I, jadi tentang sanders Pangeran Trenggana, Sultan Demak III; 2. perkawinan anaknya, Hasanuddin, dengan seorang puteri Pangeran Trenggana; 3. perkawinan anaknya, Pangeran Pasarean dengan seorang puteri Pangeran Trenggana, janda seorang putera lain Sunan Gunung Jati.[2]

Akhirnya kita minta perhatian kepada suatu tradisi dalam Sajarah Banten. Kita ulang di sini dengan singkat. Seorang Pasai yang ingin mempunyai anak, sekali peristiwa menyelam, untuk memenuhi apa yang diminta kepadanya dalam suatu mimpi, ke dalam laut, dan menemukan sebuah peti, yang di dalamnya ternyata ada seorang bayi. Anak itu kemudian disuruhnya berguru kepada Molana Ahlulislam dan menonjol di atas sesamanya murid. Setelah cukup berguru, atas petunjuk gurunya. ia pergi ke Jawa dan tinggal di Carebon. Dengan segera ia terkenal karena pengajaran‑pengajarannya, dan tuan negeri itu, yang menjadi salah seorang pengikutnya, memberikan kepadanya kerajaan sebagai hadiah karena rasa terin'ta kasihnya. Demikianlah ia lalu menjadi Sultan Carebon, dengan nama Makdum. la mempunyai dua orang anak laki‑laki, yang tua diangkatnya menjadi Sultan Carebon dan yang kedua ditempatkannya di Banten.

Nyatalah, bahwa yang diceritakan itu adalah tentang Sunan Gunung Jati. Apa yang mengesankan bagi kita dalam berita ini, yang sebagian besar bersifat legenda, ialah yang mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati berasal dari Pasai. Lebih menarik hati lagi berita ini, karena berita itu ada dalam tradisi yang tidak termasuk ke dalam berita‑berita biasa yang kemudian. Dalam Sajarah Banten berita ini tersembunyi di tengah‑tengah legenda‑legenda dan saga‑saga. pada tempat lain, di mana penulis kronik itu mengantarkan sejarah Banten, ia berkata bahwa bapak Sunan Gunung Jati berasal dari Yamani dan ibunya dari Banisrail. Raja Banisrail adalah bapaknya, kata naskah-naskah lainnya. Bagaimana pun juga, apa pun tanggapan orang Jawa yang betul‑betul tentang negara‑negara yang disebut dengan nama‑nama itu, Sunan Gunung Jati menurut tradisi resmi Carebon dan Banten, datang dari Arab. Oleh karena itu, suatu penyimpangan daripadanya patut mendapat perhatian. '


Maka sekarang, siapakah pada tahun ± 1524, kita‑kita ketika menurut Barros, Faletehan datang di Japara, yang menjadi Sultan Demak? Pengetahuan kita tentang sejarah Jawa yang lebih tua masih sangat sekeping‑sekeping dan banyak kekurangan-kekurangannya. Tetapi sejak karangan tuan Rouffaer yang seringkali kita sebut tentang jatuhnya Majapahit, kita dapat menetapkan beberapa titik dengan kepastian yang agak tegas. pada tahun ± 1518, Majapahit yang telah lama kehilangan sinar yang dipunyainya semasa Hayam Wuruk dan patihnya, Gajah Mada, telah dihancurkan untuk selama‑lamanya oleh para pengikut agama baru, agama Islam yang semakin lama semakin berkuasa. Tetapi yang menaklukkan itu sudah pada tahun 1521 meninggal dunia. Orang Portugis menamainya Pati Unus, mula‑mula tuan Japara, dan sebelum dan setelah Majapahit jatuh, sultan Demak. Tuan Rouffaer telah membuka kemungkinan, bahwa ia haruslah identik dengan Pangeran Sabrang Lor dari kronik‑kronik Jawa dan tidak dengan bapaknya, Raden Patah, yang menurut tradisi Jawa adalah sultan pertama Demak. Sesudah dia ‑ pada titik ini berita‑berita anak negeri itu seia ‑ naiklah saudaranya, Pangeran Trenggana. Tetapi dalam berita tentang lamanya pemerintahan sultan ini, ada perbedaan‑perbedaan yang besar. Babad Jawa yang terbanyak menetapkan kematiannya itu pada tahun Jawa 1503, (tri lunga manta bumine) yaitu M. 1581/82. Bagaimanapun juga menurut tradisi Jawa, kekuasaan tertinggi Demak berhenti dengan kematiannya dan Dipati Pajang menjadi yang dipertuan tertinggi di Jawa.

Keterangan Pinto yang menyimpang telah kita lihat di atas. Menurut dia "raja Demak, kaisar seluruh Pulau Jawa, Kangean, Bali, dan Madura dengan semua pulau selebihnya kepulauan ini" ("koning van Demak, keizer van het geheele eiland Java, Kangean, Bali en Madura met al de verdere eilanden van dezen archipel")[3] mangkat pada tahun 1546 secara kekerasan. Kemudian terjadilah pemberontakan‑pemberontakan, yang berhenti dengan dipilihnya Dipati Sidayu, bupati Surabaya, menjadi raja Demak, karena raja yang mangkat tidak meniriggalkan ahliwaris yang berhak. Kita tidak mempunyai keterangan‑keterangan untuk mendapat kepastian dalam hal ini. Betapapun juga, raja Demak yang dimaksud Pinto itu, kaisar seluruh Jawa dan sebagainya, haruslah tak lain daripada Pangeran Trenggana dari kronik‑kronik Jawa ‑ bukanlah setelah baginda Demak tidak lagi paling berkuasa di Jawa ‑ yang pada tahun 1521 memegang tampuk pemerintahan. Maka Pangeran Trenggana itulah yang menjadi ipar yang dipertuan Tagaril, raja Sunda di Banten, dan Pn. Trenggana‑lah yang pada tahun ± 1524 memberikan seorang adiknya untuk isteri kepada Faletehan, yang meletakkan dasar bagi kekuasaan Islam di Banten. Jika sekarang kita perbandingkan dengan ini apa yang kiranya dapat kita simpulkan dari berita‑berita anak negeri tentang perkawinan‑perkawinan antara Demak dan Carebon, dan selanjutnya kita perhatikan tradisi yang satu itu dalam Sajarah Banten, yang, betapapun juga dipersoleknya, tapi mengatakan dengan terang, bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang Pasai, dalam hubungan apa yang dikatakan Barros tentang asal Faletehan, maka haruslah kita sampai kepada kesimpulan, bahwa Faletehan, Tagaril, dan Sunan Gunung Jati adalah nama‑nama yang lain bagi seseorang yang itu‑itu juga.

Tetapi apakah oleh penyamaan itu tradisi Banten, yang diwakili Sajarah Banten yang agak boleh dipercaya, adalah wakil yang tertua yang dikenal, dan yang menggambarkan Hasanuddin, anak Sunan Gunung Jati, sebagai raja Islam yang pertama di Banten, bukan tak dapat dimaklumi dan bukan tak dapat diterangkan? Tidak sama sekali. pada pertama kalinya, Sunan Gunung Jati meninggal dunia di Carebon dan dimakamkan di sana, sedangkan makam Hasanuddin berada di Banten, sehingga tidak aneh jika tradisi menempatkan Hasanuddin sebagai yang nomor satu dalam daftar raja‑raja Banten. Tetapi lebih penting adalah yang berikut ini. Faletehan memang orang yang memenangkan Banten dan Sunda Kalapa untuk Islam, dan Taragil di Banten memang disebut raja Sunda, tetapi mereka itu sebenarnya hanyalah bupati‑bupati, vasal‑vasal yang dipertuan raja Jawa Tengah, Demak, belaka. Tetapi, sekali Banten melepaskan dirinya dari kekuasaan tertinggi Jawa. Ketika orang-orang Belanda pada 1596 berada di muka Banten, mereka mendengar, bahwa orang setiap hari menanti‑nantikan suatu serangan Mataram, yang ketika itu paling berkuasa di Jawa. Sudah sering Mataram mengancam akan menyerang Banten. Karena itu orang mengadakan persiapan‑persiapan besar untuk menangkis serangan itu.[4] Malahan diceritakan pula dalam sebuah buku harian perjalanan dari tahun 1598‑1599, bahwa Mataram dengan suatu kekuatan besar telah menyerang Banten dari laut, tetapi tanpa hasil.[5] Dalam dasawarsa pertama abad ke‑17 kita lihat Banten senantiasa berjaga-jaga dengan penulih kecemasan demi kepentingan kemerdekaannya, kemudian sangat cemburu terhadap Mataram yang besar itu. Dengan demikian sebelum tahun 1596 Banten haruslah telah membebaskan diri, agaknya sewaktu perpindahan kekuasaan di Jawa dari Pajang kepada Mataram, yaitu ± 1586 atau lebih dulu lagi sewaktu digesernya Demak oleh Pajang, yaitu tak lama sebelum tahun ± 1568,[6] karena untuk sebuah negara vasal tidak adalah peluang yang lebih balk untuk membebaskan dirinya ketimbang sewaktu hancurnya negara yang dipertuan itu. Oleh karena alasan‑alasan itulah juga kita menganggap ± 1568 tahun kemungkinan pembebasan Banten, pada waktu berakhirnya kerajaan Demak, kerajaan yang membawahi Banten. Agaknya Hasanuddin mangkat pada tahun 1570. Tahun permulaan baginda memerintah tak kita ketahui. Tetapi tidaklah pula kita terlalu berani dengan penetapan‑kesamaan di atas, jika kita letakkan pembebasan Banten itu pada baginda. Jika demikian, dapatlah semuanya kita pahami, bahwa tradisi Banten memandang baginda sebagai penegak Banten merdeka, sebagai sultan pertama kerajaan itu.[7]

Tradisi‑tradisi lainnya kita maklumi dengan lebih baik dengan jalan menyamakan Sunan Gunung Jati dengan Faletehan. Demikianlah tradisi yang memandang Sunan Gunung Jati sebagai pendiri sebuah kerajaan besar yang meliputi seluruh Jawa Barat dan yang memandang baginda sebagai yang menyuruh membagi‑bagi kerajaan itu. Menurut satu dari tradisi‑tradisi itu, anaknya yang tertua dari puteri Demak, Hasan namanya, mendapat Carebon, seorang anak laki‑laki yang lain, Baradin, juga dari puteri Demak, mendapat Banten, dan putera yang ketiga, Kali Jatan, dari seorang selir, menerima daerah‑daerah antara Citarum dan sungai Tanggeran. Yang terakhir ini mengambil gelar Raja Jakerta, menurut tempat kedudukannya.[8] Suatu tradisi yang lainnya menceritakan, bahwa Sunan Gunung Jati membagi daerah Pajajaran menjadi tiga, masing‑masing dengan 25 orang menteri: 1. bagian barat, yaitu Banten, diserahkan kepada puteranya, Pangeran Sabakingkin; 2. bagian tengah, melingkungi daerah‑daerah yang sebenarnya Sunda, untuk kepentingan pamannya, seorang saudara tua dari ibunya, Sunan Rangga di Pajajaran; bagian timur, Carebon, diuntukkan bagi anaknya, Pangeran Pasarean.[9]

Tradisi‑tradisi ini mengandung beberapa keanehan. Yang pertama hanya ada pada daftar nama dari putera‑putera Sunan Gunung Jati. Barangkali ‑ Hasan, jika dipandang sebagai ringkasan dari Hasanuddin ‑ telah terjadi pertukaran dalam dua nama‑nama permulaan. Nama‑nama Baradin dan Kali Jatan, tidak diketahui dalam tradisi‑tradisi lain. Keterangan bahwa raja‑raja Carebon dan Banten adalah dari seorang ibu, bertentangan dengan tradisi‑tradisi lainnya. Menurut urutan dalam menyebutkan isteri‑isteri Sunan Gunung Jati ‑ dengan tegas tidak dikatakan ‑ tampaknya oleh berita‑berita lain cabang Banten itu dimaksud sebagai lebih tua dari cabang Carebon.

Tetapi apa yang sangat aneh, ialah bahwa di samping Banten dan Carebon, di Jawa Barat ada sebuah kerajaan ketiga, Jaketra dalam tradisi pertama dan Pajajaran dalam tradisi kedua. Bukankah Jaketra kita ketahui tidak lain dari daerah takluk Banten? Mula‑mula ia diperintah oleh Ratu Bagus Angke, seorang menantu Hasanuddin, yang kawin dengan puterinya, Ratu Pambayun, dan kemudian oleh anaknya, Pangeran Jaketra. Pangeran Jaketra telah kawin dengan cucu Hasanuddin, yaitu anak perempuan puteranya, Pangeran Pajajaran, jadi seorang saudara sepupu perempuannya, dan sebagai ibunya disebut Ratu Pambayun.[10] Pada waktu pemerintahannyalah, ketika Jaketra direbut oleh orang Belanda pada tahun 1619. Dalam tradisi kedua yang disebut tadi, dikatakan Pajajaran sebagai negara ketiga. Tetapi, Pakuwan, ibukota negara tua itu, sebagai akan kita lihat di bawah ini, boleh jadi baru pada tahun 1579/80 direbut oleh raja Banten. Jika berita‑berita itu tak banyak mempunyai nilai sejarah, maka berita‑berita itu bukannya sama sekali tak dapat dimaklumi, apabila kita memandangnya sebagai kumandang‑kumandang kenyataan, bahwa Sunan Gunung Jati adalah penegak kekuasaan Islam di Jawa Barat. Mungkin terpisahnya Banten dan Carbon, yang betapapun juga haruslah terjadi, adalah landasan tradisi‑tradisi itu. Tentang ini kita menemukannya dalam Sajarah Banten. Ketika Hasanuddin, demikian dikatakan kronik itu, merebut Pakuwan, ia pergi ke Carebon untuk mempersembahkan kepada bapaknya daerah yang direbutnya itu sebagai barang rampasan. Bapaknya membagi daerah itu dalam dua bagian dengan Karawang sebagai batas. Bagian sebelah barat ditunjuk untuk Banten dan bagian sebelah timur untuk Carebon. Berita ini kita pandang tidak tepat dalam hal bahwa bukan di bawah Hasanuddin, melainkan mungkin baru di bawah anaknya, Yusup, Pakuwan itu jatuh.

Suatu kenangan yang samar‑samar, bahwa bukan Hasanuddin, melainkan bapaknya yang meletakkan kekuasaan Islam di Banten, kita kira dapat kita lihat pula dalam tradisi‑tradisi, bahwa apa yang diperbuat Hasanuddin semuanya adalah di bawah pimpinan atau atas anjuran bapaknya. Untuk ini kita menunjuk kepada ringkasan isi Sajarah Bantenn. Di dalam suatu naskah Carebon, Banten bahkan dipandang sebagai sama sekali di bawah Sunan Gunung Jati. Setelah meninggalnya Pangeran Sebakingkin, diceritakan di sana, Yusup, diangkat menjadi penggantinya oleh Sunan Gunung Jati dan anak dari Yusup, Pangeran Muhammad, menjadi Adipati Anom (putera mahkota). Ketika Yusup meninggal dunia, Sunan Gunung Jati hendak mengangkat Pangeran Muhammad sebagai penggantinya, tetapi Muhammad mempunyai cita‑cita yang lebih tinggi; ia ingin menjadi raja yang merdeka dan karena itu ia melakukan tapa. Sunan Gunung Jati mengetahui hal ini dan pergi mendapatkan dia. "Cicitku," kata Sunan Gunung Jati kepadanya, "tinggi apa yang hendak kaucapai itu. Kau ingin menjadi Sultan Banten." Tetapi, demikian katanya selanjutnya, itu tidak dibenarkan selama ia masih hidup. Dalam hadits Nabi dikatakan, dalam satu negara tak boleh ada dua orang raja.[11] Hal yang semacam itu seolah‑olah berarti ada dua Allah dalam alam ini. Kelak setelah ia meninggal, barangkali. Pada waktu tersebut, di jaman akhir, betapapun juga akan banyak raja. Tetapi mereka itu tak'kan berlaku adil. Dia, Muhammad, jadi haruslah menjaga dengan baik keturunan‑keturunannya, dan jangan dhalim. Cicit itu melakukan sembah dan Sunan Gunung Jati kembali puIang.[12] Jadi di sini Banten hingga masa cucu Hasanuddin dipandang hanya sebuah kabupaten Carebon saja. Suatu tradisi yang jahat, begitu kiranya hampir kita sebut, barangkali karena hendak menuntut balas, bahwa pada tahun 1677 tiga orang pangeran Carbon oleh Sultan Agung Banten diperlakukan sebagai vasal, bahkan sebagai tawanan.

Akhirnya dikatakan di sini, lebih sebagai barang langka ketimbang sebagai barang bukti, tentang suatu daftar silsilah yang berasal dari Priangan, yaitu daftar silsilah raja‑raja Banten, dimulai dengan pengasingan Sultan Banten yang terakhir ke Surabaya pada tahun 1832, naik ke atas hingga Adam. Setelah Molana Makhdum, yaitu Sunan Gunung Jati, tertulis di daftar itu "Sultan Banten".
[13]

Oleh penyamaan Sunan Gunung Jati dengan Faletehan, maka masa hidup dan usahanya ditempatkan jauh lebih kemudian ketimbang apa yang diberikan oleh tradisi‑tradisi. Berita‑berita anak negeri memberikan sebagai tahun kematiannya pada tahun Syaka 1428, yaitu M. 1506/07. Kurang seia‑sekata berita-berita itu tentang kedatangannya di Jawa. Untuk itu kita dapati ‑ pada tahun Masehi ‑ 1406, 1412/13 (Syaka 1334), 1465 dan 1480/81 (1402 Syaka)[14]. Babad Carbbon dan suatu berita pada Hageman dikatakan juga tahun kelahirannya berturut‑turut tahun Syaka 1308, yakni M.1386/87, dan M.1440.[15] Tentang kronologi, lebih‑lebih tentang masa yang lebih tua, berita‑berita anak negeri itu sama sekali tak dapat dipercaya. Karena itu lebih dari sekali telah ditunjukkan, bahwa berita-berita. tersebut menetapkan Sunan Gunung Jati terlalu tua; bahwa kegiatan‑kegiatannya dengan keberatan ditempatkan lebih tua ketimbang permulaan abad ke‑16. Karena itu sebagai titik‑titik bertopang, diambillah berita‑berita dari orang‑orang Portugis dan orang‑orang Belanda yang pertama, dari mana ternyata, bahwa Jawa Barat baru kira‑kira pada permulaan abad itu di‑Islam‑kan dan dua penanggalan yang pasti, yaitu 1662 untuk wafatnya Panembahan Girilaya, sultan ketiga dari Carbon, dan 1596 untuk wafatnya Pangeran Muhammad, cucu Hasanuddin. Selanjutnya ternyata dari suatu daftar keturunan yang disusun oleh seorang Pangeran Banten, Pangeran Purbaya pada tahun 1709, dalam paduan suatu bagian dalam sepucuk surat kepada Coen, bahwa pada tahun 1619 seorang anak Hasanuddin belumlah seberapa tua untuk memainkan peranan dalam politik.[16]


[1]
Bab III.
[2]
Ketiga perkawinan ini kita dapati pada Valentyn IV, 1, halaman 69 dan 72, tetapi tanpa penegasan lebih lanjut sultan‑sultan Demak mana yang dimaksud.
[3]
"Rey de Demaa, Emperador de toda a ilha da Iaoa, Angenia, Bale, & Madura, c8' todas as mais ilhas deste arcipelago". Angenia = Kangean menurut Tiele (BKI, 4, IV, halaman 307).
[4]
D'eerste Boeck, halaman 37 r°.
[5]
Kisah perjalanan Jacob van Neck, halaman 302.
[6]
Lihat tentang tahun‑tahun itu Rouffaer dalam Album‑Kern. halaman 273.
[7]
Tuan Rouffaer meminta perhattan saya kepada bagian berikut dalam Journael van de Reyse (Middelburgh, Barent Langenes, 1598), helaman E 4 r° ‑ v°, yang tidak ada pada Lodewycksz' Eerste Boeck: "De favanen ende inwoonders van Bantam zijn hovaerdich ende obstinaet, hebbende een seer hovaerdigen gang, hebben het Mahometische geloof, datse over 35 jaren eers gecregen hebben: dan deer zijn noch veel Heydenen die niet Moors gewoorden zijn".
Jadi hal ini adalah ± 1560. Apakah di sini tidak bisa kita samakan penyebaran Islam di Banten dengan permulaan pemerintahan raja Islam merdeka yang pertama dari Banten? Karena berita‑berita Barros tidaklah dikesampingkan dengan begitu raja. Bahwa peng‑Islaman Jawa dalam 1596 belum seluruhnya berhasil, dapatlah juga dikira‑kirakan.
[8]
Raffles, II, halaman 151.
[9]
W.S.G. Jati, halaman 130.
[10]
Bandingkan halaman 185. Lihat tentang tradisi pambagian yang semacam itu juga Veth, I, halaman 320, yang mencoba membantahnya. Keterangan dalam catatan 2 di halaman 321, bahwa perkawinan antara dua orang misan‑penuh dilarang dalam Islam, adalah tidak benar.
[11]
Prof. Snouck Hurgronje menunjukkan kepada saya, bahwa untuk menentang sesuatu kemajemukan raja, biasanya orang menukil Qur'an, 21‑22. Tetapi di sini dikatakan hadits Nabi: . . . balad siji den roroni, tan olih idining rasul, karana ing hadis nabi, ora keno ratu roro.
[12]
Abdulkahar,ha1.163‑164.
[13]
Koleksi Sn. H.
[14]
Raffles, H, hal. 151 dan 131; Roorda van Eysinga IH, 2, hal. 43 dan Ill,1,hal. 303; B. Cerbon, hal. 142 dan 141; Valentyn, IV, 1, hal. 68; Hageman dalam TBG, XVI, hal. 205. Dengan ini kiranya berita‑berita yang bersimpang‑siur itu belumlah selesai.
[15]
B. Cerbon, hal. 141; Hageman dalam TBG, XVI, hal. 205.
[16]
Uraian‑uraian tersebut pada Deventer, I, hal.13, dan juga pada Veth, I, hal. 284 dan TNI,18?l, II, hal. 355.
Daftar yang berasal dari Pn. Purbaya, dalam TNI, II, hal. 356, dikatakan sebagai milik Kon. init. voor Taal‑, Land‑ en Volkenkunde van Ned. Ind. di 's‑Gravenhage tak dapat saya temukan kembali dalam inventaris naskah‑naskah inititut tersebut. Apa yang diberitakan di sana adalah bersamaan dengan pemberitaan dalam S.B. Rante‑rante dan Corn. de Bruin (hal. 383).
 
Suatu metode baru untuk menetapkan waktu kegiatan-kegiatan Sunan Gunung Jati di Jawa diberikan oleh Dr. F. de Haan dalam bagian ketiga "Priangan"‑nya, pada halaman 30-33. Dr. de Haan memulai dengan daftar keturunan raja‑raja Carbon yang dimasukkan ke dalam memori penyerahan daftar Armenault tersebut yang disusun pada tahun 1766 oleh empat orang patih Carbon. Menurut daftar keturunan tersebut, Sunan Gunung Jati (I) digantikan oleh cicitnya Panembahan Ratu (II) dan dia lalu diganti cucunya, Panembahan Girilaya (III). "Hubungan kekeluargaan ‑ dinyatakan Dr. de Haan ‑ antara (I), (II) dan (III) jadinya seperti antara raja‑raja Prancis Louis XIV, XV dan XVI. Karena hidup kedua orang Louis yang disebut pertama (tapi yang belum mencapai usia (I) dan (II) yang jarang sekali tercapai) terletak antara 1643 [1] dan 1774, jadi berjalan melebihi 130 tahun, dan karena (III), wafat sekitar 1662, jadi dilahirkan sekitar 1600, pada tahun 1636 masih memerintah, melainkan sekitar 1650 menggantikan pemerintahan, maka kehidupan (I) dan (II), merentang (diambil secara sangat luas) sepanjang 180 tahun, jatuh antara kira‑kira 1470 dan 1650, hingga kita dengan mengandaikan Susuhunan Gunung Jati adalah seorang pria dewasa ketika ia tiba di Carebon, dengan itu akan kita dapati kira‑kira tahun 1500". ("De familieverhouding ‑ merkt Dr. de Haan op ‑tusschen (I), (II) en (III) ia derhalve als die tusschen de Fransche koningen Lodewijk XIV, XV en XVI. Daar nu de levens der twee eerstgenoemde Lodewijks (die echter niet dan phenomenalen leeftijd van (I) en (II) haalden) liggen tusschen 16431) en 1774, en dus loopen over 130 jaar, en daar (III), gestorven omstreeks 1662, dus geboren omstreeks 1600, nog in 1636 niet aan de regeering was, doch omstreeks 1650 opvolgde . . . , zullen de levens van (I) en (II), strekkende (zeer ruim genomen) over een 180 jaar, vallen tusschen ongeveer 1470 en 1650, zoodat wij dan, aannemende dat Soesoehoenan Goenoengdjati een volwassen man was toen hij to Cheribon kwam, daarvoor ongeveer 1500 zouden vinden").

Angka‑angka itu sekarang perlu ditinjau kembali. Seratus delapan puluh tahun untuk hidup (I) dan (II), seperti kata Dr. de Haan, diambil dengan sangat luas, bahkan menurut pendapat saya terlalu luas. Karena sekalipun kedua orang itu mencapai usia yang sangat tinggi ‑ mengenai (II) yang demikian itu pasti secara sejarah ‑ hidup mereka itu barangkali untuk sebagian besar akan berdampingan, karena dalam pergaulan hidup anak negeri, perkawinan‑perkawinan pada umur muda selalu menjadi kebiasaan. Jika kita ambil untuk jarak waktu tersebut 150 atau 160 tahun ‑ sekalipun begitu masih lebih panjang ketimbang Louis XIV dan XV ‑ maka dengan cara yang demikian itu juga kita mendapatkan, bagi tampilnya Sunan Gunung Jati di Jawa pada waktu yang sama dengan kegiatan Faletehan. Jadi secara urutan waktu tidaklah ada keberatan terhadap penyamaan dari kedua orang itu.

Dari penetapan kesamaan Sunan Gunung Jati dengan Tagaril, maka kesimpulannya ialah bahwa anaknya, Hasanuddin, agaknya baru setelah 1546 menjadi sultan Banten. Berita‑berita anak negeri menempatkan kedatangannya di sana pada akhir abad ke‑15 dan bahkan lebih dulu lagi. Bahwa hal ini adalah terlalu tua, telah ternyata dari berita‑berita Barros. Atas alasan-alasan yang disebutkan di atas ini, dari mana kita mendapat petunjuk‑petunjuk tentang waktu bertindaknya Sunan Gunung Jati di Jawa, orang juga mendasarkan kesimpulan bahwa pemerintahan Hasanuddin agaknya dapat ditetapkan pada kira‑kita pertengahan abad ke‑16.[2] Lain dari itu, dalam suatu karangan tentang "raja Muslim Banten yang pertama" ("Bantam's eerste(n) Mohammedaansche(n) vorst") di dalam TNI, 1871, II, oleh S. dan V., terutama alas alasan berita‑berita Barros dan Pinto yang juga telah kita kemukakan, telah dinyatakan, bahwa barulah pada 1545 di Banten ada raja yang merdeka, yang disebut oleh mereka sesuai dengan tradisi yang disebut Hasanuddin.[3] Dalil sebagai akibat penandaan kesamaan Sunan Gunung Jati dan Tagaril, bahwa Hasanuddin haruslah memerintah setelah 1546, dengan demikian bukanlah sesuatu yang baru. Tahun wafatnya yang diberikan oleh berita‑berita anak negeri, yakni tahun Hijrah 956, dan 959 dan tahun Jawa 1474, yaitu berturut‑turut tahun Masehi 1549,1551/2, dan 1552/3,[4] dapat ditetapkan dengan suatu kemungkinan pada tahun 1596 ‑ ini dapat kita ketahui dari catatan‑catatan yang pertama dari orang‑orang Belanda ‑ Pangeran Muhammad meninggal dunia. Menurut Sajarah Banten dan suatu naskah Banten yang lainnya,[5] ia bersemayam memerintah selama 16 tahun setelah ayahnya, Yusup, mangkat pada tahun 1580. Tradisi mengatakan, bahwa Yusup telah memerintah selama 10 tahun,[6] sehingga dengan demikian untuk tahun mangkatnya ayahnya, Hasanuddin, yang digantikannya setelah Hasanuddin mangkat, kita mendapat angka 1570.

Penandaan kesamaan Tagaril dengan Sunun Gunung Jati menyebabkan kita untuk menempatkan menetapnya Sunan Gunung Jati di Carebon, di mana ia dikuburkan, setelah tahun 1546. Bila tepatnya dan mengapa ia pergi ke sana itu, kita tak mengetahuinya. Bahwa Carebon pada kita‑kita pertengahan abad ke‑16 masih merupakan sebuah tempat yang tidak penting dan barangkali tak mungkin merupakan sebuah tempat kedudukan raja, sebagaimana yang diingini oleh tradisi, untuk itu kita mempunyai petunjuk‑petunjuk. pada pertama kalinya daftar Pigafetta tentang kota‑kota besar di Jawa, yang mencerminkan keadaan di situ dalam tahun 1522. Memang dalam daftar itu ada terdapat Sunda ‑ dengan Sunda, maksudnya Sunda Kalapa ‑ tetapi tidak ada Carbon dan juga tidak ada Banten.[7] Kemudian kita mempunyai kesaksian Pinto.

Sekembalinya di Banten sesudah ekspedisi Demak terhadap Pasuruan, yang dalam ekspedisi itu ia bersama dengan Tagaril turut serta, ia pergi ‑ demikian ceritanya ‑ dengan beberapa orang Portugis lainnya dalam empat buah kapal ke Cina. Tiba di pelabuhan Chincheo, tahulah mereka itu bahwa mereka tak dapat melakukan perdagangan di sana, karena di sana perompak‑perompak Jepang baru saja menjarah- jarah. Karena itu mereka pergi ke Chabaque. Di situ mereka sendiri diserang oleh perompak‑perompak. Hanya dua buah kapal, sebuah antaranya di mana Pinto berada, dapat meloloskan diri. Mereka mencari lagi pantai Jawa. Setelah hampir sebulan berkelana dalam kesulitan dan bahaya, mereka melihat Pulo Kondor, laut pelabuhan Kamboja. Tetapi ketika itu mereka lalu diserang oleh badai besar. Kapal Pinto terombang‑ambing antara beting‑beting dan karang‑karang, lalu tenggelam. Dalam pada itu kelasi‑kelasi Cina telah membuat sebuah rakit. Mereka itu menolak untuk membawa serta orang‑orang Portugis. Mereka itu sekalipun hanya berkekuatan 28 orang, namun dapat memukul kalah orang‑orang Cina yang jumlahnya kira‑kira 40 orang, sekalipun dengan kerugian yang besar pada pihak mereka. Ke atas rakit mereka naikkan orang‑orang yang masih ada, pelayan‑pelayan dan kanak‑kanak. Pada waktu itu adalah Natal tahun 1547. Lama mereka terombang‑ambing di lautan. Oleh karena kelaparan mereka memakan seorang Kaffer yang telah mati. Untuk memakan mayat orang‑orang senegerinya, mereka tak sampai hati. Pada akhirnya, pada hari raya Tiga Raja, mereka menemukan daratan. Jumlah mereka yang masih hidup pada waktu itu telah menjadi sebelas, 7 orang Portugis, antaranya Pinto, dan 4 orang pelayan. Daratan tersebut ternyata tidak dihuni dan tandus. Di mana‑mana mereka hanya melihat jejak-jejak harimau dan gajah. Mereka berkelana di situ, pada malam hari, karena takut kepada binatang‑binatang buas, mereka tidur di pohon‑pohon kayu. Pada suatu hari mereka melihat sebuah kapal tengah tiga tiang datang dari sungai‑air tawar, isinya orang-orang Negro, Jawa, dan Papua. Mereka ini terkejut ketika melihat orang‑orang yang kapalnya karam itu, dan baru setelah lama berbicara dan setelah orang‑orang Portugis atas tuntutan mereka meletakkan senjata mereka, orang‑orang itu meluluskan permintaan mereka untuk dibawa serta guna kemudian di pasar pertama dijual sebagai budak belian. Seorang Portugis dan dua orang pelayan terjun ke dalam air menuju ke kapal tengah tiga tiang itu, tetapi segera menjadi mangsa buaya‑buaya. Yang selebihnya dengan perlakuan kejam dinaikkan ke kapal dan dibawa ke sebuah kampung, "Cherbom" namanya, 12 mil lebih jauh. Di situ mereka dijual dengan harga yang sangat murah kepada seorang saudagar kafir dari Pulau Selebes. Pada saudagar ini mereka berada hampir selama sebulan penuh dan menikmati perlakuan yang baik. Setelah itu mereka dijual dengan harga baik kepada raja "Calapa", yang dengan hati yang mulia membebaskan mereka dan mengirimkan mereka ke pelabuhan Sunda, di mana mereka naik kapal dan bersama orang Portugis lainnya, menuju Siam.
[8]

Adalah disangsikan apakah Pinto telah mengalami semuanya ini. Harus pula diperhatikan, bahwa pernyataannya tentang sebuah kampung yang bernama "Cherbom"[9] ("een dorp genaamd Cherbom"), rupanya bertentangan dengan apa yang dikatakannya pada suatu tempat yang lain dalam karyanya, yaitu dalam kisah tentang ekspedisi terhadap Pasuruan. Bukankah di sana ia menyebut tentang seorang "Kiyai Anseda, adipati Cerbon, yang menjadi gubernur kota (Demak) dan di sana sangat berkuasa". ("Kiyai Anseda, dipati van Cherbom, die gouverneur was van de stad (Demak), en daar erg machtig was ,).[10] Dari sini kita dapat menyimpulkan, bahwa Carbon, tempat kedudukan seorang dipati, pada waktu itu adalah lebih daripada hanya sebuah kampung saja. Tapi jika demikian, kita haruslah menerima, bahwa belumlah ada seorang raja atau bupati yang duduk di sana. Betapapun juga, dari Pinto agaknya ternyatalah, bahwa Carebon dalam namanya itu masih sebuah tempat yang tidak penting.

Lebih penting adalah apa yang kita dengar dari Couto. ia menambahkan dalam ceritanya tentang perjalanan Francisco de Sa yang gagal ke Sunda pada tahun 1527 suatu pemandangan umum tentang kerajaan‑kerajaan di pantai Utara Jawa: Ternyata dari adanya dalam pandangan umum itu nama Pajang dengan tambahan "welks Koning vertoeft in het Binnenland dertig mijlen (ver), en (zooveel) ia als Keizer van deze (genoemde), en van andere verderop (te noemen)", maka pandangan umum tersebut mencerminkan keadaan di Jawa dalam periode yang kemudian, ketika Pajang paling berkuasa, jadi antara ± 1568 dan ± 1586.[11] Dan sekarang, dalam tinjauan umum itu Carebon tidak disebut. Tidak adanya satu "kerajaan" ("Koninkrijk") Carebon menjadi lebih dari hanya suatu kesaksian negatif saja, jika kita pikir, bahwa ia sebagai tempat ketika itu bukanlah tak dikenal kiranya. Bukankah di beberapa peta lama, yaitu peta dunia Diogo Ribeiro 1529, globe dari Ger Mercator, dicetak di Leuven pada tahun 1541, petunjuk pelaut Diogo Homem dari 1558, dan saduran yang terakhir ini dari 1568, maka Careebon ada disebut dalam bentuk Churbom, Charbon dan Charabom.[12]

Pada tahun 1596, kita ketemukan Carbon sebagai kota yang diperkuat. Dalam salah sebuah buku harian tentang perjalanan pertama orang‑orang Belanda ke Indonesia, kita baca: "sehabis (Tegal) terletak kota Charabaon yang indah dan besar yang diperkuat dengan amat elok dengan sebuah tembok/ diperkaya dengan sebatang sungai air tawar" ("daer nae (na Tegal) ia ghelegen de schoone en groote stadt Charabaon, die seer fraey met een stercken muer ghesterckt is/ende met een soete riviere verrijckt/").[13] Tembok itu dibangun pada ± tahun 1590 oleh Senapati, sultan Mataram yang pertama, untuk Panembahan Ratu.[14]

Keadaan di Carebon pada kira‑kira pertengahan abad ke‑16 masih merupakan sebuah tempat yang tidak penting, bagi Veth merupakan suatu bantuan untuk pendapatnya, bahwa kekuasaan "para raja pandeta" ("priest ervorsten")‑nya itu terbatas hanya pada nilai keagamaan saja. Mereka "mula‑mula tidak lain dari semacam pangeran‑pangeran keagamaan, seperti halnya raja‑raja keagamaan Giri‑Grissee. Sebagai raja mereka itu adalah vasal‑vasal Mataram, tetapi yang sekali‑sekali harus dipaksa untuk mengakui kekuasaan tertinggi yang dipertuan mereka; dalam pada itu, dalam hal nilai keagamaannya, mereka berdiri di atas yang dipertuan mereka." Kemudian Veth mengemukakan sebagai bukti bagi dalil tersebut, bahwa raja‑raja Carebon hingga 1662 dalam berita yang sama dan yang mengalir dari sumber yang sempurna, tidak pernah disebut dengan gelar sultan, melainkan selalu dengan gelar pangeran atau panembahan, dan bahwa daerah mereka tidak luas. Sekalipun begitu, Veth memperingatkan, kita tidaklah harus memandang kecil arti raja‑raja keagamaan itu.

Maka ia pun menunjuk kepada berita dalam salah sebuah buku tentang perjalanan pertama orang‑orang Belanda yang menyebut bahwa Carebon adalah sebuah kota yang besar dan indah yang diperkuat oleh tembok yang tebal. Sebagai pernyataan betapa tingginya nilai keagamaan dari raja‑raja Carebon dipandang oleh yang dipertuan mereka, ia mengemukakan sebuah piagam dari sultan Mataram, dalam mana kepada seorang Ki Mukarab, dari desa Cikeruh dalam kabupaten Limbangan, "pembebasan baik baginya, maupun keturunan‑keturunannya dari semua tugas karena kehilangan lengan‑kirinya akibat suatu tembakan ketika mengepung Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Karena selagi raja Mataram oleh surat perintah ini ternyata menjalankan hak‑hak kedaulatan di wilayah Priangan, sekaligus ia meletakkan dipertahankannya hal itu di bawah lindungan Tuhan dan rasul-Nya, para Wali Sanga dan Susuhunan Gunung Jati yang dipuja di kuburannya di ibukota Ceribon". ("vrijstelling, zoo voor hem als zijne nakomelingen, van alle diensten wordt verleend wegens het verlies van zijn linkerarm door een geweerschot bij de belegering van Batavia in 1628 en 1629. Want terwijl de vorst van Mataram door dit bevelschrift klaarblijkelijk de rechten van een souverein in de Preanger‑landen uitoefent, stelt hij tevens de handhaving er van onder de hoede van Allah en Zijn gezant, van de negen wali's en van dan Soesoehoenan Goenoeng Djati, die in zijn graf ter hoofdplaats Tjeribon wordt vereerd".) Akhirnya Veth menilai, bahwa bahkan legenda petualangan Gessan Ulun, yang mula‑mula adalah seorang murid Sunan Gunung Jati, kemudian melarikan isterinya dan kemudian meminta sang guru untuk menceraikannya dengan memberikan sebidang tanah, membuktikan "bagi nama besar dan kekuasaan yang telah diperoleh orang suci Ceribon dan yang dipindahkan kepada para ahli warisnya." (voor dan grooten naam en macht, die zich de heilige man van Ceribon verwierf en die op zijne nakomelingen overgingen".)


Tentang Sunan Gunung Jati, ia memberikan gambaran, bahwa beliau diangkat oleh sultan Demak menjadi penguasa Carebon, di sana dengan damai menyebarkan agama Islam. Beribu‑ribu orang berdatangan kepadanya untuk berguru dalam agama itu. "Pada mulanya para kepala daerah sekelilingnya mencoba menentang gerakan itu, tapi melihat bahwa tantangan mereka tak berguna, mereka biarkan diri mereka sendiri terseret oleh gerakan tersebut. Para bupati Galuh, Sukapura, dan Limbangan semuanya menerima Islam dan menghormat Syekh setidak‑tidaknya sebagai raja ruhani, yang oleh karenanya dipandang sebagai peletak dasar dinasti para sultan Ceribon". ("Aanvankelijk poogden de hoofden der omringende landschappen de beweging tegen to gaan, doch ziende dat hun wederstand niet baatte, lieten zij er ten laatste ook zich zelven door medesleepen. De regenten van Galu, Sukapura en Limbangan naman alien dan Islam aan en huldigden dan Sjeikh althans als geestelijk vorst, die daarom als de grondlegger der dynastie van de Sultans van Tjeribon beschouwd wordt".) Anaknya, Hasanuddin setelah itu dikirimkannya ke Banten untuk menyebarkan Islam di sana.l[15]

Kita tak bebas untuk mengikuti gambaran ini, terutama sekali dengan didasarkan atas tradisi‑tradisi. Dari berita‑berita Barros yang telah kita kemukakan, ternyata bahwa penyaluran Islam di Jawa Barat tidak melalui jalan damai, sebagaimana yang dikehendaki tradisi. Beberapa peng‑Islaman mungkin terjadi dengan sukarela, tetapi kekuasaan tidak didapat oleh kaum muslimin itu, kecuali setelah menggunakan kekerasan. Banten diserang dengan tiba‑tiba, Sunda Kalapa jatuh oleh senjata, dan Sangiang sendiri gugur dalam pertempuran; pada zaman Barros kekuasaan besar Pajajaran oleh peperangan yang terus‑menerus itu dengan nyata sekali menjadi lemah. Selanjutnya dari berita‑berita Portugis itu dapat diperoleh petunjuk, bahwa peng‑Islaman Jawa Barat tidak dilakukan dari Carebon, melainkan dari Banten ke arah timur. Dengan ini sesuailah keterangan Ryckloff van Goens dalam Corte beschrijvinge van 't eiland Java dan seterusnya. (Pelukisan Singkat Pulau Jawa dan sebagainya), yang diselesaikannya pada tanggal 25 Maret 1656. Di dalamnya ia mengemukakan bahwa Pangeran "Crappia" dari Mataram adalah pangeran yang ketiga yang memeluk agama Islam, ditambahkannya pernyataan: "Yang pertama adalah orang Banten, yang kedua orang Ceribon" ("den eersten dan Banthammer, dan 2den dan Cheribonder zijnde"),[16] jadi Banten sebelum Carbon telah mendapat raja beragama Islam. Tetapi tidak benarlah susunan urutan yang diberikan, karena Demak adalah sebelum Banten. Selanjutnya Van Goens menyatukan Pangeran Seda Krapyak dengan raja sebelumnya sebagai satu orang.

Alasan bahwa raja‑raja Carebon hingga 1662 tidak pernah disebut dengan gelar sultan, melainkan selalu dengan pangeran atau panembahan, tidak mengatakan barang sesuatu. Raja-raja Banten dan Mataram pun pada permulaannya disebut dengan gelar pangeran, panembahan atau susuhunan. Yang pertama memakai gelar sultan sejak 1638 dan yang terakhir setelah 1641. Pendapat bahwa raja‑raja Carebon pada permulaannya hanya mempunyai kekuasaan keagamaan dan vasal Mataram saja, berdasarkan penyelidikan baru ternyata tidak benar. Oleh Dr. de Haan telah dibuktikan, bahwa Carbon hingga jauh ke pedalaman melakukan kekuasaan duniawi, dan bahwa hubungannya dengan Mataram mula‑mula bersifat persahabatan, dari masa perjanjian antara Senapati, pendiri Mataram, dan Panembahan Ratu, di mana Carebon mendapat sebuah tembok benteng ± 1590. Lambat‑laun, mungkin tanpa kekerasan, kedudukan persamaan dengan Mataram tersebut berubah menjadi sebuah daerah taklukan Mataram. Dalam suatu perjanjian antara kedua kerajaan yang, mempunyai kekuatan yang tidak sama, biasanya yang lebih lemah berada di pihak yang dirugikan.

Keunggulan sahabat yang kuat lambat‑laun menjadi penguasaan. Demikianlah jalan yang telah ditempuh oleh perjanjian antara Carebon dan Mataram. Pada tahun 1615 kita melihat penegakan pengaruh Mataram yang berangsur‑angsur atas Carebon; pada tahun 1619 Carebon menjadi kerajaan vasal Mataram, pada tahun 1625 Carebon ditaklukkan, dan dalam tahun 1650 Carebon ditaklukkan seluruhnya.
[17] Jadi bukan tanpa kebenaranlah jika pembawa berita Carebon pada tahun 1684 dapat mengatakan, bahwa Carebon hanya karena tipu muslihat saja jatuh ke bawah Mataram.[18]

Tentang suatu kekuasaan tertinggi keagamaan raja‑raja Carebon yang pertama sebagaimana halnya dengan raja‑raja Giri -Gresik, menurut pendapat kita tidak ternyata, sebagaimana halnya memang demikian pada yang terakhir ini. Dalam buku-buku harian tentang perjalanan‑perjalanan pertama orang-orang Belanda, maka kedudukan raja Giri dinyatakan dengan mengatakan tentang raja itu, bahwa baginda "dari pada semua raja lain selalu dihadapi bicara dengan tangan terlipat dengan cara‑cara kaum budak biasa menghadapi bicara tuan penguasa mereka" ("van alle d'andere Coninghen met ghevouwen handen altoos aenghesproken wordt finder manieren als de slaven hate Cwerheeren ghewoon zijn aen to spreken").[19] Coen, dengan persejajaran yang diambilnya dari hubungan‑hubungan yang ada di Eropa pada zamannya menandai hal itu dengan menamakan raja Giri itu "paus kaum Muslimin" ("der Mahometisten paus"),[20] sekalipun perbandingan itu tidak dalam semua hal sesuai.



[1]
Betulnya 1638. Dalam 1643 Lodewijk XIV oleh kematian bapaknya diserukan menjadi raja.
[2]
Lihat terutama sekali Van Deventer, I, hal.13.
[3]
Hanya kesimpulan ini dari keterangan itu saya garis‑bawahi, yang sebenarnya setelah meneliti Barros dan Pinto adalah sudah seharusnya. Penjelasan tentang kedauIatan umpamanya, berisi kesimpulan‑kesimpulan yang terlalu berani, dibuat dari tradisi‑tradisi yang dinilai menurut ukuran‑ukuran dan ketentuan‑ketentuan Islam yang secara teori mengenai keimanan. Dalam karangan sambungan mereka (TNI, 1871, D, hal. 445) para penulis oleh karena itu kembali lagi dari kesimpulan mereka tentang kedaulatan Sunan Gunung Jati berhubung dengan kisah perjalanan Pigafetta, tetapi lalu menjadi benar‑benar sebaliknya dan memandang legenda mengenai kekuasaan Sunan Gunung Jati sebagai "tops‑rupanya isapan jempol" ("blijkbaar verzonnen") saja. Lain daripada itu, setelah itu tuan Rouffaer dalam karangannya mengenai jatuhnya Majapahit menunjukkan, bahwa berita Portugis tentang kekuasaan Pati Unus atas Jawa Barat berdiri di atas suatu kesalahan cetak. S. dan V diisi oleh Rouffaer dengan tanda tanya "S(paan?) en V(alck?)" (BKI, 6, VI, hal. 132, catatan).
[4]
Lihat Hageman dalam TBG, XVI, hal. 225‑226 dengan keterangan tentang tempat‑tempat penemuan, dan suatu daftar raja‑raja Banten dari koleksi Sn.H.
[5]
S.B. Rante‑rante halaman 122.
[6]
Lihat TNI,1838, I, halaman 39.
[7]
Lihat tentang daftar Pigafetta, Rouffaer dalam BKI, 6, VI, hal.131‑134.
[8]
Pinto cap. 179‑181. Chincheo dan Chabaque adalah pelabuhan‑pelabuhan Cina di sebelah utara Kanton.
[9]
"hula aldea . . . par nome Cherbom".
[10]
"Quiav Ansedaa Pate de Cherbom, que era Governador da cidade & muyto poderoso nella".
[11]
Lihat tentang tempat itu pada Couto Rouffaer yang terjemahannya diulang dalam Album‑Kern halaman 267 dan seterusnya: "Eene duistere plaats over Java's staatkundigen toestand tijdens Pajang, in ± 1580, opgehelderd".
[12]
Lihat tentang peta‑peta dan facsimile itu Tiele, De oudste kaarten van dan Maleischen Archipel, sub 111, V, dan XI. (Feestnummer van de BKI ter gelegenheid van bet zesde Oriental‑Congres, 1883) dan Rouffaer dalam Enc. v. Ned. Ind., IV, halaman 17, kolom ke‑2.
[13]
D'eerste Boeck, halaman 37 r°.
[14]
De Haan, III, halaman 38 dan 909.
[15]
Veth, I, halaman 296, 321323, 245, dan 285.
[16]
BKI, IV, halaman 357.
[17]
Lihat de Haan, llI, halaman 33‑41.
[18]
Disebut oleh de Haan, III, halaman 34.
[19]
D'eerste Boeck, halaman 36.
[20]
Pada de Jonge IV, halaman 35.
 
Dari kronik‑kronik Jawa ternyata pula nilai tinggi raja‑raja Giri itu. Pajang pergi ke Giri untuk mendapat gelar sultan. Sultan Agung Mataram sendiri tidak mau menjadikan Giri patuh kepada Mataram, melainkan memerintahkan kepada iparnya, Pangeran Pekik, karena juga Pangeran Pekik adalah ketururtan ulama, keturunan ahli‑ahli fiqih. Setelah Trunajaya dihancurkan, Mangkurat II pergi ke Giri untuk direstui oleh orang keramat itu ketika ia diangkat menjadi raja. Tetapi ketika orang keramat itu ternyata atau berbuat seolah‑olah ia percaya kepada cerita‑cerita yang tersebar seakan‑akan seorang anak laki‑laki Amral (yaitu Speelman) mengaku dirinya sebagai Mangkurat, maka Mangkurat II tidak mempunyai keberatan untuk bertindak terhadap orang keramat itu, dan menyuruh membunuhnya.[1]

Kekuasaan raja‑raja Giri tidak seberapa tinggi seperti sediakala. Sekalipun demikian, tindakan Mangkurat II itu dibenarkan juga oleh Pangeran Pekik pada kesempatan, bahwa ia menangkap raja Giri dan rakyatnya seolah‑olah mendesakkan kematiannya, bahwa ia tidak dibolehkan membunuh seorang pandita; cucunya (ibu Mangkurat adalah seorang anak Pn. Pekik) kemudian akan berhak berbuat demikian.[2]

Mengenai pendapat bahwa Sunan Gunung Jati dan keturunannya yang mula‑mina seolah‑olah mempunyai kekuasaan tertinggi dalam hal keagamaan, bahkan tak ada tanda‑tandanya. Piagam yang dikemukakan oleh Veth tak dapat dipergunakan sebagai bukti. Tempat yang berhubungan dengan itu berbunyi: "Berkenaan dengan seseorang yang mengajukan keberatan," kata Paduka Yang Mulia Susunan Mataram, "saya pohonkan ke hadirat Allah, kepada utusan Allah, kepada Wali yang sembilan kepada Sunan Gunung Jati yang dipuja di makamnya di kota Carbon, semoga negerinya menjadi gelagah." ("ten aanzien van ieder, die zwarigheden maakt", zegt Zijne Hoogheid de Soesoenan van Mataram, "bid ik Allah, dan Gezant van Allah, de negen Wali's, dan Soesoenan van Goenoeng Djati, die verheerlijkt wordt op de begraafplaats in de stad Tjerbon, dat zijn land moge worden een rietbosch").[3]

Jadi susunan Mataram memohonkan kutukan ke hadirat Allah, utusan Allah dan kepada Wali‑walinya bagi semua yang menentang peraturannya. Daripadanya hanya ternyata 1. kekeramatan Sunan Gunung Jati, 2, bahwa ketika itu telah terjadi pengeramatan orang‑orang yang dikatakan meng-Islamkan Jawa. Tradisi menyampaikan delapan atau sembilan orang penyiar Islam dan termasuk kepada mereka itu juga Sunan Gunung Jati. Bahwa Sunan Gunung Jati dalam piagam itu disebut di luar mereka, barangkali bukanlah karena raja Mataram memandang beliau sebagai di luar atau di atas wali‑wali lainnya, melainkan hanya karena beliau mengarahkan kegiatan peng‑Islam‑annya kepada orang‑orang Jawa Barat. Pekerjaan orang‑orang keramat lainnya memang ditempatkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan di Jawa Barat dulu dan sekarang Sunan Gunung Jati adalah wali yang teristimewa.

Panembahan Ratupun, cicit dan pengganti Sunan Gunung Jati dipandang sebagai orang keramat. Hal ini kita ketahui umpamanya dari Van Goens. Tentang beliau Van Goens mengatakan, bahwa beliau seperti suci ("als heijlich was"). Pada tempat lain ia menceritakan, bahwa Pangeran Seda Krapyak menganjurkan kepada anak beliau untuk memelihara hubungan baik dengan Carebon, "seolah‑olah karena orang Carebon telah beriman sebelum beliau dan adalah seorang yang keramat". ("quanssuijs omdat dan Cheribonder voor hem't geloof hadde aengenoomen ende een hejjlige man was"). Sekalipun Panembahan Ratu pada tahun‑tahun kemudian pemerintahannya hanyalah seorang vasal Mataram saja, tetapi ia diperlakukan selamanya dengan istimewa dan mempunyai hak‑hak istimewa di atas "raja‑raja taklukan" ("overheerde Konjnghen").[4] Kekeramatannya ternyata pula dari Sajarah Banten. Selalu saja jika beliau tiba di Mataram, demikian cerita kronik itu, berjangkitlah suatu penyakit, yang baru berhenti, jika beliau pergj. Jadi Mataram, sekalipun sudah berani melakukan kekuasaan tertinggi terhadap Carebon, selalu saja ditimpa tulah, suatu hukuman dari pihak yang lebih tinggi, jika panembahan yang keramat itu datang ke sana. Hanya karena manerima beliau sebagai vasal Mataram saja telah merupakan dosa terhadap kekeramatannya. Karena menurut tanggapan Sajarah Banten, panembahan ini berbeda dari vasal‑vasal yang lain tidak usah menyamakan diri dalam istana ‑ karena ia guru susuhunan, demikian dikatakan sebagai alasan ‑, tetapi ia datang ke sana atas undangan atau bahkan dengan sukarela, karena jika tidak, susuhunan‑lah yang datang kepadanya.

Jika kita, berdasarkan kenyataan, bahwa Sunan Gunung Jati dan Panembahan Ratu dipandang sebagai orang‑orang keramat, dapar menarik kesimpulan bahwa mereka itu mempunyai kekuasaan tertinggi dalam hal keruhanian sebagaimana halnya dengan raja‑raja Giri? Baik di Jawa, maupun di tempat‑tempat lain, baik dulu maupun sekarang, raja‑raja masih dipandang sebagai makhluk yang diciptakan lebih tinggi di atas makhluk-makhluk biasa. Setelah mereka meninggal dunia, maka makamnya dimuliakan orang. "The Achehnese, kata ‑ Prof. Snouck Hurgronje, like their neighbours of Java, also venerate the tombs of their departed kings, and although they do not precisely regard them as saints, they yet believe that they have been gifted with certain kramats or miraculous tokens of God's grace. Indeed the mere act of ruling a kingdom with the power to exalt or abase other men, ia in itself esteemed a sort of kramat; and it ia believed that Allah, who vouchsafed them this kramat in their lifetime, continues to endue them in the next world with a certain power of blessing and rendering accursed".[5] Karena itu tidaklah aneh, bahwa pendiri kekuasaan Islam di Jawa Barat, yang kecuali itu adalah pula seorang haji, oleh angkatan yang kemudian dimasukkan ke dalam 8 atau 9 wali di Jawa, dan pasti juga pada masa hidupnya dipandang sebagai keramat, dan bahwa kekeramatannya itu turun-temurun kepada keturunan‑keturunannya yang pertama.

Dengan menyamakan Sunan Gunung Jati dengan Faletehan menurut pikiran kita, kita mendapatkan lebih banyak pemandangan dalam berbagai‑bagai tradisi yang ada tentang beliau. Jika kita hendak memahami tradisi‑tradisi itu dan menerangkannya, maka haruslah kita selalu mengarahkan perhatian kita kepada dua macam tabi'at dari Sunan Gunung Jati di mata angkatan setelah itu. Pada satu segi beliau seorang yang keramat, dan pada segi lain seorang raja. Sesuai dengan.segi beliau yang pertama, atau sesuai dengan segi yang kedua, beliau menonjol dalam kenangan, terjadilah tradisi‑tradisi yang menggambarkan beliau hanya sebagai seorang guru agama yang pendamai sifatnya, dan menganggap beliau sebagai salah seorang daripada delapan atau sembilan orang penyiar Islam yang pertama di Jawa, yang mengadakan rapat‑rapat, dalam mana mereka membicarakan dalil‑dalil aqidah mereka, ‑ dan segi lain yang menggambarkannya sebagai pendiri sebuah kerajaan yang besar di Jawa Barat ‑ yang dibagi‑baginya ketika beliau meninggal dunia di antara tiga orang putera‑putera beliau atau dua orang putera dan seorang paman. Demikianlah tradisi‑tradisi dapat mencipta, yang rupa‑rupanya bertentangan yang satu dengan yang lainnya. Oleh pemujaan seorang keramat yang lebih besar ketimbang pemujaan seorang raja, maka gambaran Sunan Gunung Jati sebagai orang keramat, lambat‑laun telah mendesak ke latar belakang kenang‑kenangan kepada seginya sebagai raja, dan gambaran ini menjadilah gambaran yang paling menguasai. Terdesak ke latar belakang, tetapi tidak seluruhnya terdesak. Karena masih ada lagi tradisi‑tradisi sebagaimana telah kita kemukakan, tempat kenang‑kenangan itu berkata dengan jelas, sedangkan dalam tradisi‑tradisi yang lainnya, yang menggambarkan Sunan Gunung Jati semata‑mata sebagai orang keramat, dengan sedikit banyak kesukaran‑kesukaran dapat dilihat. Sebagai suatu contoh tradisi, yang terlihat oleh kita menyatukan kedua gambaran tentang Sunan Gunung Jati itu, kita kemukakan tradisi tentang asal‑usulnya. Kita akan membicarakannya lebih jauh, karena hal ini berada dalam hubungan sangat erat dengan penandaan kesamaan oleh kita. Ringkasnya sebagai berikut ini.

Ibu Sunan Gunung Jati adalah seorang puteri Pajajaran. Dengan abangnya Cakrabuwana, ia pergi naik haji. Raja Bani Israil ‑ atau disatukan menjadi Banisrail ‑ baru saja kehilangan isterinya karena kematian. Baginda memerintahkan untuk mencari seorang perempuan, yang rupanya sama dengan rupa permaisurinya. Sifat ini rupanya dipunyai juga oleh puteri Pajajaran itu. Dalam ia dilamar itu ia mengajukan suatu syarat: ia harus mendapat seorang anak laki‑laki, yang kelak akan menjadi orang keramat, yang akan meng‑Islam‑kan Pajajaran dan akan memerintah daerah itu. Raja itu berdiam diri. Suatu suara mengatakan kepadanya, bahwa apa yang diminta itu akan dialaminya. Dari pernikahan itu dilahirkan dua orang anak laki‑laki. Yang tertua, Hidayatullah, yang tentangnya diceritakan bermacam‑macam keajaiban, yang menyatakan kewaliannya di masa yang akan datang, tiba di Jawa, dan yang kemudian menjadi Sunan Gunung Jati. Anak yang muda kemudian menggantikan bapaknya.

Demikianlah garis‑garis besarnya tradisi tentang asal‑usul Sunan Gunung Jati, yang diceritakan dalam naskah‑naskah Banten dan Carebon yang kemudian.[6] Sajarah Banten hanya menceritakan, bahwa bapaknya berasal dari Yamani dan ibunya dari Banisrail. Sama sekali menyimpang adalah berita yang menyebutkan, bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang Cina.[7] Tetapi ini saya ketahui hanya dari makalah‑makalah Belanda, dan saya tidak dapat memeriksa, apakah berita itu diceritakan kembali dengan benar. Yang demikian itu dapat terjadi ‑ dan saya memandang bahwa keterangan semacam itu mungkin ‑karena suatu salah anggapan atas cara anak negeri mengungkapkan yang satu atau lainnya, di mana hanya ternyata, bahwa Sunan Gunung Jati dari Cina tiba di Jawa, karena sebenarnya banyak di antara legenda‑legenda tentang pengembaraannya ada diceritakan tentang kunjungannya ke Cina. Jika berita itu memang sebenarnya berasal dari anak negeri, maka mungkin yang dimaksud adalah suatu pengecilan Sunan Gunung Jati, sebagaimana juga ada sebuah tradisi fasik tentang sokoguru raja-raja Mataram, yang pada mulanya hanya seorang budak raja Demak saja.[8] Hal itu tentulah terjadi pada masa, ketika orang, seperti halnya sekarang ini, karena pengaruh Islam mempunyai pandangan rendah terhadap orang‑orang Cina yang kafir itu. Karena pada mulanya rapa‑rupanya pandangan rendah itu tidak ada, sebab menurut beberapa pemberita, orang‑orang Jawa itu memandang dirinya berasal dari Cina.[9] Bagaimanapun juga, pendapat yang berlaku adalah, bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang Arab.

Adapun tradisi yang mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati dari pihak ibu berasal dari raja‑raja Pajajaran, dimaksudkan tidak lain daripada. sebagai suatu keterangan atau lebih jitu lagi memberikan suatu dasar bagi kekuasaannya atas‑daerah yang dulunya berada di bawah kekuasaan Pajajaran. Nilai sejarah atau nilai lain‑lainnya tak dapat kita berikan kepadanya. Agar supaya kita kelak tidak mengulang‑ulang lagi, kita menunjukkan pemberian motif bagi apa yang hanya kita katakan di sini kepada suatu tempat yang lain dalam disertasi ini, di mana tradisi dengan maksud yang semacam itu akan dikumpulkan menjadi satu.
Tetapi mengapa mencari landasan hak bagi kekuasaan Sunan Gunung Jati itu pada asal‑usul pihak ibu dan bukan pada pihak bapak? Karena orang mengetahui bahwa ia bukanlah seorang anak negeri dari Jawa, melainkan datang dari seberang laut. Dan karena itu dia adalah seorang wali, apakah yang lebih sewajarnya ketimbang mencari asal‑usulnya di Arab, tanah Islam, dan kemudian memandang dia sebagai keturunan Rasulullah yang langsung? Bahkan tentang wali‑wall yang kata tradisi dilahirkan di Jawa ‑ Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, dan Sunan Kalijaga ‑ diberikan daftar‑daftar keturunan yang membawa kita ke Arab, dan tentang wali‑wali lainnya yang agaknya berasal dari luar negeri ‑ Seh Majagung, Molana Magrib, Seh Bentong, dan Seh Lemah Abang ‑ didongengkan sebagai keturunan langsung Rasulullah. Tetapi Sunan Gunung Jati bukan saja seorang keramat, melainkan juga seorang raja. Karena itulah keturunan rajanya.

Bahwa orang tak dapat memberikan nilai sejarah kepada tradisi mengenai keturunan Arabnya Sunan Gunung Jati, ternyata dari silsilah‑silsilah yang diberikan untuk beliau, yang kita sertakan di sini menurut garis ke atas, diambil dari berbagai naskah. Silsilah‑silsilah itu tidak seluruhnya sesuai yang satu dengan yang lainnya.

Daftar raja‑raja Banten dari Priangan:

Molana Makhdum ‑ Sultan Hut ‑ Sultan Bani Israil ‑Sayid Jumadilkubra ‑ Sayid Jumadilkabir ‑ Sayid Zeinulkabir ‑ Sayid Zeinulabidin ‑ Sayid Husein as‑syahid ‑ Sayyidatuna Fatimah az‑Zuhra ‑ Muhammad ‑ dan seterusnya, sampai Adam.

Sajarah Banten Rante‑rante (halaman 84):

Sunan Gunung Jati ‑ Raja Yuta ‑ Sultan Banisrail ‑ Sjekh Jumadilkubra ‑ Sjekh Jumadilkabir ‑ Zeinulkabir ‑ Zeinulabidin ‑ Husein ‑ Fatimah ‑ Muhammad.

Wawacan Sunan Gunung Jati (halaman 1):

Sunan Gunung Jati ‑ Sultan Hud di Banisrail ‑ Raja Hundara di Mesir ‑ Jumadilkabir di Quswa ‑ Zeinulkubra, disebut Tajusalikin ‑ Imam Zeinulabidin ‑ Maharaja Husein ‑ Dewi Fatimah ‑ Muhammad.

Abdulkahar (halaman 45):

Sunan Gunung Jati ‑ Sultan Hud, raja Banisrail ‑ Raja Umdah, raja Mesir ‑ Sjekh Imam Jumadilkabir ‑ Zeinulkubra ‑Imam Zeinulabidin ‑ Husein ‑ Fatimah ‑ Muhammad, dan seterusnya sampai Adam.

Sajarah para wali (Jawa) (halaman 22):

Sunan Gunung Jati ‑ Raja Bani Israil ‑ Syekh Jumadilkubra ‑ Syekh Zeinulkubra ‑ Zeinulabidin ‑ Sayyid Husein ‑ Fatimah Zuhra ‑ Muhammad.

Sajarah para wali (Sunda) (halaman 276):

Sunan Gunung Jati ‑ Raja Yuta ‑ Raja Mesir ‑ Raja Banisrail ‑ Muhammad Fad'an ‑ Hasan Sughra ‑ Ali ‑ Abi Ahmad ‑ Kaja ‑ Musa ‑ Raja Pangulu Sidik ‑ Muhammad Mubarak ‑ Sayyidina Zeinulabidin ‑ Sayyidina Husein ‑ Fatimah ‑ Muhammad.

Suatu penerangan tentang daftar‑daftar itu segera kita berikan. Tak usahlah orang mengadakan penyelidikan atas orang-orang yang disebut dalam daftar‑daftar itu. Hanya mata rantai dari Zeinulabidin sampai Muhammad adalah sama. Tetapi mata rantai antara beliau dan Sunan Gunung Jati terang mempunyai tanda‑tanda dibuat oleh tangan yang tak berhak. Hut masih dapat merupakan suatu perubahan dari Hud.

Bagaimanapun juga nama ini adalah nama dalam Qur'an untuk salah seorang nabi. Tetapi kita melihat bahwa penamaan orang Israil Bani Israil, ummat Israil, berpamer dalam bentuk yang berubah sebagai nama negeri. Nama‑nama bulan kelima dan keenam dari perhitungan tahun Islam, Jumadilawal dan Jumadilakhir, dalam paduan‑paduan lain dipakai sebagai nama orang. Al‑Kabir, Yang Besar, hanya dipergunakan bagi Allah. AIkubra dan As‑sughra, bentuk‑bentuk wanita dari berturut‑turut al‑akbar, yang terbesar atau yang tertua, dan al‑asghar, yang paling kecil atau yang termuda, dalam daftar‑daftar tersebut dipakai sebagai epitheta kepada orang‑orang lelaki.

Jika sekiranya nama‑nama itu benar, maka kita masih ragu-ragu, apakah salah satu dari silsilah‑silsilah Sunan Gunung Jati mungkin dapat merupakan silsilah yang sebenarnya. Sekarang dalam hal ini kita tak lagi ragu‑ragu: daftar‑daftar itu semuanya isapan jempol.

Dengan uraian ini, kita bukan hendak mengatakan, bahwa Sunan Gunung Jati mustahil seorang keturunan Arab, melainkan maksud kita hanyalah menunjukkan, bahwa tradisi‑tradisi tentang ini dari sudut sejarah sama sekali tidak berharga, dan bahwa dengan demikian kita tak boleh mengambil alasan bukti daripadanya terhadap penetapan kesamaan dari beliau dengan Faletehan, yang tentangnya Barros mengatakan, bahwa beliau adalah "kelahiran pulau Sumatra, dari Kerajaan Pasai" ("geboortig uit het eiland Sumatra, uit het Koninkrijk Pasei").[10] Selain dari itu, keterangan ini tidak menutup kemungkinan, bahwa Faletehan mempunyai darah Arab dalam badannya. Tetapi atas dasar persamaan tersebut, kita hanya bisa mengatakan, bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang Pasai.
Akhirnya kita minta perhatian, bahwa dengan menyamakan Faletehan dengan Sunan Gunung Jati, kita dapat menemukan suatu keterangan tentang hak‑hak yang membuat Banten kemudian mempunyai kelebihan kuasa atas Carebon, hak mana bagi Veth adalah yang paling aneh dalam sejarah Carebon, "sedangkan tradisi‑tradisi lama justru seakan‑akan membela ketergantungan Banten kepada Ceribon" ("terwijl veeleer de nude overleveringen voor Bantams afhankelijkheid van Tjeribon schijnen to pleiten")[11] dinyatakannya dengan tepat: Maka jalannya soal‑soal kita gambarkan sebagai berikut:

Banten dan Carebon berada di bawah Sunan Gunung Jati. Banten mula‑mula adalah tempat kedudukannya dan Carebon menjadi mandalanya. Oleh kepindahannya ke Carebon, maka hubungan pun menjadi kurang sederhana, bagaimanapun juga hal ini bagi kita, oleh karena tak adanya keterangan‑keterangan lain, kurang jelas. Mungkin ketika itu tempat kedudukan pemerintahan dipindahkan ke Carebon,sedangkan Banten menjadi semacam kebupatian daripadanya. Suatu tradisi Carebon yang telah kita sebutkan di atas, menceritakan bahwa bahkan sampai dengan Pangeran Muhammad, sultan‑sultan Banten diangkat oleh Sunan Gunung Jati. Mungkin pula Sunan Gunung Jati menarik diri ke Carebon dan melewatkan hidupnya yang selanjutnya dan karena itu sumber Armenault mengatakannya "tak lagi sebagai kekuasaan keulamaan" ("niet meer als een priesterlijk gezag")[12] Maka pemerintah tetap berkedudukan di Banten dan bukan sebagai bupati, melainkan sebagai seorang anak sultan Banten, beliau menunjukkan hormat kepada Sunan Gunung Jati. Dari kedua peristiwa yang kita ragukan ini, dapat terjadi tradisi‑tradisi, yang menggambarkan Banten sebagai di bawah Carebon.

Pada ketika beliau berangkat dari Banten, Sunan Gunung Jati mengangkat anak beliau, Hasanuddin, sebagai pengganti beliau, baik hanya untuk Banten saja, maupun untuk semua daerah. Boleh jadi beliau menyediakan Carebon untuk anak beliau yang lain dan di atas inilah terjadinya tradisi‑tradisi pembagian. Ketika beliau memilih pengganti beliau di Banten, pastilah beliau tidak menyampingkan anak beliau yang lebih tua untuk kepentingan Hasanuddin. Hasanuddin agaknya lebih tua ketimbang saudaranya, yang menjadi anak raja‑raja Carebon, sebagaimana agaknya ternyata dari tradisi, sekalipun tidak dikatakan dengan jelas. Dengan kematian Sunan Gunung Jati, putuslah tali hubungan Banten dan Carebon yang mengikat kedua daerah itu menjadi satu. Daerahnya pecah‑belah. Mungkin Banten memandang Carebon sebagai daerah takluknya lagi. Perjanjian Panembahan Ratu dengan Senapati dengan demikian mendapat arti sebagai suatu penolakan terhadap hak-hak Banten tersebut dan suatu pernyataan kemerdekaannya, oleh karena mana pemberita‑pemberita Armenault menetapkan tanggal "kekuasaannya" ("koningsheerschappij") di Carebon dari sejak beliau.[13]

Betapapun juga, pada masa Sultan Agung, dan mula‑mula juga di bawah Sultan Haji, Banten menyatakan hak‑hak keunggulan kuasanya atas Carebon, dan tuntutan‑tuntutan patut itu didasarkannya, bukan saja atas keadaan, bahwa Carebon berada di bawah lindungannya, melainkan juga atas hak‑hak lama. Hak‑hak ini, yang tampaknya tidak ditolak oleh Carebon, haruslah bersumber kepada hubungan yang asli antara kedua daerah itu: Banten, bagian daerah tertua Sunan Gunung Jati, mula‑mulanya adalah di atas Carebon, sekalipun tidak selalu. Lain dari itu, kita dapat menambahkan, bahwa raja‑raja Banten barangkali termasuk kepada cabang lebih tua keturunan‑keturunan Sunan Gunung Jati ketimbang raja‑raja Carebon. Dan jika kita mendengar patih Banten, Arya Mangunjaya, pada tahun 1678 menerangkan "dengan bersemangat" ("met grooten fiver") kepada Van Dyck, utusan Pemerintah Tinggi, bahwa Carebon, sebagai juga daerah‑daerah lain yang disebutnya pada masa yang sudah‑sudah, mula‑mula di bawah Demak dan kemudian oleh perkawinan berada di bawah Banten,[14] maka mengertilah kita, bahwa pada pikirnya haruslah terbayang kenyataan, bahwa Sunan.Gunung Jati adalah ipar raja Demak dan di bawah lindungannyalah beliau memerintah Banten, dan tradisi, bahwa beliau dari Demak bersama dengan puteri mendapat juga Carebon.[15] Karena memang benar juga Hasannuddin telah kawin dengan seorang puteri Demak, tetapi, jika ia pernah memerintah Carebon, bukanlah karena perkawinan dengan Demak, melainkan karena ia menggantikan bapaknya.



[1] Babad‑Meinsma, halaman 120, 246, dan 362.
[2]
Babad‑Meinsma, halaman 248: aku ora gelem amateni pandita; besuk putuku iku kang kuwasa angrusak sarta amateni marang kang dadi pandita ing Giri kene. Lebih jelas adalah redaksi‑redaksi dalam tembang, umpamanya B. Pajajaran ‑ Tanah Jawi (pada Van Docp), II, halaman 315;. . . ingsun ora den‑ideni, amatenanan, dudu bubuwan mami * iya besuk lamun lahir putuningwang, kung numpes uwong Giri, dan seterusnya.
[3]
Sing sapa kang ewuh‑ewuh, pangandika kanjeng Susunnan Mataram sun tedakaken maring Allah, maring Rasulullah, maring Walih sasanga, maring Susunna‑n Gunung Jati, kang ginunggung ping pajaratan hing nagari Cerbon, mugya dadi galagah hing nagarane. (Hone dalam TBG, XIII, halaman 493).
[4]
Van Goens dalam BKI, IV, halaman 330, 357 dan 358.
[5]
The Achehnese oleh Dr. C. Snouck Hurgronje, diterjemahkan oleh almarhum A.W.S. O'Sullivan, II, halaman 299.
[6]
S.B. Rante‑rante, W.S.G. Jati, Saj. para wali, B. Cerbon, dan Abdulkahar.
[7]
Biang Lala IV, 1, halaman 264; Hageman dalam TBG, XVI, halaman 245.
[8]
Valentyn, IV, 1, halaman 72. Tetapi tradisi ini agaknya tegak di alas suatu kenyataan sejarah; lihat di bawah pada Bab III.
[9]
Barros, II, livr. IXc, 4; Couto, IV, halaman 41; Weerste Boeck, halaman 36 r°; Wouter Schouten, 11, bk. 3 halaman 151. Lavanha mencatat pada Barros, IV, halaman 40, bahwa penduduk pertama dari Jawa adalah orang‑orang Siam.
[10]
Barros,IV, halaman 44: "natural da Ilha Samatra do Reino de Pacem"
[11]
Veth, II, halaman 25.
[12]
Palo de Joqge, XI, halaman 181.
[13]
Pada de Jonge, XI, halaman 181.
[14]
Disebut pada de Jonge, VII, halaman CXVIII, catatan dan 321, catatan, sepucuk surat Van Dyck. Suatu daftar isi surat tersebut dalam Dagh‑Register 1678, halaman 69.
[15]
Valentyn, IV, 1, halaman 69.
 
Kita telah sampai pada akhir penjelasan kita tentang penetapan kesamaan Faletehan dan Tagaril dengan Sunan Gunung Jati, penetapan kesamaan ini tidak lebih daripada suatu terkaan: dasar‑dasarnya hanya sedikit bilangannya dan terlalu lemah. Dengan itu kita bermaksud hanya berusaha untuk meletakkan hubungan antara berita‑berita anak negeri yang kurang dapat dipercaya dengan berita‑berita Portugis yang tidak banyak, yang tidak pula seluruhnya dapat kita percaya. Lain dari itu kita menempatkan diri atas pendirian, bahwa yang terakhir harus kita dahulukan dari yang pertama. Sama sekali tak dapat dipercaya dalam hal urutan waktu, tidak selamanya berdiri atas dasar sejarah. Kalau pun begitu hanya memantulkan kenyataan‑kenyataan dari jauh, atau, di mana ia berada lebih dekat, menggambarkannya menurut pandangan anak negeri. Demikianlah tradisi‑tradisi itu harus ditafsirkan. Tetapi hal ini tak boleh diambil sebagai landasan untuk menyusun kembali sejarah. Namun di mana sesuatu pengujian mungkin, biasanya apa yang diceritakan tentang hubungan keluarga, ternyata benar. Memang, silsilah‑silsilah itu, tambah naik dia, tambah kurang dapat dipercaya. Tapi kepalsuannya ‑ hasil negatif ‑ biasanya hanya dapat dibuktikan oleh kritik dari dalam, oleh penyingkapan maksud tersembunyi di dalamnya. Maka di dalam daftar‑daftar keturunan yang demikianlah pula kita mencari tttik‑titik pertemuan dengan berita‑berita Portugis, dan menurut pendapat kita, kita telah menemuinya.
Sekarang rangkumannya.

Bukan Hasanuddin, melainkan ayah beliaulah yang menjadi pendiri kerajaan Islam Banten, dan pembina kekuasaan Islam di Jawa Barat. Sebagai seorang yang dilahirkan di Pasai, beliau meninggalkan kota kelahiran beliau itu pada tahun 1521, ketika orang‑orang Portugis memasuki kota tersebut. Beliau pergi ke Mekah, dan selama dua atau tiga tahun beliau di sana memperdalam ilmu agama beliau, Islam. Kemudian beliau kembali ke tempat kelahiran beliau, tapi dengan segera beliau tinggalkan lagi kota itu. Beliau tiba di Japara, dan mungkin juga di Demak. Dengan pengajaran agamanya beliau banyak mendapat hasil, demikian banyak hasilnya, sehingga beliau mendapat seorang adik untuk isteri beliau dari raja tempat itu, raja Demak, Pangeran Trenggana. Setelah itu beliau pergi ke Banten. Penguasa kota kerajaan Pajajaran di Banten menerima beliau dengan ramah, tertarik masuk agama beliau, dan meratakan jalan bagi kegiatan peng‑Islam‑an. Dari keadaan yang baik itu beliau dapat menarik keuntungan sedemikian banyaknya, sehingga dengan segera beliau menjadi tuan yang berkuasa atas kota tersebut dengan bantuan pasukan‑pasukan Jawa yang atas permintaan beliau dikirimkan oleh iparnya. Karena itu sekarang beliau bertindak dengan kuat. Pada tahun 1527 beliau merebut Sunda Kalapa, dalam peperangan mana raja Pajajaran sendiri gugur. Beberapa orang Portugis dari eskadron Francisco de Sa, yang oleh karena topan tercerai dari yang lainnya dan tersesat ke sana, dibunuhi. Kemudian Francisco de Sa dipukul mundur dengan kekalahan; ia yang tidak mengetahui perubahan‑perubahan yang terjadi di pantai utara tanah Sunda, dan datang ke Sunda Kalapa untuk membangun sebuah benteng, sesuai dengan perjanjian yang diadakan pada tahun 1522 dengan raja Pajajaran. Tetapi menyerbu ke pedalaman menyerang ibukota Pakuwan, beliau tidak berani mencobanya. Jatuhnya Pakuwan secara definitif baru terjadi kemudian, dan bukan oleh beliau. Tetapi kekuasaan Pajajaran telah sangat diperlemahnya. Oleh karena itu, pada akhir tahun 1545, beliau disebut raja Sunda oleh Pinto, dan pada awal tahun 1546 dengan tak usah kuatir beliau meninggalkan kotanya, Banten, untuk mematuhi seruan ipar‑dan‑atasan beliau, raja Demak, dengan pasukan‑pasukan yang besar jumlahnya, turut serta dalam ekspedisi terhadap Pasuruan. Kemudian ‑ apabila dan apa sebabnya, kita tak mengetahuinya ‑ beliau menetap di Carebon, di mana beliau, menurut perhitungan Dr. de Haan,[1] meninggal dunia dan dimakamkan kira‑kira pada tahun 1570. Dipandang sebagai orang keramat yang besar, terjadilah bermacam‑macam legenda di sekeliling diri beliau, yang semakin ke mari semakin khayal sifatnya. Nama beliau yang sebenarnya tidak kita ketahui. Tradisi‑tradisi kemudian memberikan kepada beliau nama‑nama yang banyak jumlahnya, tapi yang ketulenannya diragukan. Barros menamai beliau Faletehan dan Pinto menyebut nama Tagaril, keduanya tentulah perancuan dari nama‑nama anak negeri, tapi nama‑nama yang tidak dapat dikembalikan kepada aslinya. Tetapi pada umumnya beliau dikenal dengan nama tempat di mana beliau dimakamkan: Sunan Gunung jati, orang suci dari Gunung Jati.

Sekarang marilah kita ikuti Sajarah Banten setindak demi setindak.
Sebagaimana juga naskah‑naskah yang kemudian, Sajarah Banten pun mengatakan secara salah, bahwa peng‑Islam‑an .Banten dilakukan oleh Hasanuddin. Bagaimana mungkin sampai terjadi tradisi yang memulai urutan raja‑raja Banten dengan Hasanuddin, telah kita uraikan di atas. Mengenai cerita‑cerita yang bersifat legenda, yang mengatakan tentang adanya Hasanuddin di Banten, kegiatan peng‑Islam‑annya, perjalanan naik hajinya, kita hanya menunjukkan kepada tinjauan isi. Kita tak mempunyai alat‑alat untuk membedakan kenyataan-kenyataan dari khayalan‑khalayan yang diceritakan di dalamnya. Apa yang dapat kita katakan, hanyalah, bahwa barangkali Pucuk Umun itu adalah seorang yang bersejarah dan bahwa cerita tentang perjalanan Hasanuddin ke Mekah, mungkin mempunyai inti yang bersejarah:

Selanjutnya Banten Girang ditaklukkan. Untuk peristiwa ini disebut dua sangkala, tetapi yang kedua‑duanya tidak sesuai yang satu dengan yang lain. Brasta gempung warna tunggal tidak mempunyai nilai angka yang lain daripada 1400. Kedua kata yang pertama tidak terdapat pada daftar‑daftar yang dikenal dari kata‑kata sangkala.[2] Menurut artinya kira‑kira sinonim dengan ilang dan sirna, dan haruslah berarti = 0. Sangkala yang kedua, ilang kari warna Ian nagri, menunjukkan tahun 1480. Mungkin, bahwa kari adalah suatu kesalahan pihak penurun naskah, untuk kadi ‑ dalam pegon yang demikian itu mudah terjadi ‑ tetapi kadi = kaya = 3.[3] Kata kembar kadi‑kadi dan kaya‑kaya mempunyai nilai angka 0. Tetapi dalam dua sangkala yang lainnya dalam S.B. kadi dan sinonim lir ternyata mempunyai nilai 0, [4] sehingga di sini oleh perubahan kari menjadi kadi, sebenarnya menjadi sesuailah sangkala kedua dan sangkala pertama itu.
1400 dan 1430, jika ini kiranya yang dimaksud, yaitu berturut‑turut A.D. 1478/79 dan M. 1508/09 dari berita‑berita Barros, ternyata terlalu tua. Faletehan tiba pada tahun 1525 di Banten yang masih kafir. Dan sekalipun kita tidak mempunyai keterangan‑keterangan tersebut, kita akan memberikan nilai yang kecil saja kepada suatu sangkala sebagai brasta gempung warna tunggal itu sendiri, karena ia mewakili bilangan yang bulat sedemikian rupa seperti sirna ilang kertining bumi untuk berakhirnya Majapahit.

Lain halnya dengan 1480, yaitu M.1558/59.

Banten Girang rupa‑rupanya telah disebut dalam kronik Sunda kuno, Carita Parahyangan, dalam bentuk Wahanten Girang[5] dan menurut tradisi ‑ dalam bentuknya yang paling tua dalam S.B. ‑ nama ibukota lama Banten. Letaknya kita ketahui dengan teliti dari keterangan Caeff, yang juga menyebutnya "Banten Lama" ("oudt Bantam"): yaitu sedikit di atas "Clappadoa", kira‑kira enam jam perjalanan kaki dari Tirtayasa di Pontang dan tiga jam dari Banten. Sultan Agung telah menyuruh dirikan sebuah istana di sana, yang harus digunakan sebagai tempat mengungsi kaum wanita di masa perang.[6] Adapun Kalapadua sekarang masih merupakan sebuah kampung, kira‑kira di barat laut Serang, dan belum lagi dua kilometer jauhnya dari sana. Ibukota lama itu jadi letaknya haruslah di daerah dekat‑dekat bagian barat dan barat daya Serang yang sekarang ini. Namanya sekarang diberikan kepada sebuah gua kecil, sedikit di hulu Serang pada Sungai Banten. Dari nama Banten Girang (yaitu Banten Hulu) ternyata sekarang, bahwa sejak dari dahulu haruslah telah ada suatu Banten yang letaknya lebih ke hilir sungai di tepi laut. Banten inilah yang dapat dimaksudkan dalam cerita Barros, di mana Faletehan ± 1525 mendapat sambutan yang ramah‑tamah dan segera menjadi tuan, sehingga agaknya Banten Girang barulah kemudian, pada tahun 1558/59, direbut oleh orang Islam. Dalam hubungannya dengan kenyataan‑kenyataan lainnya, perhitungan tahun tersebut juga tetap tak dapat diterima. Pada tahun 1546, Pinto menceritakan bahwa Tagaril, raja Sunda di Banten, dengan tentara yang besar jumlahnya turut serta dengan Demak menyerang Pasuruan. Dapatkah ia berbuat demikian itu, jika sekiranya masih ada sebuah Banten Girang yang masih kafir, hanya tiga jam perjalanan saja letaknya di pedalaman? Pada permulaan tahun 1527, kita ketahui dari Barros, Sunda Kalapa direbut, oleh Faletehan. Apakah kiranya Faletehan menggunakan senjatanya terhadap kota ini, jika Banten Girang masih berada di tangan musuh‑musuhnya? Atas kedua pertanyaan ini, maka jawabnya tidak dapat lain daripada menafikan. Bertolak dari pendapat bahwa dalam kisah Barros yang dimaksud dengan "Bantam", di mana Faletehan datang pada tahun 1525, memang Banten di tepi pantai, maka dengan demikian jatuhnya Banten Girang haruslah ditetapkan antara ± 1525 dan 1527.

Tetapi pendapat itu sukar untuk sesuai dalam rangka petunjuk‑petunjuk lainnya. Menurut keterangan‑keterangan di atas, rupa‑rupanya bagaimanapun juga, pastilah, bahwa di masa sebelum Islam bukan kota Banten dari sejarah di masa kemudian, melainkan Banten Girang‑lah yang menjadi ibukota Banten. Banten yang kemudian itu pada permulaannya agaknya hanyalah sebuah kampung yang tak berarti saja di tepi pantai. Pelabuhan yang terutama pada ketika itu bagi Jawa Barat ialah Sunda Kalapa. Baru sebagai tempat kedudukan raja‑raja Islam, Banten mengembangkan diri sebagai tempat yang penting, atas kerugian Sunda Kalapa yang menjadi daerah takluknya. Di mana Barros dalam keterangannya tentang Faletehan menyebut Banten sebagai "kota Sunda" ("stad van Sunda"),[7] jadi rupa‑rupanya telah membuat suatu kesalahan anakronisme. Dalam hal ini ia berpikir kepada Banten dari 20 tahun kemudian, pelabuhan yang mengeluarkan lada yang dikenal oleh orang‑orang Portugis. Jika selanjutnya kita mendapat keterangan dari Barros tentang orang yang memberikan sambutan yang ramah tamah kepada Faletehan dan oleh karena Faletehan ia meng‑Islam‑kan diri, oleh Barros disebut "seorang kepala negeri" ("een hoofd van het land"),[8] maka pada saat itu juga kita berpikir kepada seorang penguasa kota Pajajaran di Banten Girang, lalu menempatkan sejarah Faletehan di Banten Girang dan bukan di Banten yang kemudian. Bahwa orang‑orang Portugis mengelirukan tempat itu dengan Banten, dapatlah dipahami, karena mereka tidak mengenalnya. Demikianlah juga kita dapat memahami tafsiran Couto yang keliru tentang keterangan yang lebih tua mengenai "pelabuhan Sunda" ("haven van Sunda") dengan Banten, karena ia tidak mengenal Sunda Kalapa, sedangkan Banten pada zamannya telah menjadi pelabuhan yang berarti atas kerugian kota yang lain itu. Karena itu haruslah Banten Girang pada ± 1525 direbut oleh orang‑orang Islam di bawah Faletehan. Karena kita telah menetapkan kesamaan Faletehan dengan Sunan Gunung jati, kita memandang keterangan Sajarah Banten, yang mengatakan bahwa Hasanuddin adalah penakluk, sebagai tidak benar.

Di mana Sajarah Banten tidak dengan tepat menggambarkan Hasanuddin sebagai raja Islam Banten yang pertama, kita tak dapat mendasarkan perhitungan‑perhitungan atas keterangan-keterangannya yang dinyatakan dalam angka‑angka, yaitu tujuh tahun untuk pengembaraan Hasanuddin di Banten sampai beliau dibawa bapaknya ke Mekah, 20 tahun untuk usianya tak lama sebelum penaklukan Banten Girang, dan 27 tahun bagi usianya ketika ia kawin. Kedua keterangan yang pertama membawa kita kepada sesuatu yang sama sekali tidak sesuai: Hasanuddin haruslah berusia 13 tahun ketika ia tiba di daerah Banten. Dalam rangkaian pengiraan kita, maka keterangan yang ketiga haruslah memberikan perhitungan yang berikut.

Tradisi yang inenyebut ibu Hasanuddin seorang puteri Pajajaran, dapatlah dikesampingkan, karena makna tersimpul di dalamnya tidak menurut sejarah. Dari keadaan, bahwa Sunan Gunung Jati = Faletehan = Tagaril pada ketika ia berangkat dari Banten ke Carebon, menunjuk Hasanuddin sebagai penggantinya, jadi dengan demikian Hasanuddin bagi seorang pengganti bapaknya adalah orang yang setepat‑tepatnya, dapatlah dikira‑kirakan, bahwa ia adalah seorang anak puteri Demak, yang nikah dengan bapaknya pada tahun ± 1524. Jadi dengan demikian ia dapat dilahirkan pada tahun ± 1525, sehingga pada ± 1552 ia pada usia 27 tahun menikah dengan seorang puteri Demak, dan seterusnya diangkat menjadi Panembahan Banten. Ini cocok dengan konsekwensi yang diakibatkan oleh pengira-ngiraan kita, bahwa Hasanuddin agaknya baru setelah tahun 1546 menjadi raja Banten. Selanjutnya kesimpulannya adalah, bahwa Sunan Gunung Jati pada tahun 1552 haruslah pula meletakkan pemerintahannya di Banten.

Tetapi atas perhitungan‑perhitungan ini, kita tidak memberikan banyak nilai. Karena keharusan kita bekerja secara eklektis dan hilanglah kita dalam bermacam‑macam gambaran, jika kita mencoba menarik kesimpulan‑kesimpulan hanya dari satu keterangan kronik anak negeri saja.
Keterangan, bahwa perkawinan Hasanuddin telah terjadi pada waktu jatuhnya Majapahit, adalah tidak benar., Majapahit jatuh pada kira‑kira tahun 1518, sebelum Banten berada di bawah kekuasaan Islam. Lain daripada suatu tempat dalam Sajarah Banten, keadaan tentang berakhirnya Majapahit, diceritakan dengan berlainan. Kedua gambaran itu sedikit‑banyaknya menyimpang dari gambaran kronik‑kronik Jawa Tengah. Tentang ini kita akan kembali dalam bab yang berikut.

Pemindahan ibukota Banten Girang ke Banten pun, yang diceritakan setelah itu oleh Sajarah Banten, tak dapat terjadi oleh Hasanuddin. Yang demikian itu haruslah dilakukan oleh bapak beliau, dan barangkali segera setelah direbutnya Banten Girang, karena pada tahun 1545 kita jumpai Banten telah sebagai Bandar perniagaan yang berkembang, tempat orang‑orang Portugis banyak berdatangan.

Cerita tentang Batara Guru Jampang, pertapa yang duduk atas watu gigiiang, batu besar rata yang menjadi singgasana raja‑raja Banten, dengan tidak bergerak‑gerak sedemikian.rupa sehingga burung‑burung bersarang di kain kepalanya, tentulah suatu legenda yang dihubungkan dengan batu itu.[9] Watu gigilang itu sampai sekarang masih dapat dilihat di Banten.
Kemudian Sajarah Banten menyebut anak‑anak Hasanuddin. Meskipun Sajarah Banten itu tidak mengatakan dengan tegas, tapi cukup ternyata dari kata‑katanya, bahwa Ratu Pambayun, Pangeran Yusup, dan Pangeran Arya adalah anak‑anak dari perkawinan dengan puteri Demak, Pangeran Ratu. Sajarah Banten Rante‑rante yang memberikan suatu daftar keturunan Hasanuddin dan Corn. de Bruin tidak raga‑ragu dalam hal ini. Sajarah Banten Rante‑rante menyebut, bahwa dari perkawinan itu masih ada seorang putera dan seorang puteri lagi, yang tidak ada disebut dalam S.B., yaitu Molana Magrib dan Ratu Ayu Arsanengah.[10] Pangeran Pajajaran Wado dan Ratu Tumenggung, yang disebutnya anak‑anak Hasanuddin dari selir-selirnya, kiranya nama‑nama lain Pangeran Wahas ‑ yang dalam sementara naskah‑naskah S.B. disebut Pangeran Wado ‑dan Ratu Rara. Ratu Bagus Angke, suami Ratu Pambayun, menurut S.B. Rante‑rante adalah seorang anak laki‑laki Ki Mas Wisesa Adimarta, yang tentang selanjutnya tidak diceritakan apa‑apa lagi.. Dengan Ratu Japara, yang mendidik Pangeran Arya, tidak dimaksudkan orang lain selain Ratu Kali Nyamat dalam kronik‑kronik Jawa Tengah. la puteri dari Pangeran Trenggana, jadi memang sebenarnya seorang bibi Pangeran Arya dan kawin dengan Pangeran Kali Nyamat. Kedua namanya diambil dari kedua tempat di daerahnya. Karena pada zamannya Kali Nyamat adalah ibukotanya, dan Japara adalah daerah pelabuhan Japara, sebagai ternyata dari Couto dan Lavanha.[11] Ratu wanita dari Japara ini memainkan peranan besar dalam sejarah Indonesia. Pada tahun 1550 ia membantu Johor dan pada tahun 1573 serta pada 1574 ia membantu Aceh terhadap Malaka.[12] Ketika saudara sepupunya, Arya Penangsang, yang setelah meninggalnya Pangeran Trenggana, menyatakan haknya atas kekuasaan tertinggi, menyuruh bunuh abangnya, Pangeran Prawata, ia pergi dengan suaminya kepada Sunan Kudus untuk mengadukan hal tersebut. Ia tidak berhasil, dan dalam perjalanan pulangnya maka juga suaminya dibunuh oleh orang‑orangnya Arya Penangsang. Sekarang ia membuat kaul untuk tidak lagi mengenakan pakaiannya; badannya yang telanjang hanya ditutupinya dengan rambut kepalanya saja, sebelum Arya Penangsang dapat dibunuh. Berkat bantuan Ki Pamanahan, ia berhasil membujuk iparnya, Dipati Pajang, menghancurkan musuh dan saingannya itu.[13]

Oleh perempuan yang enerjik ini, tapi di samping itu juga perempuan yang haus kepada penghormatan dan kekuasaan, dibesarkanlah Pangeran Arya.
Dalam hubungan dengan perjalanan Hasanuddin ke Lampung, Indrapura, Solebar dan Bengkulu, yang diceritakan S.B. dengan beberapa patah kata, kita hanya dapat mengatakan, bahwa beberapa dari daerah‑daerah tersebut mempunyai tradisi‑tradisi yang berisi kenang‑kenangan kepada kekuasaan tertinggi Banten atas daerah‑daerah itu.

Oleh tradisi Bengkulu, didirikannya kekuasaan Banten di sana dan di Silebar dihubungkan dengan sebuah piagam Banten dari masa yang lama kemudian. Dua orang laki‑laki, yang seorang dari keluarga raja Minangkabau, yang lain dari keluarga raja Majapahit, datang di Bengkulu. Yang pertama menjadikan dirinya kepala Bengkulu dan daerah sekelilingnya dengan nama Dipati Bangun Negara; yang kedua sebagai kepala Silebar dan sekitamya dengan gelar Dipati Bangso Radin. Selewatnya beberapa waktu kemudian mereka ingin menempatkan dirinya di bawah satu pemerintahan, lalu pergi ke Banten. Sultan Banten menerima kekuasaan tertinggi yang dipersembahkan kepada baginda dan baginda mengangkat mereka menjadi pangeran atas daerah mereka masing‑masing. Setelah itu mereka mendapal initruksi atas lempengan tembaga, bertanggal Selasa 5 Rabiulawal, tahun Wau, H. 1079 (M. 1668).') initruksi ini, dalam pasal yang dikutip di atas itu, diumumkan dalam terjemahan bahasa Melayu yang buruk, adalah selempeng piagam, yang menurut penanggalannya berasal dari Sultan Agung dan berisi peraturan‑peraturan mengenai Silebar. Jadi piagam itu merupakan suatu bukti, bahwa Banten mempunyai kekuasaan yang sebenarnya di sana.


[1]
Priangan, III, halaman 33.
[2]
Dengan ini dimaksud di sini dan selanjutnya daftar‑daftar yang dikeluarkan oleh Raffles, His. of Java lI, Appendix G.; J.F.C. Gerieke, lets over de Jav. tijdsck, (VBG, XVI); Hageman, Handleiding, etc. H, halaman 392, H.A. van Hien, De Jav. geestenwereld, 1, halaman 70; dan dalam Serat Tjandra Sangkala (Surakarta, oleh P.F.Voorneman). Daftar‑daftar ini isi‑mengisi, tetapi diambil pada umumnya, kekurangan banyak kata.
[3]
Diketahui, bahwa dalam banyak kata‑kata sangkala, orang Jawa meletakkan arti homonim kata‑kata itu; umpama dalam iku = ekor = 1 menjadi kata penunjuk benda iku, dan karena itu dalam sangkala‑sangkala sering kata penunjuk‑benda iku, dan sebagainya dipakai dalam arti 1; kaya sebagai kata sangkala berarti api.
[4]
Halaman 188 dan 212.
[5]
TBG, XXVII, halaman 97.
[6]
Dagh‑Register 1679, halaman 607
[7]
Barros, IV, halaman 44: "Bantam cidade de Suda".
[8]
Ibid.: "hum homem principal da terra".
[9]
Beberapa legenda lain tentang Batara Guru Jampang diceritakan oleh Prof. Snouck Hurgronje dalam VBG XXXI, halaman 48‑51. Dalam Cerita Parahyangan disebut nama Batara Guru di Jampang. Tapi bagian ini tidak dapat dipahami dan diberi tanda tanya oleh Holle (TBG, XXVII, halaman 96).
[10]
S.B. Rante‑rante, halaman 114; tapi di tempat lain (halaman 20) di mana disebut juga anak‑anak Hasanuddin, tidak ada disebut Molana Magrib; Corn. de Bruin, halaman 383.
[11]
Lihat karangan Rouffaer yang sering dipetik dalam Album‑Kern.
[12]
Veth, I, halaman 298‑299; Sultan Aceh ketika itu bukan Mansur Syah, melainkan 'Ali Ri'ajat Syah, lihat BKI, 8, I, halaman 212.
[13]
Babad‑Meinsma, halaman 81‑82 dan 87 dan seterusnya. Bandingkan Dr. J. Brandes, Arja Penangsang's rechten en pogingen tot herstel daarvan, (TBG, XLIII).
 
Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
 
Back
Top