Ide bantuan langsung tunai (BLT) muncul ketika pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM). BLT saat itu dianggap sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan daya beli masyarakat miskin akibat peningkatan harga sejumlah komoditas terkait kenaikan BBM.
Dana yang digelontorkan program BLT menyedot anggaran Rp 17 triliun (2005) dan Rp 14,1 triliun (2008). Cakupan penyebaran sebanyak 19,1 juta keluarga miskin di seluruh Indonesia.
Program tersebut kemudian dianggap berhasil. Partai Demokrat (PD), yang merupakan partai besutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun "menjual" program tersebut di masa kampanye Pemilu Legislatif.
Menariknya, partai oposisi PDIP, yang sebelumnya menentang BLT kemudian berbalik arah. Partai berlambang kepala banteng moncong putih itu ikut-ikutan mendukung BLT.
"PDIP sadar kalau BLT itu sangat efektif untuk mempengaruhi pilihan masyarakat di pemilu. Hasilnya terbukti perolehan suara PD melonjak drastis," keta anggota Bapilu DPP PDIP Budi Mulyawan.
Efektivitas BLT dalam mendongkrat suara PD, kata Budi, karena uang tunai tersebut disalurkan kepada rakyat miskin yang umumnya swing voter. Jumlah penerima BLT juga sangat banyak yakni mencapai 19,1 juta keluarga. Sementara PD dalam Pemilu
Legislatif meraih 21.703.137 suara.
BLT kemudian dipersoalkan penyalurannya menjelang kampanye, yakni Maret 2009. Akibatnya partai-partai pesaing, terutama PDIP merasa kesal."Uang BLT mengalir sampai ke basis massa PDIP. Mereka akhirnya pada kabur ke PD," ujar Budi, yang kini
jadi relawan Pandu Prabowo.
Pengaruh BLT pada pilihan politik masyarakat diakui sosiolig Universitas Indonesia (UI) Musni Umar. Menurutnya, BLT cukup efektif mendongkrak elektabilitas PD dan SBY.
Musni juga menduga pernyatan cawapres Boediono yang akan melanjutkan bagi-bagi uang lewat BLT merupakan upaya merebut simpati rakyat di pilpres. "Itu sangat mungkin. Karena BLT terbukti efektif meraih simpati rakyat kalangan bawah," ujarnya.
Hanya saja, belakangan sumber dana BLT dipersoalkan sejumlah kalangan. Soalnya dananya berasal dari pinjaman komersial dari luar negeri. Menurut Ketua BPK Anwar Nasution, bunganya mencapai 12%-13%.
Sumber dana BLT yang berasal dari utang dinilai sejumlah kalangan sebagai upaya menjebak masyarakat. Pemerintah dianggap berupaya menenangkan masyarakat akibat kenaikan BBM, tapi akibat buruknya akan dirasakan masyarakat ke depan.
"Untuk menjaga citra pemerintah mengorbankan masa depan rakyat. Karena rakyat harus menanggung utang yang sangat besar karena langkah-langkah pemerintah saat ini," tegas Sekjen Barindo Raya Jackson Kumaat.
Relawan pemenangan Mega-Prabowo ini menambahkan, selama masa pemerintahan SBY utang RI menggelembung
hingga mencapai Rp 1.660 triliun. Kata Jackson, itu sama artinya, setiap penduduk Indonesia harus menanggung sekitar Rp 12 juta utang pemerintah.
Soal peningkatan utang di pemerintahan SBY juga diakui pengamat politik Tjipta Lesmana. Menurutnya, dalam pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), setiap tahun negara menambah hutan Rp 100 trilun. Sehingga selama 4 tahun pemerintahan
tercatat utang RI mengalami penambahan Rp 400 triliun.
Tjipta mengamini kalau BLT merupakan salah satu faktor bertambahnya utang tersebut. Sebab anggaran tersebut bukan untuk investasi melainkan bagi-bagi uang semata. Akibatnya, ke depan pemerintah harus membayar utang tersebut berikut bunganya.
"Kalau tim SBY bilang BLT dari penghematan dan pengurangan subsidi itu bohong. Karena nyatanya dana BLT diambil dari APBN yang merupakan hasil utang sana-sini," tegasnya.
http://www.detiknews.com/read/2009/06/15/181022/1148301/159/mendongrak-citra-dengan-utang
Dana yang digelontorkan program BLT menyedot anggaran Rp 17 triliun (2005) dan Rp 14,1 triliun (2008). Cakupan penyebaran sebanyak 19,1 juta keluarga miskin di seluruh Indonesia.
Program tersebut kemudian dianggap berhasil. Partai Demokrat (PD), yang merupakan partai besutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun "menjual" program tersebut di masa kampanye Pemilu Legislatif.
Menariknya, partai oposisi PDIP, yang sebelumnya menentang BLT kemudian berbalik arah. Partai berlambang kepala banteng moncong putih itu ikut-ikutan mendukung BLT.
"PDIP sadar kalau BLT itu sangat efektif untuk mempengaruhi pilihan masyarakat di pemilu. Hasilnya terbukti perolehan suara PD melonjak drastis," keta anggota Bapilu DPP PDIP Budi Mulyawan.
Efektivitas BLT dalam mendongkrat suara PD, kata Budi, karena uang tunai tersebut disalurkan kepada rakyat miskin yang umumnya swing voter. Jumlah penerima BLT juga sangat banyak yakni mencapai 19,1 juta keluarga. Sementara PD dalam Pemilu
Legislatif meraih 21.703.137 suara.
BLT kemudian dipersoalkan penyalurannya menjelang kampanye, yakni Maret 2009. Akibatnya partai-partai pesaing, terutama PDIP merasa kesal."Uang BLT mengalir sampai ke basis massa PDIP. Mereka akhirnya pada kabur ke PD," ujar Budi, yang kini
jadi relawan Pandu Prabowo.
Pengaruh BLT pada pilihan politik masyarakat diakui sosiolig Universitas Indonesia (UI) Musni Umar. Menurutnya, BLT cukup efektif mendongkrak elektabilitas PD dan SBY.
Musni juga menduga pernyatan cawapres Boediono yang akan melanjutkan bagi-bagi uang lewat BLT merupakan upaya merebut simpati rakyat di pilpres. "Itu sangat mungkin. Karena BLT terbukti efektif meraih simpati rakyat kalangan bawah," ujarnya.
Hanya saja, belakangan sumber dana BLT dipersoalkan sejumlah kalangan. Soalnya dananya berasal dari pinjaman komersial dari luar negeri. Menurut Ketua BPK Anwar Nasution, bunganya mencapai 12%-13%.
Sumber dana BLT yang berasal dari utang dinilai sejumlah kalangan sebagai upaya menjebak masyarakat. Pemerintah dianggap berupaya menenangkan masyarakat akibat kenaikan BBM, tapi akibat buruknya akan dirasakan masyarakat ke depan.
"Untuk menjaga citra pemerintah mengorbankan masa depan rakyat. Karena rakyat harus menanggung utang yang sangat besar karena langkah-langkah pemerintah saat ini," tegas Sekjen Barindo Raya Jackson Kumaat.
Relawan pemenangan Mega-Prabowo ini menambahkan, selama masa pemerintahan SBY utang RI menggelembung
hingga mencapai Rp 1.660 triliun. Kata Jackson, itu sama artinya, setiap penduduk Indonesia harus menanggung sekitar Rp 12 juta utang pemerintah.
Soal peningkatan utang di pemerintahan SBY juga diakui pengamat politik Tjipta Lesmana. Menurutnya, dalam pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), setiap tahun negara menambah hutan Rp 100 trilun. Sehingga selama 4 tahun pemerintahan
tercatat utang RI mengalami penambahan Rp 400 triliun.
Tjipta mengamini kalau BLT merupakan salah satu faktor bertambahnya utang tersebut. Sebab anggaran tersebut bukan untuk investasi melainkan bagi-bagi uang semata. Akibatnya, ke depan pemerintah harus membayar utang tersebut berikut bunganya.
"Kalau tim SBY bilang BLT dari penghematan dan pengurangan subsidi itu bohong. Karena nyatanya dana BLT diambil dari APBN yang merupakan hasil utang sana-sini," tegasnya.
http://www.detiknews.com/read/2009/06/15/181022/1148301/159/mendongrak-citra-dengan-utang