Ghuluw: Biang Penggeregot Aqidah

ishimaru

New member
Banyak penyimpangan di tengah umat yang dilatari sikap berlebih-lebihan (ghuluw). Sejak awal, Islam menekankan prinsip pertengahan (wasathiyah) dalam memandang persoalan.


Para sahabat telah berkumpul menunggu kedatangan Rasulullah SAW. Mereka tampak sabar menanti kekasih Allah ini demi menyimak untaian ayat dan Sunnah yang keluar dari bibir sucinya. Akhirnya, Rasulullah SAW datang juga. Para sahabat seketika berdiri sebagai tanda penghormatan kepada Rasul terakhir ini. Menyaksikan hal itu, Rasul SAW langsung memperingatkan, "Janganlah kalian mengkultuskanku seperti orang-orang Nashrani mengkultuskan Isa bin Maryam, aku hanyalah hamba Allah dan Rasul Nya" (HR. Bukhari)

Kekhawatiran Rasul di atas disampaikan pada sebuah masyarakat Muslim yang digelari "Khair al Qurun", masa terbaik. "Sebaik-baik umnatku adalah masaku, lalu yang sesudahnya, lalu yang sesudahnya" (HR. Bukhari). Dapat disimpulkan, jika dalam masyarakat terbaik fenomena sikap berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw) bisa terjadi, apalagi masa-masa yang sesudahnya.

Kegusaran Rasul SAW sangat beralasan. Jauh sebelum dirinya diutus sebagai Rasul, umat Nabi Nuh AS terperosok ke kubangan kemusyrikan akibat penghormatan terhadap orang-orang shalih secara berlebih-lebihan. Diceritakan beberapa orang Shalih, yaitu Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr, satu per satu wafat. Demi mengenang keshalihan orang-orang shalih tersebut, kaum Nabi Nuh lalu melakukan i'tikaf, berkumpul dan berdiam diri, di pelataran kuburan mereka. Sikap ghuluw ini lalu berlanjut dengan cara membuat patung-patung mereka.

Awalnya, patung ini hanya dimaksudkan sebagai peringatan. Namun, seiring perjalanan waktu, apalagi setelah banyaknya para ulama yang wafat, patung itu lalu disembah. "Ketika mereka (orang-orang shalih) ini meninggal, syetan lalu membisikkan kepada kaum mereka, untuk membuat patung di tengah-tangah majelis-majelis, dan menamainya sesuai nama-nama mereka. Mereka melakukannya, tapi belum disembah. Ketika generasi tersebut wafat dan ilmu dilupakan, patung-patung itu akhirnya disembah" papar Ibnu Abbas, seorang pakar tafsir terkemuka dari kalangan sahabat (HR. Bukhari III/316).

Bagaimana sebenarnya hakikat ghuluw itu? Syekh Muhammad al Utsaimin menyebutnya sebagai "sikap berlebih-lebihan dalam memuji dan mencela" (al Qaul al Mufid 'ala Kitab at-Tauhid, I/466). Sejarah banyak menjelaskan fenomena ghuluw ini. Sikap berlebih-lebihan dalam sanjungan dan pengagungan telah dipraktikkan oleh kaum Yahudi dengan menyebut Uzair sebagai anak Allah, dan orang Nashrani dengan mengatakan Nabi Isa AS sebagai putra Allah (QS at-Taubah 30). Pada kutub yang berlawanan, kaum Yahudi terlaknat mencela habis-habisan Nabi Isa AS sebagai anak hasil zina. Maha suci Allah dari semua perkataan ini. Allah SWT memperingatkan, "Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian berlaku ghuluw dalam agama kalian" (QS an an-Nisa 171).

Bagi umat Islam, sikap orang-orang Yahudi dan Nashrani yang menghancurkan agama mereka sendiri dengan sikap ghuluw, selayaknya dijadikan pelajaran. Pintu-pintu perilaku yang dapat mengantarkan pada sikap berlebih-lebihan dan tidak proposional harus ditutup rapat-rapat. "Jauhilah sikap ghuluw, karena kehancuran orang-orang sebelum kamu adalah akibat dari ghuluw" ujar Muhammad SAW (HR Ahmad, Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban)

Penyakit ghuluw yang perlahan tapi pasti dapat menggerogoti dan menghancurkan aqidah umat, hanya dapat dipadamkan jika umat memiliki imunitas keilmuan dan tsaqafah yang mapan. Ketidaktahuan (jahl) tentang hakikat dan rincian dalam masalah-masalah aqidah dan syariat Islam, ditambah dengan semangat buta yang tinggi dapat membuat orang terjerembab dalam kubangan ghuluw.

Sikap berlebih-lebihan dalam agama (ghuluw) ini dapat juga disaksikan dalam beribadah dan beramal. Dalam kenyataan ibadah sehari-hari, umat Islam terbagi dalam kutub "minimalis" (serba kurang) dan kutub melampaui batas.

Selanjutnya, ada banyak tempat di mana sikap ghuluw tumbuh berjamur, seperti disebutkan Syekh Muhammad al-Utsaimin (al-Qaul al Mufid I/482-485). Pertama ghuluw dalam aqidah. Sikap ini dapat ditemukan pada diri penyokong-penyokong ilmu kalam. Dengan niat menyucikan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah, mereka terjerembab dalam dua titik ekstrim, menyerupakan Allah SWT dengan makhluk Nya (timstal), atau sebaliknya menolak Nama-nama dan Sifat-sifat Allah (ta'thil). Dengan alasan diskursus dan wacana ilmiah, hakikat Nama dan Sifat Nya diselewengkan. Padahal, jalan lurus dan sederhana dalam memahaminya adalah beriman sesuai makna dzahirnya, tanpa mempertanyakan hakikat, apalagi menolak pengertiannya. "Mempertanyakan (hakikatnya) adalah bid'ah" tegas Malik bin Anas yang bergelar Imam Darul Hijrah, dalam salah satu majlisnya.

Kedua Ghuluw dalam masalah ibadah. Sikap ini dipraktikkan oleh kaum khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Menurut mereka, orang yang mencuri misalnya, telah keluar dari Islam dan halal darah dan hartanya. Bahkan, mereka membolehkan pertumpahan darah dan durhaka terhadap para pemimpin. Di kutub lain terdapat kalangan Murjiah yang menganggap dosa besar tak mempengaruhi kualitas iman sseorang. Sehingga, selaras dengan anggapan golongan ini, keimanan iblis sama halnya dengan keimanan seorang mu'min, sebab iblis juga mengakui Allah SWT.

Ketiga, ghuluw dalam muamalah. Ini dipraktikkan oleh kalangan yang mengharamkan banyak perkara dunia demi menggapai akhirat. Menurut sebagian mereka, orangorang tak boleh membeli sesuatu yang yang melebihi keperluan fundamentalnya.

Keempat, ghuluw dalam tradisi. ini dibuktikan oleh sebagian orang yang enggan meninggalkan kebiasaan dan tradisinya akibat fanatisme buta. Meskipun ia menemukan tradisi yang jauh lebih baik. Terang saja sikap ini mengukung kebebasan berpikir dan berkembang yang merupakan salah satu karunia Allah SWT terhadap hamba-hamba Nya.

Secara lebih ringkas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalan Iqtidha' ash-Shirath al-Mustaqim (I/289), membagi ghuluw dalam dua aspek: aqidah (i'tiqady) dan perbuatan (amaly). Yang pertama, berkaitan dengan totalitas syariat Islam dan induk-induk permasalahannya dalam masalah aqidah. Walaupun sikap ini berlatar aqidah, tapi imbasnya juga merambat dalam perbuatan sehari-hari. sebagai contoh, sikap memuliakan para ulama dan dan imam dengan mengatakan bahwa mereka terjaga dari kesalahan (ma'shum) seperti yang diyakini oleh kalangan Syi'ah Itsna 'Asy'ariyah, yang meyakini bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib dan sebelas keturunannya terjaga dari kesalahan. Selain itu, sikap mengkafirkan tanpa bukti dari nash al-Qur'an maupun hadits termasuk dalam sikap ghuluw ini.

Ghuluw dalam masalah perbuatan (juziy amaly), menurut Ibnu Taimiyah, adalah yang berkaitan dengan satu perkara parsial dalam syariat Islam. Disebut amaly, karena berkaitan dengan perbuatan baik lisan ataupun perbuatan anggota tubuh. Tapi, perbuatan ini tidak dilatari oleh keyakinan yang sebelumnya telah sesat.

Jika ghuluw dalam masalah perbuatan ini terus terjadi, bukan mustahil juga akan melahirkan ghuluw dalam masalah keyakinan. Anas bin Malik meriwayatkan, ada tiga sahabat yang berkata, "Aku akan shalat malam selamanya". Ada juga yang berkata, "Aku akan puasa dahr(berturut-turut selama setahun) dan tidak berbuka". Yang lain berkata, "Aku akan menjauhi wanita dan tidak menikah selama-lamanya". Mendengar hal itu, Rasulullah SAW berdiri berkhutbah di hadapan khalayak, "sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertqwa kepada Allah diantara kalian. Namun aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan tidur, dan aku menikahi wanita. Siapa yang tak menyukai sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku" (HR Bukhari Muslim)

Islam menekankan prinsip pertengahan (wasathiyah) dalam menjalankan seluruh ajaran syariatnya. Kebahagian di akhirat bukanlah tujuan yang mengharamkan seorang muslim untuk mengecap kenikmatan dunia. Bahkan, dunia adalah sarana sekaligus cobaan dalam menggapai kemulyaan akhirat. Yang salah, jika dunia dijadikan tujuan seraya mencampakkan tujuan akhirat. "Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi" (al-Qashash 77)

Betapapun, mengikis fenomena ghuluw yanh terjadi di tengah-tengah masyarakat membutuhkan ta'uiyah (perhatian) yang sungguh-sungguh selain kesabaran yang kontinu dari para ulama dan dai. Begitu banyak situasi di sekitar kita yang secara perlahan namun pasti dapat mengantarkan pada sikap ghuluw, jika tidak diwaspadai dan segera dicegah. Alih-alih meraih ketqwaan, malah terjerembab dalam kesesatan. Wal 'iyadzu billah

M. Nurkholis Ridwan

Majalah Sabili, No.20 TH. X 24 APRIL 2003/ 22 SHAFAR 1424


*Artikel ini saia salin dari majalah sabili, jika ada kata-kata yang kurang berkenan saia mohon maaf ... semoga dapt menambah wawasan keilmuan kita ....v^^
 
Bls: Ghuluw: Biang Penggeregot Aqidah

Wah ini info bagus banget buat menumpas kemusyrikan yang berawal dari budaya dan tradisi bangsa nih.

Bintang buat TS deh.
 
Back
Top