ch4rlotte
New member
Tahukah kita bahwa hal yang kita alami setiap hari adalah pelajaran berharga untuk mencapai kematangan berpikir…..
Ada satu kejadian menarik yang mendasari terjadinya tulisan ini (formil kan bahasanya….. ,p). Saat liburan panjang, saya menginap di rumah salah satu kerabat. Di rumah tersebut ada seorang anak, 5 tahun usianya, saya kebetulan memang ‘bertugas’ menemani anak tersebut bermain selagi ibunya bekerja, alhasil acara liburan berubah menjadi kursus mengendalikan amarah (hihi....) karena kebetulan anak itu luar biasa ’semena-mena’nya (curhat nih ye....).
Suatu hari, seperti biasanya ia minta diambilkan mainan, tak ada hal yang istimewa memang namun di telinga saya kalimat perintah sang anak menjadi sangat istimewa karena seperti ini bunyinya ’Mbak, ambilin itu dong (sambil menunjuk mainan yang diinginkannya), mbak kan pembantu di sini jadi harus mau disuruh-suruh....’ DEG!! Hati saya terasa seperti dihantam palu godam (hiperbolis abis ya....), perlu diberi tinta tebal pada kata ’pembantu’ setelah itu digarisbawahi, huhuhu.... namun seketika itu pula saya diam, berpikir dan tersenyum. Apa yang salah dengan kata pembantu?? Mengapa saya sedih dan marah dikatakan sebagai pembantu?? Padahal pembantu bukan pekerjaan yang haram kan, malahan super halal dan mulia. Saat itu juga saya menarik napas panjang dan mohon ampun pada Allah.
Begitulah sekilas cerita tentang salah satu hari di kehidupan saya. Kenapa kadang kita begitu marah dikatakan sebagai sesuatu yang tidak berkenan di hati kita, padahal seharusnya dikatakan sebagai apapun tak akan pernah menaikkan kadar emosi kita karena kemuliaan diri bukanlah dari status yang disandang tapi dari akhlak dan cara kita bertindak dalam menghadapi hidup. Kemudian saya berpikir lebih jauh, jika suatu hari ada anak yang memanggil saya dengan sebutan terburuk sekali pun hati saya akan merespon dengan lebih bijaksana. Trus kira-kira kalau kamu yang ada di posisi saya saat itu apa yang kamu rasakan??? =D
Ada satu kejadian menarik yang mendasari terjadinya tulisan ini (formil kan bahasanya….. ,p). Saat liburan panjang, saya menginap di rumah salah satu kerabat. Di rumah tersebut ada seorang anak, 5 tahun usianya, saya kebetulan memang ‘bertugas’ menemani anak tersebut bermain selagi ibunya bekerja, alhasil acara liburan berubah menjadi kursus mengendalikan amarah (hihi....) karena kebetulan anak itu luar biasa ’semena-mena’nya (curhat nih ye....).
Suatu hari, seperti biasanya ia minta diambilkan mainan, tak ada hal yang istimewa memang namun di telinga saya kalimat perintah sang anak menjadi sangat istimewa karena seperti ini bunyinya ’Mbak, ambilin itu dong (sambil menunjuk mainan yang diinginkannya), mbak kan pembantu di sini jadi harus mau disuruh-suruh....’ DEG!! Hati saya terasa seperti dihantam palu godam (hiperbolis abis ya....), perlu diberi tinta tebal pada kata ’pembantu’ setelah itu digarisbawahi, huhuhu.... namun seketika itu pula saya diam, berpikir dan tersenyum. Apa yang salah dengan kata pembantu?? Mengapa saya sedih dan marah dikatakan sebagai pembantu?? Padahal pembantu bukan pekerjaan yang haram kan, malahan super halal dan mulia. Saat itu juga saya menarik napas panjang dan mohon ampun pada Allah.
Begitulah sekilas cerita tentang salah satu hari di kehidupan saya. Kenapa kadang kita begitu marah dikatakan sebagai sesuatu yang tidak berkenan di hati kita, padahal seharusnya dikatakan sebagai apapun tak akan pernah menaikkan kadar emosi kita karena kemuliaan diri bukanlah dari status yang disandang tapi dari akhlak dan cara kita bertindak dalam menghadapi hidup. Kemudian saya berpikir lebih jauh, jika suatu hari ada anak yang memanggil saya dengan sebutan terburuk sekali pun hati saya akan merespon dengan lebih bijaksana. Trus kira-kira kalau kamu yang ada di posisi saya saat itu apa yang kamu rasakan??? =D