Anak visual tak hanya butuh buku berilustrasi. Aisyah semula merasa Cukup mengerti mendengar penjelasan psikolog. Intinya, IQ performance Heri 142, IQ verbalnya 90.
“Heri anak visual spatial learner, dia lebih memahami bahasa visual, bentuk gambar-gambar,” katanya.
Saat itu, Aisyah merasa cukup jelas tentang si buyung. Ia tak bertanya banyak tentang apa yang harus ia lakukan untuk bocah berumur lima tahun itu. ‘Anak saya perlu buku-buku yang banyak gambarnya,” kenang ibu seorang anak itu.
Belakangan, Heri sudah menginjak remaja, duduk di bangku SMP. Ia menjadi siswa cerdas. Sayangnya, prestasinya biasa-biasa saja. Guru wali kelasnya pun bingung, apa yang sebenarnya dibutuhkan anak ini untuk memunculkan potensinya yang terkubur?
Aisyah teringat penjelasan psikolog tentang visual spatial learner (VSL). Ia mencari informasi tentang VSL. ‘Ternyata, anak VSL punya cara berpikir berbeda,” katanya.
Organisasi otak
Anak VSL, jelas psikolog Erna Marina Kusuma Mpsi, melihat gambar lebih cepat ingat, tak seperti suara dan tulisan. “Seperti handycam,” katanya mengibaratkan.
Semua anak, jelas psikolog klinis ini, sejak lahir merupakan VSL. Pada usia 5-6 tahun, anak mengembangkan kemampuan belajar auditory yang mengandalkan pemahaman kata-kata lewat suara.
Masalah baru dirasakan orang tua saat anak masuk TK Dan, kesulitan muncul saat kelas 3-4. “Saat penggunaan bahasa meningkat,” kata Erna.
Orang tua mendeteksi masalah ketika mereka membandingkan dengan anak-anak lain di sekolah. “Hal yang tidak ditemui jika hanya di rumah.”
Anak-anak ini sebenarnya banyak di sekitar kita. Mereka adalah yang menghabiskan waktunya memecahkan puzzle yang semakin canggih, bermain blok bangunan Lego, bermain catur, merancang eksperimen sains, memprogram komputer, membongkar apa saja di rumah untuk melihat cara kerjanya. Di sisi lain, mereka juga sangat kreatif dan punya jiwa seni.
Anak VSL cenderung berpikir dalam gambar ketimbang dalam katakata, Mereka memiliki organisasi otak yang berbeda. “Mereka belajar semua bersamaan (all at once) dan ketika sudah ‘terangkap’ pembelajarannya pun jadi permanen,” kata Linda Kreger Silverman PhD, mencontohkan perbedaan itu.
“Mereka tidak belajar dari pengulangan dan sistem drill.” Contoh lain yang ditemukannya, anak VSL belajar secara whole-part. “Mereka harus melihat gambaran besarnya dulu sebelum belajar detailnya, Mereka bukan sequential, artinya tidak belajar tahap demi tahap seperti yang diajarkan sebagian besar guru,” katanya di dalam The Visual Spatial Learner: an Introduction.
Hal itu, menurut Erna, konsekuensi dengan cara kerja handycam yang mengambil gambar lengkap. “Tapi, mengambil gambar-gambar dominan saja.”
Di Indonesia, wanita kelahiran Palembang ini mengakui, sulit mendapatkan sekolah ideal bagi mereka. Sebab, umumnya sekolah dengan sudut pandang kepentingan orang-orang auditory. Untuk membantu belajar anak VSL, Erna lebih cenderung mengembangkan anak secara bijaksana. Yakni, kata dia, membuat anak mampu berbaur dengan lingkungan.
Anak penting dilatih secara bertahap menyimak dan berkonsentrasi mendengarkan orang yang berbicara. Misalnya, lima menit mendengarkan dan menatap orang yang berbicara,“Dorong anak mengikuti pembelajaran dasar baca-tulis,” kata psikolog di Klinik Gading Utama ini. “ Tak perlu menuntut jadi yang terbaik. Selebihnya, dukung kemampuan anak yang sesungguhnya.”.
Sumber : Republika
“Heri anak visual spatial learner, dia lebih memahami bahasa visual, bentuk gambar-gambar,” katanya.
Saat itu, Aisyah merasa cukup jelas tentang si buyung. Ia tak bertanya banyak tentang apa yang harus ia lakukan untuk bocah berumur lima tahun itu. ‘Anak saya perlu buku-buku yang banyak gambarnya,” kenang ibu seorang anak itu.
Belakangan, Heri sudah menginjak remaja, duduk di bangku SMP. Ia menjadi siswa cerdas. Sayangnya, prestasinya biasa-biasa saja. Guru wali kelasnya pun bingung, apa yang sebenarnya dibutuhkan anak ini untuk memunculkan potensinya yang terkubur?
Aisyah teringat penjelasan psikolog tentang visual spatial learner (VSL). Ia mencari informasi tentang VSL. ‘Ternyata, anak VSL punya cara berpikir berbeda,” katanya.
Organisasi otak
Anak VSL, jelas psikolog Erna Marina Kusuma Mpsi, melihat gambar lebih cepat ingat, tak seperti suara dan tulisan. “Seperti handycam,” katanya mengibaratkan.
Semua anak, jelas psikolog klinis ini, sejak lahir merupakan VSL. Pada usia 5-6 tahun, anak mengembangkan kemampuan belajar auditory yang mengandalkan pemahaman kata-kata lewat suara.
Masalah baru dirasakan orang tua saat anak masuk TK Dan, kesulitan muncul saat kelas 3-4. “Saat penggunaan bahasa meningkat,” kata Erna.
Orang tua mendeteksi masalah ketika mereka membandingkan dengan anak-anak lain di sekolah. “Hal yang tidak ditemui jika hanya di rumah.”
Anak-anak ini sebenarnya banyak di sekitar kita. Mereka adalah yang menghabiskan waktunya memecahkan puzzle yang semakin canggih, bermain blok bangunan Lego, bermain catur, merancang eksperimen sains, memprogram komputer, membongkar apa saja di rumah untuk melihat cara kerjanya. Di sisi lain, mereka juga sangat kreatif dan punya jiwa seni.
Anak VSL cenderung berpikir dalam gambar ketimbang dalam katakata, Mereka memiliki organisasi otak yang berbeda. “Mereka belajar semua bersamaan (all at once) dan ketika sudah ‘terangkap’ pembelajarannya pun jadi permanen,” kata Linda Kreger Silverman PhD, mencontohkan perbedaan itu.
“Mereka tidak belajar dari pengulangan dan sistem drill.” Contoh lain yang ditemukannya, anak VSL belajar secara whole-part. “Mereka harus melihat gambaran besarnya dulu sebelum belajar detailnya, Mereka bukan sequential, artinya tidak belajar tahap demi tahap seperti yang diajarkan sebagian besar guru,” katanya di dalam The Visual Spatial Learner: an Introduction.
Hal itu, menurut Erna, konsekuensi dengan cara kerja handycam yang mengambil gambar lengkap. “Tapi, mengambil gambar-gambar dominan saja.”
Di Indonesia, wanita kelahiran Palembang ini mengakui, sulit mendapatkan sekolah ideal bagi mereka. Sebab, umumnya sekolah dengan sudut pandang kepentingan orang-orang auditory. Untuk membantu belajar anak VSL, Erna lebih cenderung mengembangkan anak secara bijaksana. Yakni, kata dia, membuat anak mampu berbaur dengan lingkungan.
Anak penting dilatih secara bertahap menyimak dan berkonsentrasi mendengarkan orang yang berbicara. Misalnya, lima menit mendengarkan dan menatap orang yang berbicara,“Dorong anak mengikuti pembelajaran dasar baca-tulis,” kata psikolog di Klinik Gading Utama ini. “ Tak perlu menuntut jadi yang terbaik. Selebihnya, dukung kemampuan anak yang sesungguhnya.”.
Sumber : Republika