MELUKIS LANGIT

agen_pale

New member
MELUKIS LANGIT​

Untuk kelima kalinya ia memencet nomor-nomor telepon itu dnegan tidak sabar. Bunyi yang keluar masih sama, Sibuk. Sudah jam dua siang. Apakah Bapak tengah berpidato di telepon? Dira membanting gagang telepon itu, Malik tetangganya yang dari tadi mengintip dari balik majalah, tertawa mengikik.

"Jangan terlalu berbakti, Dira. Bapakmu baik-baik saja"
"Taik...! Kamu nggak tahu kalau Bapak sudah menelpon Pak Mahmud? Gila ! Lima jam. Gagang telepomn sampai panas, Lik. Mending amat pembicaraannya bermutu. Soal pengalaman di penjara jaman revolusi diulang-ulang. Seluruh plat masa lalunya sudah diputar dimuka setiap orang" jelas Dira.
"Alaaah....Dir, maklum dong. Bapak kamu biasa sibuk. Sekarang tinggal melulu sama anaknya yang setan kerja," ucap Malik seenaknya.

Nadira melirik sambil terus memencet nomor telepon rumahnya dengan tidak sabar.
"Bapak...?"
"Eh...Dira aduuh..., Bapak baru saja taruh gagang telepon"
"Bapak pidato lagi ya..? Nanti rekening telepon menjulang tinggi lagi."

Terdengar tawa ngakak yang keras. Dira menjauhkan gagang teleponnya sejenak lantas mendekatkannya kembali ke daun telinganya. Malik tersenyum.

"Anu.. Dir... pak Mahmud tadi memuji-muji wawancaramu itu. Katanya tajam betul pertanyaanmu. Bapak bilang kan itu karena keturunan saya selalu punya otak tajam.. ha....ha....ha...".
Nadira tersenyum, "Bicara tiga kalimat saja masak sampai lima jam, Pak?".
"Ah... ndak lima jam toh, Dir. Bapak baru cerita film di televisi siang ini. Bagus sekali lho. Apa sih kamu sok mengeritik tv swasta. Kamu nggak tahu saja, tv swasta muter film bagus-bagus. Buktinya kemarin muterin filmnya John Wayne. Waduh Bapak jadi ingat waktu masih naksir ibumu. Gilanya Bapak juga pernah mengajak pacar Bapak yang satu lagi untuk nonton film yang sama. Wuaha..ha..ha.."

"Film John wayne koq ditonton?"
"Apa kamu sok tahu. Kamu mana ngerti idiom-idiom John Wayne, Clark Gable, atau Humphrey Bogart. Mereka itu memang tergolong dalam genre film yang berbeda, tapi itu adalah kosa kata film masa lalu Bapakmu, nduk. Kamu khan cuma tahu nama-nama masa kini macam Robert de Niro, Jack Nicholson, Dustin Hoffman atau siapa itu yang jadi banci dalam penjara Brazil itu...?
"William Hurt....."
"Ya..ya... Willian Hurt. Tapi nama-nama itu nggak legendaris. dan film-film mereka belum tentu abadi meski dalam pikiranmu, mereka itu kau puja-puja seolah mereka Dewa Khayangan saja..."

<to be continued...>
 
Last edited:
Bls: <Cerbung> MELUKIS LANGIT

"Lantas apa bagusnya si John Wayne itu?"
"Wah..ya itu, kau nggak bisa menghargai. Gerak gerik dan olah tubuhnya, tanpa harus jungkir bolak-balik seperti jagoan ninja jaman sekarang, sangat teguh, tegap, dan mewakili ketetapan hatinya. Dia hanya berdiri di ujung jalan, menghadapi 11 orang penembak ulung. Tapi kau tahu, mereka semua akan mati di tangannya. Dor ! dan 11 orang itu terkapar semua."
"Lho, itu yang bikin nggak seru, Pak. Masak kita sudah tahu duluan si John Wayne akan menang."
"Ya, Intinya bukan masalah menang atau kalah. Tapi bagaimana ia bisa mendapatkan kemenangan itu...."

Dira menghela nafas. Dia memindahkan telepon ke telinga kirinya. "Bapak belum makan, ya?"
Tak terdengar jawaban apa-apa
"Pak...?"
"Yaaa...sudah minum kopi pagi tadi... Kopi itu cukup mengisi perut Bapak lho. Waktu dulu Bapak konfrensi IGGI di Amsterdam...."
"Pak, kok gitu. Kan si Nah sudah janji mau masak lasagna kesukaan Bapak..."
"Tapi lain dengan lasagna buatan kantin"
"Lho.., mana ada buatan kantin yang enak, Pak. Sudah. Saya bawain cah kailan restoran Trio, ya. Mau?"
"Nggak. Makanan kantin kantor Bapak paling enak."

Dira sudah mulai tak sabar. Dari kejauhan di melihat Eni memanggil karena ada telepon untuknya.
"Pak, sudah ya Pak...ada yang telepon Dira.."
"Tunggu, Dira. Kalau mau bawa makanan buat Bapak, dari kantin saja. Beli lasagna buatan ibu Murni, Lantas sekalian beli kue lumpur surga beberapa buah. Nanti malam ada film Alfred Hitchcock di TV."
"Ya..ya..".

Hari sudah pukul setengaj tujuh malam ketika Nadira melangkah masuk perlahan. Suara penyiar TV yang merdu dan dengung nyamuk di kupingnya memberikan sebuah tanda. Bapaknya sudah duduk di depan televisi. Hampir setahun lamanya pemandangan itu menjadi rutinitas kehidupan keluarga Suwandi. Saat ini keluarga Suwandi hanya tinggal Nadira dan bapaknya. Yu Nin masih bergulat memelototi buku-bukunya di perpustakaan hanya untuk menambah tiga huruf di belakang namanya. Dan itu jauh-jauh di lakukan di Amerika. Arya bertapa di tengah hutan. Dengan setianya abangnya menjaga hutan jati milik rakyat agar tidak dicuri tangan-tangan iseng.

<to be continued>
 
Last edited:
Bls: <Cerbung> MELUKIS LANGIT

...lanjutan

... Ibu Suwandi sudah lama memilih untuk tidak pusing dengan kewajiban di dunia. Setiap kali membaca tulisan anak bungsunya di koran, tekanan darahnya melesat ke titik yang mengerikan. Karena itu, Nadira selalu memasang sentum setiap kali pulang meliput peristiwa-peristiwa kontroversial yang kira-kira bisa menggangu jam tidur ibunya. Nadira tahu betul, ibunya sudah kenyang dengan kehidupan sebagai "istri wartawan ideal". Dan ia mengerti, sesungguhnya kepedulian ibunya terhadap nasib orang-orang yang tergusur atau ketidakjelasan praktek hukum justru membuat tubuh dan hatinya terus menerus gundah
Akibatnya, Dira terlalu sering menyimpan penderitaannya untuk dirinya sendiri. Pekerjaannya sebagai wartawan telah begitu semangat menggerogoti tubuh dan pikirannya.

Ketika terjadi mutasi besar-besaran di kantor ayahnya, pikiran Nadira tersedot habis ke dalam persoalan itu. Ayahnya seorang wartawan senior yang dihormati mendadak mendapat tawaran kedudukan yang ganjil. Kepala bagian Iklan. Dan selama itu pula, Nadira dan kedua kakaknya lupa bahwa Ibu Suwandi pun sesungguhnya sudah rapuh. Di tengah kekalutan itu, ketiga bersaudara terkaget-kaget ketika suatu pagi menemui wajah ibunya yang membiru di tepi tempat tidur ("mula-mula aku mengira ibu sedang tidur di lantai. Malam-malam ibu sering kegerahan," bisik Nadira kepada Malik pada hari penguburan ibunya. Tanpa ratapan tanpa air mata).

Kematian ibunya yang mendadak telah membuat Nadira begitu tua. Sejak penguburan ibunya setahun silam, lingkaran hitam di bawah kedua kelopak matanya tak pernah hilang. Dan sejak kematian itu pula, Dira memandang segala sesuatu di mukanya tanpa warna. Semuanya tampak kusam dan kelabu. Ia tahu tawa ayahnya berisi air mata. Ia tahu ketok-ketok bakiak ayahnya setiap jam tiga pagi adalah bunyi detak jantung ibunya yang saling bekekaran dengan lonceng kematian.

Di muka layar televisi, ayahnya memandang adegan demi adegan itu tanpa berkedip. Sudah jam delapan. Ayahnya segera mematikan televisi ("Saya tidak sanggup melihat acara gunting pita dan pukul gong. Semuanya adalah pameran kepandiran," ujar ayahnya ketika Dira menanyakan kenapa ia selalu mematikan televisi tepat jam delapan. Dan itu dilakukan rutin sejak kematian ibunya). Bapaknya memasukan kaset CD yang sudah dikenalnya. All the President's Man. Filim itu sudah ditontonnya puluhan kali. Tiba-tiba bapaknya merasa ada yang memperhatikan dirinya, Ia menoleh.

"Dira...."
"Ini saya bawakan lasagna buatan kantin kantor Bapak. MAsih ada dua potongan terakhir..."
Mata Bapaknya berkilat menatap bungkusan di tangan anaknya, ia tersenyum kecil.
"Ketemu siapa saja di kantin, Dira?"
NAdira menagmbil piring di lemari dan menjawab sekilas. "Pak Riswanto...".

Bapaknya terdiam. Dipandangnya dua potongan lasagna itu. Kilat matanya kembali redup. Kemudian menatap ke layar televisi. Ada adegan kesibukan di ruang kantor The Washington Post. Lantas muncul Dustin Hofman. Terdengar dengung nyamuk di kupingnya.
"Pak, sudah saya bawakan, Pak...."
"Ya..ya...bawa sini".

to be continued....
 
Bls: <Cerbung> MELUKIS LANGIT

lanjutan...

Dira mengambilkan piring berisi dua potong lasagna dan memindahkan beberapa potong kue lumpur surga ke piring kecil yang lain. Didekatinya Bapaknya dan disodorkannya kedua piring itu. Bapaknya mengambil piring-piring itu dari tangan anak bungsunya. Diletakannya kedua piring itu ke atas meja kecil di sebelah kursinya. Tatapannya tetap lurus ke arah layar televisi.
Nadira menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Air dingin yang dibanjurkan ke mukanya bercampur dengan air hangat yang menaglir dari kedua bola matanya.

"Yu, Nin..."
"Hei, Dira?" Gila jam berapa ini?"
Nadira melirik ke jam dindingnya. Jam setengah tiga pagi.
"I need you...."
"Ofcourse... Kalau tidak kau tak akan segila ini. Ada apa"

Nadira terdiam. Dia tak langsung menjawab apa yang ingin diutarakannya. Kelihatannya begitu sepele, begitu remeh temeh, hingga ingin rasanya ia meletakkan handphone itu. Namun suara Yu Nin yang biasanya mantap dan sedikit tergesa-gesa karena kesibukannya, kini terdengar lebih sabar. Mungkin karena dia menyadari urgensinya telepon adik bungsunya itu. Nadira memang tak terlalu sering menelepon kakak sulungnya yang tengah bergulat menyelesaikan disertasi doktornya di Amerika. Selain ongkis telepon terlalu mahal, dia tak suka dengan ketergesaan kakaknya yang selalu sibuk mengembalikan buku ke perpustakaan atau harus bertemu dengan salah satu pembimbingnya.

"Kenapa Dira? Bapak?"
"Dia tidak makan seharian ini....," akhirnya meluncur juga kata-kata itu.
"Good, that man... sudah berapa lama?"
"Kemarin sih makan, meski cuma gado-gado dari kantin. Padahal Yu NAh sudah membuatkan urap kesukaannya. Empat hari yang lalu, dia juga ogah makan lalu menyuruh saya membeli soto ayam dari kantin. Yu Nah sudah mulai tersinggung, merasa masakannya nggak dihargai...".
"Jadi ini mengadu soal Yu Nah atau Bapak ?"
"Ya, dua-duanya. Tapi yang gawatkan Bapak? Lagi pula dia terserang insomania akhir-akhir ini. Setiap malam aku mendengar kletak-kletuk bakiaknya di dapur."
"Alaaa..., insomanianya kan sejak dia jadi wartawan.."
"Ya, tapi makannya? Kan Bapak biasanya jago makan?"
"Ya sudah. Nanti juga dia makan kalau lapar..."

Nadira menggigit bibir. "Dia...dia.. hanya suka menonton televisi, Yu.... Lantas nonton video All The President's Men diulang-ulang cuma untuk mengingat masa lalunya sebagai wartawan."
"Lho.. itu kan bagus? Daripada seperti Oom Prie yang menghabiskan waktunya minum di bar?"
"Dia kan memang suka minum alkohol. Bapak tidak. Lagi pula frustasinya lain. Oom Prie kan di PHK, kalau bapak..."
"Nah.., Bapak kenapa? Kan dia yang keras kepala. Coba tawaran pak Riswanto di terima..."
"Gimana sih kau, Yu. Bapak itu lulusan Amsterdam University. Sarjana Politik dan Ekonomi. sudah meliput berbagai sidang internasional, seperti IGGI dan OPEC. Sudah pernah mewawancara...."
"Come on, Dira. Kok kamu jadi ketularan Bapak suka memutar plat lama. Aku kan sudah mendengar bab itu sejak kamu masih bau pesing. Aku juga hafal curiculum vitae bapak. Tapi dengan segala latar belakang intelektual itu apa salahnya dia jadi Kepala Bagian Iklan?".

<to be continued>
 
Last edited:
Bls: <Cerbung> MELUKIS LANGIT

Lanjutan...


Nadira tak tahan. Hatinya seperti melepuh saking panasnya. Dia meletakan handphone itu perlahan-lahan. Ketika telepon berdering-dering kembali, Dira mematikan lampu kamarnya. Dan dering telepon itu berhenti. Kesunyian malam itu hanya diganggu suara bakiak bapaknya yang mondar-mandir di dapur. Dira keluar dari kamarnya dan menyeret kakinya ke kamar mandi. Dicelupkannya seluruh kepalanya ke dalam bak mandi, lantas diangat seluruh kepalanya yang basah kuyup. Dipandangnya tembok putih kamar mandi itu. Semua kelihatannya begitu kelabu. Berulang-ulang dia mencelupkan kepalanya ke bak mandi dan mengangkatnya kembali. Sementara jam dinding milik kakek mengumumkan. Pukul tiga pagi.

"Dira..?"
"Ya, Bapak? Ini Bapak?"
"Wah jelas betul terdengarnya, Dira... seperti kau ada di Jakarta. Justru kalau telepon satu kota, kita harus teriak-teriak, ya. Dira, kau baik-baik saja kan?"
"Ya, oke-oke saja. Di bandara Ninoy tadi, agak migren. Biasa. Kan kumuh dan bau. Tapi tadi sempat tidur dua jam, lalu makan malam dengan Tony. Rasanya..."
"Kau betul baik-baik saja?"
"Ya, pak. Kenapa sih?"
"Tadi sore ada berita di koran si komandan pemberontak Naro mengancam akan menggulingkan pemerintah Philipina lagi."
"Ah.. di sini kan selalu ada ancaman seperti itu setiap menit. Biasa Pak. Ini negara aneh. Orang bicara mau terjadi kudeta seenteng orang bilang mau ke pasar. Begitu saja..."
"Tapi itu bukan sekedar gertak sambal. HOtelmu di jaga ketat nggak? Dan sebaiknya kamu ke mana-mana dengan Tony saja..."
"Tenang, dong, Pak. Aku mengenal Manila seperti mengenal pori-pori tubuhkyu sendiri. Kenapa.."
"Dira, hati-hari dengan anak buah Enrille."
Dira tertawa ngakak hingga keluar air mata
"Pa..pak.. mereka bukan mafioso. Biasaaa saja deh. Besok aku akan mewawancarainya di Makati."
"Lho, sudah dapat janji?"
"Ya sudah dong. Sama Fidel juga sudah. Pejabat tinggi Philipina kan ndak kayak kebanyakan pejabat tinggi Indonesia, sok penting. Sok memandang rendah sama wartawan."
"Kenapa tidak sekalian dengan Presidennya saja?"
"Bapak.."
"Lho, kenapa tidak? Bapak dulu waktu mewawancarai Indira Gandhi..."
"Udah dong, pak... sudah hafal"
"Oh, kalau cerita Ziaul Haq, yang bapak di kasih pisau pembuka surat yang bergagang marmer itu?"

"Sudah pak. Mulai saya SD, bapak sudah menunjukkan pisau itu kepada saya. Sudah bapak ulang ceritanya sekitar lima belas kali..."
"Sejak kau SD? Sudah begitu lamakah? Aduh rasanya baru kemarin bapak ke Pakistan. Bapak cuma mau menasihati, meski kau tak setuju dengan kebijakan politik pejabat yang kau wawancarai, kau harus tetap bersikap netral. Kau harus dingin, nduk. Sebaliknya seandainya kau berhasil mewawancarai Cory, mentang-mentang perempuan, jangan lantas jatuh simpati nfak karuan. Dingin, kau harus tetap dingin."
"Pak, Cory bukan dalam rencana saya. Saya nggak tertarik. Lagi pula.."
"Lho, kan seandainya... bapak saja waktu wawancara Indira Gandhi juga nggak rencana dan semula nggak tertarik. Semuanya begitu saja. Pak Mahmud masih punya klippingnya..."

<to be continued>
 
Bls: <Cerbung> MELUKIS LANGIT

Nice story...

Koreksi redaksional dikit soal amsterdam university, yang betul University of Amsterdam yang nama aslinya Universiteit van Amsterdam atau terkenal dengan singkatan UvA. :)

Maaf jiwa editor saya selalu keluar kalo membaca karya orang lain...:D

Well done, Den Pale...


-dipi-
 
Bls: <Cerbung> MELUKIS LANGIT

@ non dipi

Thank's non atas koreksinya... iya..ya keburu-buru waktu ngetik sih...
 
Bls: <Cerbung> MELUKIS LANGIT

lanjutan...

Nadira terdiam dan menggigit bibirnya. Dia menyingkap gorden jendela hotelnya. Alangkah jauhnya Bapak. Tapi alangkah dekatnya suara itu. Tiba-tiba, di tengah kawasan Roxas Boulevard Manila, ia melihat sebuah layar kapal yang sangat besar dan hitam. Dan dengan jelas ia melihat bapaknya yang bersarung mondar-mandir di dapur mencari-cari kaleng kopi dan gula. Lantas ia mendengar ketak-ketok bakiak...

"Dira...."
"Bapak tidur aja, deh. Sudah malam. Memangnya nggak bisa tidur, ya...?"
"Ah.., ya kebetulan habis nontol All the Presidents Men.. bukan video lho. Televisi! Hebat ya televisi swasta kita bisa memutar film itu."
"Ya, Tuhan, apa bapak nggak bosan nonton film itu."
"Luar biasa. Aku jadi kangen sama Bob. Hei, bapak sudah cerita waktu berkunjung ke kantor The Washington Post kan? Bapak sudah kasih lihat foto bersama Bob Woodward? Oooo, dia sangat rendah hati, Dira. Dia wartawan luar biasa. Salah satu yang terbaik di dunia. Mana ada wartawan kita yang sehebat dia..."
"Pak..."
"Memang bapak nggak mengharapkan agar wartawan bisa menggulingkan seorang pemimpin. Ndak. Tapi kemampuan Woodward dan Bernstein dan investigative reporting itu, nak. Apa kamu ndak ingin seperti mereka?"

Dira terdiam. Dia melongok ke luar jendela. Kini yang terlihat, sebuah ruang yang luas di sebuah gedung tinggi yang melambai-lambai ke langit dengan masyarakat wartawan di dalamnya. Tiba-tiba melalui jendela kaca tersebut, ia merasa sedang menontoni kesibukan dan ketergopohan kawan-kawannya yang tengah memburu berita. Masyarakat wartawan, di mata Dira, adalah sebuah masyarakat yang selalu menuntut hal-hal yang besar, yang terbaik, terkadang muluk dan paradoksal. Sebuah masyarakat yang, terkadang secara tidak sadar, merasa dirinya secara moral di atas manusia-manusia lain. Sebuah masyarakat yang mengklaim dirinya sendiri sebagai pembawa kebenaran, atau bahkan messiah yang menyembuhkan borok setiap manusia, setiap masyarakat, bahkan setiap negri yang ditulisnya. Masyarakat wartawan bak seorang komentator olahraga yang dengan asyiknya berkata, "ya tendangannya kurang akurat kali ini saudara-saudara..." dan mereka sendiri bukanlah pemain sepak bola bahkan menyentuh rumput lapangan bola pun tak pernah.

"Maksud bapak, bagaimana kita bisa bikin film sebagus itu, coba? Apa bisa? Apa bisa? Belum apa-apa, judulnya sudah diubah. Nanti tidak enak katanya. Debat judul saja sudah makan waktu dua tahun. Lantas skenarionya. skenarionya, ya mesti yang penuh petuah-petuah, lantas..." Bayangan di muka Dira hilang. Kelap-kelip lampu kapal bermunculan satu persatu.
"Dira bisa membuat film yang bagus, pak..."
"Apa?"
"Dira bisa membuat film tentang kehidupan wartawan juga, pak. Tetapi bukan seperti All the President Men. Dira akan membuat wartawan yang idealis, yang ingin membawa kebenaran, yang..."
"Gimana mau jadi wartawan pembawa kebenaran, eong kita tidak boleh menulis tentang kebenaran...."
"Judulnya : Melukis Langit. Ceritanya tentang bagaimana para wartawan dengan semangat menggebu-gebu meliput tentang kebanjiran di desa anu. Tentang jatuhnya kapal terbang itu. Tentang kudeta di Thailand dan tentang kasus-kasus penggusuran petani. Mereka begitu gagah, begitu semangat dan dan begitu merasa sebagai makhluk yang palig moralistis di atas muka bumi ini..."
"Tapi menjadi wartawan memang harus memiliki nilai0nilai moralistis yang tinggi, nak.."
"Lantas suatu hari, wartawan itu, katakanlah si Fulan, sudah capek menjadi pahlawan kebenaran bertemu dengan seekor kucing yang sedang menyusui keempat ekor anaknya di trotoar. Dia segera menyambar anak kucing itu dan di masukan ke dalam tasnya yang biasa menenteng tape recorder dan kamera kecil miliknya..."
"Film macam pa itu, nak?"
"Di dalam taksi menuju kantornya, kucing itu menggeliat-geliat dan mengeong-ngeong hingga sang supir taksi menengok ke belakang beberapa kali dan memandang wajah si Fulan dengan curiga. Tapi si Fulan tenang-tenang menghembuskan asap rokoknya.

Ketika taksi berhenti di muka kantornya yang bertingkat 30, sebuah kantor yang pucuknya melambai-lambai ke langit, supir taksi itu bertanya,"bawa apa, neng? Si Fulan memandang supir taksi itu dengan jijik, lalu ia meludah Croott!! Sambil tertawa terbahak-bahak, ia memasuki gedung kantor itu.."

< to be continued >
 
Bls: <Cerbung> MELUKIS LANGIT

....lanjutan

"Nadira...kamu perlu tidur..."

"Di dalam lift yang penuh sesak, beberapa pegawai Bank mengamati wajah Fulan seolah-olah Fulan adalah makhluk planet. Tas kain yang disandang Fulan bergerak-gerak dan itu membuat seluruh penduduk lift semakin tegang. Tapi mereka tak berani bertanya. Ada kilat di mata Fulan yang membuat mereka lebih suka menutup bibir serapat mungkin. Ketika bunyi 'ting' pada lantai dua puluh tujuh berbunyi, pegawai-pegawai Bank itu menghela nafas lega. Fulan melangkah keluar lift. Sebelum pintu lift tertutup, ia meludah dengan semangat. Crot! Crot! Lantas tertawa sejadi-jadinya. Ditinggalkannya pendududk lift yang terbelalak memandangi tingkahnya.
Di ruang ke sana kemari, karena sibuk mencetak lembaran Kartini; tertawa ngakak sambil jari-jarinya mengetik cerita pemerkosaan seorang gadis berusia 7 tahun oleh kakeknya sendiri atau koruptor kelas kakap yang dibebaskan dari tuduhan. Di pojok yang lain, ia melihat seorang kawannya dengan bibir yang menganga memandangi layar komputer yang sedang asyik bermain game. sekitar tujuh orang mengelilingi dirinya dan mengerutkan kening, ikut memikirkan langkah-langkah yang harus dipikirkan seolah-olah game di komputer tersebut soal hidup dan mati.
Fulan berjalan ke tengah ruangan. Lantas ia mengeluarkan kucing itu dari dalam tas. Kedua mata kucing itu menatapnya pasrah dan mengerang perlahan. Fulan segera mengambil tas rafia dari meja salah satu redakturnya yang gemar menarik mobil-mobilan dengan tali rafia di waktu yang senggangnya. Beberapa pasang mata mulai memandangnya dengan was-was..."

"Dira...Dira...eling, ibumu datang. Lihat ibumu datang melalui jendela...Dira, stop omong kosongmu. Bukakan pintu..."

"Fulan memegang ekor kucing itu dan mengayun-ayun kepalanya seperti sebuah pendulum. Beberapa rekan wanita berteriak melihat kelakuan Fulan yang aneh. Fulan tersenyum. Ia senang melihat beberapa kawannya masih punya belas kasih terhadap binatang itu. Dengan menggunakan tali rafia, Fulan mengikat ekor kucing itu dengan erat lantas digantungkannya pada pegangan pintu. Erangan kucing itu semakin melengking...."

"Dira...ibumu datang...Dira..."

Di luar jendela, kelap-kelip lampu kapal sudah hilang. Malam begitu pekat. Nadira seperti terjebak ke dalam gumpalan tinta gurita. Dan dia terengah-engah.
"Bu..."
"Nadira...koq kurus betul.."
"Aku sedang mimpi ya Bu. Kan seharusnya ibu sudah meninggal..."
Wajah ibunya yang bulat berseri semakin seperti bulan purnama karena senyumnya yang lebar
"Koq bodoh betul. Tentu kau sedang bermimpi. Mana bisa kita bertemu di luar mimpi..."
Nadira merebahkan kepalanya di atas paha ibunya yang gembur karena kelebihan lemak. Begitu empuk dan hangat. Dalam sekejap, paha ibunya sudah basah oleh air matanya. Ibunya mengusap dan sesekali mencium kepalanya.
"Berikan kopi jahe saja pada Bapak, Dira.." bisik ibunya.
"Nanti dia akan semakin rajin mondar-mandir dapur setiap malam, bu. tanpa kopi saja dia sudah susah tidur...
"Pijiti kakinya..."
"Mana ada waktu....setiap hari mengejar deadline"
"Kau masih betah menjadi wartawan?"
Nadira diam tak menjawab. Bibirnya bergerak-gerak.
"Kau tak bahagia?"
Dira menggelengkan kepalanya perlahan.

< to be continued >
 
wa ceritanya bagus om tapi kalau ga dipahami sendiri, agak bingung juga dengan alur dan tempat kejadiannya dimana nih om, hehe
ditunggu lanjutannya om
 
Back
Top