Memahami Agama yang Mencerahkan

jaka86tarub

New member
Oleh: Edy Burmansyah

1359052p.jpg

(Umat Islam di London sedang beribadah/eramuslim.com)


Saya menonton VCD “wajah-wajah Islam Indonesia”—sebuah dokumentasi Metro TV. Saya juga baru saja usai membaca buku Ulil Abshar Abdalla Menjadi Muslim Liberal. Dan saya mengutip ini; “Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah “proses” yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan”.

Sebagaimana Ulil, saya pun memahami Islam sebagai “Rahmatan lil alamin”, agama yang membawa rahmat bagi seluruh semesta alam dan umat manusia; dan karena manusia bukanlah sebuah makhluk yang berdiam diri, tetapi organisasi yang bergerak dan berkembang, maka agama juga akan terus menyesuaikan diri dengan kebutuhan manusia. Dan Islam adalah agama semacam ini, agama yang hidup dalam setiap detak zaman—dengan zeit geist.

Tapi soalnya kemudian; ternyata kita terlalu lama larut dalam pemikiran yang dijaga ketat kaum ortodoksi, yang menekan kita untuk diam diri dan hanya menerima pengajaran dari mereka. Sebuah pola pengajaran yang mirip komando militer, yang tidak membuka ruang dialektika antara umat dan ulama untuk mengali dan menafsir Al-Quran dan Hadits secara kritis dan mendalam. Ia yang sering disebut Antonio Gramsci sebagai Hegemoni. Pemikir Partai Komunis Italia tersebut menulis: ada yang tak kelihatan dan telah digunakan secara halus oleh kekuasaan untuk menindas: aparat Ideologi. Mereka menjerat pikiran orang sehingga tidak mau melawan. Saya kira dari jerat seperti ini juga, orang semacam Jabir kemudian hadir dan menebar teror kehadapan kita.

Gempur Budi Angkoro alias Jabir — umurnya 27 tahun, ia pernah belajar di pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah selama beberapa tahun, hingga akhirnya pindah dan meyelesaikan pendidikanya di Pesantren Darusysyahadah, Boyolali, kemudian mendedikasikan ilmunya disana selama tiga tahun lamanya. Sampai pada suatu hari di tahun 2002 ia berkenalan dengan Nurdin M Top dan Dr. Azhari. Dari azhari, Jabir belajar bagaimana merakit bom. Dari Nurdin M Top dia menyakini ; ”Bukankah sejak terampasnya tanah dan kehormatan kaum muslimin baik di bumi Palestina, Afganistan, Kashmir, Chechnya, dan Bosnia telah menjadikan jihad sebagai fardhu ’ain,” Sebab itu bagi Jabir meledakan bom di hotel Marriot dan café Nyoman tahun lalu sebagai sebuah ibadah.

Jabir barangkali adalah seorang idealis yang percaya betul bahwa perintah gurunya adalah perintah Tuhan. Tapi bagaimana Tuhan dapat sekejam itu—memeritahkan umatnya untuk membunuh mahkluk ciptaannya sendiri, sementara Tuhan dalam salah satu firmanya berseru. “Barang siapa menyelamatkan nyawa satu orang, maka ia seolah telah menyelamatkan nyawa semua orang.” (quran, 5:32).

Ketika firman dilanggar, Jabir kemudian berdoa—selepas meledakan bom hasil racikanya di café Nyoman Bali atau hotel Marriot yang menewaskan puluhan orang—juga ada umat muslim diantaranya, yang meradang saat nyawa lepas dari tubuh, seakan sedang mengutuk kebrutalan yang ditebar orang semacam Jabir yang menganggap; ”Dengan peledakan, pengikut kebenaran memberikan contoh pengorbanan yang paling indah, berani mati guna membela agama....”

Saya tak tahu, adakah Tuhan membenarkan membunuh terhadap orang lain—seiman atau tidak seiman, sebagai dampak atau tujuan. Saya tak pernah tahu adakah Tuhan membenarkan umatnya bunuh diri—walaupun itu ”demi Tuhan” yang dia bela. Yang saya tahu Tuhan tak satu kalipun memerintahkan umatnya membunuh atas nama apapun—juga dirinya. Tuhan tak pernah membutuhkan pengorbanan umatnya untuk membelanya dirinya. Tuhan tidak butuh itu. Tuhan ada pemilik semesta alam, Tuhan lebih besar, lebih agung dari apapun. Tuhan bisa berkehendak, bahkan berbuat apasaja terhadap umat manusia dan alam semesta. Tuhan dapat menciptakan sekaligus menghancurkan sesuatu sekehendaknya dalam hitungan kurang dari dari satu detik.

Sungguh Jabir bukanlah orang yang cukup mengenal Tuhan, bahkan mungkin juga ia tak punya banyak keteguhan hati untuk terus bersama Nurdin M Top dan Azhari. Seperti juga korba-korban hasil bom racikannya. Jabir juga takut akan menghadapi kematian; ”Sesungguhnya perjalanan jihad penuh dengan onak dan duri, dibayangi rasa takut, kelaparan, dan hilangnya nyawa….” Di sebuah pagi yang tak begitu cerah pada 29 April lalu, sebuah pelor dari moncong senapang pasukan Detasemen 88 Polri menembus tubuhnya dalam sebuah pengerbekan, Jabir masih berharap kepada tuhan yang disebut setiap hari; “Ya Robbi..., masukkan hamba-Mu ini... ke dalam jannah abadi... bersanding dengan para bidadari....”. saya tak tahu bagaimana Tuhan dapat mengabulkan permintaaannya. Saya juga tak tahu adakah Jabir di jannah sekarang.

Jannah—surga, ia seakan menjadi akhir dari segalanya—Janah adalah tujuan, bahkan mungkin bagi orang seperti Jabir, juga Michel O’Conner—Jannah barangkali lebih besar dari Tuhan itu sendiri. Goenawan Muhamad dalam buku catatan pinggir 3—mengutif kisahnya dari kantor berita Reuter. O’Conner, pemuda 20 tahun yang tinggal di dekat Sedney, pada 31 Mei 1986 itu, baru saja memeluk agama Kristen. Dan dengan perasaan cemas namun berani, ia memotong tangannya yang bertato dengan gergaji listrik, sembari mengutif injil; “Jika tanganmu menistakanmu, potonglah”.

Bila setiap kali firman Tuhan diartikan secara tekstual seperti itu, maka akan selalu ada tangan yang terpenggal setiap menitnya atau akan banyak kepala yang berpisah dari tubuh setiap detiknya. Dan saya yakin tuhan yang kita sapa dengan agung berpuluh-puluh kali setiap hari tidak pernah punya bermaksud seperti itu. Tapi kita akan selalu menemukan orang seperti Jabir dan Michel O’Conner diabad 20 ini. Orang-orang baik yang ingin duduk di pangkuan Tuhan namun tersesat jalan.

Sebab itulah saat firman Tuhan ditafsirkan kita selalu membutuhkan metafora—dalam arti lain, firman Tuhan harus dilihat secara kontekstual. Juga bagi umat Islam. Kita memerlukan penafsiran Islam yang non-literal, subtansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah, sebab Islam hidup dengan zeit geist.

Dan umat Islam—sekali lagi saya harus mengutif Ulil; ”Entitas sosial yang menyebut dirinya umat Islam harus berijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Dan umat Islam harus mengembangkan pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran”

Islam seperti dikemukan oleh Prof. Nur Cholis Majid adalah nilai generik yang bisa ada di agama lain, bahkan mungkin pada paham yang dikembangkan Karl Marx atau Adam Smith. Atau juga barangkali—untuk terakhirkalinya izinkan saya kembali mengutif Ulil; Islam memang bukan sebuah monumen mati yang dipahat dari abad 7 masehi, lalu dianggap sebagai patung indah yang tak boleh di sentuh tangan sejarah, atau malah Islam sesungguhnya adalah sebuah proses yang tak pernah selesai menuju sebuah kebenaran. Islam adalah sumber peradaban, bukan penyebar ketakutan.

Dipublikasi; di Harian Batampos, 30 Juni 2006
Source: Kompas.com
 
Aku nggak pernah bisa paham bagaimana agama dibikin liberal, walaupun sering nongkrong di utan kayu dan selalu berusaha memahami keliberalannya tapi nggak pernah muncul pencerahannya....:))



-dipi-
 
Ulil lagi ulil lagi.. apa sih istimewanya tu orang selain mencari makan dari agama?

Kok hanya dilihat ulilnya sih?? gimana dg kalimat ni "Islam sesungguhnya adalah sebuah proses yang tak pernah selesai menuju sebuah kebenaran."

Aku nggak pernah bisa paham bagaimana agama dibikin liberal, walaupun sering nongkrong di utan kayu dan selalu berusaha memahami keliberalannya tapi nggak pernah muncul pencerahannya....:))

-dipi-

Sampai hari ini, q mancari makna liberal yg klop secra umum jg belum ketemu non!

xixixi, darkgrey ga ikut ikut yang beginian ah.

Den darkgrey bikinin kopi donk...:D
 
ndak pake acara diliberalkan, islam itu sudah liberal. pemikiran ulil itu indah pada covernya saja, tapi isinya hanyalah kebingungan dan keputusasaan. (Peradaban) Islam memanglah sebuah proses, termasuk juga apa yang disebut ulil sebagai lembaga agama itu jugalah sebuah proses. Daripada ngomong ngelantur, mendoktrin otak2 muda dengan mimpi2 kosong tentang Islam, lebih baik ulil shalat berjamaah 5x sehari.
 
ndak pake acara diliberalkan, islam itu sudah liberal. pemikiran ulil itu indah pada covernya saja, tapi isinya hanyalah kebingungan dan keputusasaan. (Peradaban) Islam memanglah sebuah proses, termasuk juga apa yang disebut ulil sebagai lembaga agama itu jugalah sebuah proses. Daripada ngomong ngelantur, mendoktrin otak2 muda dengan mimpi2 kosong tentang Islam, lebih baik ulil shalat berjamaah 5x sehari.

wah kaykanya bagus untuk didiskusikan ini den... bisa dijelskan lebih lanjut soal "... tapi isinya hanyalah kebingungan dan keputusasaan. "
 
gimana ndak bingung dan putus asa si JIL ini, yang satu bicara indah tentang warna warni Islam tetapi yang lain malah menuding bahwa ayat al-Quran telah dikorupsi, persis ala hujatan 'Islamic Invasion'. atau bahkan menganjurkan murtad dulu untuk bisa memahami Islam.
 
gimana ndak bingung dan putus asa si JIL ini, yang satu bicara indah tentang warna warni Islam tetapi yang lain malah menuding bahwa ayat al-Quran telah dikorupsi, persis ala hujatan 'Islamic Invasion'. atau bahkan menganjurkan murtad dulu untuk bisa memahami Islam.

kalau soal ini kyaknya dah agak beda objeknya den...:D
 
hehe, apa namanya mengambil salah satu ayat sementara yang lain tidak..?? xixixi.. jiaaaah, lupa, kan darkgrey ga ikut ikutan ya..??
 
Mencerahkan bagi mereka sendiri (baca: JIL). :))
Suatu bentuk pencerahan yang nggak sesuai dengan akal sehat.
Suatu pencerahan ketika bisa minum bir sambil diskusi agama. Suatu pencerahan ketika nggak melakukan shalat jumat karena sibuk.

Enak ya? :))
 
Mencerahkan bagi mereka sendiri (baca: JIL). :))
Suatu bentuk pencerahan yang nggak sesuai dengan akal sehat.
Suatu pencerahan ketika bisa minum bir sambil diskusi agama. Suatu pencerahan ketika nggak melakukan shalat jumat karena sibuk.

Enak ya? :))

mungkin karena mereka [JIL] merasa musafir jadi ga wajib sholat jumat :)
 
mungkin markas JIL memang butuh pencerahan karena belum ada listrik, gelappp gulita seperti tersesat di hutan perawan
 
weleh..weleh... kalo den Ulil da disini bisa kebkaran jenggot nih... gyahahhaha... ayo den Lolo culik den Ulil-nya kesini...
 
xixixi, iya, kak Dipi aja yang ngajak dia bercerah cerah ria kak.. let me be di era before enlight aja deh kalo definisi cerahnya seperti yang mereka maknai sebagai cerah. hiahaha
 
Back
Top