Mengenal Suku-Suku Bangsa di Indonesia

Suku Minangkabau

Minang atau Minangkabau adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota propinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan Urang Awak (bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri).

Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki, serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam. Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia. Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.

Orang Minangkabau sangat menonjol dibidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia dan Singapura.

Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang, dan sangat digemari di Indonesia bahkan sampai mancanegara.

Etimologi

Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan 'Manang kabau' (artinya menang kerbau). Nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.

Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama bertarikh 1365 M, juga telah ada menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya.

Sedangkan nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit yang bertarikh 682 Masehi dan berbahasa Sansekerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga" .... Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minanga) dan ke-5 (tamvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya. Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.

Asal-usul

Dari tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak.

Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Datar. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, daerah luhak ini menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen dan oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.

Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

Pada awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan melihat budaya matrilineal yang tetap bertahan berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya. Kemudian pengelompokan ini terus berlangsung demi kepentingan sensus penduduk maupun politik.

Agama

Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari agama islam (murtad), secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang adat". Agama Islam diperkirakan masuk melalui kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan dari pesisir barat, terutama pada kawasan Pariaman, namun kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri yang berada pada pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, dan Sungai Kampar maupun Batang Kuantan berhulu pada kawasan pedalaman Minangkabau. Serta hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan Orang Siak merujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam agama Islam, masih tetap digunakan di dataran tinggi Minangkabau.

Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat ini dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada masa-masa pemerintahan Adityawarman dan anaknya Ananggawarman. Kemudian perubahan struktur kerajaan dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam dalam sistem pemerintahannya, walau sampai abad ke-16, Suma Oriental masih menyebutkan dari 3 raja Minangkabau hanya satu yang telah memeluk Islam.

Adat dan budaya

Adat dan budaya Minangkabau bercorakkan keibuan (matrilineal), dimana pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketumanggungan. Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang demokratis, sedangkan Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.

Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan Tigo Sapilin. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.

Bahasa

Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu.

Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya masing-masing.

Kesenian

Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.

Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.

Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.

Rumah adat

Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa disebut gonjong dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng.

Namun hanya kaum perempuan dan suaminya, beserta anak-anak yang jadi penghuni rumah gadang. Sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh dari komplek rumah gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.

Selain itu dalam budaya Minangkabau, tidak semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang, hanya pada kawasan yang telah berstatus nagari saja, rumah adat ini boleh ditegakkan.

Perkawinan

Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas rumah gadang mereka.

Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di Mesjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi di kawasan pesisir pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.

Persukuan

Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu per-empat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama.

Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.

Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah rumah gadang secara bersama-sama.

Nagari

Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.

Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau adalah terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan individu untuk mendapatkan status dan prestise. Oleh karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan mencari kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.

Penghulu

Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk, merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang terpilih di antara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang laki-laki yang pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki posisi ini. Hal ini dikarenakan ia bertanggung jawab mengurusi semua harta pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai sama.

Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan konflik intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah keluarga posisi kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota kaum yang semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar kepenghuluannya kepada keluarga lainnya yang sesuku. Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam suatu nagari.

Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari, merupakan suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali posisinya dengan mencari kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya cukup besar, sehingga tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga kaya.

Minangkabau perantauan

Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup di luar provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.

Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.

Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang sawah.

Jumlah perantau

Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44 %. Berdasarkan sensus tahun 2000, etnis Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 3,7 juta jiwa, dengan perkiraan hampir sepertiga orang Minang berada di perantauan. Mobilitas migrasi orang Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958 sampai tahun 1978, dimana lebih 80 % perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa kolonial Belanda. Melihat data tersebut, maka terdapat perubahan cukup besar pada etos merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab menurut sensus tahun 1930, perantau Minangkabau hanya sebesar 10,5 % dibawah orang Bawean (35,9 %), Batak (14,3 %), dan Banjar (14,2 %).

Namun tidak terdapat angka pasti mengenai jumlah orang Minang di perantauan. Angka-angka yang ditampilkan dalam perhitungan, biasanya hanya memasukkan para perantau kelahiran Sumatera Barat. Namun belum mencakup keturunan-keturunan Minang yang telah beberapa generasi menetap di perantauan.

Gelombang rantau

Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, di mana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu. Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka mendirikan koloni-koloni dagang di Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang banyak bermukim di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee, Barus, hingga Bengkulu. Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi. Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.

Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, pada tahun 1961 jumlah perantau Minang terutama di kota Jakarta meningkat 18,7 kali dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7 kali, dan pada tahun 1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10 % dari jumlah penduduk Jakarta waktu itu. Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.



Sumber:
Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-Political Structure in Indonesia, karangan Josselin de Jong, P.E
[notranslate]Wikipedia[/notranslate]



-dipi-
 
Suku Kaili

Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.

Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix "To" yaitu To Kaili.

Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok kira-kira 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut.

Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu, Bangga.

Bahasa

Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km kita bisa menemukan bahasa yg berbeda satu dengan lainnya. Namun demikian, suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata "Ledo" ini berarti "tidak". Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu.

Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise,Lasoani,Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde (Ganti,Banawa,Loli,Dalaka, Limboro,Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya, Sibovi,Pandere, bahasa Edo (Pakuli,Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahsa Da'a (Jono'oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare'e (Tojo, Unauna dan Poso). Semua kata dasar bahasa tersebut berarti "tidak".

Kehidupan

Mata pencaharian utama masyarakat Kaili adalah bercocok tanam disawah,diladang dan menanam kelapa. Disamping itu masyarakat suku Kaili yang tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil hasil bumi dihutan seperti rotan, damar dan kemiri, dan beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang dipesisir pantai disamping bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau ke kalimantan.

Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian besar tanah dataran dilembah Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan daerah persawahan. Kadang pada musim paceklik masyarakat menanam jagung, sehingga sering juga mereka memakan nasi dari beras jagung (campuran beras dan jagung giling).

Alat pertanian suku Kaili diantaranya : pajeko (bajak), salaga (sisir), pomanggi, pandoli(linggis), Taono(parang); alat penangkap ikan diantaranya: panambe, meka, rompo, jala dan tagau.

Budaya

Sebagaimana suku-suku lainnya di wilayah Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat.

Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkawinan (no-Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda/i), pada upacara kematian (no-Vaino,menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit); pada masa sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan dengan mantera-mantera yang mengandung animisme.

Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara menurut agama penganutnya. Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan (Posuna), Khatam (Popatama) dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya berdasarkan ajaran agama Islam.

Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain : Kakula (disebut juga gulintang, sejenis gamelan pentatonis), Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo(gong), suli (suling).

Salah satu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan para wanita didaerah Wani,Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabe tetapi oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe inipun mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam,seperti warna Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet (merah-jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).

Didaerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.

Sebelum masuknya agama ke Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut animisme, pemujaan kepada roh nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan (Buke/Buriro)dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam masuk ke Tanah kaili, setelah datangnya seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja yang berasal dari Minangkabau bernama Abdul Raqi. Ia beserta pengikutnya datang ke Tanah Kaili setelah bertahun-tahun bermukim belajar agama di Mekkah. Di Tanah kaili, Abdul Raqi dikenal dengan nama Dato Karama (Datuk Keramat), karena masyarakat sering melihat kemampuan beliau yang berada diluar kemampuan manusia pada umumnya. Makam Dato Karama sekarang merupakan salah satu cagar budaya yang dibawah pengawasan Pemerinta Daerah.

Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat nampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut Sintivu (kebersamaan/gotong royong).

Pemerintahan

Pemerintahan pada masa dahulu, sudah dikenal adanya struktur organisasi pemerintahan di dalam suatu Kerajaan (Kagaua) dikenal adanya Magau (Raja), Madika Malolo (Raja Muda). Didalam penyelenggaraan pemerintahan Magau dibantu oleh Libu Nu Maradika (Dewan Pemerintahan Kerajaan) yang terdiri dari: Madika Matua (Ketua Dewan Kerajaan/Perdana Menteri) bersama Punggawa (Pengawas Pelaksana Adat/ Urusan Dalam Negeri), Galara (Hakim Adat), Pabicara (Juru Bicara), Tadulako (Urusan Keamanan/ Panglima Perang) dan Sabandara (Bendahara dan Urusan Pelabuhan).

Disamping dewan Libu nu Maradika, juga ada Libu Nto Deya (Dewan Permusyawaratan Rakyat) yang merupakan perwakilan Rakyat berbentuk Kota Pitunggota (Dewan yg Mewakili Tujuh Penjuru Wilayah) atau Kota Patanggota (Dewan yg Mewakili Empat Penjuru Wilayah). Bentuk Kota Pitunggota atau Kota Patanggota berdasarkan luasnya wilayah kerajaan yang memiliki banyaknya perwakilan Soki (kampung)dari beberapa penjuru. Ketua Kota Pitunggota atau Kota Patanggota disebut Baligau.

Strata sosial masyarakat Kaili dahulu mengenal adanya beberapa tingkatan yaitu Madika/Maradika (golongan keturunan raja atau bangsawan), Totua Nungata (golongan keturunan tokoh-tokoh masyarakat), To Dea (golongan masyarakat biasa), dan Batua (golongan hamba/budak).

Pada zaman sebelum penjajahan Belanda, daerah Tanah Kaili mempunyai beberapa raja-raja yang masing2 menguasai daerah kekuasaanya, seperti Banawa, Palu, Tavaili, Parigi, Sigi dan Kulavi. Raja-raja tersebut mempunyai pertalian kekeluargaan serta tali perkawinan antara satu dengan lainnya, dengan maksud untuk mencegah pertempuran antara satu dengan lainnya serta mempererat kekerabatan.

Pada saat Belanda masuk kedaerah Tanah Kaili, Belanda mencoba mengadu domba antara raja yang satu dengan raja lainnya agar mempermudah Belanda menguasai seluruh daerah kerajaan di Tanah kaili. Tetapi sebagian besar daripada raja-raja tersebut melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, mereka bertempur dan tidak bersedia dijajah Belanda. Tetapi dengan kelicikan Belanda setelah mendapat bala bantuan dari Jawa akhirnya beberapa raja berhasil ditaklukan, bahkan ada diantaranya yang ditangkap dan ditawan oleh Belanda kemudian dibuang ke Pulau Jawa.

Beberapa alat senjata perang yang digunakan oleh suku Kaili diantaranya : Guma (sejenis parang), Pasatimpo (sejenis keris), Toko (tombak), Kanjai (tombak trisula), Kaliavo (perisai).


sumber: wikipedia



-dipi-
Top Bangett..=b==b=
yang uniknya semua bahasa suku kaili ini seperti Raai', Ledo, da'a,dll.. yang artinya semuanya Tidak'..=b=
jadi apa donk'...:D
 
Suku Mori

Suku Mori merupakan salah satu suku yang berasal dari Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Indonesia. Wilayah otoritas suku ini adalah wilayah Kabupaten Morowali bagian utara. Beberapa nama kota dan kelurahan yang termasuk dalam wilayah suku mori adalah Kolonodale, Beteleme, Tiu, Lembobelala, Lembobaru, Tingkea'o, Wawopada, Tomata, Taliwan, Ensa, Tompira, dan lain-lain.

Sampai saat ini, bahasa Mori masih digunakan oleh sebagian anggota suku ini, terutama di daerah pedalaman.

Orang Mori sebagian besar adalah penganut agama Kristen Protestan. Agama ini sudah dianggap sebagai agama rakyat.

Suku Mori mengikuti kebiasaan bangsa Eropa, sebagai penyebar agama Kristen, untuk mempunyai nama keluarga atau lebih dikenal sebagai marga atau fam. Nama keluarga biasanya diambil dari nama leluhur yang pertama kali menjadi Kristen atau dibaptis.


Sumber:
[notranslate]Wikipedia[/notranslate]



-dipi-
 
Suku Muna

Suku Muna atau Wuna adalah suku yang mendiami Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Dari bentuk tubuh, tengkorak, warna kulit (coklat tua/hitam), dan rambut (keriting/ikal) terlihat bahwa orang Muna asli lebih dekat ke suku-suku Polynesia dan Melanesia di Pasifik dan Australia ketimbang ke Melayu. Hal ini diperkuat dengan kedekatannya dengan tipikal manusianya dan kebudayaan suku-suku di Nusa Tenggara Timur dan Pulau Timor dan Flores umumnya. Motif sarung tenunan di NTT dan Muna sangat mirip yaitu garis-garis horisontal dengan warna-warna dasar seperti kuning, hijau, merah, dan hitam. Bentuk ikat kepala juga memiliki kemiripan satu sama lain. Orang Muna juga memiliki kemiripan fisik dengan suku Aborigin di Australia. Sejak dahulu hingga sekarang nelayan-nelayan Muna sering mencari ikan atau teripang hingga ke perairan Darwin. Telah beberapa kali Nelayan Muna ditangkap di perairan ini oleh pemerintah Australia. Kebiasaan ini boleh jadi menunjukkan adanya hubungan tradisional antara orang Muna dengan suku asli Australia: Aborigin.


Sumber:
[notranslate]Wikipedia[/notranslate]



-dipi-
 
Suku Nias

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tano Niha" (Tano = tanah).

Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrako yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.

Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

Mitologi

Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Teteholi Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Teteholi Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.

Budaya Nias

  • Lompat Batu
  • Tari Perang
  • Maena
  • Tari Moyo
  • Tari Mogaele
  • Sapaan Yaahowu
  • fame ono niahalo (pernikahan)
  • Omohada(rumah adat)
  • fame'e toi nono nihalo (pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah)

Dalam budaya Ono Niha terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.


sumber:
http://niasportal.com/



-dipi-
 
Suku Papua - Asmat

Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai.

Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago yang dipanggang dan dimakan.

Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Saat ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sudah bersekolah.


Sumber:
http://www.adventureindonesia.com/asmat.htm



-dipi-
 
Suku Papua - Dani

Suku Dani adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Wamena, Papua, Indonesia. Suku-suku lain yang terdapat di daerah ini antara lain Yali dan Lani. Suku Yali adalah salah satu suku yang mendiami bagian selatan di antara perbatasan Wamena dan Merauke, sedangkan suku Lani mendiami bagian sebelah barat dari suku Dani. Ketiga suku ini memiliki ciri khas masing-masing baik dari segi budaya, adat istiadat, dan bahasa.


Suku Papua - Bauzi

Suku Bauzi terdiri atas sekelompok 1.500 orang yang tinggal di bagian utara-tengah provinsi Papua di Indonesia (dahulu Irian Jaya). Daerah Bauzi terdiri atas sebagian besar daerah Mamberamo hilir di Papua utara. Sementara orang Bauzi ialah sekelompok bangsa animis, kini mereka 65% Kristen. Untuk sebagian besar bagian, alat perang suku hanya sebentar ada dalam budaya Bauzi dan semua orang Bauzi bercakap dalam bahasa yang sama. Pada tahun terkini, para linguis telah mempelajari bahasa mereka dan menerjemahkan berbagai literatur, termasuk Bibel, ke dalam bahasa Bauzi.


Suku Papua - Arfak

Suku Arfak adalah Masyarakat Pegunungan Arfak yang tinggal di sekitar kota Manokwari, Provinsi Papua Barat. Suku Arfak terdiri dari 4 sub suku antara lain:

1. Suku Hatam.
2. Suku Moilei.
3. Suku Meihag.
4. Suku Sohug.

Setiap suku ada Kepala Sukunya, dalam satu suku terdapat beraneka ragam marga, misalnya Suku Moilei, ada marga Sayori, Ullo, Ayok, Indow, Wonggor dan masih banyak marga lainnya. 5 suku 5 Bahasa artinya bahwa setiap suku terdapat 1 bahasa dan budaya yang berbeda-beda.


Suku Papua - Kamoro

Suku Kamoro adalah salah satu suku yang berada di Papua, tepatnya di wilayah pesisir pantai Kabupaten Mimika Agats sampai Jita. Suku Kamoro terkenal pandai berburu, dan juga terkenal akan ukiran, nyanyian, topeng-topeng roh dan tariannya. Suku Kamoro juga memiliki ritual dimana dibuat gendang yang menggunakan darah.


sumber:
wikipedia



-dipi-
 
Suku Pamona

Suku Pamona, atau sering juga disebut suku Poso, mendiami hampir seluruh wilayah kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Una-Una, Morowali, bahkan Propinsi Sulawesi Selatan (Luwu Utara). Sedangkan sebagian kecil hidup merantau di berbagai daerah di Indonesia. Jika di suatu daerah terdapat suku Pamona, biasanya selalu ada Rukun Poso, yaitu wadah perkumpulan orang-orang sesuku untuk melakukan sesuatu kegiatan di daerah tersebut. Agama yang dianut hampir seluruh anggota suku ini adalah Kristen. Agama Kristen masuk daerah ini sekitar 100 tahun yang lalu dan sampai sekarang diterima sebagai agama rakyat. Sekarang semua gereja-gereja yang sealiran dengan gereja ini bernaung dibawah naungan organisasi Gereja Kristen Sulawesi tengah (GKST) yang berpusat di Tentena, kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Sebagian besar masyarakat sehari-hari menggunakan bahasa Pamona (Bare'e) dan bahasa Indonesia dengan gaya bahasa setempat. Mereka berprofesi sebagai Petani, Pegawai Negeri, Pendeta, Wiraswasta, dan lain-lain.

Ada pendapat lain sesungguhnya suku Pamona tidak identik dengan suku Poso, Karena pada prinsipnya suku Poso tidak ada. Yang ada adalah daerah yang bernama Poso, didiami oleh suku Pamona. Kata "Poso" sendiri dalam bahasa Pamona berarti "pecah". Asal nama Poso yang berarti pecah, konon dimulai dari terbentuknya Danau Poso. Konon, danau Poso terbentuk dari sebuah lempengan tanah berbukit, dimana dibawah lempengan bukit tersebut terdapat mata air. Disekeliling bukit merupakan dataran rendah, sehingga aliran air dari pegunungan terkumpul disekeliling bukit tersebut. Genangan air tersebut menggerus tanah disekeliling bukit sehingga makin lama air yang menyisip kedalam tanah, bertemu dengan air yang di dalam perut bumi. Akibatnya terjadi abrasi yang menjadi penyebab labilnya struktur tanah yang memang agak berpasir.

Lambat laun pinggiran bukit tidak kuat lagi menahan beban bukit yang diatasnya, sehingga mengakibatkan pecahnya bukit yang terbawah masuk, jatuh kedalam kubangan mata air dibawah bukit, sehingga membentuk danau kecil. Bagi masyarakat suku Pamona zaman tersebut kejadian tersebut dituturkan sebagai pecahnya gunung yang membentuk danau tersebut, sehingga dinanai "Danau Poso" Danau yang baru terbentuk tersebut, kian lama kian membesar, karena sumber mata air di pegunungan sekelilingnya mengalir kearah danau baru tersebut. Akibatnya debit air danau dari waktu ke waktu terus naik, sehingga luas permukaannya menjadi demikian lebar. sesuai dengan sifat air yang selalu mencari dataran rendah, maka pada ketinggian permukaan tertentu, tebentuklah sebua sungai yang mengarah ke pantai laut akibat danau tidak mampu lagi menampung debit air. Karena sungai tersebut berasal dari danau Poso, maka sungai baru tersebut, dinamai dengan nama yang sama, yakni Poso (sungai Poso). Muara sungai baru yang terbentuk itu kemudian didiami oleh sejumlah penduduk, karena di sungai baru tersebut ternyata terdapat banyak ikan. Kumpulan penduduk pemukim baru itu kemudian menamai kampung tersebut dengan sebutan yang sama, yakni Poso.

Tarian Dero, atau madero merupakan tarian populer di kalangan Suku Pamona. Tarian ini diadakan pada pesta-pesta rakyat. Biasanya dilakukan oleh orang-orang muda. Tarian melingkar dilakukan dengan saling bergandengan tangan, sambil berbalas pantun diringi musik ceria. Beberapa daerah di Palu melarang kegiatan tarian dero atau madero karena sering menjadi pemicu perkelahian antar pemuda yang saling berebut perhatian gadis-gadis.

Mengikuti kebiasaan orang Eropa yang mempunyai nama keluarga atau marga atau fam, maka orang Pamona juga mempunyai marga-marga seperti berikut :

Banumbu, Bali'e, Baloga, Betalino, Beto, Botilangi, Bulinde, Bungkundapu, Bungu, Buntinge, Gilirante, Gimbaro, Gugu, Gundo, Kampindo, Kalembiro, Kalengke, Karebungu, Kayori, Kayupa, Kogege, Kolombuto, Kuko, Langgari, Lambangasi, Labiro, Liante, Lu'o, Lumaya, Manganti, Meringgi, Mossepe, Mowose, Nyolo-nyolo, Nggau, Nggo'u, Nua, Nyaua, Pakuli, Palaburu, Parimo, Paroda, Pasunu, Patara, Pebadja, Penina, Penyami, Pesudo, Poa, Pobonde, Podala, Purasongka, Pusuloka, Rampalino, Rampalodji, Rantelangi, Rare'a, Ruagadi, Rubo, Ruutana, Sancu'u, Sawiri, Sigilipu, So'e, Sowolino, Tabanci, Tadalangingi, Talasa, Tarante, Tasiabe, Tawuku, Tawurisi, Tekora, Tepara, Tiladuru, Tobondo, Tolimba, Toumbo, Ule, Ululai, Warara, Werokila nce'i to mori, Wuri,Wutabisu, dll.



sumber:
wikipedia



-dipi-
 
Suku Pasemah

Suku Pasemah, sebagian tinggal di wilayah propinsi Sumatera Selatan, lainnya tinggal di Bengkulu. Daerah pusat kediaman suku Pasemah di sekitar kawasan gunung berapi yang masih aktif, Gunung Dempo. Tersebar di lerengnya, dari barat, selatan dan barat daya sepanjang Bukit Barisan.

SOSIAL BUDAYA

Suku Pasemah merupakan orang-orang yang penuh semangat dan antusias. mereka memegang peranan penting di bidang politik Sumatera Selatan dan memegang peranan utama dalam kepemimpinan penting di berbagai departemen pemerintah dan lembaga pendidikan di Bengkulu. Pertanian merupakan pusat kegiatan ekonomi mereka, dan tiga masa panen utama mereka adalah : beras, karet dan kopi. Produksi karet menjadi usaha sampingan mereka. Pekerja menyadap pohon karet dianggap pekerjaan rendah.

Rumah-rumah mereka biasanya dibangun dari kayu beratapkan seng, memiliki 3 atau 4 ruangan termasuk dapur tertutup di belakang rumah. Penduduk desa membangun rumah keluarga mereka di atas batang tongkat setinggi 1,5 - 2,5 meter (rumah panggung) di atas tanah. Tempat kosong di bawah rumah panggung digunakan untuk berbagai kegiatan: sebagai pendingin di hari yang panas, gudang penyimpan atau penyimpan bahan makanan. Pada perkembangannya ruangan di bawah tersebut ditutup untuk mencegah pencuri masuk.

Ada dua macam model pernikahan yang dikenal. Model pertama (umumnya disebut belaki), dengan pembayaran harta kepada mempelai wanita sebelum pernikahan untuk menetapkan tempat tinggal pasangan tersebut pada rumah tangga sang suami. Pada model kedua (umumnya disebut ambik anak) sang suami pindah ke tempat sang istri tanpa pembayaran yang berarti (lebih besar); anak-anak ditentukan/digolongkan sebagian bagian dari keturunan sang istri.

AGAMA/KEPERCAYAAN

Hampir seluruh orang Pasemah adalah orang Muslim. Agama Islam tersebar lebih awal di bagian tenggara pemukiman suku Pasemah, sekitar tahun 1500-an, tetapi daerah Pasemah barat dan barat lalu diIslamkan pada pertengahan tahun 1800-an. Kebanyakan mereka yang diIslamkan kemudian, merupakan hasil kerja dari orang Sufi yang kemudian menyebar di seluruh Sumatera. Di dataran tinggi Pasemah ada 26 situs dengan batu pahatan, kuburan dan stupa-stupa yang dianggap suci sejak sebelum 100 Masehi. Batu yang sangat besar dipahat para prajurit menunggang gajah, pria bergulat dengan monster ular, sebuah jentera dan ombak samudera. Orang Pasemah masih menggunakan patung pahatan besar untuk tempat sumpah suci penebusan, memanggil arwah leluhur untuk menganugerahkan berkat dan untuk mencegah nasib sial. Kuil Megalitik merupakan obyek dari perayaan keagamaan dan tempat bernazar (sumpah).



Sumber:
[notranslate]Wikipedia[/notranslate]



-dipi-
 
Suku Rejang

Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatera selain suku bangsa Melayu. Suku Rejang menyebar sampai ke daerah Lebong, Kepahiang, Curup dan sampai di tepi sungai ulu musi di perbatasan dengan Sumatera Selatan. Suku Rejang terbanyak menempati kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Kepahiang, dan kabupaten Lebong. Bila kita lihat dari dialek bahasa yang digunakan penutur bahasa Rejang, sangat jelas perbedaan antara bahasa Melayu dan bahasa daerah di Sumatera lainnya. Suku Rejang merupakan salah satu dari 18 lingkaran suku bangsa terbesar di Indonesia.

Sejarah penamaan

Pada masa silam, suku bangsa yang bernama Rejang sama sekali tidak menamai komunitas mereka dengan nama apapun. Istilah rejang, dipopulerkan oleh Hindia-Belanda pada zaman kolonialisasi. Makna rejang itu sendiri berdasarkan konteks dan maksud dari bangsa Belanda adalah alat untuk merejang atau alat untuk membongkar. Hal ini sesuai dengan karakteristik suku bangsa ini yang bersifat blak-blakan yang terkesan tidak perhitungan, sehingga mereka yang tergolong pada kelompok masyarakat tersebut dijadikan alat mencari informasi tentang kondisi dan situasi alam dan kehidupan sekitar wilayah mereka.

Asal-usul Rejang

Sejarah asal-usul Rejang yang sebenarnya sudah sangat tidak memungkinkan diriwayatkan secara benar senyata fakta sebenarnya. Hal ini disebabkan beberapa faktor yang mengakibatkan sejarah asal-usul Rejang yang terhapus dan hilang ditelan ketidaktahuan generasi masa lalu. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
  • Suku Rejang belum memahami media yang berperan untuk dijadikan pedoman yang tepat untuk meriwayatkan sejarah, seperti kemampuan menggambar, menulis, memahat, maupun hal-hal lain yang dapat memungkinkan untuk terdeteksi oleh generasi yang akan datang untuk disejarahkan. Bukti-bukti arkeolog tersebut belum ditemukan keberadaannya hingga zaman sekarang.
  • Suku Rejang masih dipengaruhi oleh tradisi yang bersifat fiktif, sehingga hal-hal yang tidak masuk akal dimasukkan dalam kisah sejarah. Hal ini menjadikan sejarah asal-usul Rejang menjadi kisah fiktif yang validitas dan reliabilitasnya jauh dari patokan untuk meriwayatkan sejarah.
  • Suku Rejang tidak terlalu mempedulikan masa lampu, tapi menerima sejarah masa lalu yang diriwayatkan oleh para sejarawan dan cendikiawan asing yang berstatus penjajah. Hal ini juga dihubungkan dengan beberapa oknum suku Rejang yang terlalu percaya diri berpendapat menurut kemauannya sendiri, padahal kemampuan berbahasa Rejang dengan berbagai dialek Rejang yang ada tidak dikuasainya. Suku Rejang yang berpartisipasi dalam proyek tersebut juga bukan berstatus orang Rejang asli, apalagi menjalani kehidupan di komunitas suku Rejang yang masih asli.
  • Suku Rejang dengan sumber daya alam yang paling dieksploitasi oleh penjajah menjadi daerah yang dijadikan asal-usul suku Rejang. Ini disebabkan oleh rekayasa dari para penjajah yang memang memiliki kemampuan membaca dan menulis, sedangkan suku Rejang sangat dibodohkan. Sifat dari penjajah yang seperti ini sudah diketahui oleh para sejarawan Indonesia, yakni penjajah menjauhkan bangsa Indonesia untuk mengetahui ilmu pengetahuan modern. Pengetahuan modern seperti kemampuan ilmu bahasa, ilmu hitung, ilmu filsafat, maupun ilmu-ilmu modern yang lainnya belum didapatkan oleh suku Rejang yang merupakan suku bangsa di Indonesia. Ini terbukti dengan aksara kaganga yang konon merupakan tulisan asli suku Rejang, tapi pada kenyataan tidak mampu dipahami suku Rejang masa silam hingga masa sekarang. Hal ini juga menumbuhkan keraguan bahwa aksara tersebut adalah asli tulisan suku Rejang yang memang prakarsa suku Rejang itu sendiri.
  • Suku Rejang terlalu suka meniru secara tidak kreatif, ini terbukti dengan alat musik tradisional, tari tradisional, rumah adat, adat upacara pernikahan, dan bahkan pakaian adat yang ada semuanya imitasi dari suku bangsa terdekat dan pendatang yang ada di tanah Rejang. Fenomena ini secara kasat mata dapat langsung ditebak oleh setiap pengamatnya, meskipun pengamat tersebut adalah seorang amatir.

Dari beberapa faktor di atas, sulit sekali mendeteksi sejarah asal-usul suku Rejang. Meskipun demikian, masih ada satu peninggalan yang masih diwariskan secara nyata dan masih ada hingga sekarang. Warisan tersebut adalah bahasa Rejang, sebuah bahasa yang unik yang belum punah hingga sekarang. Walaupun bukti-bukti arkeologi belum ada terbukti keberadaannya secara fakta, tapi bahasa dapat dijadikan pedoman menelusuri sejarah Rejang. Hal ini membuktikan bahwa orang yang paling berperan untuk meriwayatkan Rejang adalah suku Rejang dengan kemampuan bahasa Rejang tingkat mahir atau penutur asli bahasa Rejang yang mampu berkomunikasi dengan orang-orang Rejang dengan kemampuan meriwayatkan kisah lampau secara ilmiah

Budaya

Suku Rejang menempati kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Kepahiang, kabupaten Bengkulu Utara, dan kabupaten Lebong. Suku ini merupakan suku dengan populasi terbesar di provinsi Bengkulu, namun secara sumber daya manusia, agaknya suku ini kurang begitu adaptif terhadap perkembangan di luar daerah. Ini dikarenakan kultur masyarakat Rejang yang sulit untuk menerima pendapat di luar dari pendapat kelaziman menurut pendapat mereka, dan masih rendahnya tingkat pendidikan. Hal ini menggambarkan bahwa pada umumnya sifat dan watak dari suku Rejang masih primitif. Karena mayoritas suku Rejang masih primitif, potensi SDM mereka relatif lamban dalam berkembang. Apalagi sifat iri dan dengki yang menjadi tradisi dan ciri khas dari sifat primitif itu sendiri. Oleh karena itu, proses kemajuan semakin terhambat. Pada zaman sekarang, beberapa putra-putri suku Rejang telah menempuh pendidikan tinggi seperti ilmu pendidikan keguruan, ilmu kesehatan, ilmu hukum, ilmu ekonomi, sastra, dan lain lain. Banyak yang telah menekuni profesi sebagai pegawai negeri, pejabat teras, dokter, pegawai swasta, pengacara, polisi, dan berbagai profesi yang lebih tinggi statusnya ketimbang petani ataupun sekadar tukang ojek.

Bahasa

Suku Rejang memiliki perbedaan yang mencolok dalam dialek penuturan bahasa. Dialek Rejang Kepahiang memiliki perbedaan dengan dialek Rejang di Kabupaten Rejang Lebong yang dikenal dialek Rejang Curup, dialek Rejang Bengkulu Utara (identik dengan dialek Rejang Curup), dan dialek Rejang yang penduduknya di wilayah kabupaten Lebong. Secara kenyataan yang ada, dialek dominan Rejang terdiri tiga macam. Dialek tersebut adalah sebagai berikut:

* Dialek Rejang Kepahiang
* Dialek Rejang Curup
* Dialek Rejang Lebong

Dari tiga pengelompokan dialek Rejang tersebut, saat ini Rejang terbagi menjadi Rejang Kepahiang, Rejang Curup, dan Rejang Lebong. Namun, meskipun dialek dari ketiga bahasa Rejang tersebut relatif berbeda, tapi setiap penutur asli bahasa Rejang dapat memahami perbedaan kosakata pada saat komunikasi berlangsung. Karena perbedaan tersebut seperti perbedaan dialek pada bahasa Inggris Amerika, bahasa Inggris Britania, dan bahasa Inggris Australia. Secara filosofis, perbedaan dialek bahasa Rejang terjadi karena faktor jarak, faktor sosial, dan faktor psikologis dari suku Rejang itu sendiri. Hal ini juga membuktikan bahwa tingkat persatuan dan kesatuan suku Rejang masih sangat rendah jika dibandingkan dengan suku bangsa terdekat lainnya suku Lembak, suku Serawai, dan suku Pasemah.


Sumber:
http://rejang-lebong.blogspot.com
[notranslate]Wikipedia[/notranslate]



-dipi-
 
Suku Sambas

Suku Sambas adalah suku yang berada di kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Kabupaten Sambas terkenal dengan sebuah peninggalan sejarah yaitu sebuah keraton peninggalan kerajaan Sultan Sambas. Penduduknya mayoritas melayu, dan berbahasa melayu. Sebagian besar bahasa yang digunakan adalah sama, namun seiring perkembangan zaman, bahasa suku ini banyak menyerap bahasa dari bahasa Indonesia. Bahasa Melayu sangat mudah dipahami, apalagi bagi orang yang mendengar orang Betawi berbicara, karena kurang lebih bahasa Betawi dan Melayu sama, misalnya: Seseorang berbicara, "Kamu mau ke mana?", jika dalam bahasa melayu "Kau nak ke mane", (penyebutan "e" dalam bahasa melayu, sedangkan bahasa suku Sambas membunyikan "e" seperti bunyi pada kata "lele". Keunikan lain dari bahasa Melayu Sambas adalah pengucapan huruf ganda seperti dalam Bahasa [Melayu] Berau di Kalimantan Timur, seperti pada kata 'bassar' (artinya besar dalam bahasa indonesia).

Suku Sambas merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 12% dari penduduk Kalimantan Barat, sebelumnya suku Sambas tergabung ke dalam suku Melayu pada sensus 1930. Sehubungan dengan hal tersebut kemungkinan "Dialek Melayu Sambas" meningkat statusnya dari sebuah dialek menjadi bahasa kesukuan yaitu Bahasa Suku Sambas.


Sumber:
[notranslate]Wikipedia[/notranslate]




-dipi-
 
Suku Sasak

Suku Sasak adalah suku bangsa yang mendiami pulau Lombok dan menggunakan bahasa Sasak. Sebagian besar suku Sasak beragama Islam, uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, terdapat praktik agama Islam yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni penganut Islam Wetu Telu, namun hanya berjumlah sekitar 1% yang melakukan praktek ibadah seperti itu. Ada pula sedikit warga suku Sasak yang menganut kepercayaan pra-Islam yang disebut dengan nama "sasak Boda".

Sejarah

LOMBOK MIRAH SASAK ADI merupakan salah satu kutipan dari kitab Negarakertagama, sebuah kitab yang memuat tentang kekuasaan dan pemerintahaan kerajaan Majapahit. Kata Lombok dalam bahasa kawi berarti lurus atau jujur, kata mirah berarti permata, kata sasak berarti kenyataan, dan kata adi artinya yang baik atau yang utama maka arti keseluruhan yaitu kejujuran adalah permata kenyataan yang baik atau utama. Makna filosofi itulah mungkin yang selalu di idamkan leluhur penghuni tanah Lombok yang tercipta sebagai bentuk kearifan lokal yang harus dijaga dan dilestariakan oleh anak cucunya.

Dalam kitab–kitab lama, nama Lombok dijumpai disebut Lombok mirah dan Lombok adi beberapa lontar Lombok juga menyebut Lombok dengan gumi selaparang atau selapawis.

Asal-usul penduduk pulau Lombok terdapat beberapa Versi salah satunya yaitu Kata sasak secara etimilogis menurut Dr. Goris. s. berasal dari kata sah yang berarti pergi dan shaka yang berarti leluhur. Berarti pergi ke tanah leluhur orang sasak (Lombok). Dari etimologis ini diduga leluhur orang sasak adalah orang Jawa, terbukti pula dari tulisan sasak yang oleh penduduk Lombok disebut Jejawan, yakni aksara Jawa yang selengkapnya diresepsi oleh kesusastraan sasak.

Etnis Sasak merupakan etnis mayoritas penghuni pulau Lombok, suku sasak merupakan etnis utama meliputi hampir 95% penduduk seluruhnya. Bukti lain juga menyatakan bahwa berdasarkan prasasti tong – tong yang ditemukan di Pujungan, Bali, Suku sasak sudah menghuni pulau Lombok sejak abad IX sampai XI masehi, Kata sasak pada prasasti tersebut mengacu pada tempat suku bangsa atau penduduk seperti kebiasaan orang Bali sampai saat ini sering menyebut pulau Lombok dengan gumi sasak yang berarti tanah, bumi atau pulau tempat bermukimnya orang sasak.

Sejarah Lombok tidak lepas dari silih bergantinya penguasaan dan peperangan yang terjadi di dalamnya baik konflik internal, yaitu peperangan antar kerajaan di Lombok maupun ekternal yaitu penguasaan dari kerajaan dari luar pulau Lombok. Perkembangan era Hindu, Budha, memunculkan beberapa kerajaan seperti selaparang Hindu, Bayan. Kereajaan-kerajaan tersebut dalam perjalannya di tundukan oleh penguasaan kerajaan Majapahit dari ekspedisi Gajah Mada pada abad XIII – XIV dan penguasaan kerajaan Gel – Gel dari Bali pada abad VI. Antara Jawa, Bali dan Lombok mempunyai beberapa kesamaan budaya seperti dalam bahasa dan tulisan jika di telusuri asal – usul mereka banyak berakar dari Hindu Jawa hal itu tidak lepas dari pengaruh penguasaan kerajaan Majapahit yang kemungkinan mengirimkan anggota keluarganya untuk memerintah atau membangun kerajaan di Lombok.

Pengaruh Bali memang sangat kental dalam kebudayaan Lombok hal tersebut tidak lepas dari ekspansi yang dilakukan kerajaan Bali sekitar tahun 1740 di bagian barat pulau Lomboq dalam waktu yang cukup lama. Sehingga banyak terjadi akulturasi antara budaya lokal dengan kebudayaan kaum pendatang hal tersebut dapat dilihat dari terjelmanya genre – genre campuran dalam kesenian. Banyak genre seni pertunjukan tradisional berasal atau diambil dari tradisi seni pertunjukan dari kedua etnik. Sasak dan Bali saling mengambil dan meminjam dan terciptalah genre kesenian baru yang menarik dan saling melengkapi.

Gumi sasak silih berganti mengalami peralihan kekuasaan hingga ke era Islam yang melahirkan kerajaan Islam Selaparang dan Pejanggik. Islam masuk ke Lombok sepanjang abad XVI ada beberapa versi masuknya Islam ke Lombok yang pertama berasal dari Jawa masuk lewat Lombok timur. Yang kedua pengIslaman berasal dari Makassar dan Sumbawa ketika ajaran tersebut diterima oleh kaum bangsawan ajaran tersebut dengan cepat menyebar ke kerajaan–kerajaan di Lombok timur dan Lombok tengah.

Mayoritas etnis sasak beragama Islam, namun demikian dalam kenyataanya pengaruh Islam juga berakulturasi dengan kepercayaan lokal sehingga terbentuk aliran seperti waktu telu, jika dianalogikan seperti abangan di Jawa. Pada saat ini keberadaan waktu telu sudah tidak kurang mendapat tempat karena tidak sesuai dengan syariat Islam. Pengaruh Islam yang kuat menggeser kekuasaan Hindu di pulau Lombok, hingga saat ini dapat dilihat keberadaannya hanya di bagian barat pulau Lombok saja khususnya di kota Mataram.

Silih bergantinya penguasaan di Pulau Lombok dan masuknya pengaruh budaya lain membawa dampak semakin kaya dan beragamnya khasanah kebudayaan sasak. Sebagai bentuk dari Pertemuan(difusi, akulturasi, inkulturasi) kebudayaan. Seperti dalam hal Kesenian, bentuk kesenian di lombok sangat beragam.Kesenian asli dan pendatang saling melengakapi sehingga tercipta genre-genre baru. Pengaruh yang paling terasa berakulturasi dengan kesenian lokal yaitu kesenian bali dan pengaruh kebudayaan islam. Keduanya membawa Kontribusi yang besar terhadap perkembangan ksenian-kesenian yang ada di Lombok hingga saat ini. Implementasi dari pertemuan kebudayaan dalam bidang kesenian yaitu, Yang merupakan pengaruh Bali ; Kesenian Cepung, cupak gerantang, Tari jangger, Gamelan Thokol, dan yang merupakan pengaru Islam yaitu Kesenian Rudad, Cilokaq, Wayang Sasak, Gamelan Rebana.



Sumber:
[notranslate]Wikipedia[/notranslate]
Iin-green



-dipi-
 
Suku Sekak Bangka

Suku Sekak Bangka merupakan suku yang mendiami pesisir sepanjang Pulau Bangka. Sebagian besar suku ini masih menganut kepercayaan aninisme dan dynamisme. Namun ada juga akhir-akhir ini yang menganut agama Islam dan Kristen. Ciri khas suku ini adalah mereka selalu mendiami daerah peisir pantai dan mata pencaharian mereka adalah nelayan.

Suku Sekak merupakan rumpun bangsa melayu yasng mana bahasa dan dialek yang digunakan hampir mirip dengan bahasa melayu namun ada perbedaan yang cukup mencolok antara suku Sekak atau orang Sekak dibandingkan dengan orang yang mendiami pulau bangka. sekalipun warna kulit yang agak hitam. sebagian besar suku sekak mendiami daerah pantai didaerah utara pulau bangka. kalau dilihat sepintas ada kemiripan dengan suku -suku lain di Indonesia khususnya di daratan sumatera.sekarang ini suku ini tidak lagi merupakan suku terasing karena mereka sudah beradaptasi dengan budaya- budaya dari luar.



Sumber:
[notranslate]Wikipedia[/notranslate]



-dipi-
 
pingin sekali petualang Bag packer mengelilingi Indonesia dan ingin mengenal semua suku2 yang ada di Indonesia....ada sponsor saya daftar ya..
 
Suku Serawai

Suku Serawai adalah suku bangsa dengan populasi terbesar kedua yang hidup di daerah Bengkulu. Sebagian besar masyarakat suku Serawai berdiam di kabupaten Bengkulu Selatan, yakni di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo, Pino, Kelutum, Manna, dan Seginim. Suku Serawai mempunyai mobilitas yang cukup tinggi, saat ini banyak dari mereka yang merantau ke daerah-daerah lain untuk mencari penghidupan baru, seperti ke kabupaten Kepahiang, kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Bengkulu Utara, dan sebagainya.

Secara tradisional, suku Serawai hidup dari kegiatan di sektor pertanian, khususnya perkebunan. Banyak di antara mereka mengusahakan tanaman perkebunan atau jenis tanaman keras, misalnya cengkeh, kopi, kelapa, dan karet. Meskipun demikian, mereka juga mengusahakan tanaman pangan, palawija, hortikultura, dan peternakan untuk kebutuhan hidup.

Sejarah

Asal-usul suku Serawai masih belum bisa dirumuskan secara ilmiah, baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk-bentuk publikasi lainnya. Asal-usul suku Serawai hanya diperoleh dari uraian atau cerita dari orang-orang tua. Sudah tentu sejarah tutur seperti ini sangat sukar menghindar dari masuknya unsur-unsur legenda atau dongeng sehingga sulit untuk membedakan dengan yang bernilai sejarah. Ada satu tulisan yang ditemukan di makam Leluhur Semidang Empat Dusun yang terletak di Maras, Talo. Tulisan tersebut ditulis di atas kulit kayu dengan menggunakan huruf yang menyerupai huruf Arab kuno. Namun sayang sekali sampai saat ini belum ada di antara para ahli yang dapat membacanya.

Berdasarkan cerita para orang tua, suku bangsa Serawai berasal dari leluhur yang bernama Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Asal-usul Serunting Sakti sendiri masih gelap, sebagian orang mengatakan bahwa Serunting Sakti berasal dari suatu daerah di Jazirah Arab, yang datang ke Bengkulu melalui kerajaan Majapahit. Di Majapahit, Serunting Sakti meminta sebuah daerah untuk didiaminya, dan oleh Raja Majapahit dia diperintahkan untuk memimpin di daerah Bengkulu Selatan. Ada pula yang berpendapat bahwa Serunting Sakti berasal dari langit, ia turun ke bumi tanpa melalui rahim seorang ibu. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa Serunting Sakti adalah anak hasil hubungan gelap antara Puyang Kepala Jurai dengan Puteri Tenggang.

Di dalam Tembo Lebong terdapat cerita singkat mengenai seorang puteri yang bernama Puteri Senggang. Puteri Senggang adalah anak dari Rajo Megat, yang memiliki dua orang anak yakni Rajo Mawang dan Puteri Senggang. Dalam tembo tersebut kisah mengenai Rajo Mawang terus berlanjut, sedangkan kisah Puteri Senggang terputus begitu saja. Hanya saja ada disebutkan bahwa Puteri Senggang terbuang dari keluarga Rajo Mawang.

Apabila kita simak cerita tentang kelahiran Serunting Sakti, diduga ada hubungannya dengan kisah Puteri Senggang ini dan ada kemungkinan bahwa Puteri Senggang inilah yang disebut oleh orang Serawai dengan nama Puteri Tenggang. Dikisahkan bahwa Puyang Kepala Jurai yang sangat sakti jatuh cinta kepada Puteri Tenggang, tapi cintanya ditolak. Namun berkat kesaktiannya, Puyang Kepala Jurai dapat melakukan hubungan seksual dengan puteri Tenggang, tanpa disadari oleh puteri itu sendiri. Akibat dari perbuatan ini Puteri Tenggang menjadi hamil. Setelah Puteri Tenggang melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Puteri Tolak Merindu barulah terjadi pernikahan antara Putri Tenggang dengan Puyang Kepala Jurai, itupun dilakukan setelah Puteri Tolak Merindu dapat berjalan dan bertutur kata.

Setelah pernikahan tersebut, keluarga Puyang Kepala Jurai belum lagi memperoleh anak untuk jangka waktu yang lama. Kemudian Puyang Kepala Jurai mengangkat tujuh orang anak, yaitu: Semidang Tungau, Semidang Merigo, Semidang Resam, Semidang Pangi, Semidang Babat, Semidang Gumay, dan Semidang Semitul. Setelah itu barulah Puyang Kepala Jurai memperoleh seorang putera yang diberi nama Serunting. Serunting inilah yang kemudian menjadi Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Serunting Sakti berputera tujuh orang, yaitu :
  • Serampu Sakti, yang menetap di Rantau Panjang (sekarang termasuk marga Semidang Alas), Bengkulu Selatan;
  • Gumatan, yang menetap di Pasemah Padang Langgar, Lahat;
  • Serampu Rayo, yang menetap di Tanjung Karang Enim, Lematang Ilir Ogan Tengah (LIOT);
  • Sati Betimpang, yang menetap di Ulak Mengkudu, Ogan;
  • Si Betulah, yang menetap di Saleman Lintang, Lahat;
  • Si Betulai, yang menetap di Niur Lintang, Lahat;
  • Bujang Gunung, yang menetap di Ulak Mengkudu Lintang, Lahat.
Putera Serunting Sakti yang bernama Serampu Sakti mempunyai 13 orang putera yang tersebar di seluruh tanah Serawai. Serampu Sakti dengan anak-anaknya ini dianggap sebagai cikal-bakal suku Serawai. Putera ke 13 Serampu Sakti yang bernama Rio Icin bergelar Puyang Kelura mempunyai keturunan sampai ke Lematang Ulu dan Lintang.

Definisi Serawai

Kata Serawai sendiri masih belum jelas artinya, sebagian orang mengatakan bahwa Serawai berarti "satu keluarga", hal ini tidak mengherankan apabila dilihat rasa persaudaraan atau kekerabatan antar sesama suku Serawai sangat kuat (khususnya mereka yang menumpang hidup di komunitas suku bangsa lainnya/merantau). Selain itu ada pula tiga pendapat lain mengenai asal kata Serawai, yaitu :
  • Serawai berasal dari kata Sawai yang berarti cabang. Cabang di sini maksudnya adalah cabang dua buah sungai yakni sungai Musi dan sungai Seluma yang dibatasi oleh bukit Campang;
  • Serawai berasal dari kata Seran. Kata Seran sendiri bermakna celaka, hal ini dihubungkan dengan legenda anak raja dari hulu yang dibuang karena terkena penyakit menular. Anak raja ini dibuang ke sungai dan terdampar di muara, kemudian di situlah anak raja tersebut membangun negeri.
  • Serawai berasal dari kata Selawai yang berarti gadis atau perawan. Pendapat ini berdasarkan pada cerita yang mengatakan bahwa suku Serawai adalah keturunan sepasang suami-istri. Sang suami berasal dari Rejang Sabah (penduduk asli pesisir pantai Bengkulu) dan istrinya adalah seorang puteri atau gadis yang berasal dari Lebong. Dalam bahasa Rejang dialek Lebong, puteri atau gadis disebut Selawai. Kedua suami-isteri ini kemudian beranak-pinak dan mendirikan kerajaan kecil yang oleh orang Lebong dinamakan Selawai.
Aksara Serawai

Suku bangsa Serawai juga telah memiliki tulisan sendiri. Tulisan itu, seperti halnya aksara Kaganga, disebut oleh para ahli dengan nama huruf Rencong. Suku Serawai sendiri menamakan tulisan itu sebagai Surat Ulu. Susunan bunyi huruf pada Surat Ulu sangat mirip dengan aksara Kaganga. Oleh sebab itu, tidak aneh apabila pada masa lalu para pemimpin-pemimpin suku Rejang dan Serawai dapat saling berkomunikasi dengan menggunakan bentuk-bentuk tulisan ini.


Sumber:
[notranslate]Wikipedia[/notranslate]



-dipi-
 
Suku Sumba

Pulau Sumba didiami oleh suku Sumba dan terbagi atas dua kabupaten, Sumba Barat dan Sumba Timur. Masyarakat Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya di tengah-tengah arus pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumah-rumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata.

Kebudayaan Suku Sumba

Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya. Dewasa ini perbedaan pada busana lebih ditunjukkan oleh tingkat kepentingan peristiwa seperti pada pesta-pesta adat, upacara-upacara perkawinan dan kematian dimana komponen-komponen busana yang dipakai adalah buatan baru. Sedangkan busana lama atau usang biasanya dipakai di rumah atau untuk bekerja sehari-hari.

Bagian terpenting dari perangkat pakaian adat Sumba terletak pada penutup badan berupa lembar-lembar besar kain hinggi untuk pria dan lau untuk wanita. Dari kain-kain hinggi dan lau tersebut, yang terbuat dalam teknik tenun ikat dan pahikung serta aplikasi muti dan hada terungkap berbagai perlambangan dalam konteks sosial, ekonomi.

Busana pria

Sebagaimana telah disebutkan busana masyarakat Sumba dewasa ini cenderung lebih ditekankan pada tingkat kepentingan serta suasana lingkungan suatu kejadian daripada hirarki status sosial. Namun masih ada perbedaan-perbedaan kecil. Misalnya busana pria bangsawan biasanya terbuat dari kain-kain dan aksesoris yang lebih halus daripada kepunyaan rakyat jelata, tetapi komponen serta tampak keseluruhannya sama. Menilik hal-hal tersebut maka pembahasan busana pria sumba ditujukan pada pakaian tradisional yang dikenakan pada peristiwa besar, upacara, pesta-pesta dan sejenisnya. Karena pada saat-saat seperti itulah ia tampil dalam keadaan terbaiknya. Busana pria Sumba terdiri atas bagianbagian penutup kepala, penutup badan dan sejumlah penunjangnya berupa perhiasan dan senjata tajam.

Sebagai penutup badan digunakan dua lembar hinggi yaitu hinggi kombu dan hinggi kaworu. Hinggi kombu dipakai pada pinggul dan diperkuat letaknya dengan sebuah ikat pinggang kulit yang lebar. Hinggi kaworu atau kadang-kadang juga hinggi raukadama digunakan sebagai pelengkap. Di kepala dililitkan tiara patang, sejenis penutup kepala dengan lilitan dan ikatan tertentu yang menampilkan jambul. Jambul inilah dapat diletakkan di depan, samping kiri atau samping kanan sesuai dengan maksud perlambang yang ingin dikemukakan. Jambul di depan misalnya melambangkan kebijaksanaan dan kemandirian. Hinggi dan tiara terbuat dari tenunan dalam teknik ikat dan pahikung. Khususnya yang terbuat dengan teknik pahikung disebut tiara pahudu.

Ragam-ragam hias yang terdapat pada hinggi dan tiara terutama berkaitan dengan alam lingkungan mahluk hidup seperti abstraksi manusia (tengkorak), udang, ayam, ular, naga, buaya, kuda, ikan, penyu, cumi-cumi, rusa, burung, kerbau sampai dengan corak-corak yang dipengaruhi oleh kebudayaan asing (Cina dan Belanda) yakni naga, bendera tiga warna, mahkota dan singa. Kesemuanya memiliki arti serta perlambang yang berangkat dari mitologi, alam pikiran serta kepercayaan mendalam terhadap marapu. Warna hinggi juga mencerminkan nilai estetis dan status sosial. Hinggi terbaik adalah hinggi kombu kemudian hinggi kawaru lalu hinggi raukadana dan terakhir adalah hinggi panda paingu.

Selanjutnya busana pria Sumba dilengkapi dengan sebilah kabiala yang disisipkan pada sebelah kiri ikat pinggang. Sedangkan pergelangan tangan kiri dipakai kanatar dan mutisalak. Secara tradisional busana pria tidak menggunakan alas kaki, namun dewasa ini perlengkapan tersebut semakin banyak digunakan khususnya didearah perkotaan. Kabiala adalah lambang kejantanan, muti salak menyatakan kemampuan ekonomi serta tingkat sosial. Demikian pula halnya perhiasan-perhiasan lainnya. Secara menyeluruh hiasan dan penunjang busana ini merupakan simbol kearifan, keperkasaan serta budi baik seseorang.

Busana Adat Wanita

Pakaian pesta dan upacara wanita Sumba Timur selalu melibatkan pilihan beberapa kain yang diberi nama sesuai dengan teknik pembuatannya seperti lau kaworu, lau pahudu, lau mutikau dan lau pahudu kiku. Kain-kain tersebut dikenakan sebagai sarung setinggi dada (lau pahudu kiku) dengan bagian bahu tertutup taba huku yang sewarna dengan sarung.

Di kepala terikat tiara berwarna polos yang dilengkapi dengan hiduhai atau hai kara. Pada dahi disematkan perhiasan logam (emas atau sepuhan) yaitu maraga, sedangkan di telinga tergantung mamuli perhiasan berupa kalung-kalung keemasan juga digunakan pada sekitar leher, menjurai ke bagian dada.


Sumber:
[notranslate]Wikipedia[/notranslate]



-dipi-
 
Suku Sunda

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat. Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia, setelah etnis Jawa. Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam. Namun dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak masyarakat yang mempercayai kekuatan-kekuatan supranatural, yang berasal dari kebudayaan animisme dan Hindu. Kepercayaan tradisional Sunda Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan dan masyarakat suku Baduy di Lebak yang berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.

Sunda berasal dari kata Su yang berarti segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan. Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak zaman Kerajaan Salakanagara.

Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.

Bahasa

Dalam percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa Sunda. Namun kini telah banyak masyarakat Sunda terutama yang tinggal di perkotaan tidak lagi menggunakan bahasa tersebut dalam bertutur kata. Seperti yang terjadi di pusat-pusat keramaian kota Bandung dan Bogor, dimana banyak masyarakat yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda.

Ada beberapa dialek dalam bahasa Sunda, antara lain dialek Sunda-Banten, dialek Sunda-Bogor, dialek Sunda-Priangan, dialek Sunda-Jawa, dan beberapa dialek lainnya yang telah bercampur baur dengan bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram Islam, bahasa Sunda - terutama dialek Sunda Priangan - mengenal beberapa tingkatan berbahasa, mulai dari bahasa halus, bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun di wilayah-wilayah pedesaan dan mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma tetap dominan.


Sumber:
Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies.
[notranslate]Wikipedia[/notranslate]



-dipi-
 
hebat dan salut buat editor in chief mba Dipi yang telah menulis suku suku bangsa di Indonesia. . .

belum "khatam" ea mba? :)
 
Back
Top