Mukjizat

singthung

New member
Bab 1 Pendahuluan



Seiring dengan perkembangan zaman, penyebaran suatu ajaran juga tidak seperti biasanya lagi. Saat ini ada kaum ?non-Buddhis? yang sudah menyetarakan `agama' dengan `produk' Multi Level Marketing, yang dalam menunjang suksesnya perlu dilakukan berbagai promosi, di samping penyusunan strategi yang jitu.

Hal ini dapat juga kita lihat di acara-acara televisi yang menayangkan kesaksian-kesaksian atas mukjizat yang terjadi, terutama oleh orang-orang yang tadinya tidak memeluk agama tersebut. Acara tersebut dikemas sedemikian rupa seperti sedang mempromosikan suatu produk. Kesaksian atas mukjizat yang ditayangkan tidak jarang merupakan pengakuan yang belum tentu benar dan objektif. Ironisnya, tidak sedikit nara sumber tersebut mengaku dulunya ia beragama `Buddha', akan tetapi bila kita teliti dengan seksama sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sama sekali tidak mengerti Buddha Dhamma.

Sebenarnya penyebaran ajaran melalui mukjizat sudah ada jauh sebelum masa Sang Buddha dimana para pertapa sering menunjukkan hal-hal yang dianggap mukjizat oleh masyarakat umum untuk menarik pengikut-pengikut baru. Dan sekarang cara ini kembali dipergunakan dimana kita dapat melihat kelompok-kelompok ajaran non-buddhis tertentu menunjukkan mukjizat, baik oleh pendiri maupun pengikutnya untuk alasan yang sama yaitu menarik pengikut baru sebanyak-banyaknya. Bagi kelompok ini, mukjizat berperan penting dan menurut mereka kinerja mukjizat dapat membantu kelompoknya untuk diakui sebagai utusan orang suci dari Hyang Agung.

Pernahkah Anda mendengar ada seorang perempuan, Tuti (bukan nama sebenarnya) terkena kanker rahim stadium 3, berupaya kuat untuk pergi kepada berbagai dokter bahkan datang ke dalam satu Kebaktian paham tertentu, kankernya tersebut malah meningkat menjadi stadium 4 dan semua dokter yang ditemui `angkat tangan' tak dapat menolongnya dari kematian, namun setelah bertemu dengan seorang bhikkhu dan setelah melaksanakan sesuatu yang dikatakan oleh bhikkhu tersebut, kondisi kankernya malah menurun berangsur hilang hingga sembuh total.

Sebaliknya ada pihak-pihak yang menyembunyikan tangan dengan menghembuskan cerita bahwa ada seorang ibu mengeluhkan anaknya Dono (bukan nama sebenarnya) yang sakit panas di bawa ke vihara dan didoakan seorang pandita beragama Buddha, tetapi tidak sembuh. Keesokan harinya ketika dibawa ke sebuah tempat ibadah dari paham lain dan didoakan sesuatu, serta diberi minum sesuatu, eh? panasnya tiba-tiba hilang.

Apakah cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut dan menyudutkan Agama Buddha ini merupakan kebenaran dilapangan atau hanya merupakan strategi yang disusun oleh pihak-pihak tertentu yang ingin menyudutkan agama Buddha?

Meski hal ini belum diketahui kebenarannya, tetapi ada segelintir umat Buddha yang kurang memahami Dhamma sibuk membicarakan hal ini. Mereka yang tertutup oleh ketidaktahuan ini tertarik dengan iming-iming yang dijanjikan seperti dapat menyembuhkan, dibangkitkan, melancarkan usaha, murah rezeki (baca: cepat kaya) dan sebagainya.

Apakah hal seperti itu juga ada dalam Agama Buddha? Atau seperti yang dikatakan oleh kelompok-kelompok non-buddhis bahwa hanya Hyang Agung mereka saja yang dapat memperlihatkan mukjizat sedangkan yang lain adalah kuasa iblis.

Padahal mengenai mukjizat, Sang Buddha tidak pernah menganggapnya hal yang penting. Beliau meminta pengikutnya untuk menyebarkan Kebenaran yang dapat membuat orang-orang menjadi baik dan melakukan kebaikan tanpa mengharuskan mereka menjadi pengikut dari Sang Buddha. Beliau juga menyarankan orang-orang untuk datang dan melihat bukan untuk datang dan percaya. Mungkin itulah keunikan yang menjadi daya tarik Agama Buddha yang tidak dimiliki agama lain, sehingga beberapa tahun belakangan ini Buddhisme berkembang pesat di dunia barat yang dengan ditandai dengan permintaan yang meningkat akan tenaga pembabar Dhamma dan pentabhisan anggota sangha dari orang-orang barat. Bahkan di Australia, Agama Buddha merupakan Agama yang perkembangannya paling pesat.

?Jangan tergantung pada pertunjukan mukjizat untuk mencapai tujuan utama Anda; bergantunglah pada kekuatan intelegensia yang tak terbatas untuk membimbing anda melalui cara-cara yang alami dan dengan bantuan hukum-hukum alam untuk mencapainya.? .

Bab 2 Pandangan Agama Buddha Tentang Mukjizat​

Bila dalam ajaran lain, Keajaiban atau Mukjizat dijadikan daya tarik dan selling point yang diagung-agungkan untuk menarik pengikut baru, maka Anda akan melihat hal yang bertolak belakang mengenai hal itu dalam agama Buddha.

Bagi Sang Buddha, keajaiban tidak menduduki peranan penting dalam pengembangan spiritual tetapi peranannya minor saja (yang tidak penting). Dengan menyaksikan keajaiban yang seringkali diperbesar-besarkan, seseorang tidak dapat memperoleh kemajuan spiritual atau manfaat apapun, tetapi sebaliknya hal ini akan membuat mereka semakin melekat terhadap hal ini, padahal keajaiban-keajaiban yang dipertontonkan tersebut belum tentu benar.

Pada suatu kesempatan, Sang Guru pernah mengatakan bahwa penggunaan keajaiban untuk membujuk orang masuk agama lain adalah seperti mengunakan gadis-gadis penari untuk menggoda orang untuk melakukan sesuatu. MenurutNya, keajaiban atau mukjizat yang sebenarnya adalah ketika dapat membuat seorang pembunuh, pencuri, teroris, pemabuk atau pelacur sadar bahwa apa yang telah ia lakukan adalah salah dan berhasil membuatnya meninggalkan jalan hidupnya yang buruk, tidak bermoral dan membahayakan. Perubahan menjadi baik seperti inilah yang merupakan mukjizat tertinggi yang dapat dilakukan orang.

Oleh sebab itulah, walaupun Sang Buddha mempunyai dan mampu memperlihatkan segala jenis Keajaiban atau Mukjizat, tetapi selama 45 tahun pembabaran DhammaNya Beliau yang merupakan pendiri Agama Buddha tidak pernah menunjukkan, menyuruh atau memperbolehkan orang-orang yang menjalankan disiplinnya untuk menggunakan kemampuan supranatural tersebut hanya untuk menarik pengikut baru.

Karena itu, sebagai umat Buddha tidak seharusnya kita mencari kekuatan supranatural atau percaya begitu saja kepada mereka yang menguasai hal yang gaib-gaib. Hanya dengan mempertontonkan keajaiban, tidak berarti mereka mengajarkan ?Kebenaran?. Seseorang bisa saja memperoleh kekuatan ajaib tanpa pengembangan spiritual. Sang Buddha mengatakan bila orang tersebut mengembangkan kekuatan ajaib tanpa pengembangan spiritual, maka ia berada dalam keadaan yang cukup berbahaya karena bisa menyalahgunakan kekuatan itu untuk keuntungan duniawi. Sekarang ini banyak orang yang telah menyimpang dari jalan kebenaran dengan menggunakan kekuatan ajaibnya mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa memiliki pengembangan spiritual apapun.

Keajaiban atau kekuatan luar biasa seperti itu tidak dapat mengantarkan seseorang menjadi suci, hal itu mungkin bisa membawa kebahagiaan semu untuk seketika, tetapi tidak akan membawa anda untuk memperoleh kebahagiaan sejati untuk waktu yang lama karena buah kamma seseorang harus diterima oleh orang itu sendiri, tidak ada yang dapat diwakilkan, dan tidak ada siapapun yang dapat lari dari buah kammanya termasuk mereka yang memiliki kekuatan-kekuatan luar biasa tersebut.

Untuk hal ini, Sang Buddha mengatakan bahwa:

Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, keberuntungan dan kebahagiaan dapat dicapai

Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, kematian dapat dicegah

Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, roda samsara dapat dihentikan.

Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, kesucian dapat diperoleh.

Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, penderitaan akan berakhir.

Tidak dengan mengandalkan kesaktian dan mukjizat, pembebasan dapat direalisasikan.


Sekali lagi perlu kita tegaskan disini bahwa Sang Bhagava tidak pernah mengajarkan kepada para pengikutNya untuk mencari kesaktian, keajaiban dan mukjizat apalagi meminta kita untuk mempercayai kekuatan-kekuatan seperti itu karena tidak akan memberikan berkah dan keselamatan.

Dan bagi mereka yang senang akan kesaktian, keajaiban, mukjizat atau kekuatan-kekuatan seperti itu serta mencari perlindungan sesaat darinya, mereka tidak akan pernah melihat kebenaran Dhamma Nan Agung yang dibabarkan oleh Sang Buddha. Mereka yang demikian akan terlena dengan mencari kekuatan-kekuatan diluar dirinya dan lupa akan ?Pencapaian? yang menjadi tujuan akhir setiap manusia.

Mengenal hal ini, dapat kita lihat dalam kitab suci bahwa Sang Buddha tidak hanya sekali tetapi berulang kali dengan tegas melarang murid-muridNya menggunakan keajaiban untuk membuktikan kehebatan ajaran-ajaranNya, walaupun banyak dari mereka memiliki kemampuan itu. Sang Buddha hanya akan menggunakan kekuatannya tersebut bila memang benar-benar dibutuhkan untuk menolong orang lain. (lihat pada bab Keajaiban atau Mukjizat dalam Kehidupan Sang Buddha)

Salah satu kisah yang memperkuat hal ini adalah kejadian sewaktu Sang Buddha berada di Nalanda di Hutan Pavarika, seorang umat yang bernama Kevaddha meminta agar Sang Guru menunjuk seorang Bhikkhu untuk memperagakan satu keajaiban dari kekuatan supranatural sehingga orang-orang Nalanda yang memang umat Buddhis itu menjadi lebih yakin terhadap Sang Buddha. Menjawab pertanyaan itu, Sang buddha berkata, "Kevaddha, Tathagata tidak mengajarkan Doktrin kepada para bhikkhu dalam cara itu". Jawaban yang sama juga diberikan oleh Sang Buddha ketika Kevaddha bertanya untuk kedua dan ketiga kalinya.

Oleh sebab itu kita sebagai umat Buddha tidak perlu berkecil hati apabila tidak pernah mendengar adanya acara yang mempertontonkan keajaiban dalam Agama Buddha. Kita harus bijaksana untuk hal yang satu ini, tidak dipamerkan bukan berarti tidak ada, tetapi lebih tepat kita anggap tidak perlu untuk dilakukan karena dampak negatif dari mempertontonkan kesaktian / mukjizat lebih banyak bila dibandingkan dengan dampak positifnya.

Dikisahkan pula dalam kitab suci bahwa pernah ada seorang bendahara dari Rajagaha membuat tantangan untuk para pertapa, bila ada yang berhasil mengambil mangkuk (yang terbuat dari kayu cendana) yang digantungkan di udara dengan seutas tali dari sambungan bambu dengan ketinggian enam puluh cubit (30 meter) dari tanah, maka dia beserta anak dan istrinya akan menjadi muridnya. Pada saat tidak ada seorang pertapa pun yang dapat mengambil mangkuk tersebut, Yang Mulia Pindola Bharadvaja yang sedang berpindapatta bersama Yang Mulia Maha Moggollana, terbang dan mengambil mangkuk tersebut. Setelah mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Yang Mulia Pindola Bharavadvaja, Sang Buddha menegur beliau dan menyuruhnya memecahkan mangkuk tersebut menjadi potongan-potongan kecil serta menyerahkannya kepada para bhikkhu untuk dijadikan bubuk kayu cendana. Sejak itu, Sang Buddha menetapkan peraturan yang melarang para bhikkhu mempraktekkan kekuatan supranatural untuk tujuan seperti itu di masa yang akan datang.

Pelanggaran atas peraturan tersebut akan menyebabkan seorang bhikkhu mendapat hukuman yang disebut apatti. Dalam Vinaya bagian Sudhika Patticiya, disebutkan bahwa apabila seorang bhikkhu mengatakan/ menunjukkan kepada umat awam kemampuan gaib yang dimilikinya, maka ia melanggar patticiya (pelanggaran yang dapat diperbaiki). Lebih jauh lagi, di dalam Vinaya bagian Parajika, dinyatakan jika seorang bhikkhu berbohong dengan menyatakan dirinya mempunyai kesaktian yang sebenarnya belum dimilikinya, maka ia melanggar Parajika (pelanggaran berat) yang dapat menyebabkan ia dikeluarkan dari kebhikkhuan.

Di dalam Digha Nikaya I, Sang Buddha menyatakan bahwa para pertapa yang melakukan peramalan suratan tangan, meramal sesuatu yang akan terjadi, penujuman, mempersembahkan korban, mendapatkan jawaban sabda para dewa, berkomat-kamit dengan kata-kata tertentu berlaku seperti orang suci dan berpraktek sebagai ?dokter?, merupakan pertapa-pertapa yang mendapatkan penghidupan dengan cara rendah. Bila suatu saat kita menyaksikan ada seseorang yang menyatakan dirinya sebagai pengikut Sang Buddha tetapi melakukan hal-hal yang tidak terpuji sebagaimana yang telah dijabarkan diatas, maka kita harus berwaspada apakah beliau benar-benar murid Sang Buddha (bila murid Sang Buddha berarti beliau telah melanggar vinaya) atau seseorang yang hanya mencari keuntungan pribadi dengan menggunakan nama Sang Buddha (atau agama Buddha) yang sudah mempunyai reputasi Internasional hampir 2600 tahun lamanya.

Kita harus ingat bahwa kebijaksanaanlah yang ditekankan oleh Sang Buddha bagi pengikutnya, bukannya kepercayaan yang otoriter. Dengan ini diharapkan agar pengikut Sang Buddha dapat berpikir secara rasional dan tidak fanatik secara membabi-buta.

Bila sakit hendaknya umat Buddha mencari dokter untuk penyembuhan, bukannya mencari penyembuhan melalui kekuatan-kekuatan tertentu; Bila ingin hidup berkecukupan, bekerjalah secara baik dan benar bukannya berpangku tangan dengan meminta bantuan dari kekuatan-kekuatan seperti itu; Bila ingin bebas dari penderitaan, pelajarilah Dhamma dan laksanakan agar dapat membuahkan kebahagiaan, bukannya mencari perlindungan dari makhluk-makhluk atau benda-benda yang katanya memiliki/ menguasai keajaiban.

Berkah ?Kebahagiaan dan Keselamatan? sebenarnya dapat kita ciptakan sendiri tanpa harus menunggu atau meminta-minta mukjizat dari Hyang Agung atau kekuatan-kekuatan diluar diri kita. Dengan mempratekkan Dhamma, ajaran nan agung yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha, kita dapat menciptakan sendiri mukjizat-mukjizat dalam kehidupan kita.

Bab 3 Mukjizat: Ada atau Tiada? Bagaimana​

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Mukjizat diartikan sebagai ?Kejadian atau peristiwa ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia.? Dari penjabaran tersebut, dapat kita simpulkan bahwa Mukjizat itu hanya sukar dijangkau tetapi bukan berarti tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Bagi mereka yang mengetahui bagaimana proses keajaiban itu terjadi, maka hal ini tentu dapat lebih mudah diterima.

Bila dilihat dari sudut pandang Agama Buddha, sebenarnya tidak ada suatu hal luar biasa yang oleh masyarakat umum disebut sebagai keajaiban atau mukjizat. Menurut Direktur Urusan Agama Buddha, Bapak Cornelis Wowor MA sewaktu diwawancarai oleh Majalah Dhammacakka mengatakan bahwa hal ini karena kejadian atau peristiwa ajaib tersebut tidaklah sukar bagi umat Buddha untuk memilikinya terutama mereka yang mencapai Abhinna melalui latihan kesadaran dengan bermeditasi.

Menurutnya, hal-hal yang mungkin dianggap mukjizat oleh orang lain menjadi fenomena yang biasa bagi orang yang mempunyai kemampuan itu. Mungkin adanya istilah ?Mukjizat? timbul dari masyarakat non-buddhis yang tidak mengetahui bagaimana hal tersebut bisa terjadi karena ajaran dan pandangan terbatas yang mereka miliki.

Contoh yang dapat kita ambil adalah Sulap. Sulap dianggap hebat oleh orang yang tidak mengerti sulap, dan mungkin bagi anak kecil itu adalah suatu ?Mukjizat?. Misalnya dalam permainan kartu, pesulap tersebut dapat mengetahui nomor dan bunga kartu tertentu tanpa melihatnya. Bagi anak kecil yang tidak mengetahui bagaimana cara melakukannya, mereka akan berpikir bahwa pesulap tersebut memiliki ?Mukjizat? untuk melihat tembus kartu tersebut. Akan tetapi bagi mereka yang sudah mengetahui bagaimana cara melakukannya, hal itu dianggap merupakan hal yang biasa.

Sebenarnya ini hanya masalah ilmu saja. Apabila ilmu yang dimiliki oleh kelompok tertentu hanya sebatas demikian dan dianggap hebat, dan bagi kelompok lain yang telah melampaui sistem itu, tidak akan terasa hebat lagi karena sesuatu yang dianggap hebat oleh kelompok tertentu itu bisa mereka lakukan.

Sekali lagi, dalam agama Buddha mukjizat yang umumnya diartikan sebagai suatu hal yang luar biasa itu tidak ada karena semuanya merupakan hal yang biasa. Kemampuan-kemampuan seperti itu (Kekuatan Batin) dapat dimiliki oleh setiap orang. Siapapun yang melatih mental dengan tepat dapat memperoleh kekuatan spiritual, dan ia secara otomatis mendapatkan kekuatan ajaib juga. Hal ini hanyalah merupakan ekspresi superioritas mental atas materi

Dalam Anguttara Nikaya III:60, bagian "Apakah para bhikkhu memberikan manfaat bagi yang lain?", terdapat percakapan tentang mukjizat antara Sang Buddha dan Ananda dengan seorang brahmana bernama Sangarava. Sang Buddha memberitahukan kepada brahmana Sangarava:

Ada tiga macam mukjizat, brahmana. Apakah yang tiga itu? Mukjizat kekuatan supranormal, mukjizat membaca pikiran dan mukjizat pengajaran.

Apa yang merupakan mukjizat kekuatan supranormal itu? Ada orang yang menikmati berbagai macam kekuatan supranormal: setelah menjadi satu, dia berubah menjadi banyak; sesudah menjadi banyak, dia berubah menjadi satu; dia muncul dan lenyap; dia pergi tak terhalang menembus dinding, menembus benteng, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; dia menyelam masuk dan keluar dari bumi seolah-olah itu adalah air; dia berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah itu adalah tanah; dalam keadaan duduk bersila ia terbang ke udara seperti seekor burung; dengan tangannya ia menyentuh dan "mengusap" matahari dan bulan, begitu kuat dan perkasa; ia melakukan penguasaan dengan tubuhnya bahkan sejauh dunia-Brahma. Ini, brahmana, disebut mukjizat kekuatan batin.

Apakah yang merupakan mukjizat membaca pikiran? Ada orang yang dengan sarana tanda, menyatakan: "Demikianlah pikiranmu, seperti inilah pikiranmu, demikianlah pikiranmu." Dan betapapun banyaknya pernyataan seperti itu yang dibuatnya, semuanya memang demikian dan tidak salah.

Orang lain tidak membuat pernyataan lewat sarana tanda, melainkan setelah mendengar suara manusia, suara makhluk halus atau dewa ... atau dengan mendengarkan suara getaran-getaran pemikiran seseorang ... atau secara mental menembus arah kecenderungan mentalnya ketika dia berada di dalam keadaan meditasi yang terbebas dari pemikiran. Dan betapapun banyaknya pernyataan yang dibuat, mereka semuanya demikian dan tidak salah. Inilah yang disebut mukjizat membaca pikiran.

Dan brahmana, apakah mukjizat pengajaran? Ada orang yang mengajarkan demikian: "Engkau seharusnya berpikir dengan cara ini dan bukan dengan cara itu! Engkau seharusnya memperhatikan ini dan bukan itu! Engkau seharusnya meninggalkan ini dan harus berdiam di dalam pencapaian itu!" Inilah yang disebut mukjizat pengajaran.

Inilah, O Brahmana, tiga jenis mukjizat. Dari ketiga mukjizat ini, manakah yang tampak bagimu sebagai yang paling bagus dan paling tinggi?

Mengenai mukjizat kekuatan supranormal dan pembacaan pikiran, Guru Gotama, hanya pelakunya saja yang akan mengalami hasilnya; hasilnya hanya dimiliki oleh orang yang melakukannya. Kedua mukjizat ini, Guru Gotama, bagi saya tampak memiliki sifat tukang sulap. Tetapi mengenai mukjizat pengajaran ? inilah, Guru Gotama, yang bagi saya tampak sebagai yang paling bagus dan paling tinggi di antara ketiganya.

Betapa luar biasa dan menakjubkannya hal ini dikatakan oleh Guru Gotama. Kami akan mengingat Guru Gotama sebagai orang yang memiliki tiga mukjizat ini. Guru Gotama menikmati berbagai jenis kekuatan supranormal. Beliau secara mental menembus dan mengetahui pikiran orang lain. Dan Guru Gotama mengajarkan orang lain demikian: "Engkau seharusnya berpikir dengan cara ini dan bukan cara itu! Engkau seharusnya memperhatikan ini dan bukan itu! Engkau seharusnya meninggalkan ini dan harus berdiam di dalam pencapaian itu!" ?

Tetapi apakah ada bhikkhu lain, selain Guru Gotama, yang memiliki tiga mukjizat ini?

Ya, brahmana. Para Bhikkhu yang memiliki ketiga mukjizat ini tidak hanya berjumlah seratus, atau dua ratus, tiga ratus, empat ratus, atau lima ratus, tetapi bahkan lebih banyak dari jumlah itu.

Dan di manakah sekarang berdiamnya bhikkhu-bhikkhu ini, Guru Gotama?

Di dalam Sangha bhikkhu ini juga, Brahmana.

Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Sama seperti orang menegakkan apa yang terjungkir balik atau menguak apa yang tadinya tersembunyi atau menunjukkan jalan bagi mereka yang tersesat, atau memegang lampu di dalam kegelapan sehingga mereka yang memiliki mata bisa melihat wujud. Bahkan lebih dari itu, Dhamma telah di babarkan dengan berbagai cara oleh Guru Gotama.

Dan dari itu, dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang dalam meditasi sudah mencapai Jhana keempat dapat mengembangkan enam Abhinna dan Iddhividhanna (kemampuan yang luar biasa) yang biasa dikenal dengan mukjizat-mukjizat dan dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1) Pubbeniv?s?nussati??na: kemampuan untuk melihat kehidupan masa lampau

2) Dibbacakkhu??na atau Cut?ppta??na: mata batin, mampu melihat alam-alam halus dan kesanggupan melihat muncul lenyapnya makhluk yang lahir sesuai dengan kammanya masing-masing.

3) Cetopariya??na atau Paracittavija??na: kemampuan untuk membaca pikiran makhluk-makhluk lain.

4) Dibbasotanana: telinga dewa, kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam manusia, alam dewa, alam brahma yang dekat maupun yang jauh.

5) Iddhividhinana: kekuatan magis, yang terdiri dari:

a) Adhittana-iddhi, yaitu kekuatan kehendak (will power) untuk mengubah tubuh sendiri dari satu menjadi banyak. Atau dari banyak menjadi satu.

b) Vikubbana-iddhi, yaitu kemampuan untuk mengubah rupa, misalnya mengubah rupa menjadi anak kecil, raksasa, ular, membuat diri menjadi tidak nampak.

c) Manomaya-iddhi, yaitu kemampuan mencipta dengan menggunakan pikiran, misalnya menciptakan istana, taman, singa, dan benda-benda lain.

d) Nanavipphara-iddhi, yaitu pengetahuan menembus ajaran.

e) Samadhivipphr?-iddhi, yaitu konsentrasi lebih jauh sebagai berikut:

i) Kemampuan menembus dinding, gunung, dan lain-lain,

ii) Kemampuan menembus ke dalam bumi bagaikan menyelam air

iii) Kemampuan berjalan di atas air.

iv) Kemampuan tak terbakar oleh api.

v) Kemampuan terbang di angkasa.

6) Avakkhayanana: kemampuan untuk memusnahkan sava atau kekotoran batin. Pemusnahan kekotoran batin ini akan membimbing ke arah kesucian tertinggi (Arahat).

Mungkin ada kalanya kita dapat melihat ada seseorang yang tidak berlatih meditasi dan juga tidak mencapai jhana-jhana tetapi mempunyai kemampuan-kemampuan luar biasa seperti mukjizat-mukjizat. Untuk kasus seperti ini, kita harus ingat bahwa dalam Agama Buddha, hidup tidak hanya sekali tetapi berulang kali dan ada tiga kemungkinan mengenal hal ini.

Kemungkinan yang pertama adalah bahwa orang tersebut masih mempunyai sisa-sisa kamma baiknya atau kekuatan batinnya yang lampau sehingga walaupun sekarang ia tidak meditasi secara sistematis seperti kita lihat, tapi beliau terkonsentrasi dalam batasan-batasan tertentu. Sesungguhnya itulah meditasi, walaupun singkat. Ia tidak menyadari bahwa ia sedang terpusat pikirannya dan kemampuan batinnya tercuat kembali.

Kemungkinan yang kedua bisa saja orang tersebut tidak meditasi, dan tidak mempunyai kekuatan batin. Tetapi beliau tidak sadar bahawa ia dibantu oleh makhluk lain. Ia tidak kerasukan, tapi ada makhluk di sampingnya yang membantunya sehingga segala apa yang dilakukannya selalu sukses.

Ketiga, ia sadar bahwa ia sedang dibantu atau bisa juga mereka bekerja sama baik dengan makhluk yang baik maupun makhluk yang jahat, asura. Musuh utama kekuatan batin adalah seks. Setiap kali ia berhubungan dengan istrinya, apalagi berselingkuh, kekuatan batinnya menurun. Tapi ada juga orang yang mempunyai kekuatan batin juga melakukan hubungan seks karena ia dibantu oleh makhluk jahat. Atau bisa juga dewa yang membantu, tetapi dewa itu tidak mempunyai pandangan yang bijaksana (miccha ditti), hanya kamma baiknya yang banyak. .

Bab 4 Kesaktian Dalam Kehidupan Sang Buddha​

Hal-hal yang dianggap mukjizat oleh masyarakat umum terjadi sejak hari kelahiran hingga wafatNya Sang Buddha, dan ini tidak hanya monopoli Sang Buddha sendiri tetapi juga dimiliki oleh para pengikutnya baik itu bhikkhu maupun upasaka-upasika. Pada kesempatan ini kami akan mengisahkan kembali beberapa saja kejadian-kejadian yang dianggap mukjizat oleh masyarakat umum.

Suatu hari, ketika Sang Buddha mengunjungi Kapilavatthu untuk memenuhi undangan Raja Suddhodana (ayah Pangeran Siddharta). Waktu rombongan mendekati Nigrodharama, Sang Buddha merenung, "Bangsa Sakya terkenal sebagai bangsa yang tinggi hati. Kalau Aku menyambut mereka dengan tetap duduk di tempat duduk-Ku, mereka mungkin akan mencela sikap-Ku dan mengatakan, 'Sungguh keterlaluan yang dilakukan Pangeran yang telah meninggalkan tahta, menjadi pertapa dan sekarang telah memperoleh Penerangan Agung dan mengaku sebagai Raja Dhamma, Ia duduk saja dan tidak berdiri untuk menyambut kedatangan ayah-Nya yang sudah tua dan sangat dihormati oleh seluruh rakyat Sakya.' (bila sesuai dengan tradisi saat itu bahwa seorang anak harus bersujud di depan ayahnya)

Karena telah menjadi Buddha maka tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada Raja Suddhodana, Sang Buddha berpikir bahwa lebih baik Beliau terbang setinggi orang dewasa dan berjalan-jalan di udara. Kemudian Sang Buddha terbang ke udara dan berjalan-jalan setinggi orang dewasa. Dari kejauhan, Raja dapat melihat anaknya sedang berjalan-jalan di udara dan merasa sangat kagum. Tiba di pinggir hutan Nigrodharama, Raja turun dari keretanya dan bersama-sama dengan pengiringnya berjalan kaki menuju ke tempat tinggal Sang Buddha. Sang Buddha yang sedang berjalan-jalan di udara setinggi orang dewasa naik lebih tinggi sedikit dan berdiri setinggi pohon palem, sehingga dapat dilihat oleh segenap yang hadir. Pada waktu itulah Sang Buddha mempertontonkan kekuatan gaib-Nya yang hanya dapat dilakukan oleh seorang Buddha, yaitu Yamakapatihariya atau Mukjizat Ganda. Api berkobar-kobar di badan sebelah atas dan air dingin melalui lima ratus pancaran turun dari badan sebelah bawah. Setelah itu air memancar dari sebelah atas badan dan api berkobar-kobar dari badan sebelah bawah.

Juga pernah dikisahkan dalam kitab suci bahwa ketika Sang Buddha mengetahui bahwa Yasa belum mencapai Arahat, maka sewaktu ayahnya datang mencari anaknya; Yasa, Sang Buddha menggunakan kekuatan gaibNya membuat Yasa tidak kelihatan, demikian pula Yasa tidak dapat melihat keberadaan ayahnya. Kemudian setelah memberikan uraian Dhamma tentang berbagai hal dan Hukum Empat kesunyataan Mulia yang membuat ayah Yasa memperoleh mata Dhamma dan Yasa mencapai tingat kesucian Arahat, Sang Buddha baru menarik kembali kekuatan gaibnya tersebut sehingga mereka dapat saling melihat.

Sang Buddha juga dikisahkan terbang dan melayang di atas sungai Rohini memberikan khotbah untuk mencegah terjadinya perang antara suku Koliya dan suku Sakya dalam memperebutkan air untuk mengaliri sawah mereka. Hal itu terjadi karena air sungai yang membatasi kedua suku tersebut tidak cukup untuk mengaliri sawah yang dimiliki kedua suku tersebut yang sedang dilanda kekeringan.

Sang Buddha juga pernah memperlihatkan kekuatan gaibnya untuk menundukkan Uruvela Kassapa yang juga mahir dalam menggunakan ilmu-ilmu gaib yang dapat kita simak dalam percakapan sebagai berikut:

"Kalau Anda tidak keberatan, Kassapa, Aku ingin bermalam di pondokmu."

"Tentu saja tidak, Gotama Yang Mulia, aku tidak keberatan Anda bermalam di pondokku. Tetapi Anda harus tahu bahwa seekor ular kobra yang besar dan ganas sekali menjaga api suci yang terdapat di pondokku. Tiap malam ular itu keluar dan aku khawatir Anda akan celaka." jawab Uruvela Kassapa.


"Oh, tidak apa-apa. Kalau Anda tidak keberatan, Aku akan bermalam di pondokmu."

"Kalau begitu baiklah. Selamat malam dan semoga Anda selamat."

Sang Buddha juga mengucapkan selamat malam kepada Uruvela Kassapa dan masuk ke dalam pondok. Sang Buddha duduk bermeditasi dan menunggu munculnya ular kobra tersebut. Waktu tengah malam, benar saja seekor ular kobra besar datang menghampiri Sang Buddha. Ular itu menyemburkan uap beracun dan mencoba menggigit Sang Buddha. Tetapi semburan uap beracun maupun usaha untuk menggigit Sang Buddha ternyata sia-sia saja. Sang Buddha tetap duduk bermeditasi dengan mengembangkan gaya-gaya Metta (cinta kasih) dan badan-Nya seolah-olah dikelilingi oleh semacam perisai yang tidak dapat ditembus.

Esok paginya, Uruvela Kassapa datang menjenguk Sang Buddha dan mengira akan menemukan mayat-Nya. Ia terkejut melihat Sang Buddha sedang duduk bermeditasi. Uruvela Kassapa bertanya apakah Sang Buddha tidak diganggu oleh ular kobra. "Tidak, ular itu ada di sini." jawab Sang Buddha dan membuka tutup mangkuk yang biasa dipakai untuk menerima dana makanan. Dari sana keluarlah seekor ular kobra yang mendesis dengan ganas sehingga Uruvela Kassapa cepat-cepat ingin menyingkir. Tetapi Sang Buddha menahannya dan berkata bahwa Beliau mempunyai kemampuan untuk menjinakkan ular kobra.

Pada kesempatan itu sewaktu turun hujan lebat dan semua tempat di daerah itu digenangi air banjir, kembali Sang Buddha memperlihatkan kekuatan gaib-Nya. Di tempat Sang Buddha berdiri atau berjalan, air "membelah" membuka jalan, sehingga kaki dan tubuh Sang Buddha tidak basah kena air.

Pada waktu lain, ketika Angulimala akan membunuh ibunya untuk melengkapi jari tangan yang dikumpulkan (seribu tangan) untuk dipersembahkan kepada gurunya. Sang Buddha mendatangi Angulimala dan berdiri di antara Angulimala dan ibunya. Pada saat Angulimala melihat Sang Buddha, dengan pedang terhunus Angulimala berlari mengejar Sang Buddha untuk membunuhnya. Walaupun Sang Buddha berjalan dengan lambat, Angulimala tidak pernah berhasil mengejar dan menyentuh Sang Buddha walaupun beliau sudah mengejarNya dengan sekuat tenaga. Kemudian Sang Buddha memberikan nasehat kepada Angulimala. Setelah mendengar kata-kata Kebenaran Sang Buddha, Angulimala menyadari perbuatannya dan kemudian ditabhiskan menjadi bhikkhu dan mencapai kesucian Arahat.

Kisah lain adalah sewaktu seorang upasaka ingin pergi ke Jetavana untuk melihat Sang Buddha. Ia sampai di tepi sungai Aciravati ketika hari sudah malam, dan tidak ada perahu untuk menyeberangi sungai itu karena tukang perahunya sedang pergi ke tempat Sang Buddha membabarkan Dhamma. Karena pemusatan pikirannya yang kuat sekali kepada Sang Buddha, ia dapat berjalan di atas air menyeberangi sungai, dan kakinya tidak tenggelam dalam air. Ia berjalan bagaikan di atas tanah.

Bab 5 Kesembuhan, Apa dan Bagaimana?​

Bila kita kebetulan mengunjungi saudara atau teman di rumah sakit, tidak jarang kita menjumpai kelompok agama `non-Buddhis' yang sedang mendoakan pasien yang tidak seagama dengan mereka. Sebenarnya hal itu merupakan perbuatan yang sesungguhnya sangat mulia dan patut dihargai jika mereka tidak diilhami dengan maksud tertentu yang kurang bijaksana, misalnya mengajak mereka untuk berpindah agama.

Mereka ini mencoba untuk mempengaruhi publik melalui persuasi emosional yang dikenal sebagai istilah ?Penyembuhan melalui Iman?. Untuk membangkitkan keyakinan akan muzarabnya metode penyembuhan mereka, maka beberapa pelaku penyembuhan via iman memasukkan nuansa religius ke dalam metode-metode penyembuhan mereka. Pemasukan unsur agama ke dalam penyembuhan melalui iman adalah sebenarnya suatu kedok untuk memperdaya pasien tersebut. Mereka akan menjadi lebih taat di dalam keagamaan serta meningkatkan keyakinan atau keimanan pasien itu terhadap sang pelaku penyembuhan melalui iman.

Namun faktanya, sejauh mengenai masalah penyembuhan melalui iman, unsur agama sama sekali tidak diperlukan dalam melakukan penyembuhan. Terdapat banyak sekali kasus-kasus dimana penyembuhan melalui iman dilakukan tanpa melibatkan unsur agama tertentu. Sebagai contoh adalah sains hipnotisme, yakni praktek penyembuhan yang tidak melibatkan unsur agama apapun. Contoh lainnya adalah praktek penyembuhan dari suku Indian di Amerika, beberapa sekte kuno India, Persia, dan Mesir. Kesemuanya itu dapat melakukan penyembuhan dengan caranya sendiri-sendiri melalui iman. Jadi, fenomena penyembuhan tidak ada sangkut pautnya dengan suatu agama tertentu, karena penyembuhan semacam itu terdapat pada semua tradisi keagamaan dan juga non-keagamaan. Bedanya, yang satu melakukannya di depan umum untuk menarik masuk penganut agama lain ke agamanya sendiri, sedangkan yang lainnya tersembunyi.

Sering terdengar pula pesan dari mereka yang melakukan penyembuhan iman bahwa pasien akan sembuh jika benar-benar menyerahkan diri atau percaya pada `Hyang Agung' mereka dan jangan percaya pada `Hyang Agung' yang lain (dalam agama si pasien). Jika si pasien sembuh, mereka akan menyatakan bahwa hal itu karena mukjizat dari `Hyang Agung' mereka, seakan-akan mereka lupa bahwa pada saat bersamaan si pasien masih terus menerima pengobatan medis. Jika tidak sembuh, mereka akan menyatakan bahwa hal itu karena si pasien tidak atau kurang percaya pada `Hyang Agung' mereka. Dan jika si pasien meninggal dan sempat dialihkan agamanya menjadi penganut agama yang mereka yakini sebelum detik-detik kematian si pasien, mereka pasti menyatakan dia akan berada di sisi `Hyang Agung' atau surga dan sudah terselamatkan. Apakah Anda yakin, semudah itukah surga dapat dicapai hanya dengan modal 'percaya'?

Selain hal-hal tersebut di atas, kelompok ini juga selalu mengklaim bahwa doa-doa mereka menimbulkan mukjizat-mukjizat yang dapat membuat orang buta untuk bisa melihat kembali, yang tuli bisa mendengar, dan yang pincang bisa berjalan normal. Singkat kata, yang sakit dapat disembuhkan oleh mereka melalui doa-doa yang dijawab oleh ?Hyang Agung? mereka. Tetapi apakah doa-doa mereka yang katanya dapat menimbulkan mukjizat-mukjizat selalu berhasil sebagaimana yang diklaim oleh mereka? Jawabannya adalah tidak. Tetapi mengapa yang sering kita dengar adalah mereka yang disembuhkan? Ini adalah hal yang wajar, karena sebagai manusia kita selalu menceritakan sesuatu hal yang menguntungkan diri kita sendiri (dalam hal ini menguntungkan kelompok mereka) dan menyimpan dengan rapi hal yang tidak kita inginkan untuk diketahui oleh masyarakat umum. Menurut Majalah Dhamamcakka, persentase kesembuhan hanya berkisar 1% hingga 3%.

Belum lagi beberapa orang dari kelompok tersebut yang karena sangat ingin membuktikan bahwa doa-doa mereka selalu menimbulkan mukjizat terpaksa mengutarakan banyak klaim-klaim kosong, omong besar dan secara sadar berbohong, tanpa memperhatikan kenyataan dan kebenaran yang ada baik sebelum atau sesudah mereka melakukan doa. Berikut ini merupakan sebuah penuturan yang pernah dimuat di Maaf, silahkan Login/Register dulu untuk melihat Link ini.. yang dialami oleh seorang ibu rumah tangga buddhis yang pernah mengikuti ?Penyembuhan Iman? untuk anaknya dan diklaim oleh kelompok tersebut telah berhasil menyembuhkan sang anak tetapi pada faktanya tidak menyembuhkan sama sekali.

Seorang wanita di Malaysia yang anaknya mengalami infeksi telinga dan hampir mengalami ketulian merasa sangat cemas dan telah mengunjungi banyak dokter tetapi tidak ada satupun yang dapat membantu. Anaknya hanya dapat mendengar bila dia berteriak dengan sangat keras.

Suatu hari temannya mengajak beliau untuk membawa anaknya menghadiri ?Penyembuhan Iman? yang katanya dapat menyembuhkan penyakit anaknya. Walaupun ibu ini adalah seorang umat Buddha, tetapi karena kasih sayangnya beliau memutuskan untuk pergi melihat apakah dapat membawa suatu perubahan kepada anaknya.

Disana terdapat ribuan orang histeris yang berkumpul, dia, anaknya dan banyak lagi orang yang ?sakit? dibawa ke atas pentas dan satu per satu dihadapkan pada pemimpin doa mereka yang akan memberkahi dan berdoa untuk mereka.

Ketika giliran anaknya tiba untuk dihadapkan pada pemimpin tersebut, ia bertanya apa masalahnya dan ibunya mengatakan bahwa anaknya tuli. Belum sempat Ibunya mengatakan lebih lanjut bahwa anaknya masih mempunyai sedikit pendengaran tetapi pemimpin mereka tadi telah berteriak dengan suaranya yang paling tinggi. 'Atas nama Hyang Agung, sembuhlah'! Kemudian dia berteriak "Dapatkah kamu mendengar saya'? dan tentu saja anak laki-laki ini mengangguk karena dia selalu dapat mendengar apabila seseorang berteriak padanya apalagi di dalam acara ini mereka menggunakan pengeras suara yang sangat besar.

Pemuka agama tersebut mulai berlompat kegirangan ke atas dan ke bawah, dan berteriak "Ini adalah keajaiban! Hyang Agung telah menyembuhkannya'! dan kemudian seluruh pendengar mulai bertepuk tangan dan berteriak "Puji Hyang Agung". Perempuan itu dan anaknya dengan tergesa-gesa diturunkan dari ?pentas pertunjukan? tersebut sebelum terlalu banyak pertanyaan ditanyakan atau kehadiran dokter untuk mengecek sang pasien dan setelah itu keajaiban lainnya dipertunjukkan.

Perempuan itu kemudian mendengar bahwa beberapa orang dari para hadirin itu sangat terkesan dengan ?penyembuhan? anaknya yang menurut mereka secara ajaib telah disembuhkan atas mukjizat-mukjizat Hyang Agung.

Kisah tersebut diatas hanya merupakan salah satu ?Penyembuhan Iman? yang tidak sembuh dari sekian banyak yang ada. Walau demikian, hal itu tetap saja diklaim oleh kelompok ?non-buddhis? tersebut sebagai suatu Mukjizat dari Hyang Agung mereka. Mungkin begitulah biasanya cara mereka menghadirkan ?penyembuhan-penyembuhan? untuk menarik pengikut-pengikut baru yang kurang bijak.

Selain itu, pada kelompok agama ?non-Buddhis? tersebut ada pula pengurus yang dikhususkan untuk mencari orang-orang yang berpura-pura mengalami cacat fisik ataupun sakit, dan terlihat sembuh mendadak saat dibacakan `doa kesembuhan' oleh sang pemuka agama atau pemimpin kelompok tersebut. Kasus yang sudah dianggap kriminal ini pernah diungkapkan dalam berita di salah satu surat kabar terbitan ibu kota.

Bila memang benar bahwa doa-doa mereka begitu berkuasa sehingga dapat menghasilkan mukjizat yang dapat menyembuhkan segala jenis penyakit, maka secara logika seharusnya mereka membangun lebih banyak lagi rumah Hyang Agung mereka, dan tidak mendirikan rumah sakit yang menelan biaya cukup besar. Melihat hal ini, secara tidak langsung kita dapat menyimpulkan bahwa kelompok non-buddhis yang mengklaim bahwa doa-doa mereka menghasilkan mukjizat juga mengakui bahwa doa-doa mereka tidak manjur sehingga perlu mendirikan rumah sakit untuk mengobati pasien-pasien yang tidak berhasil disembuhkan oleh doa-doa mereka.

Dari data yang diperoleh Majalah Dhammacakka, kalaupun benar terjadi mukjizat, diperkirakan hanya 1-3 yang mungkin sembuh setiap 100 orang. Dalam bidang statistik, kesimpulan yang diambil adalah bahwa mukjizat yang mengatas namakan `Hyang Agung' tidaklah benar. Bayangkan saja, persentase orang yang tidak sembuh berada di atas 90%, sehingga yang sembuh lebih tepat disebut sebagai `sampling error' (data yang menyimpang) untuk mengambil suatu kesimpulan generalisasi. Sebagai gambaran, andaikan dalam proses pengobatan untuk seratus pasien ternyata yang sembuh hanya tiga pasien, apakah dapat dikatakan proses pengobatan tersebut sukses? Komentar defensif yang sering terdengar adalah bahwa orang yang benar-benar percaya dan menyerahkan diri sepenuhnya pada `Hyang Agung? hanyalah sekitar 1-3 % tadi, dan itu adalah suatu keberhasilan yang telah disimpulkan secara terbalik. Tidak jarang justru yang sembuh adalah orang yang tidak pernah atau jarang kelihatan di tempat ibadah mereka.

Sedangkan dalam bidang kedokteran, penelitian terkini dalam eksperimental psikologi (parapsikologi) telah melemparkan secercah cahaya tentang sifat alamiah pikiran dan posisinya di dunia ini. Selama empat puluh tahun terakhir pengaruh ini telah secara konstan tumbuh di antara para ahli kedokteran bahwa banyak kasus penyakit organik maupun fungsional secara langsung di kondisikan oleh faktor-faktor batin. Tubuh menjadi sakit karena pikiran mengontrolnya secara tersembunyi (tak disadari langsung oleh penderita) menginginkan tubuhnya sakit, atau karena kegelisahan sehingga tak dapat mencegah tubuh agar tidak menjadi sakit.

Pikiran kita tidak hanya menyebabkan sakit, tetapi juga dapat menyembuhkan. Pasien yang realistis memiliki kesempatan kesembuhan yang jauh lebih baik dibandingkan seorang pasien yang khawatir dan tidak gembira. Contoh-contoh yang di dokumentasikan melalui penyembuhan ?iman? termasuk di dalamnya kasus-kasus penyakit organik yang dapat disembuhkan hampir secara instan.

Metode-metode inilah yang digunakan oleh pelaku penyembuhan melalui iman itu, mereka mencoba untuk mengkondisikan pikiran-pikiran pasien, sehingga sang pasien menjadi memiliki sikap mental tertentu. Sebagai akibat dari hal itu, maka perubahan-perubahan psikologis dan fisiologis tertentu muncul. Perubahan-perubahan tersebut dapat memperbaiki kondisi pikiran, hati, sirkulasi darah dan fungsi-fungsi organik terkait lainnya, dengan demikian menjadikan tubuh serasa lebih nyaman.

Bila penyakit disebabkan oleh kondisi pikiran, maka pikiran tentu dapat secara tepat dikondisikan untuk membantu menghilangkan berbagai penyakit yang ada. Dalam konteks ini, harus diperhatikan bahwa pelatihan meditasi yang konstan dan teratur dapat membantu meminimalkan atau bahkan menghilangkan secara total berbagai jenis penyakit. Terdapat banyak sabda Buddha yang menjelaskan mengenai penyembuhan melalui pengkondisian pikiran.

Seandainya penyembuhan melalui iman benar-benar suatu hal yang ajaib, maka tentu ia dapat dipergunakan untuk menyembuhkan semua penyakit. Tetapi pada kenyataannya, metode penyembuhan tersebut tidak dapat dipergunakan untuk menyembuhkan semua penyakit, seperti AIDS, kanker, dan lain sebagainya. Kalau metode ini benar-benar bermanfaat, maka tentunya sudah dicanangkan oleh PBB dan diterapkan di seluruh rumah sakit. Penyembuhan melalui iman hanya bisa menyembuhkan penyakit yang ada kaitannya dengan pikiran, baik secara langsung maupun tak langsung. Mengenai hal ini, sungguh menarik kita meninjaunya dari sisi Buddha Dhamma pada bab Paritta dan Cara Kerjanya.

 
Bab 6 Paritta dan Cara Kerjanya


Bila umat non-buddhis berdoa kepada Hyang Agung Mereka, maka umat Buddha biasanya membaca Paritta. ‘Paritta' menurut etimologi berarti ‘perlindungan' (berasal dari pari+tra = untuk melindungi). Dijelaskan dalam arti, pemberian perlindungan di setiap keadaan dengan permohonan berkah atas kebenaran Tiga Permata (Buddha, Dhamma dan Sangha) pada umumnya dan terutama atas kebenaran Dhamma.

Paritta adalah khotbah asli Sang Buddha dan yang diabadikan dalam Kitab Suci Tipitaka Pali. Kata paritta pertama kali digunakan oleh Buddha Gotama di dalam khotbah yang dikenal dengan "Khandha paritta" di dalam Culla Vagga, Vinaya Pitaka (vol. ii, halaman 109), dan juga di dalam Anguttara Nikaya di bawah judul `Ahi (metta) Sutta' (vol. ii halaman 82). Khotbah ini direkomendasikan oleh Sang Buddha Gotama sebagai `pelindung' untuk digunakan oleh para bhikkhu. Di dalam khotbah itu Buddha menganjurkan para bhikkhu untuk mempraktekkan dan mengembangkan metta (cinta kasih universal) kepada semua makhluk.

Khotbah-khotbah ini telah dideklamasikan sebagai paritta atau bacaan (chant) bahkan di jaman Sang Buddha hingga sekarang dimana saat Buddhisme berkembang menjadi agama dengan pengikut besar, pembacaan paritta menjadi lebih populer di antara mereka karena kemanjurannya memberikan perlindungan dengan menangkis dukkha, bhaya (penyakit), roga (bahaya). Akan tetapi perlu kita ketahui bahwa Paritta ini tidaklah sama dengan pembacaan doa paham lain, tak ada satu pun yang mistis di dalam paritta.

Karya yang dikenal sebagai ‘The Great Book of Protection' (Buku Perlindungan Besar) terdiri dari khotbah-khotbah yang dipilih dari teks-teks yang diakui dan sebagian besar disusun untuk keperluan pembacaan paritta.

Pembacaan paritta tertentu memiliki nilai kekuatan tertentu. Kekuatan-kekuatan yang saling berkombinasi secara sinergis akan menimbulkan kekuatan baru yang jauh lebih tinggi. Kekuatan-kekuatan itu dapat kita kategorikan sebagai berikut:

1. Kekuatan Kebenaran

Beberapa faktor berkombinasi memberikan kontribusi kepada `kemanjuran' pembacaan paritta. Pembacaan paritta merupakan sebentuk saccakiriya, yaitu sebuah afirmasi atas kebenaran. Perlindungan dihasilkan dari kekuatan afirmasi kebenaran tersebut. Ini berarti menetapkan diri pembaca di dalam kekuatan kebenaran terlebih dulu sebagai modal utama. Dengan modal utama bahwa dirinya diliputi kebenaran, para pendengar pun diajak untuk berlibat di dalam kebenaran tersebut. Itulah sebabnya di akhir paritta ini, biasanya pembaca memberikan afirmasi `blessing' kepada pendengarnya dengan mengucapkan kata-kata `etena sacca vajjena sotti te hotu sabbada' yang berarti `dengan kekuatan kebenaran kata-kata ini semoga kamu sembuh/baik. Kekuatan Dhamma atau Kebenaran melindungi pelaksana Dhamma (dhammo have rakkhati dhammacarin) mengindikasikan prinsip di balik pembacaan paritta sutta ini. Apabila semua faktor lainnya sama tingkatnya, maka pembacaan Kebenaran (paritta sutta) akan memiliki kekuatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan `doa' semata yang mengandung hasrat melekat.

2. Kekuatan Kemoralan

Tahap pertama pelaksanaan Buddha Dhamma adalah kemoralan (Sila). Dilandasi kemoralan yang baik, seseorang seyogyanya berjuang untuk mencapai batin yang tenang dan seimbang. Apabila ini terjadi, maka orang yang memiliki kemoralan akan terlindung dengan sendirinya oleh kekuatan moralnya tersebut. Orang yang mendengarkan pembacaan paritta dari orang yang bermoral akan muncul inspirasi pikiran yang baik secara reflektif induktif muncul pikiran yang bermoral baik yang dapat mengatasi pengaruh buruk dan akhirnya terlindung dari berbagai bahaya. Moralitas pembaca dan yang mendengarkan saling berpengaruh membentuk kombinasi kontribusi kekuatan paritta tersebut. Makin tinggi moralitas pembaca dan pendengarnya, maka kekuatan paritta tersebut akan menjadi makin tinggi.

3. Kekuatan Cinta Kasih

Khotbah yang dilakukan oleh Buddha tidak akan pernah lepas dari cinta kasih. Beliau berjalan ke manapun dengan penuh cinta kasih untuk semua makhluk, memberikan petunjuk, mengkondisikan pencerahan dan membahagiakan banyak makhluk melalui ajaran-Nya. Oleh karena itu, para pembaca paritta pun diharapkan melakukannya dengan penuh cinta kasih dan belas kasihan kepada para pendengarnya dengan mengharapkan mereka berbahagia, terbebas dari penyakit, kesukaran, penderitaan dan mara bahaya. Semakin tinggi cinta kasih yang dikembangkan dan dipancarkan oleh pembaca paritta, maka kekuatannya akan semakin tinggi.

4. Kekuatan Keyakinan

Keyakinan merupakan hal yang sangat penting di dalam semua tindakan. Pembacaan paritta dengan keyakinan tinggi, akan menimbulkan efek ketenangan yang tinggi bagi batin pembacanya. Tingkat keyakinan yang tinggi dari pendengarnya akan berpengaruh bagi tingkat kemauan pendengar itu mendengarkan dan merenenungkannya. Konflik batin menjadi teratasi, dan ujungnya cittajarupa (lahir dan batin) yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang baik yang berinteraksi dengan materi tubuhnya tersebut sehingga tingkat kesehatan atau radiasi tubuhnya menjadi lebih baik.

5. Kekuatan Konsentrasi

Pembacaan paritta dengan penuh konsentrasi akan memberikan efek sinkronisasi yang baik terhadap pembaca maupun pendengarnya. Kekuatan kebenaran akan tetap terjaga, harmonisasi tetap terjaga, kestabilan faktor batin yang penuh cinta kasih akan tetap terjaga, keyakinan tetap terjaga penuh. Makin tinggi tingkat konsentrasi maka akan makin tinggi pula kekuatan batin orang tersebut (baik pembaca maupun pendengarnya), dan kekuatan batin ini tentu menjadi kontribusi penting di dalam mengalahkan pengaruh-pengaruh yang negatif.

6. Kekuatan Perbuatan (kamma)

Setiap makhluk melakukan perbuatan sejak dulu hingga kini, dalam kehidupan lampau maupun sekarang. Perbuatan tersebut merupakan aksi, dan memiliki potensi untuk menghasilkan akibat. Perbuatan yang dilakukan suatu makhluk terdiri dari perbuatan tidak baik maupun perbuatan baik, dan masing-masing memberikan efek yang setimpal. Perbuatan tidak baik akibatnya tidak menyenangkan atau negatif; perbuatan baik akibatnya menyenangkan atau positif. Di dalam perjalanan bekerjanya perbuatan ini saling berinteraksi dan berkombinasi di dalam menimbulkan akibat. Ada perbuatan yang mengkondisikan berbuahnya perbuatan lain yang belum masak menjadi masak atau yang sudah saatnya masak menjadi masak dengan sepenuhnya. Ada pula perbuatan baik yang memotong buah perbuatan tidak baik yang sedang berlangsung hingga selesai. Sebagai contoh, seorang yang sedang sakit…diakibatkan salah satunya oleh akibat perbuatan buruknya yang lampau. Dengan kondisi perbuatan baiknya mendengarkan pembacaan paritta dengan penuh konsentrasi dan keyakinan saat itu, serta merta sembuh diakibatkan perbuatan baiknya ini memotong hasil perbuatan buruknya yang menyebabkan dia sakit. Sebaliknya apabila tidak ada perbuatan baik yang ditimbulkan untuk meng-counter akibat perbuatan tidak baik yang lampau atau akibat perbuatan tidak baik yang lampau terlalu kuat mendominasi, maka pembacaan paritta dan mendengarkan paritta tidak akan serta merta membuahkan hasil, namun bukan berarti sia-sia. Mohon maaf, proses aksi reaksi inilah yang tidak dijelaskan di dalam kitab-kitab para pemeluk firman "Hyang Agung" dalam kasus-kasus di pendahuluan tulisan ini. Proses aksi reaksi dan kombinasi serta interaksinya ini akan menjadi lebih jelas apabila para pembaca menyimak pelajaran `keselarasan perbuatan' (kamma niyama) yang dijelaskan dengan lugas di dalam Tipitaka kitab suci umat Buddha maupun Visuddhimagga, salah satu kitab komentar. (Untuk pembahasan rinci kasus-kasus melalui sudut pandang kamma ini, silakan membaca buku Dhammasakacca karya Pandit Jinaratana Kaharuddin).

7. Kekuatan Suara

Telah lama diyakini bahwa getaran suara yang dihasilkan oleh pembacaan paritta yang harmonis di dalam bahasa Pali atau bahasa yang mudah dimengerti oleh pendengarnya akan berpengaruh kepada gerakan materi di dalam tubuh seseorang. Apabila semua hal kekuatannya sama, maka semakin harmonis pembacaan paritta, gerakan materi di dalam tubuh seseorang akan menjadi harmonis, dan akan mengakibatkan denyut nadi atau saraf yang harmoni. Secara realistis, hal ini menginduksikan ketenangan dan kedamaian fisik maupun batin.

`Keyakinan' sering kali menjadi kambing hitam yang diluncurkan para penganut Firman "Hyang Agung" di dalam kasus di atas. Mereka sering kali menyatakan bahwa apabila ada beberapa orang yang ber-`iman' sama tetapi hanya satu yang melihat mukjizat, maka artinya yang tidak melihat mukjizat dipra-anggap "kurang memiliki keyakinan" betapapun `saleh'-nya di dalam kehidupan keagamaannya. Sungguh merupakan kalimat pelarian (escape clause) yang cerdik yang secara halus memaksa seseorang untuk tetap memiliki ketergantungan `keyakinan' kepada Firman Hyang Agung mereka, selama orang yang tidak melihat mukjizat tersebut belum mengerti proses mukjizat sesungguhnya.

Singkatnya, penguncaran paritta akan memiliki kekuatan yang tinggi dalam hal kemanjuran, baik untuk mengurangi/menghilangkan efek buruk maupun untuk menimbulkan atau mengembangkan efek baik, dan sepenuhnya sangat tergantung dari kebenaran yang terkandung di dalam kata-katanya, moralitas pembaca dan pendengarnya, keyakinan pembaca dan pendengarnya, konsentrasi pembaca dan pendengarnya, cinta kasih yang ditimbulkan dan dikembangkannya, harmonisasi getaran suara yang dibacakannya, terakhir namun yang terpenting adalah potensi pendengarnya (kamma masing-masing yang pernah dan sedang dipupuknya).

Dengan kata lain, Paritta merupakan katalisator karena ia mengkondisikan kamma baik yang dimiliki (yang pernah dan sedang dipupuknya) oleh si pasien agar lebih cepat berbuah. Tetapi apabila si pasien tidak memiliki timbunan kamma baik karena jarang melakukan kebajikan maka dengan membaca paritta apapun dan seberapa banyakpun pasien itu maka persentase kesembuhan itu sangat kecil karena tidak ada buah kamma baik yang dapat dimatangkan untuk meng-counter akibat kamma buruk yang menyebabkan seseorang jatuh sakit. Walau demikian, seperti yang telah dijelaskan diatas pembacaan paritta-sutta tetap membawa manfaat positif.

Dilain pihak, apabila ada seseorang yang jatuh sakit tetapi memiliki Kamma baik yang berbuah, maka tanpa mengadakan pembacaan paritta sekalipun orang tersebut dapat sembuh. Sebagai perumpamaan adalah apabila ada seseorang yang kaya, sangat kaya, dan dia tiba-tiba di diagnosa menderita kanker. Dia membacakan paritta dan kemudian pergi ke seluruh dunia untuk mendapatkan dokter spesialis yang terbaik, tetapi jika kamma baiknya tidak ada, bahkan dokter-dokter terbaik dari Amerika atau Eropah tidak akan mampu untuk menyembuhkannya. Sebaliknya, ada orang lain yang mungkin sangat miskin, dan juga menderita kanker, tetapi jika kamma baiknya mendukung, beliau dapat saja sembuh walaupun beliau tidak mempunyai uang untuk pergi ke pusat spesialis. Orang ini bisa sembuh hanya dengan membaca paritta, atau di rekomendasikan oleh temannya untuk mengkonsumsi ramuan-ramuan, atau minum air seninya sendiri! Ini karena beliau memiliki timbunan kamma baik yang tidak dimiliki oleh orang yang kaya tadi.

Jadi cara yang benar agar untuk menghasilkan ‘mukjizat’ sehingga bisa sembuh dari penyakit atau dapat menjalani kehidupan yang bahagia adalah dengan melakukan perbuatan baik yang dapat menghasilkan kamma yang berbobot, serta tidak lupa untuk menghindari perbuatan buruk.

Mungkin ada sebahagian yang mengatakan bahwa beliau telah melakukan perbuatan baik selama sakit tetapi penyakitnya tidak juga kunjung sembuh padahal beliau juga membacakan paritta-sutta. Untuk hal ini, kita harus melihat lebih jauh lagi. Sebagai contoh, untuk membuang setumpuk sampah yang sudah menggunung di kebun kita, tentunya kita harus menghabiskan waktu yang lebih lama dan menguras tenaga yang lebih besar dibandingkan dengan waktu dan tenaga yang kita butuhkan untuk membuang satu tong sampah kecil yang dapat dilakukan hanya dengan sekali jalan. Sama halnya untuk menyembuhkan penyakit berat yang di derita, seseorang memerlukan kamma baik yang jauh lebih besar apalagi si penderita biasanya tidak pernah melakukan kebajikan untuk ‘men-stokkan’ kamma baik.

Oleh sebab itu, marilah kita ‘menabung’ kamma baik dengan membiasakan diri melakukan kebajikan, menjalankan sila dan banyak membantu serta memberikan kemudahan kepada orang lain. Janganlah kita menunda atau menunggu waktunya sampai dimana kita telah jatuh sakit atau menderita baru melakukan kebajikan karena dalam waktu yang singkat, kebajikan yang dapat kita lakukan adalah terbatas. Mulailah dari hari ini, lakukan terus menerus dan jangan pernah berpikir cukup untuk melakukan kebajikan karena melalui itu kita dapat membuat begitu banyak ‘Mukjizat-mukjizat’ dalam kehidupan kita.

 
Last edited:
Back
Top