singthung
New member
Pengertian benar dalam kehidupan sehari-hari
"Utthanena' ppamadena
samyamena damena ca
dipam kayiratha medhavi
yam ogho nabhikirati."
Dengan usaha yang tekun, semangat, disiplin, dan pengendalian diri,
hendaklah orang bijaksana,
membuat pulau bagi dirinya sendiri,
yang tidak dapat ditenggelamkan oleh banjir.
"Utthanena' ppamadena
samyamena damena ca
dipam kayiratha medhavi
yam ogho nabhikirati."
Dengan usaha yang tekun, semangat, disiplin, dan pengendalian diri,
hendaklah orang bijaksana,
membuat pulau bagi dirinya sendiri,
yang tidak dapat ditenggelamkan oleh banjir.
Bagaimana pengaruh Buddha Dhamma terhadap tindakan-tindakan manusia? Bagaimana Buddha Dhamma secara efektif membantu setiap orang agar dapat melakukan perbuatan baik? Apakah kita mungkin berbuat kebaikan dengan hanya mendengar perkataan orang seperti demikian, “jangan melekat terhadap segala sesuatu dan berbuatlah kebaikan!”.
Dari pengalaman kita mengetahui bahwa, suatu teladan/contoh hanya bisa membantu sampai pada tahapan tertentu. Dasar perbuatan-perbuatanbaik itu ada dalam diri kita masing-masing. Mentalitas (akal budi) menentukan tindak tanduk kita.
Apabila seseorang ingin berbuat yang terbaik bagi orang lain, terlebih dahulu ia harus memahami dirinya sendiri. Dia harus memahami sebab-sebab yang mendasari perbuatannya. Dengan memahami sebab-sebab yang mendasari perbuatannya.Dengan memahami sebab-sebab yang membuat kita berbuat seperti ini atau itu, maka kita dapat meningkatkan pengertian benar dalam kehidupan kita sehari-hari. Melalui pengertian benar ini, seseorang dapat lebih banyak melakukan perbuatan yang lebih berguna dengan cara yang lebih efektif.
Mentalitas adalah sumber timbulnya perbuatan-perbuatan. Oleh sebab itu, mustahil meningkatkan kebaikan dari perbuatan-perbuatan yang hanya tampak luarnya saja. Banyak tingkatan perbuatan-perbuatan baik, dan ini tergantung dari motivasi mentalnya. Beberapa orang memberi uang kepada orang-orang yang butuh, akan tetapi ini bukan berarti sifat-sifat sombong dan motif keserakahan dari si pemberi tersebut tidak ada. Kemudian yang lain memberi dengan tanpa kesombongan, namun mereka masih melekat; mereka hanya memberi kepada orang yang disukainya saja.
Yang lain lagi, memberi dengan didasari cinta kasih murni, tanpa kemelekatan. Inilah sesunguhnya cara yang lebih baik dalam berdana.
Suatu saat kita mungkin menjadi bingung dan mempertanyakan tentang perlunya mempelajari secara terinci mengenai perbuatan baik. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat melihat bahwa sangat bermanfaat untuk mengetahui bentuk-bentuk Citta yang berbeda dan mengetahui macam Citta yang memotivasi perbagai perbuatan kita. Bila kita mampu memahami bahwa bentuk-bentuk Citta itu berbeda, saling menyusul satu dengan yang lain melalui proses yang demikian cepat, maka kita akan dapat melihat bahwa bentuk Citta yang tidak baik dapat menggantikan Citta yang baik dengan cepatnya.
Kusala kamma dalam pengertian yang lebih luas berarti perbuatan yang tidak menimbulkan kerugian, baik kepada si pembuat maupun kepada orang lain, pada saat perbuatan itu dilakukan atau pada saat yang akan datang. Dalam Bahitika-Sutta, Majjhima Nikaya II, Raja Vagga, dapat kita baca tentang Kusala kamma, yaitu percakapan baik dan pikiran-pikiran baik. Raja Pasenadi bertanya kepada Ananda tentang maksud dari kebaikan atau kemahiran dalam bertingkah laku, sebagai berikut:
“Yang Mulia, apakah yang dimaksud kebaikan atau kemahiran dalam bertingkah laku itu?”
“Segala tindak tanduk yang dilakukan dengan tubuh, yang tidak ternoda”.
“Yang Mulia. Apakah yang dimaksud dengan tidak ternoda?”
“Segala tindak tanduk tubuh yang tidak menyakiti.”
“Yang Mulia, apakah yang dimaksud tindak tanduk tubuh yang tidak menyakiti?”
“Segala tindak tanduk tubuh yang dapat membawa kepada kebahagiaan.”
“Yang Mulia, apakah yang dimaksud dengan tindak tanduk tubuh yang dapat membawa kepada kebahagiaan?”
“Segala yang dilakukan oleh tubuh yang tidak menimbulkan penyiksaan diri dan tidak menimbulkan siksaan bagi orang lain, serta tidak menyiksa kedua-duanya, dimana ketidaktahuan akan berkurang dan kemampuan berbuat baik akan bertambah.”
Begitu pula halnya dengan ucapan dan pikiran yang baik (perbuatan melalui ucapan dan pikiran). Percakapan di atas menunjukkan makna Kusala kamma dalam pengertian yang lebih luas. Banyak intensitas dari Kusala kamma. Ada Kusala kamma yang tingkatnya lebih tinggi daripada sekedar mneghindari perbuatan jahat, dengan tanpa merugikan diri sendiri atau orang lain. Dengan meningkatkan pengertian benar atau kebijaksanaan, seseorang dapat lebih banyak berbuat kebaikan.
Kebijaksanaan merupakan terjemahan dari Bahasa Pali “Panna”, Panna bukan berarti pengetahuan yang di dapat dengan mempelajari buku-buku, Panna adalah melihat ke dalam dan juga melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi sehari-hari sebagaimana adanya. Oleh sebab itu, Panna dapat dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tingkatan kebaikan bergantung pada tingkatan Panna yang mendampingi Citta yang baik. Banyak tingkatan kebijaksanaan, dan tiap tingkatan membuahkan hasil yang sepadan dengan perbuatan yang dilakukan. Inilah ciri khas Buddhis dalam menghadapi kehidupan, yakni dengan menyelidikinya dan sadar akan perbedaan gejala-gejala mental dan fisik yang dialami melalui mata, telinga, hidung, lidah, sentuhan badan, dan pikiran.
Jika seseorang tidak terbiasa dengan hal-hal tersebut di atas, maka orang itu akan merasa bingung pada awalnya. Akan tetapi, setelah orang itu mempelajari lebih banyak tentang gejala-gejala mental dan fisik ini, maka ia akan mengerti bahwa hanya melalui cara demikian, perilaku dirinya dan perilaku orang lain yang berbeda-beda itu dapat di pahami.
Tidak ada artinya membicarakan secara samara-samar tentang istilah-istilah umum mengenai kenyataan, karena pengertian benar dalam kehidupan tidak akan dapat ditingkatkan melalui cara demikian. Seseorang memberitahukan kepada saya, bahwa ada seorang Bhikkhu yang berceramah dengan cara yang khas dan isi ceramahnya tersebut sangat berguna bagi umat dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika saya tanyakan, materi apa yang diceramahkan oleh Bhikkhu itu; jawabnya adalah, bahwa Bhikkhu itu berceramah mengenai “Citcai”. “Citcai” merupakan kata dalam bahasa thai yang sepadan dengan Citta dalam bahasa Pali. Bhikkhu itu mengajarkan cara menghadapi hidup ini dengan tepat.
Seseorang harus mengikuti teladan Sang Buddha. Seseorang jangan bisa menganjurkan orang lain untuk berbuat kebaikan, akan tetapi seharusnya ia juga mengajarkan cara untuk berbuat kebaikan tersebut. Untuk mengetahui cara berbuat kebaikan, kita harus melihat kembali kepada asal mula/sumber-sumber kebaikan itu sendiri, yaitu Citta. Bila kita telah banyak belajar tentang Citta, kita akan dapat memahami bahwa tidak ada Citta yang diam, walaupun hanya untuk sejenak.
Tiap Citta timbul, segera disusul oleh Citta yang lain dengan cepatnya. Citta menentukan kehidupan seseorang dan kehidupan orang lain. Citta juga mempengaruhi tindak tanduk dan penampilan seseorang dalam hidupnya.
Banyak orang yang tidak terbiasa dengan cara pendekatan seperti ini. Mereka terbiasa melihat penampakan luar saja. Para ilmuwan sudah sangat maju dalam mempelajari ruang angkasa, namun mereka sangat sedikit mengetahui tentang hal-hal yang berkenaan dengan bathin manusia. Banyak orang terbiasa memperhatikan segala sesuatu yang dilihat dan didengar, tetapi mereka tidak terbiasa memperhatikan kesadaran melihat dan kesadaran mendengar. Mereka tidak pernah berpikir tentang fungsi Citta dalam hal melihat dan mendengar.
Kesadaran melihat dan mendengar merupakan kenyataan yang sangat penting untuk diketahui dan diperhatikan. Mengenai pentingnya hal ini, dapat dibaca dalam naskah-naskah Buddhis yang menganalisa dan menerangkan gejala-gejala fisik dan mental secara terinci dalam Abhidhamma. Abhidhamma berhubungan dengan segala sesuatu yang nyata, dan dapat merubah pandangan hidup seseorang.
Orang-orang Thai banyak mendengarkan kuliah-kuliah tentang Abhidhamma, bukan hanya terbatas pada mereka yang telah duduk di perguruan tinggi, tetapi juga mereka yang belum pernah duduk di perguruan tinggi. Umumnya mereka menyadari, bahwa dengan mempelajari bentuk-bentuk Citta yang berbeda, dapat membantu seseorang untuk menjalankan kehidupannya secara lebih baik. Pada awalnya, mungkin seseorang cenderung mempunyai perasaan balas dendam kepada orang lain, namun melalui pemahaman terhadap makna perasaan yang sesungguh-sungguhnya, maka secara bertahap seseorang dapat mengatasi perasaan tersebut. Banyak orang Thai mengetahui tentang kenyataan-kenyataan yang diajarkan dalam Abhidhamma, dan mereka juga mengerti cara menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Orang-orang asing biasanya belum pernah mendengar mengenai hal ini, sebab mereka (orang Thai) tidak pernah membicarakannya dengan orang-orang asing.
Akusala Citta dan Kusala Citta merupakan kenyataan hidup sehari-hari. Agar kita dapat memahami tentang kenyataan-kenyataan ini, terlebih dahulu kita seharusnya mencoba memahami diri sendiri. Apabila kita belum dapat memahami diri sendiri, maka kita akan sulit untuk dapat menolong orang lain. Hal ini bukan berarti, bahwa kita harus menunggu seumur hidup untuk mengerti diri sendiri, sebelum mulai menolong orang lain; akan tetapi, mereka yang baru mulai mengerti pun tentang segala sesuatu sebagaimana adanya., telah dapat menolong orang lain untuk memperoleh pengertian benar.
Panna adalah lawan dari kebodohan (Moha), dan kebodohan (Moha) ini adalah akar dari segala kekotoran dan penderitaan bathin (Dukkha). Panna sangat penting untuk pembentukan Kusala Citta. Kita dapat berbuat kebaikan tanpa didasari dengan Panna, namun jika kita ingin memperoleh kemajuan dalam melakukan perbuatan baik, Panna harus kita kembangkan. Melalui pengertian yang sebenarnya tentang Kusala dan Akusala dan hasil dari Kusala dan Akusala tersebut, seseorang akan dapat menjalani kehidupannya dengan lebih baik.
Terdapat berbagai tingkatan Panna. Apabila seorang guru menerangkan kepada para muridnya, bahwa Kusala Citta yang dilandasi oleh perasaan berterima kasih atau ketulusan akan menghasilkan Kusala Vipaka, dan sebaliknya, Akusala Citta yang dilandasi oleh keserakahan dan angkara murka akan menghasilkan Akusala Vipaka, maka penjelasan guru tersebut akan memberikan kondisi bagi para muridnya untuk meningkatkan Pannanya.
Tingkatan Panna yang lebih tinggi akan diperoleh jika seseorang dapat menyadari ketidakkekalan dari segala sesuatu yang mereka nikmati dalam kehidupan ini. Bila orang dapat melihat bahwa kehidupan di dunia ini demikian singkatnya, maka mereka akan berusaha untuk tidak terlalu melekat terhadap segala sesuatu yang mneyenangkan dalam hidupnya. Pengertian ini akan mendorong mereka untuk lebih banyak melepas dan senantiasa siap untuk menolong orang lain. Rasa keakuan pada diri mereka secara bertahap akan menipis.
Beberapa orang yang telah mencapai tingkatan Panna, mungkin dapat mengubah cara hidupnya dan merasa puas dengan kehidupan yang sederhana. Yang lainnya mungkin mengambil keputusan utnuk menjadi Bhikkhu. Kita mengerti bahwa kehidupan seorang Bhikkhu bukanlah merupakan kehidupan yang ringan, karena seorang Bhikkhu harus hidup tanpa keluarga dan harus puas dengan sedikit. Dalam Chabbisodana Sutta, Majjhima Nikaya III, Anupada Vagga, kita dapat membaca tentang seorang Bhikkhu yang melepaskan keduniawian :
“Yang Ariya, setelah saya beberapa waktu melepaskan seluruh kekayaan, maka saya memutuskan hubungan kekeluargaan, mencukur rambut dan jenggot, memakai jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan berumah tangga.”
Sang Buddha menjelaskan, bahwa banyak orang yang terikat pada kesan-kesan indria melalui mata, telinga, hidung, lidah dan sentuhan badan. Sang Buddha juga menjelaskan tentang kemelekatan terhadap kelima khandha (Pancakhandha). Dalam Subha Sutta, Majjhima Nikaya II, Brahmana Vagga, Sang Buddha berbicara kepada Subha tentang kemelekatan kelima khandha, sebagai berikut :
“……. Kelima khandha ini, Brahmana muda, adalah kemelekatan terhadap kelima indria. Apakah kelima indria itu? Bentuk materi yang diserap mata; diterima; disenangi; disukai; merangsang; dan yang berhubungan dengan kesenangan indria. Suara-suara diserap melalui telinga, bau-bauan diserap melalui hidung, rasa diserap melalui lidah, sentuhan diserap melalui badan/tubuh; diterima, disenangi, disukai, merangsang, dan yang berhubungan dengan kesenangan indria. Inilah, Brahmana muda, yang disebut dengan kemelekatan kelima khandha (Pancakhandha). Brahmana muda, Brahmana Pokkharasati dari suku Upamanna dari hutan Subhaga, diperbudak dan terikat oleh kelima kegemaran itu, diperbudak dan melekat kepadanya, dan memuaskannya, tanpa melihat bahayanya, tanpa mengetahui cara melepaskannya”.