resi_dj
New member
>:lEhem....Kalau ditanya apa posisi perempuan dalam dunia pornografi, boleh jadi sebagian besar dari Anda akan menjawab bahwa perempuan mejadi objek seks, dieksploitasi untuk kepentingan konsumen pornografi yang notabene mayoritas kaum pria, dan lontaran sejenis itu. Namun, yang akan saya bicarakan di sini bukan tentang perempuan sebagai aktris porno dengan berbagai atribut yang disematkan padanya, melainkan mengenai perempuan yang ada di balik layar pornografi, khususnya pornografi dunia maya atau siber (cyberporn). Para perempuan yang bisa dikatakan sebagai wiraswastawati dengan pornografi sebagai bidang usaha.
Sebuah berita yang diturunkan oleh The Independent (London) beberapa tahun yang lalu menyebutkan bahwa kaum wanita saat itu telah meraih kontrol industri seks dan menguasai lebih dari lima puluh persen situs porno di jagat siber. Berita tersebut juga mengulas sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Kimberlianne Podlas, seorang psikolog dari The Bryant Institute, New Jersey, tentang perempuan yang memiliki situs porno. Hasil penelitian itu dipresentasikan dalam konferensi tahunan American Psychological Association (APA) di Washington.
Jika selama ini dikenal adanya dua macam pekerja, yaitu pekerja kerah putih dan pekerja kerah biru, ada satu lagi jenis pekerja, yaitu pekerja kerah merah, yang tak lain adalah perempuan dalam industri seks. Beberapa tahun terakhir, mereka berpindah dari aktivitas tradisional seperti melacur dan menari telanjang untuk menjadi pemilik situs porno dengan pemasukan yang jauh di atas lumayan. Dari penelitian Dr. Podlas, diketahui rata-rata perempuan pemilik situs porno berusia akhir 20-an sampai pertengahan 30-an, pembayar pajak yang tampak di mata orang awam sebagai perempuan baik-baik yang bekerja di sektor perniagaan via internet (mengutip kata dosen saya dengan sedikit perubahan, jualan gambar/video daging mentah).
Mengapa para wanita itu tertarik menjadi pemilik dan atau pengelola situs porno? Pemberdayaan, begitulah kurang lebih jawabannya. Dengan menjalankan situs porno, wanita-wanita tersebut bisa memperoleh pendapatan sendiri, mengendalikan lingkungan kerja dan jam kerja yang fleksibel. Pendapatan mereka setara dengan guru atau pekerja administrasi. Banyak dari mereka yang punya anak dan memiliki kehidupan “normal” karena dilindungi anonimitas internet. Sejumlah kecil melakukannya untuk ekspresi seni dan seksual, serta untuk kesenangan erotik pribadi.
Dr. Podlas berkesimpulan bahwa memiliki situs porno adalah pembebasan sesungguhnya bagi wanita dalam industri seks. Wanita pemilik situs porno merefleksikan sepenggal emansipasi dari kontrol ekonomi dan citra perempuan yang didominasi pria, jauh dari ikut andil dalam penindasan dan eksploitasi terhadap wanita. Pornografi siber selama ini dituduh sebagai momok yang meningkatkan kekerasan fisik terhadap wanita, tapi Dr. Podlas berpendapat bahwa pornografi siber yang dikontrol perempuan telah melawan citra negatif dan meningkatkan kekuasaan wanita. Ancaman kekerasan atau pemaksaan dalam situs porno yang dikendalikan wanita dapat dikurangi, contoh konkretnya adalah penghapusan tuntutan fotografer atau kamerawan untuk mengambil adegan tertentu. Pornografi dan internet adalah alat ciptaan pria, tapi dengan alat ini sekarang di tangan wanita, keduanya dapat dipakai dengan lebih jinak.
Penelitian yang menarik, tapi sayang di artikel tersebut tidak dijelaskan perbedaan antara situs porno yang dimiliki perempuan dengan yang dimiliki pria. Jika situs porno yang dimiliki perempuan sungguh-sungguh bisa lebih ramah terhadap perempuan yang terlibat di dalamnya, tapi tetap memikat konsumennya, baru dapat dikatakan perjuangan pembebasan para wiraswastawati situs porno itu sukses.
Sumber:
The Independent.
>%| ck..ck..ck...harus salut, menyayangkan atau bagaimana ya dengan hal tersebut.....@-->@-->
Sebuah berita yang diturunkan oleh The Independent (London) beberapa tahun yang lalu menyebutkan bahwa kaum wanita saat itu telah meraih kontrol industri seks dan menguasai lebih dari lima puluh persen situs porno di jagat siber. Berita tersebut juga mengulas sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Kimberlianne Podlas, seorang psikolog dari The Bryant Institute, New Jersey, tentang perempuan yang memiliki situs porno. Hasil penelitian itu dipresentasikan dalam konferensi tahunan American Psychological Association (APA) di Washington.
Jika selama ini dikenal adanya dua macam pekerja, yaitu pekerja kerah putih dan pekerja kerah biru, ada satu lagi jenis pekerja, yaitu pekerja kerah merah, yang tak lain adalah perempuan dalam industri seks. Beberapa tahun terakhir, mereka berpindah dari aktivitas tradisional seperti melacur dan menari telanjang untuk menjadi pemilik situs porno dengan pemasukan yang jauh di atas lumayan. Dari penelitian Dr. Podlas, diketahui rata-rata perempuan pemilik situs porno berusia akhir 20-an sampai pertengahan 30-an, pembayar pajak yang tampak di mata orang awam sebagai perempuan baik-baik yang bekerja di sektor perniagaan via internet (mengutip kata dosen saya dengan sedikit perubahan, jualan gambar/video daging mentah).
Mengapa para wanita itu tertarik menjadi pemilik dan atau pengelola situs porno? Pemberdayaan, begitulah kurang lebih jawabannya. Dengan menjalankan situs porno, wanita-wanita tersebut bisa memperoleh pendapatan sendiri, mengendalikan lingkungan kerja dan jam kerja yang fleksibel. Pendapatan mereka setara dengan guru atau pekerja administrasi. Banyak dari mereka yang punya anak dan memiliki kehidupan “normal” karena dilindungi anonimitas internet. Sejumlah kecil melakukannya untuk ekspresi seni dan seksual, serta untuk kesenangan erotik pribadi.
Dr. Podlas berkesimpulan bahwa memiliki situs porno adalah pembebasan sesungguhnya bagi wanita dalam industri seks. Wanita pemilik situs porno merefleksikan sepenggal emansipasi dari kontrol ekonomi dan citra perempuan yang didominasi pria, jauh dari ikut andil dalam penindasan dan eksploitasi terhadap wanita. Pornografi siber selama ini dituduh sebagai momok yang meningkatkan kekerasan fisik terhadap wanita, tapi Dr. Podlas berpendapat bahwa pornografi siber yang dikontrol perempuan telah melawan citra negatif dan meningkatkan kekuasaan wanita. Ancaman kekerasan atau pemaksaan dalam situs porno yang dikendalikan wanita dapat dikurangi, contoh konkretnya adalah penghapusan tuntutan fotografer atau kamerawan untuk mengambil adegan tertentu. Pornografi dan internet adalah alat ciptaan pria, tapi dengan alat ini sekarang di tangan wanita, keduanya dapat dipakai dengan lebih jinak.
Penelitian yang menarik, tapi sayang di artikel tersebut tidak dijelaskan perbedaan antara situs porno yang dimiliki perempuan dengan yang dimiliki pria. Jika situs porno yang dimiliki perempuan sungguh-sungguh bisa lebih ramah terhadap perempuan yang terlibat di dalamnya, tapi tetap memikat konsumennya, baru dapat dikatakan perjuangan pembebasan para wiraswastawati situs porno itu sukses.
Sumber:
The Independent.
>%| ck..ck..ck...harus salut, menyayangkan atau bagaimana ya dengan hal tersebut.....@-->@-->