Sekelumit kisah Ka'ab bin Malik saat terjadi perang Tabuk

ishimaru

New member
Siapapun dari kita rasa-rasanya tak akan tahan bila harus hidup sendiri di tengah keramaian. Tidak ada yang menegur, tidak ada yang menganggap, dan jauh dari keramahan masyarakat. Rasa-rasanya bumi yang luas terasa sempit. Hiruk pikuk keramaian terasa sunyi menghimpit. Setiap kegaduhan terasa hampa menjepit.



Namun begitu, ternyata sejarah telah mencatat, tiga orang sahabat di zaman Rasulullah telah berhasil sukses melewati itu semua. Kisah mereka indah tercatat dalam kalam Nya, menjadi pelajaran berharga bagi setiap yang membacanya. Merekalah Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Mararah bin Rabi’.

Bagaimanapun, kondisi sulit tersebut merupakan konsekuensi pilihan yang mereka tanggung akibat kelalaian mereka sendiri. Dikatakan konsekuensi pilihan, sebab pada dasarnya mereka dapat saja berkelit mecari pembenaran atas tindakannya meninggalkan seruan Rasulullah untuk ikut dalam perang Tabuk. Namun, sekali-kali tidak. Sebuah pengakuan keberanian lebih mereka sukai daripada hidup di dalam jebakan kemunafikan. Ya, mereka mengakui bahwa kehidupan dunia telah melenakkan mereka. Panen kurma yang bertepatan dengan masa perang telah memperdayakan jiwa mereka. Hingga pada akhirnya, keraguan pun menyelinap, menutup kebersihan niat yang awalnya menetap. Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Mararah bin Rabi’ meninggalkan diri dari sebuah kewajiban berjihad.

Muhammad, sang idola mereka pun memberikan sikap. Sebuah perlakuan yang tak pernah mereka kira seumur hidup tak ayal harus didapat. Sebuah pengasingan tak terbatas waktu dari teguran, senyuman, sapaan umat muslim, hingga para istrinya sekalipun, perlahan mereka tatap. Begitulah, namun itu semua ternyata tidak mempengaruhi tekad mereka untuk bertobat. Pun ketika seorang utusan raja Romawi datang mengajak seorang Ka’ab bersekutu dan meninggalkan Muhammad, dengan jelas ia tolak. Ah, sungguh hebat tak terperi sifat para sahabat, walaupun sedang di dalam kondisi sempit menjebak.

Dan hingga empat puluh hari menjelang, tangisan penuh harap masih setia membasahi malam-malam panjang mereka. Tak berkurang, bahkan bertambah tak terhingga. Dalam keheningan malam, setiap mereka berlama-lama menghamba kepada Nya. Meminta, memohon, dan mengharap pengampunan Nya. Mungkin inilah yang disebut Taubat Nasuha.

Sebuah ayat pun turun*, menghadirkan kebahagiaan membuncah untuk siapa saja yang mendengarnya. Rasulullah tergesa keluar dari masjid Nya seraya berteriak memanggil penuh rindu nama mereka. Para sahabat yang terlelap ikut bergegas menghampiri sang pembawa Risalah serta bertanya. “Ada apa.. ada apa dengan Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Mararah bin Rabi ya Rasulullah?”

Manis. Sungguh manis tak terkira keadaannya.

Para sahabat pun saling berlari. Masing-masing mereka berlomba untuk menjemput tiga orang sahabat yang sudah lama tidak mereka datangi. Rindu mereka menggelora, tak terbendung lagi karena sudah lama menanti. Ingin segera mereka iringi para sahabat-sahabatnya yang sempat “hilang” itu ke hadapan Rasulullah kembali.

Dan saat mengharu biru itu akhirnya datang menjelang. Sebuah hasil kesetiaan atas penyesalan terdalam menjadi sangat indah untuk dikenang.Semakin indah ketika sebuah senyuman penyambutan terlukis indah di wajah Muhammad, sang kekasih idaman. “Ahlan.. ahlan.. ahlan..”, begitu beliau berkali mengucapkan disertai pelukan. Benar-benar tak tertahan setiap buncahan kebahagiaan..

Namun begitu, ternyata masih ada satu hal yang membuat Ka’ab tak tenang. Ia utarakan keganjalan tersebut dengan perlahan. “Apakah pengampunan ini karena permintaan mu yaa Rasul, ataukah bukan?”
masih dengan senyuman cinta, Rasulullah menenangkan.. “Bukan, Allah sendiri lah yang mengampuni kalian..”

Dan, rekahan kebahagiaan pun semakin matang.

_______________________

* Qs. At-Taubah (9):118, “dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka,

padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui

bahwa tidak ada tempat lari (siksaan) Allah, melainkan kepada Nya saja, kemudian Allah menerima tobat mereka agar

mereka tetap dalam tobat nya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.








*cuman copy paste dari catatan salah satu user fb ....maap kalu repost ...v^^
 
Re: Sekelumit kisah Ka'ab bin Malik saat terjadi peran

[lang=en]Whether, it isn't considered to violate human rights? Is not the human rights written that humans are entitled to live together as everyone else and are entitled to receive the same treatment?

What do you think, guys?[/lang]
 
memang manusia berhak untk hidup, tp kalu kewajiban diabaikan, apakah dya pantas untk mendapatkan haknya?
 
Back
Top