resi_dj
New member
UNTUK urusan pemberdayaan perekonomian keluarga, peran wanita saat ini patut diacungi jempol. Perkembangan tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh meningkatnya tingkat pendidikan dan faktor bergesernya kebudayaan akibat globalisasi.
Kondisi wanita bekerja di kota-kota besar sudah menjadi pemandangan yang lumrah. Meski demikian, meningkatnya peran wanita dalam ekonomi keluarga jangan sampai berdampak buruk terhadap harmonisnya rumah tangga. Karena beberapa data juga menyebutkan bahwa tingginya tingkat perceraian dan konflik dalam keluarga, dipicu oleh makin mandirinya kaum hawa secara ekonomi.
Tak hanya itu saja, wanita karier yang sudah berkeluarga sering merasa bersalah karena ketebatasan waktu yang dimilikinya untuk anak dan suami. Menjawab fenomena tersebut, Dra Clara Istiwidarum Kriswanto MA CPBC, psikolog dari Jagadnita Consulting, mengadakan talkshow yang membahas tema tersebut beberapa waktu lalu.
Ditemui dalam acara yang berlangsung di Mal City Walk, Jakarta Pusat, wanita yang mengambil gelar S2-nya di usia 40 tahun itu mengungkapkan bahwa ibu bekerja tetap dapat menjadi supermom.
" Kadang-kadang wanita pekerja punya rasa bersalah karena tidak punya waktu lagi untuk keluarga dan jadi ibu yang kurang baik. Untuk menjawab keraguan tersebut, saya yakinkan bahwa seorang ibu pekerja tidak seharusnya merasa bersalah meninggalkan anak-anaknya karena dia bekerja. Dari penelitian terbukti bahwa anak-anak merasa bangga, artinya bekerja bukan harus kantoran dengan tas kerja. Tapi punya kegiatan atau aktivitas lain, punya pekerjaan sosial atau aktif di kegiatan keagamaan," kata Clara.
Ditambahkan olehnya, penelitian tersebut dilakukan terhadap anak-anak kelas 3 Sekolah Dasar (SD)." Mulai dari tingkat SD, mereka sudah merasa senang melihat ibunya bekerja. Walaupun mereka juga ingin ibunya antar jemput sekolah, tapi kalau disuruh untuk berhenti bekerja, mereka juga tidak mau. Jadi mereka merasa bangga dan menghargai ibunya bekerja," jelas almamater UI yang melanjutkan sekolah ke Goldsmiths College University of London-United Kingdom itu.
Ibu rumah tangga maupun ibu pekerja, lanjut Clara, sama-sama turut andil dalam menjaga hubungan dengan anggota keluarga. Artinya, yang paling penting adalah kualitas waktu.
Kalau dia ibu rumah tangga yang tidak melakukan aktivitas di luar, tapi kedekatan emosional dengan anak tidak erat. Misalnya dia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Sedangkan ibu yang bekerja, kalau dia bisa membagi waktu meski sedikit tapi berkualitas, dia akan memberi efek yang besar pada si anak. Jadi kembali pada individunya masing-masing, papar psikolog yang telah menulis buku Keluargaku permataku, Seks, Es Krim dan Kopi Susu serta Ngobrolin Seks di Ruang Keluarga itu.
Kualitas yang dimaksud, sambungnya, harus dicari. Artinya di sela-sela kesibukan kita tetap menjalin komunikasi dengan anak. " Anak dengar suara kita itu akan sangat berarti. Kualitas waktu optimal dipakai dengan segala keterbatasan. Bahkan, meski anak sudah terlelap dalam tidur, tetap harus disapa, dielus dan diajak bicara," ungkap wanita yang selalu tampil cantik ini.
Menurutnya, meski anak secara sadar tidak merespon dan beranggapan tidak ada gunanya, di alam bawah sadarnya hal itu tetap bermanfaat. Karena anak tetap merasakan gelombang suara ibu dan belaiannya.
Di bawah sadarnya tetap berasa dan sangat bermanfaat. Dibandingkan kalau mendapati anak sudah terlelap, tapi dibiarkan. Seharusnya tetap mengelus, membelai dan mengajaknya bicara. Komunikasi itu perlu karena anak akan tetap tahu bahwa dia disapa orangtuanya walaupun dia tidur, tukasnya. Bagaimana, sudahkah Anda menjadi supermom?
<<3)<<3)
-kompas-
Kondisi wanita bekerja di kota-kota besar sudah menjadi pemandangan yang lumrah. Meski demikian, meningkatnya peran wanita dalam ekonomi keluarga jangan sampai berdampak buruk terhadap harmonisnya rumah tangga. Karena beberapa data juga menyebutkan bahwa tingginya tingkat perceraian dan konflik dalam keluarga, dipicu oleh makin mandirinya kaum hawa secara ekonomi.
Tak hanya itu saja, wanita karier yang sudah berkeluarga sering merasa bersalah karena ketebatasan waktu yang dimilikinya untuk anak dan suami. Menjawab fenomena tersebut, Dra Clara Istiwidarum Kriswanto MA CPBC, psikolog dari Jagadnita Consulting, mengadakan talkshow yang membahas tema tersebut beberapa waktu lalu.
Ditemui dalam acara yang berlangsung di Mal City Walk, Jakarta Pusat, wanita yang mengambil gelar S2-nya di usia 40 tahun itu mengungkapkan bahwa ibu bekerja tetap dapat menjadi supermom.
" Kadang-kadang wanita pekerja punya rasa bersalah karena tidak punya waktu lagi untuk keluarga dan jadi ibu yang kurang baik. Untuk menjawab keraguan tersebut, saya yakinkan bahwa seorang ibu pekerja tidak seharusnya merasa bersalah meninggalkan anak-anaknya karena dia bekerja. Dari penelitian terbukti bahwa anak-anak merasa bangga, artinya bekerja bukan harus kantoran dengan tas kerja. Tapi punya kegiatan atau aktivitas lain, punya pekerjaan sosial atau aktif di kegiatan keagamaan," kata Clara.
Ditambahkan olehnya, penelitian tersebut dilakukan terhadap anak-anak kelas 3 Sekolah Dasar (SD)." Mulai dari tingkat SD, mereka sudah merasa senang melihat ibunya bekerja. Walaupun mereka juga ingin ibunya antar jemput sekolah, tapi kalau disuruh untuk berhenti bekerja, mereka juga tidak mau. Jadi mereka merasa bangga dan menghargai ibunya bekerja," jelas almamater UI yang melanjutkan sekolah ke Goldsmiths College University of London-United Kingdom itu.
Ibu rumah tangga maupun ibu pekerja, lanjut Clara, sama-sama turut andil dalam menjaga hubungan dengan anggota keluarga. Artinya, yang paling penting adalah kualitas waktu.
Kalau dia ibu rumah tangga yang tidak melakukan aktivitas di luar, tapi kedekatan emosional dengan anak tidak erat. Misalnya dia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Sedangkan ibu yang bekerja, kalau dia bisa membagi waktu meski sedikit tapi berkualitas, dia akan memberi efek yang besar pada si anak. Jadi kembali pada individunya masing-masing, papar psikolog yang telah menulis buku Keluargaku permataku, Seks, Es Krim dan Kopi Susu serta Ngobrolin Seks di Ruang Keluarga itu.
Kualitas yang dimaksud, sambungnya, harus dicari. Artinya di sela-sela kesibukan kita tetap menjalin komunikasi dengan anak. " Anak dengar suara kita itu akan sangat berarti. Kualitas waktu optimal dipakai dengan segala keterbatasan. Bahkan, meski anak sudah terlelap dalam tidur, tetap harus disapa, dielus dan diajak bicara," ungkap wanita yang selalu tampil cantik ini.
Menurutnya, meski anak secara sadar tidak merespon dan beranggapan tidak ada gunanya, di alam bawah sadarnya hal itu tetap bermanfaat. Karena anak tetap merasakan gelombang suara ibu dan belaiannya.
Di bawah sadarnya tetap berasa dan sangat bermanfaat. Dibandingkan kalau mendapati anak sudah terlelap, tapi dibiarkan. Seharusnya tetap mengelus, membelai dan mengajaknya bicara. Komunikasi itu perlu karena anak akan tetap tahu bahwa dia disapa orangtuanya walaupun dia tidur, tukasnya. Bagaimana, sudahkah Anda menjadi supermom?
<<3)<<3)
-kompas-