Terorisme dan kaitannya dengan Antropologi

Administrator

Administrator
Aksi terorisme tak kunjung padam. Densus 88 kembali melakukan serangkaian penangkapan dan penembakan orang-orang yang diduga sedang merencanakan aksi terorisme di Jakarta, Cikampek, dan Solo, Mereka yang ditangkap atau dalam pengejaran adalah tokoh-tokoh lama yang membangun sel-sel baru untuk memperluas jaringan.

Dalam kajian ilmiah mengenai pasca kolonialisme kerap muncul pertanyaan: apa yang menautkan antara terorisme, kolonialisme, dan antropologi? Dari penelusuran berbagai literatur klasik-modern, jawaban atas pertanyaan ini selalu dikaitkan dengan imajinasi tentang negara dan gagasan mengenai kedaulatan politik sebuah bangsa. Pertama, negara sebagai “country” adalah sebuah konsep geografis yang berisi bentangan wilayah daratan, lautan, dan udara yang garis-garis pembatasnya merupakan sekat-sekat yang memisahkan antara satu wilayah negara dengan wilayah negara lainnya.

Dalam konsep ini, negara adalah sebuah teritorial yang dihuni oleh penduduk yang memiliki identitas kebangsaan tertentu, yang secara kategoris berbeda dengan penduduk yang memiliki identitas kebangsaan lain.

Kedua, negara sebagai “state” adalah sebuah entitas politik yang menjelma dalam bentuk pemerintahan, yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur kehidupan warga bangsanya. Dalam konsep ini negara adalah sebuah institusi politik yang mempunyai kedaulatan politik (political sovereignty) yang bersifat mutlak dan imperatif.

Sebagai sebuah institusi politik, negara mengatur kehidupan warga bangsanya melalui penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang mencerminkan kedaulatan sebagai sebuah bangsa.

Pada abad ke-19 ilmu antropologi pernah “dibajak” untuk dijadikan instrumen guna memuluskan jalan kolonisasi negara-negara Barat atas bangsa-bangsa Timur.

Atas pesanan penguasa kolonial,beberapa ahli antropologi menjalankan fungsi ganda: melakukan kerja-kerja kesarjanaan melalui penelitian etnografi untuk pengembangan ilmu pengetahuan sosial, sekaligus menjadi mata mata kolonial untuk kepentingan penguasaan suatu bangsa dalam rangka ekspansi imperialisme.

Karena itu, antropologi acapkali disebut the child of Western imperialism atau scientific colonialism. Pemerintah kolonial mengeksploitasi keahlian para antropolog untuk memahami masyarakat dan kebudayaan serta mengenali
karakter bangsa-bangsa jajahan untuk memperkuat, memantapkan, dan memperluas wilayah jajahannya.

Perjumpaan antropologi dan kolonialisme ditautkan oleh kepentingan pemerintahan kolonial untuk menaklukkan bangsa lain, melanggengkan hegemoni politik, dan dominasi ekonomi atas suatu bangsa dalam
wujud imperialisme (Talal Asad,Anthropology and the Coloniallincounter, 1973).

Apa yang terjadi dua abad silam itu kini berulang kembali di era modern. AS mengobarkan perang di Irak dan Afghanistan dengan mengadopsi siasat dari penguasa kolonial di masa lampau. AS meminjam kepakaran ahli antropologi untuk melakukan apa yang disebut Montgomery McFate, coonterinsurgency with the use of cultural knowledge of adversary (Anthropology and Counterinsurgency, 2005). McFate adalah doktor ilmu antropologi lulusan Universitas Yale, yang menjadi arsitek utama program Human Research Terrain System di Pentagon dan konsultan di Kementerian Pertahanan, tempat menggodok strategi perang Irak dan Afghanistan.

Dengan keahliannya, McFate meyakinkan para ahli militer betapa antropologi dapat dijadikan senjata yang jauh lebih efektif dibandingkan teknologi artileri untuk menundukkan perlawanan elemen-elemen sipil bersenjata di kedua negara ini melalui strategi kontra insurgensi.

McFate berperan “mendidik” tentara-tentara Amerika Serikat (AS) mengenai strategi kontra insurgensi dengan menguasai “pengetahuan budaya permusuhan”. Cara yang ditempuh antara lain dengan melakukan penistaan nilai dan norma budaya lokal yang bertujuan meruntuhkan spirit perlawanan dan moral para “pemberontak”. Praktik penyiksaan melalui teknik sexual humiliation di penjara Abu Ghuraib yang menggemparkan dunia beberapa tahun lalu merupakan salah satu contohnya. Atas peran sentralnya ini,para kritikus secara sinis menyebut McFate sebagai the’ political commissar of the military.

Di kalangan ahli antropologi dunia, peran McFate ini memicu kontroversi dan mendapat kecaman karena dianggap merupakan pelanggaran serius terhadap etika akademik dan moralitas kesarjanaan. McFate dinilai menyalahgunakan ilmu antropologi untuk mendukung praktik imperialisme modern dan membenarkan kolaborasi antara ahli antropologi dan militer untuk melancarkan perang imperialistik yang sarat pelanggaran HAM dan menimbulkan bencana kemanusiaan dan bencana sosial bagi rakyat Irak dan Afghanistan (Gerald Sider 2007; Lopez-Rivas 2008).

Sumber : sindo
 
Bls: Terorisme dan kaitannya dengan Antropologi

ehehe.. terorism....?? apaan tuh..?? hiahahaha
 
Bls: Terorisme dan kaitannya dengan Antropologi

itu loh om.. yang hobbynya maen ama bom

hehehehehehe.... orang2 yg punya masa kecil kurang bahagia..... soalnya dulu selalu dilarang bokapnya maen petasan..... makanya ketika dah besar suka maenin bom..... wakakakakakakakaka......
 
Back
Top