The Friendship

Randy_Muxnahtis

New member
Tak terasa, sudah memasuki awal bulan Desember. Kubuka website sebuah maskapai penerbangan untuk melihat-lihat harga tiket. Namaku Ronald. Aku berencana untuk menghabiskan liburan natal dan tahun baru dengan berjalan-jalan ke Singapura. Setelah beberapa saat, aku mengambil HP dan menelepon sahabatku, Nicolas. "Halo, Nic! Gue udah booking tiket ke Singapura buat 2 orang. Kita berangkat tanggal 22 Desember, pulang tanggal 2 Januari." Aku diam mendengar jawaban Nico di sebelah sana. "Ok, jadi ya, kita berangkat," kataku lagi dan menutup telepon. Nicolas adalah teman baiku di tempat kerja. Kami merasa cocok satu sama lain, dan itulah mengapa kami bisa menjadi akrab. Kami berencana untuk menghabiskan liburan bersama karena kebetulan, Nico belum mempunyai rencana untuk mengisi liburan natal dan tahun baru. Sedangkan aku mau pergi ke Singapura, namun aku tidak tau mau pergi dengan siapa, maka kuputuskan untuk mengajak Nico. Dia setuju. Maka inilah dia, aku memesan tiket pergi-pulang ke Singapura untuk 2 orang.

Hari-hari berikutnya aku dan Nico menjadi semakin sering berdiskusi tentang rencana kami ketika di Singapura nanti. Aku minta Nico untuk bagi tugas. Kebetulan, saudara sepupunya pernah pergi ke Singapura, jadi Nico bisa tanya-tanya tentang tempat wisata di sana, soal MRT, tempat tinggal, tempat makan, dan tempat belanja yang murah. Namun satu hal yang pasti, Universal Studio adalah tujuan wajib kami. Nico bahkan sampai merogoh kocek lebih untuk membeli sebuah kamera digital untuk foto-foto di sana. Aku sendiri juga sampai melakukan pola hidup hemat supaya bisa menabung untuk jalan-jalan di Singapura sana.

Hari berganti hari, minggu juga berganti. Akhirnya tanggal 22 Desember pun tiba, dan kami berangkat ke Singapura. Aku dan Nico sama sekali tidak menyangka bahwa liburan ini akan menjadi bencana besar dan akan mengubah hidup kami selamanya. Jam alarm berbunyi. Jam 6.30 pagi. Pesawat yang kami naiki akan berangkat jam 10.45. Segera aku bangun dan berbenah diri. Sekitar 30 menit kemudian, aku sudah sarapan sambil menonton TV. Hari masih pagi, bahkan untuk berangkat ke bandara. Maka aku memutuskan untuk bermain game komputer sebentar untuk menghabiskan waktu. Sekitar jam 8.15, Nico meneleponku. "Elu mau pergi ke bandara jam berapa?" Dia bertanya. "Paling setengah jam lagi," jawabku singkat. "Ok," dia memutuskan telepon. Singkat cerita, kami sudah di bandara. Ternyata ada kabar yang tidak sedap. Pesawat yang akan kamu tumpangi sedang dilakukan perawatan rutin, sehingga penerbangan harus ditunda selama kira-kira 1 jam. "Ah, s**t!" Aku menggerutu. Karena merasa agak kesal, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Nico tampak sibuk mengirim SMS kepada seseorang dan tidak memperhatikan kepergianku. Dia bahkan tampak tidak menyadari bahwa keberangkatan kami ditunda. Denagn kata lain, dia seperti sedang berada di dunianya sendiri, tenggelam dalam SMS dengan entah siapa, namun karena aku sudah terlanjur merasa kesal karena pesawat harus ditunda, juga tidak begitu memperdulikan dia.

Akhirnya kami berangkat ke Singapura. Dan segala bencana pun mulai.

The Friendship (Part 2)

Bencana dimulai ketika kami tiba di bandara Singapura. Waktu sampai, tas kami diperiksa oleh pihak keamanan Singapura. Tiba-tiba alarm berbunyi dan kami pun diminta untuk mendatangi ruang keamanan. Betapa terkejutnya kami! Karena di dalam tasku ditemukan sebungkus plastik berisi 500 gram bubuk heroin! Demikian juga dengan tas Nico!. Dunia serasa seperti kiamat bagi kami. Belum sempat rasa kaget kami hilang, beberapa polisi sudah mendatangi kami, hendak menangkap kami. Untunglah, aku cepat pulih dari rasa terkejut dan segera, secara reflek, aku segera merebut bungkusan plastik itu, merobeknya, mengambil segenggam bubuk heroin itu dan melemparkanya ke arah wajah polisi. Polisi itu gelagapan karena serangan mendadak dariku. Kesempatan itu segera kumanfaatkan. Kutarik tangan Nico dan kami berdua langsung kabur. Menurut perkiraanku, polisi paling hanya akan mengejar kami tapi tidak akan sampai menembaki kami. Alasan aku membuat asumsi demikian karena di bandara ini banyak warga sipil, dan apabila mereka menembaki kami, maka besar kemungkinan warga sipil akan terkena peluru nyasar, dan apabla hal itu terjadi, maka urusan akan menjadi tambah rumit. Dan sepertinya dugaanku tepat. Beberapa polisi terus mengejar kami, termasuk si polisi yang tadi aku lempari bubuk heroin. Aku akhirnya melepas tangan Nico, dan kami berdua terus berlari. Aku tidak bisa bercerita secara detil, namun akhirnya aku berhasil lolos dari kejaran polisi bandara. Sekarang aku berada di sebuah jalan kecil di Singapura, tempat yang masih asing bagi kami, bersembunyi di sana. Kami masih belum bisa percaya apa yang sudah dan sedang terjadi. Kami tidak percaya ada narkoba di dalam tas kami, dan kami tidak percaya bahwa kami bisa lolos dari polisi. Kami diam sebentar. Lelah karena habis berlari. Nico sedang berdiri bersandar pada dinding. Dia tampak terpukul. Pelan-pelan dia berhasil menguasai diri, lalu berkata, "s**t! Mau liburan, kenapa jadi begini? F**k!" Dia meninju dinding. Dia diam sebentar, lalu melanjutkan, "barang-barang kita jadi 'hilang'. Kita musti survive di sini, menghindar dari kejaran polisi, bertahan hidup dengan baju yang kita pakai sekarang, dan......" Dia mengeluarkan dompet untuk melihat isinya, "dengan duit 150 dolar Singapura! Perfect! S**t!" Aku hanya diam. Nasibku juga sama seperti Nico. Tersesat di tempat asing, dan masih harus menghindar dari kjaran polisi, juga harus bertahan hidup dengan 'senjata' yang sangat minim. Aku tidak mengeluarkan dompet karena aku tau persis berapa uang yang aku pegang di dompet. Tidak lebih dan tidak kurang dari 100 dolar Singapura. Sedangkan sisa uang kami semua ada di tas yang sekarang sedang disita oleh pihak bandara. Aku dan Nico akhirnya berhasil tenang sekitar 10 menit kemudian. Nico kemudian berkata, "OK, kita tau bahwa kita berdua bukan penjahat. Dengan kata lain, ada seseorang yang berniat jahat kepada kita dengan meletakan heroin tersebut ke dalam tas kita. Entah apa tujuanya. Apakah dia memang membenci kita atau apakah dia meanfaatkan kita sebagai perantara atau apa. Yang pasti, kesimpulan gue jelas: kita ga bersalah dan kita dijebak. F**K!" Dia kembali meninju dinding. Aku mengangkat wajahku, memandang Nico. "Yaudah, berarti kita musti mencari penjahat yang sebenarnya sambil kabur dari polisi. Kita musti tangkep si penjahat, membawanya ke polisi dan membuktikan bahwa kita ga bersalah!" kataku berusaha tenang. Nico tiba-tiba menepuk pundaku. "Tapi gue suka gaya elu! Waktu di kantor polisi bandara tadi, cerdik juga cara elu melepaskan diri! Gue aja ga kepikiran sama sekali!" Dia tersenyum bangga. Aku melongo sebentar, berusaha mengingat-ingat. Pikiranku sudah pusing karena kejadian ini, sehingga aku sudah melupakan soal cara meloloskna diri dari bandara tadi. "Ah, ya," kataku setelah mengingatnya. "Um... Iya, gue kan ada ikut latihan bela diri. Itu salah satu teknik yang diajarin oleh guru gue, cara meloloskan diri." Aku tersenyum kecil, begitu juga Nico. "Bagus, kalau begitu, nanti kalau kita berhasil selamat dari kejadian ini, gue juga mau bergabung sm bela diri elu," katanya. Aku mengangguk. "Sekarang kita mau ngapain?" Tanyaku.

Singkat cerita, kami mendandani diri kami dengan alat penyamaran. Tida begitu bagus, tapi yang penting cukup untuk mengelabui orang, terutama polisi. Sekarang kami sedang mencari penginapan. Untungnya, kami berhasil menemukan penginapan murah. Dengan sisa uang kami, kami bisa tinggal di sana selama 2 malam. Setelah kami masuk ke kamar penginapan, kami segera melepaskan penyamaran kami. Kami tidak tahan karena penyamaran tersebut membuat tubuh kami merasa gerah. Kami kemudian merapikan diri kami, dan, setelah kami beres, kami berdsikusi bagaimana cara untuk menangkap penjahat sebenarnya dan membersihkan nama baik kami. "Elu mustinya tadi jangan lari. Kita coba jelasin dulu ke polisi bahwa itu heroin bukan kita punya," kata Nico. "Alah, polisi mana mau percaya kita?" Aku membantah. "Ya, kan bisa dilakukan pemeriksaan sidik jari? Kalau di kantong plastik itu ga ada sidik jari kita, maka itu bisa jadi bukti cukup bahwa itu heroin bukan kita punya," dia menjelaskan. Aku terdiam, betul juga. "Sekarang kita lari begini, itu berarti kita salah. Belom lagi elu, pake action nge-lawan polisi segala, tambah berat deh hukuman kita," awan mendung dan suram menaungi Nico. Aku tidak bisa berkata apa-apa, karena apa yang dikatakanya masuk akal. Aku diam seribu bahasa. Nico juga diam. "Tapi thanks karena elu mau tolongin gue waktu di kantor polisi bandara tadi," dia akhirnya berkata. Setelah itu kami berdua diam. Sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kami sudah ada rencana dan tau apa yang harus kami lakukan. Pertanyaanya sekarang adalah, bagaimana? Bagaimana mungkin kami dapat mencari penjahat yang sebenarnya di Singapura yang luas ini, ditambah tersangka yang banyak, juga sambil menghindar dari kejaran polis? Aku menghela napas. Nico juga tampak berpikir keras.

Aku duduk di lantai sambil memejamkan mata. Aku berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi sepanjang hari itu. Akhirnya aku berhasil mengingat sesuatu, dan mudah-mudahan bisa menjadi langkah awal untuk kami dalam memecahkan masalah ini. Nico masih melamun. Aku lantas berdehem untuk menarik perhatianya. "Gue rasa gue bisa menebak apa yang terjadi," kataku pelan. Dia tidak berkata apa-apa, hanya menatapku bingung. "Elu inget ga, tadi waktu kita di Jakarta, mau berangkat ke sini, pesawatnya kan sempat ditunda. Nah, waktu ditunda itu gue kan kesel dan jalan-jalan sebentar. Tas gue tinggal. Gue pikir elu sambil jagain. Kan gue liat elu sibuk SMS. Gue pikir gue titip tas ke elu, toh, elu kaga ke mana-mana kan, paling cuma SMS doang?" kataku memulai penjelasan. "Hm-hm," katanya. "Nah, jangan-jangan, si penjahat itu memasukan heroin ke tas gue waktu gue tinggal tas," kataku hati-hati, karena, jujur, aku sendiri masih belum yakin 100% dengan analisaku. Aku kemudian, berpikir. Nico juga berpikir. "Tapi kan tas elu gue jagain," katanya ragu-ragu. Aku memandangya. "Gue liat elu SMS-an terus waktu di bandara Jakarta tadi," sulit untuk menghilangkan nada menuduh. Dia paham maksudku, dan berkata tenang, "iya sih, tapi kan tetep, biarkata gue SMS-an, tas kita letaknya deket gue, jadi gue bisa-lah sambil SMS sambil jagain. Dan selama itu, ga ada orang mencurigakan yang mendekati tas kita." Aku ragu-ragu, "mungkin elu ada ke toilet atau apa? Mungkin ada orang yang berlagak jatoh atau apa, berusaha mengalihkan perhatian elu, terus, waktu perhatian elu teralih, si penjahat buru-buru taro heroin ke tas kita?" tanyaku lagi. "Gue ngerti maksud elu. Tapi gue jamin, ga ada sesuatu yang aneh waktu elu pergi tadi," demikian tanggapanya. Mau-tak mau, aku menyerah dan menghentikan analisaku lebih jauh, karena perkataan Nicolas ada benarnya. Maka, satu kemungkinan sudah gagal. "Lantas, siapa pelakunya, dan bagaimana cara si pelaku menaruh heroin tersebut ke dalam tas kami?" tanyaku dalam hati. Siapa? dan bagaimana caranya?

The Friendship (Part 3)

Kami akan keluar sebentar untuk membeli makan untuk makan malam. Nico ragu-ragu, haruskah kami keluar mencari makan dengan menyamar? Sebaiknya begitu. Maka, kami, dengan menyamar, meskipun kami tidak tahan karena rasa gerah, tapi terpaksa kami lakukan demi keselamatan kami. Karena persediaan uang kami sangat minim, kami harus berhemat. Kami menemukan restoran Padang tak berapa jauh dari tempat kami menginap. Sebetulnya kami mau saja mencari makanan khas Singapura, akan tetapi kami tidak tau harga makanan di sana, kami takut uang kami tidak cukup, maka kami memutuskan membeli masakan Padang. Kami makan dalam diam, masih sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Esok harinya aku mengajak Nico untuk pergi ke sebuah toko mainan "air soft gun". Nico bingung apa tujuanku ke sana. Aku membeli mainan pistol-pistolan model senapan serbu. Mungkin kau tidak paham apa itu "air soft gun". "Air soft gun" adalah mainan pistol-pistolan yang menembakan peluru berupa bola-bola kecil dan apabila peluru tersebut mengenai bagian tubuh yang tidak terlindung, maka akan terasa cukup sakit. Aku juga mendesak Nico untuk membeli satu "pistol". "Buat apaan coba?" Dia bingung bukan main. "Pokoknya elu beli aja. Gue yakin ini bisa berguna!" Aku mendesak. Maka kami membayar belanjaan kami tersebut. Nico melakukanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ekspresi tak percaya tampak di wajahnya. Aku tidak menyalahkanya. Memang, sudah menjadi buronan polisi, harus bertahan hidup dengan uang yang minim, belum membayar sewa penginapan, makan, dan sekarang malah membeli mainan pistol-pistolan? Aku juga berpikir tidak. Tapi alasanku membeli mainan pistol-pistolan ini adalah untuk melindungi diri kami, meskipun mungkin tidak berarti besar, tapi karena serangan pistol ini lumayan terasa sakit apabila mengenai tubuh, maka kurasa itu cukup untuk menahan gerak musuh. Di penginapan, Nico hanya meletakan pistol miliknya begitu saja. Sedangkan aku langsung mengisi "magazine"-nya dengan peluru hingga penuh. "Nic, elu mendingan isi juga pistol elu, buat jaga-jaga," kataku sambil mengisi peluru ke dalam "magazine". Nico menurut. "Hari ini hari terakhir kita menginap di sini. Besok kita jadi gelandangan di Singapura," Nico berkata masam sambil mengisi pistolnya. Aku tidak berkata apa-apa. Sekitar 5 menit kemudian, pistol kami sudah terisi.

Setelah itu, aku kembali berpikir tentang heroin yang "nyasar" di tas kami. Jujur, aku merasakan ada sesuatu yang janggal di sini. Tapi apa? Aku menghela napas dan berkata hati-hati kepada Nico, "Nic, jujur, gue juga ga enak bilang begini sama elu, tapi, kalau menurut gue..." aku berhenti sebentar, ragu-ragu. Nico hanya memandangku. Aku diam sebentar, lalu meneruskan, "elu yang paling mungkin memasukan heroin itu ke dalam tas kita kemarin,"

Sunyi lama. Aku juga tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan kepada Nico. Nico juga tampak shock. Dia menguasai diri, dan berkata pelan dan tenang, "kenapa elu berpikir begitu?" Aku ragu-ragu sejenak, berpikir. "Gue ga ada niat untuk menuduh elu. Cuma kalau dari segi kesempatan, elu yang paling mungkin melakukanya, kecuali kalau elu terus di-hipnotis atau di-jampi-jampi orang jadi elu ga inget bahwa ada orang yang menaruh narkoba di tas kita. Tapi untuk sementara ini, sori, terpaksa gue anggap elu sebagai tersangka," Aku menjelaskan. Bukan main bingungnya Nico. Dengan sabar, aku meneruskan penjelasanku, "Kan kemarin pesawat sempat ditunda selama sekitar 1 jam. Waktu itu gue kan terus kesal dan berjalan-jalan untuk menghabiskan waktu. Nah, tas gue titip ke elu. Nah, semalem gue tanya elu, elu bilang selama gue titip tas ke elu, ga ada kejadian yang aneh-aneh. Elu ga pergi ke toilet, elu ga merasa bahwa perhatian elu teralih oleh sesuatu. Maka dari itu, gue jadi berpikir, cuma elu yang punya kemungkinan buat menaruh narkoba itu ke dalam tas kita." Ekspresi Nico menjadi paham, "Ow, begitu. Ngerti gue maksud elu. Emang, gue ngaku, kalau situasi kayak gitu, secara teori, gue yang paling mungkin buat melakukanya ketika elu lagi kesal dan tinggali tas buat jalan-jalan. Tapi, analisis elu ada beberapa kekurangan, misalnya, apa motif gue menaruh narkoba di tas kita berdua? Apa buktinya? Elu kaga berpikiran gue itu pengedar narkoba kan?" Dia berkomentar. Aku kembali diam, karena apa yang diucapkanya benar. Aku tidak mempunyai bukti, dan Nico adalah sahabat baiku, aku tidak yakin dia punya motif kuat untuk melakakukan hal se-keji itu. Lagipula, teoriku ini juga masih memiliki kelemahan, selain yang dikatakan Nico barusan, bagaimana cara Nico menyelundupkan norkoba tersebut? Lain halnya kalau dia punya anak buah. Setauku, cuma ada kami berdua di sini. Lagi-lagi teoriku gagal. Nico sepertinya memahami kesulitan yang sedang kuhadapi, karena dia berkata, "gue ngerti perasaan elu dan kemauan elu untuk membongkar kasus ini. Gue juga setuju sama niat elu, tapi kita musti kumpulin bukti dulu, juga kita musti pecahkan misteri bagaimana cara si penjahat menyelundupkan narkoba itu." Aku hanya mengangguk dalam diam.

Tak terasa hari suda malam, dan itu berarti itu merupakan malam terakhir kami untuk menginap, dan besok, kehidupan kami sebagai gelandangan di Singapura pun dimulai. Aku dan Nico menghitung sisa uang kami. Beruntung, sisa uang kami masih cukup untuk makan selama 1 hari, dan itu berarti kami harus segera memecahkan masalah narkoba ini, dalam waktu paling lambat 2 X 24 jam, karena kami harus mendapatkan kembali barang-barang kami yang disita oleh pihak kepolisian bandara, atau kami bakal terus hidup sebagai gelandangan di Singapura dan dikejar-kejar polisi pula. Tidak. Masalah ini harus selesai. Esok harinya, kami meninggalkan penginapan sekitar jam 10 pagi. Kami segera berembuk tetntang apa yang akan kami lakukan selanjutnya. Ketika kami sedang berembuk, ada seorang yang tidak kami kenal mendatangi kami. Orang tersebut langsung menyergap kami! Aku tidak ingat apa-apa, pandangan menjadi gelap. Aku pingsan. Saat berikutnya, aku sadar, kudapati tubuhku diikat, berhadapan punggung dengan Nico. Kepalaku masih agak pusing karena pengaruh obat bius waktu aku disergap tadi. Perlahan-lahan, aku mengumpulkan ingatan dan kesadaranku. Aku dan Nico diculik! Tiba-tiba ada seorang pria yang berdiri di hadapan kami. "Hahahaha, kami sungguh berterima kasih atas kerja-sama kalian karena kalian mau mebantu kami untuk menyelundupkan heroin itu. Sekarang, cepat serahkan heroin itu!" Katanya. Nico langsung membuka mulut, "ow, jadi rupanya kalian penjahat sebenarnya! dasar bajingan! Kalian sudah merusak liburan kami!" Dia menantang si penjahat. "PLAKK!!!" si penjahat itu menggampar Nico. Kesempatan itu kumanfaatkan untuk mengedarkan pandangan dengan cepat, berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Beruntung. Kulihat mainan pistol-pistolan yang kami beli sebelumnya tergeletak agak jauh dari kami. Sekarang yang jadi masalah adalah, bagaimana cara kami meraih pistol itu dan berharap pelurunya masih ada dan juga bagaimana cara melepaskan ikatan ini sehingga kami bisa bergerak leluasa. Sepertinya si penjahat berpikir pistol itu hanya mainan tidak berguna. Segera, aku berguling ke arah pistol itu. Nico, yang tidak tau apa-apa di belakang, protes karena gerakan yang tiba-tiba dan tidak enak ini. Si penjahat hanya tertawa melihat tingkah kami. Dia melihat ke arah mana kami pergi, setelah melihat senjata itu, dia hanay tertawa dan berkata, "kalian pikir kalian bisa mengalahkan kami hanya dengan pistol mainan?" Dia terus tertawa. "Nic, elu pikir dong, gimana cara lepasin ikatan!" seruku sambil terus berguling ke arah senjata. "Ngomong elu enak! Elu pikir gampang apa?!" Dia memprotes, tapi aku bisa merasakan bahwa tanganya sedang berusaha melepaskan ikatan sementara kami berguling. Jarak antara kami dan pistol hanya sekitar 5 meter lagi. Entah bagaimana, akhirnya Nico berhasil melepaskan ikatan. Setelah ikatan kami lepas, kami langsung bangun dan berlari ke arah pistol tersebut. Si penjahat mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku celananya dan langsung melemparkanya ke arah Nico. Nico sedikit terlambat menghindar. Pisau tersebut mengenai punggungnya. Dia menjerit kesakitan. Darah keluar dari punggungnya, meskipun demikian, sepertinya luka yang dialami Nico tidak begitu parah. Dia masih bisa bergerak, meskipun menjadi lambat. Segera kami emngambil mainan pistol-pistolan tersebut. Kami berdoa dalam hati, semoga pelurunya masih ada. Si penjahat sekarang mendatangi kami. Dia sangat marah. Nico, yang mempunyai mainan pistol jenis "handgun" mengokang pistolnya dan langsung menembak si penjahat. Tembakanya meleset. Buru-buru dia menyalakan sinar laser pembidik yang terdapat di badan pistol. Aku juuga berbuat demikian. 5 detik kemudian, aku dan Nico sedang kejar-kejaran dengan si penjahat sambil terus menembakinya. Si penjahat, yang semula menganggap remeh mainan pistol-pistolan kami, kini harus menahan rasa sakit akibat terkena peluru pistol. Aku dan Nico berlari ke arah pintu keluar. Berhasil. Di tengah kekacauan itu, terlintas di pikiranku untuk menembak mata si penjahat, dan itu langsung kulakukan. Yah, singkat cerita, aku berani menjamin bahwa si penjahat mengalami kebutaan. Maka, 1 penjahat sudah kalah. Sialnya, di ruang depan, ada 3 penjahat lagi. Kali ini, Nico yang cepat bergerak. Tanpa ragu-ragu, dia langsung mengarakan sinar laser pemidik ke arah mata salah seorang penjahat dan, "DOR!" Yah, pastilah si penjahat juga akan buta. Karena pistol Nico jenis "handgun", maka itu berarti dia harus mengokang setiap kali habis menembak. Lain halnya dengan pistolku yang berjenis senapan serbu. Pistolku bisa menembak dengan cepat dan baru harus di-kokang saat mengisi "magazine" baru. Saat Nico sedang mengokang pistolnya, maka 2 penjahat sisanya biar aku yang urus. "Dor!" satu mata buta, dan, "DOR!" misi selesai. Sepertinya semua penjahat sudah kami buat buta matanya, dan sepertinya tidak ada penjahat lagi di tempat itu. Maka kami pun segera kabur dari tempat itu. kami terengah-engah karena habis berlari. "Gila juga kita ya?" Kata Nico sambil terengah-engah. Dia nyengir tidak percaya. "Tambah berat deh hukuman kita, udah disangka menyelundupkan narkoba, melawan petugas hukum, bikin mata orang buta lagi," dia tertawa. Aku langsung menyambarnya, "tapi paling ga, semua udah jelas, bahwa memang ada orang yang sengaja memanfaatkan kita untuk menyelundupkan narkoba. Elu jangan senang dulu. Yang tadi kita kalahin itu baru cuma anak buah. Kita belum tau siapa dalang sebenarnya. Dan inget, saat ini nyawa kita terancam karena kita sudah ikut campur urusan narkoba, dan mungkin skala internasional." Nica tidak berkata apa-apa, melainkan dia membuka "magazine" pistolnya untuk melihat sisa pelurunya. "Peluru gue tinggal 3," dia mengeluh. Aku juga melihat sisa peluruku. Tinggal 5. "Terus, kita mau ngapain? Apa kita serahkan diri kita ke polisi, mengakui semua ke polisi dan menjelaskan bahwa kita itu dijebak?" Kata Nico lagi. Sebetulnya aku setuju dengan idenya, tapi, di lain pihak, aku tidak mau menyerahkan diri ke polisi. Memang, mungkin kami bisa minta untuk dilakukan sidik jari di narkoba tersebut dan apabila di narkoba tersebut tidak ditemukan sidik jari kami, itu bisa jadi bukti yang cukup bahwa narkoba itu bukan milik kami. Tapi tetap saja, kami sudah melawan petugas penegak hukum, ditambah kami sudah membuat mata beberapa orang menjadi buta dengan pistol kami (meskipun itu kami lakukan untuk membela diri), dan juga, sepertinya urusan menjadi tambah ribet, karena mungkin kami sekarang terlibat dalam kasusu penyelundupan narkoba skala internasional. Aku tidak menjawab usul Nico, sebaliknya, aku mengajak Nico untuk pergi ke toko mainan tempat kami membeli mainan pistol sebelumnya untuk membeli cadangan peluru. Nico juga tak tangung-tangung. Dia membeli satu lagi pistol "handgun". "Biar bisa dobel," katanya sambil nyengir. Maka, kami segera mengisi penuh pistol kami. Masa bodoh dengan apa yang sudah terjadi dengan kami, dan apa yang akan terjadi pada kami selanjutnya. Yang jelas, kami perlu senjata untuk membela diri.

The Friendship (Part 4)

Baru saja kami meninggalkan toko mainan, datang beberapa penjahat baru. Ketika kami hendak kabur, dari arah yang berlawanan muncul serombongan polisi. "Oh, s**t!" aku dan Nico berseru. Namun, tak disangka-sangka, polisi itu mengejar penjahat baru. Sepertinya polisi itu tidak menyadari kehadiran kami. Penjahat yang tadinya hendak menangkap kami, membatalkan niat mereka begitu melihat polisi dan kabur. Kesempatan itu juga kami pakai untuk kabur. Dengan adanya kejadian itu, maka aku membuat kesimpulan: polisi Singapura sedang mengejar mafia narkoba, dan mafia narkoba mengejar kami, kami juga dikejar oleh polisi karena disangka terlibat mafia narkoba. Kami terjebak. Perfect! Ketika sedang berlari, mendadak HP Nico berbunyi. Alangkah terkejutnya aku karena Nico menjawab si penelepon dengan membentak, "DIAM! JANGAN SEKARANG! DASAR BODOH! SEMUA RENCANA JADI BERANTAKAN! TERNYATA RONALD LEBIH CERDIK DARIPADA DUGAAN GUE! DIA MENGACAUKAN RENCANA KITA! GUE TERPAKSA BIKIN RENCANA SENDIRI! INI BIAR GUE YANG ATUR! POKOKNYA ELU TINGGAL PANTAU KITA PAKE SATELIT GPS! GUE AKAN PANCING RONALD KE TEMPAT TERTENTU! HABIS ITU, KITA BUNUH DIA KARENA DIA TERLALU BANYAK TAU!" Lalu dia mematikan teleponya. Kami berhenti berlari. Aku shock dengan apa yang baru saja kudengar. Perlahan-lahan, Nico membalikan badan untuk menghadapku. Wajahnya tampak mengerikan. "Iya, analisa elu sebetulnya betul! Tepat 100%! Gue yang menaruh narkoba itu ke dalam tas saat elu lagi jalan-jalan karena kesal pesawat ditunda. Elu pasti ga menebak bahwa pesawat yang ditunda itu juga udah diatur. Waktu itu sebetulnya ga ada perawatan mesin pesawat. Yang ada hanyalah kru pesawat itu dibawah ancaman dan pistol supaya penerbangan ditunda!" Perlahan-lahan, dia mengeluarkan kedua pistolnya dan mengarahkanya kepadaku.

Aku tidak berkata apa-apa, melainkan menatap langit. Ke angkasa. Membayangkan anak buah Nico mangamati gerak-gerik kami melalui satelit. "Sekarang jalan!" Dia memukul kepalaku dengan gagang pistol. Aku terpaksa menurut. Untuk saat ini aku tidak bisa mlawan. Sebetulnya, posisiku boleh dikatakan aman. Maksudku, aku berjalan di depan Nico, sehingga, kalaupun Nico mau menembaku, paling dia hanya bisa menembak bagian punggung atau kaki, atau tangan. Dia tidak bisa menembak mata seperti yang kami sempat lakukan kepada penjahat, eh, salah, kepada anak buah Nico. Kami berjalan dalam diam. Nico kembali mengeluarkan HP-nya untuk menelepon anak buahnya yang lain. "Ketemuin kita di pintu belakang Universal Studio. Tempat itu harusnya sepi, sehingga kita bisa bunuh dia. Jangan lupa, pasang alat peredam suara psitol waktu bunuh dia, supaya ga ketauan!" Dia memberi instruksi. "Gue jengkel! Gue pikir gue bisa menjebak elu dengan heroin itu. Gue pikir kita bakal terus dipenjara, dan waktu di penjara, gue udah siapin rencana supaya gue bisa kabur, dan tinggal elu sendiri. Tapi ternyata elu sangat cerdik. Amat sangat cerdik," suaranya dingin dan berbahaya. "Elu malah memanfaatkan bubuk heroin itu sebagai senjata, dengan melemparkan segenggam heroin ke arah petugas, bikin petugas gelagapan, dan elu langsung kabur. Sejak kejadian itu, semua rencana gue berantakan." Dia kemudian memukulku kepalaku lagi dengan gagang pistolnya. "Tapi ga apa-apa. Nyawa elu ada di tangan gue. Soal heroin yang di bandara itu juga jangan elu pikirin. Gue ada akses di pihak keamanan bandara, sehingga heroin itu bisa dilenyapkan. Maka, elu mati, gue bebas, karena ga ada bukti."

Singkat cerita, kami sampai di Universal Studio. "Humph! Universal Studio! Tujuan wajib kita datang ke Singapura ini. Tapi sayang, elu ga bisa bermain di sana, tapi gue masih berbaik hati. Gue kasih elu kesempatan buat melihat tempat ini dari pintu depan dan pintu belakang. Dan pintu belakang itu akan menjadi tempat peristirahatan terakhir elu!" Kata Nico. Mulai dari sini, aku mulai berpikir cepat cara untuk menyelamatkan diri. Aku tidak memiliki senjata sama sekali. Bagaimana cara aku bisa lolos? Dan akhirnya, kami sampai di pintu belakang Universal Studio. Benar dugaan Nico, tempat tersebut sepi. Tidak heran, karena letak pintu belakang itu cenderung terpencil. Tapi beruntung, tempat tersebut juga masih dalam proses pengembangan, sehingga ada cukup banyak material bangunan yang mungkin bisa kugunakan sebagai senjata. Di tempat itu, sudah berdiri 5 orang anak buah Nico, dan semuanya memegang psitol. Aku mulai panik. Nico mendorongku maju ke arah anak buahnya. Dorongan Nico kumanfaatkan. Aku berpura-pura jatuh. Saat itu pula, aku langsung menyengkat kakinya, dan juga menendang tulang kakinya pada detik berikutnya. Dia kesakitan. tanpa ba-bi-bu, aku langsung berguling-guling seperti orang gila di tanah yang keras dan kotor hendak menhindar dari tembakan anak buahnya. Aku tetap terkena tembakan, tetapi hanya mengenai tangan dan bahuku. Tidak parah. Aku terus berguling ke arah anak buah Nico yang terus menembakiku. Sepertinya anak buah Nico tidak pernah mendengar istilah "hemat peluru" karena mereka terus saja menembakiku dengan bernapsu. Kau bisa menebak pikiranku? Yap, aku akan membuat mereka terus menembak hingga peluru mereka habis. Setelah itu aku akan menyerang balik. Rencanaku berhasil. Ketika mereka kehabisan peluru dan hendak mengisi ulang, aku bangkit sambil mengambil dua genggam tanah dan langsung melemparkanya ke arah penjahat. Seperti yang terjadi di bandara beberapa hari sebelumnya, anak buah itu gelagapan. Saat mereka gelagapan, kutendang tangan mereka dan pistol yang mereka pegang terlepas. Detik berikutnya, aku melompat maju ke arah salah satu penjahat, menjulurkan tanganku, dan menggamparnya dengan keras tepat di telinga. Yah, boleh dikatakan, penjahat tersebut akan mengalami kerusakan pendengaran. Satu penjahat lumpuh. Masih ada 4 lagi, ditambah Nico, jadi 5. Sepertinya Nico memutuskan untuk menikmati pertarungan antara aku dengan anak buahnya. Dia bersandar ke mobil dan menonton. Ok, aku akan mengurus Nico nanti.

4 penjahat yang tersisa tampak agak takut dan ragu ketika hendak menyerangku, mereka tidak menyangka akan kemampuanku berkelahi. Aku berlari ke arah pistol salah satu penjahat yang tadi terpental. Aku tahu bahwa pistol itu sudah kosong, tapi pistol tersebut masih bisa kupakai untuk menimpuk satu dari 4 penjahat tersebut. Dan itulah yang kulakukan. Timpukanku tepat kena kepala dan si penjahat kesakitan. Saat dia kesakitan, segera kurebut pistol yang ada ditanganya. Si penjahat sempat mengisi ulang pistolnya, jadi sekarang aku bisa menggunakan psitolnya tersebut untuk menembak. Aku tidak mau membunuh orang. Maka aku mengarahkan moncong pistol ke arah kakinya dan "DOR!" dua penjahat lumpuh. Meskipun dia sudah lumpuh karena kakinya kutembak, aku masih belum begitu puas. Saat dia jatuh berlutut karena kakinya kesakitan, lagi-lagi aku menggamparnya dengan keras di bagian telinga. Maka dua penjahat mengalami kerusakan pendengaran. Masih tiga orang lagi. Yah, karena saat ini aku sudah memiliki pistol, maka kutembak saja kaki penjahat yang tersisa. Singkat cerita kini tinggal aku dan Nico.

Setahuku Nico tidak begitu pandai berkelahi. Aku memperhatikan dia dengan pandangan bertanya. "Kalau pake pistol, tembakan gue ga akurat. Percuma kalau gue pake pistol," katanya sambil maju ke arahku. Aku menyetujuinya dan membuang pistol yang kupegang. Nico sudah mengetahui sebagian kecil gaya bertarungku (melempar sesuatu untuk membuat msusuh gelagapan dan menggapar telinga musuh untuk membuatnya kerusakan pendengaran), jadi aku memutuskan untuk tidak memakai kedua jurus itu lagi. Nico sendiri juga sepertinya sedikit-banyak sudah belajar jurus itu ketika dia mengamatiku tadi, meskipun mungkin dia baru tau secara teori, karena dia belum ada kesempatan untuk mempraktekanya. Dan dia menyerangku. Serangan pertamanya berupa tinju. Untuk ukuran orang yang tidak belajar bela diri, seranganya cukup baik dan cukup cepat juga. Aku sedikit terlambat menghindar sehingga tinjunya mengenai pipiku. Saat tinjunya mengenai pipiku, secara refleks kupegang tanganya, dia agak terkejut, kesempatan itu kumanfaatkan untuk menendang perutnya yang tidak terlindung. Dia bergerak mundur, merasa kesakitan. Detik berikutnya aku kembali menendang. Kali ini aku menendang tulang kakinya, berharap bisa mematahkanya. Namun usahaku tidak berhasil. Diluar dugaanku, Nico mengeluarkan sebuah pisau lipat dari kantong celananya dan langsung mengayunkan pisau itu secara membai-buta. "Wes! Wes! Wes!" Suara desiran pisau. Perutku terkena dua sabetan pisau. Darah mengalir keluar. Aku terus melompat mundur menghindari ayunan pisaunya. Ekspresi Nico sangat mengerikan. Aku terus menghindar dan juga mencoba menjulurkan tangan, berharap bisa menangkap pisau tersebut. Tapi gerakanya terlalu cepat. Akhirnya aku berhasil menangkap tanganya yang mengayunkan pisau, meskipun itu juga membuat tanganku terluka kena pisau. Dia terkejut. Setelah tanganya kutangkap, aku menggeser sedikit posisi badanku, dan menarik kencang tangan Nico, sambil menjulurkan salah satu kakiku. Ketika kutarik tanganya, dia kehilangan keseimbangan, dan karena aku menjulurkan kakiku, dia menjadi tersandung dan jatuh tersungkur ke tanah. Pisau terlepas dari peganganya. Dia bangun. Kulihat dia melakukan apa yang kulakukan pada pertarungan sebelumnya, dia mengambil segenggam tanah, hendak melemparkanya kepadaku. Aku juga melihat darah mengalir di birinya. Tapi gerakanku lebih cepat. Belum sempat dia melemparkan tanah itu, aku sudah membungkukan badan dan berlari maju ke arahnya, hendak menyeruduknya dengan kepala. Lemparanya meleset, tanah berjatuhan di punggungu. "DASH!" Aku menyeruduk perutnya dengan kepala. Kesempatan ini juga dimanfaatkan oleh Nico. Dia menyerang punggungku yang sedang mengahadap ke atas dan tidak terlindung dengan sikut. Aku kesakitan. Tapi, aku juga begerak cepat. Masih sambil membungkuk, dengan kepala masih menepel di perut Nico, kuayunkan telapak tanganku ke arah (maaf) kemaluanya, dan kuhajar bagian itu. Dia langsung jatuh terduduk, lemas. Dia memegangi organ yang baru saja kuserang sambil meringis kesakitan. Sebetulnya aku ingin berhenti menyerang, karena kulihat Nico sudah "cukup menderita kesakitan". Tapi, untuk berjaga-jaga kalau Nico ingin menyerang lagi, segera kuambil salah satu pistol, dan kupukul kepalanya keras, membutanya pingsan. Setelah itu, kuambil HP-nya dan menelepon polisi.

The Friendship (Part 5-Epilogue)

Maka, inilah aku, seorang diri di Singapura. Barang-barang kepunyaanku sudah kembali, masalah sudah selesai. Meskipun sebetulnya enggan, mau-tak mau aku menjadi emmikirkan nasib Nico. Yah, di satu pihak, dia tetap sahabatku, hanya dia berada di jalan yang salah. Aku tak mau memikirkan ancaman hukuman mati yang akan ditanggungnya karena kasus narkoba ini, tapi hukum tetaplah hukum. Tentu saja, aku juga masih akan menjalani pemeriksaan detil untuk membuktikan bahwa aku tidak bersalah, dan juga proses untuk mebersihkan nama baiku yang sempat cemar. Tapi sekarang aku sedang ingin liburan, dan, hey, ini hari natal! Merry Christmas! Aku bediri di salah satu sudut di Universal Studio, meminum segelas coca-cola sambil mengamati serombongan anak kecil yang sedang berebut ingin berjabat tangan dengan Santa Claus. Di kejauhan, terdengar musik natal. Aku tersenyum kecil. "It's over," kataku pelan kepada diriku sendiri. "No, this is just the beginning. The beginning of my journey to join International Anti Drugs Squad," kataku lagi sambil memandang langit, menghela napas, dan pergi meninggalkan Universal Studio.



____________________THE END______________________________________________________
 
Back
Top