Dipi76
New member
Betapapun seorang sejarawan berusaha untuk menghindarkan diri dari faktor subjektivitas dalam penelitiannya, secara sadar atau tidak, ia akan ia selalu dibayangi oleh faktor itu manakala ia mengungkapkan peristiwa sejarah yang ia teliti. Keterlibatan faktor-faktor subjektivitas, yang bahkan dalam hampir semua penelitian, pada dasarnya, sulit dihindarkan, karena bagaimanapun dalam menentukan titik pandang terhadap objek yang diteliti, faktor ini sudah tentu ikut berperan. Demikianpun pada saat ia menentukan tujuan penelitian. Dalam kaitan ini, visi pribadi, golongan, agama, ideologi, politik dsb. merupakan dasar pertimbangan yang sangat sulit untuk dihindarkan.
Penulisan sejarah Islam di Nusantara telah ditulis oleh banyak sejarawan dengan sudut pandang --dan mungkin untuk sebahagian dapat disebut sebagai subyektivitas -- yang berbeda-beda. Perbedaan ini ternyata telah mengundang perdebatan-perdebatan yang berkelanjutan dan tak habis-habisnya hingga saat ini.
Pada dasarnya, perbedaan visi -- dalam beberapa hal-- dapat dibenarkan dalam penulisan sejarah. Namun perbedaan visi tentunya akan sukar diterima bila pengertiannya disetarakan dengan 'pemaksaan keinginan' penulisnya dalam pengolahan fakta-fakta yang disesuaikan dengan tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai dengan penulisan sejarah itu. Sama halnya juga dengan, bahwa perbedaan visi tidak dapat dijadikan alasan untuk mendeskripsikan secara imajinatif tentang realitas-realitas sejarah yang sebenarnya tidak atau kurang ia ketahui.
Tulisan ini akan mengemukakan beberapa persoalan pokok diseputar perdebatan-perdebatan klasik tentang masuknya Islam ke Nusantara . Pembahasan ini, disamping merupakan kajian ulang tentang pokok persoalan yang disebutkan, lebih jauh akan dicoba menganalisa sejauh mana keterlibatan subjektivitas dari perbedaan visi itu dapat dipertemukan. Semua itu ditujukan untuk mendapatkan kebenaran sejarah, hingga perdebatan-perdebatan klasik seperti itu tidak terlalu membingungkan, atau setidaknya akan mengurangi kebingungan kita dalam melihat kebenaran sejarah masa lalu.
Persoalan Daerah Asal
Persoalan daerah asal Islam yang diterima pada tahap awal di Nusantara adalah merupakan topik yang paling banyak diperbincangkan. Hal ini dapat dimaklumi karena persoalan daerah asal akan sangat erat kaitannya dengan bentuk Islam yang diterima itu; apakah Islam diterima dalam bentuknya yang murni atau mungkin sudah tercampur dengan bias-bias kultural daerah asalnya. Yang demikian tentu akan lebih menarik lagi bila dikaitkan dengan kajian-kajian tentang eksistensi Islam di Indonesia pada masa-masa kemudian, seperti yang banyak ditulis oleh para ilmuan hingga saat ini, baik kajian yang menyangkut budaya, pemikiran maupun kenyataan sosial dan politik umat Islam Indonesia sampai pada periode kontemporer.
Persoalan ini akan menjadi ironis manakala dihubungkan dengan berbagai kepentingan yang sifatnya bertujuan bagi “penipisan” eksistensi Islam itu sendiri di Indonesia seperti yang telah banyak dilakukan oleh penulis-penulis kolonial, tanpa mempertimbangkan subjektivitas kultural yang mereka miliki dan hanya dipandu oleh otoritas keilmuan yang bukan tanpa disertai unsur subjektiv itu.
Tesis awal tentang daerah asal Islam yang datang ke Nusantara pertama kali diajukan oleh Dr. Pijnappel, seorang Professor dari Universitas Leiden. Ia mengemukakan bahwa Islam Nusantara dibawa dari daerah Gujarat (India) oleh orang-orang Arab yang telah bermukim di daerah itu (cf. Drewes, 1968; 439). Pendapat ini dikembangkan ilmuan-ilmuan selanjutnya seperti JP.Moquette (1912), Snouck Hurgronye, W.F. Stutterheim (1935), J. Gonda (1952) dan lain-lain. JP. Moquette (1912) lebih menekankan argumentasi peninggalan arkeologis yang terdapat di Aceh dan Gresik. Ia membandingkan nisan makam puteri Pasai yang berangka tahun 831 Hijriah (1428 Masehi) dengan nisan makam Maulana Malik Ibrahim (Gresik) adalah sama seperti nisan-nisan makam Umar bin Ahmad Kazaruni yang berangka tahun 1338 Masehi di Cambay Gujarat. (cf. Slamet Mulyana, 1981; 267 dan Azyumardi Azra, 1995; 24-25).
Kesimpulan Moquette inilah yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana Belanda seperti yang telah kita sebutkan terdahulu, meskipun kesimpulan tersebut masih perlu dipertanyakan. Moquette ternyata telah melakukan perbandingan yang keliru, karena jarak waktu antara nisan makam puteri Pasai (1428 M.) dengan makam Kazaruni (1338 M.) adalah sangat jauh dan dengan demikian sangat sulit diterima menjadi dasar pertimbangan bagi kesimpulan yang ia ambil itu. Namun para sarjana Belanda lainnya itu hampir semuanya sepakat untuk tidak terlalu mempersoalkan dasar kesimpulan Moquette ini.
bersambung
-dipi-
Penulisan sejarah Islam di Nusantara telah ditulis oleh banyak sejarawan dengan sudut pandang --dan mungkin untuk sebahagian dapat disebut sebagai subyektivitas -- yang berbeda-beda. Perbedaan ini ternyata telah mengundang perdebatan-perdebatan yang berkelanjutan dan tak habis-habisnya hingga saat ini.
Pada dasarnya, perbedaan visi -- dalam beberapa hal-- dapat dibenarkan dalam penulisan sejarah. Namun perbedaan visi tentunya akan sukar diterima bila pengertiannya disetarakan dengan 'pemaksaan keinginan' penulisnya dalam pengolahan fakta-fakta yang disesuaikan dengan tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai dengan penulisan sejarah itu. Sama halnya juga dengan, bahwa perbedaan visi tidak dapat dijadikan alasan untuk mendeskripsikan secara imajinatif tentang realitas-realitas sejarah yang sebenarnya tidak atau kurang ia ketahui.
Tulisan ini akan mengemukakan beberapa persoalan pokok diseputar perdebatan-perdebatan klasik tentang masuknya Islam ke Nusantara . Pembahasan ini, disamping merupakan kajian ulang tentang pokok persoalan yang disebutkan, lebih jauh akan dicoba menganalisa sejauh mana keterlibatan subjektivitas dari perbedaan visi itu dapat dipertemukan. Semua itu ditujukan untuk mendapatkan kebenaran sejarah, hingga perdebatan-perdebatan klasik seperti itu tidak terlalu membingungkan, atau setidaknya akan mengurangi kebingungan kita dalam melihat kebenaran sejarah masa lalu.
Persoalan Daerah Asal
Persoalan daerah asal Islam yang diterima pada tahap awal di Nusantara adalah merupakan topik yang paling banyak diperbincangkan. Hal ini dapat dimaklumi karena persoalan daerah asal akan sangat erat kaitannya dengan bentuk Islam yang diterima itu; apakah Islam diterima dalam bentuknya yang murni atau mungkin sudah tercampur dengan bias-bias kultural daerah asalnya. Yang demikian tentu akan lebih menarik lagi bila dikaitkan dengan kajian-kajian tentang eksistensi Islam di Indonesia pada masa-masa kemudian, seperti yang banyak ditulis oleh para ilmuan hingga saat ini, baik kajian yang menyangkut budaya, pemikiran maupun kenyataan sosial dan politik umat Islam Indonesia sampai pada periode kontemporer.
Persoalan ini akan menjadi ironis manakala dihubungkan dengan berbagai kepentingan yang sifatnya bertujuan bagi “penipisan” eksistensi Islam itu sendiri di Indonesia seperti yang telah banyak dilakukan oleh penulis-penulis kolonial, tanpa mempertimbangkan subjektivitas kultural yang mereka miliki dan hanya dipandu oleh otoritas keilmuan yang bukan tanpa disertai unsur subjektiv itu.
Tesis awal tentang daerah asal Islam yang datang ke Nusantara pertama kali diajukan oleh Dr. Pijnappel, seorang Professor dari Universitas Leiden. Ia mengemukakan bahwa Islam Nusantara dibawa dari daerah Gujarat (India) oleh orang-orang Arab yang telah bermukim di daerah itu (cf. Drewes, 1968; 439). Pendapat ini dikembangkan ilmuan-ilmuan selanjutnya seperti JP.Moquette (1912), Snouck Hurgronye, W.F. Stutterheim (1935), J. Gonda (1952) dan lain-lain. JP. Moquette (1912) lebih menekankan argumentasi peninggalan arkeologis yang terdapat di Aceh dan Gresik. Ia membandingkan nisan makam puteri Pasai yang berangka tahun 831 Hijriah (1428 Masehi) dengan nisan makam Maulana Malik Ibrahim (Gresik) adalah sama seperti nisan-nisan makam Umar bin Ahmad Kazaruni yang berangka tahun 1338 Masehi di Cambay Gujarat. (cf. Slamet Mulyana, 1981; 267 dan Azyumardi Azra, 1995; 24-25).
Kesimpulan Moquette inilah yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana Belanda seperti yang telah kita sebutkan terdahulu, meskipun kesimpulan tersebut masih perlu dipertanyakan. Moquette ternyata telah melakukan perbandingan yang keliru, karena jarak waktu antara nisan makam puteri Pasai (1428 M.) dengan makam Kazaruni (1338 M.) adalah sangat jauh dan dengan demikian sangat sulit diterima menjadi dasar pertimbangan bagi kesimpulan yang ia ambil itu. Namun para sarjana Belanda lainnya itu hampir semuanya sepakat untuk tidak terlalu mempersoalkan dasar kesimpulan Moquette ini.
bersambung
-dipi-