ANOMALI

ashara

New member
ANOMALI by ASHARA/PINKY CHAN/AYSAS *ketiganya namaku*

Khazayn Del Chares –Two More Freak People-

Tidak semua orang menyukai kelab malam.
Aku salah satunya. Aku sudah berada di Bounty Night Club selama kurang lebih sejam dan tetap tidak menemukan sisi menariknya. Pencahayaannya yang remang-remang membuat kepalaku pusing―maaf-maaf saja, aku sedang tidak butuh pusing tambahan. Sampah yang entah kenapa berani-beraninya disebut wiski di kelab ini, yang memenuhi sloki-sloki kecil di depanku, membuat lidahku terasa aneh. Belum lagi ingar bingar musiknya yang tidak berkelas, yang kedengarannya mirip dengan lolongan seseorang yang diamputasi.
Tidak. Sudah cukup. Aku mau pergi saja.
“Khazayn, kau mau kemana?” seseorang mencekal lenganku ketika aku bangkit berdiri. Aku menoleh ke samping dan melotot pada seorang gadis berumur awal dua puluhan atau akhir belasan, yang memakai gaun putih model halter berglitter. “Jangan pergi dulu. Masih ada sisa waktu selama sejam yang belum kau lewati.”
“Tidak, Evey. Aku mau kembali ke gudang. Jangan berharap aku mau menghabiskan waktuku yang berharga disini,” aku bergidik jijik seraya menatap keseluruhan kelab. “Apakah satu jam tidak cukup bagimu untuk membuktikan bahwa pengendalian diriku sudah membaik?”
“T-I-D-A-K,” Eveyline menjawab menyebalkan seraya menyibakkan poni pirangnya yang sedikit kepanjangan. Belum pernah aku bertemu Bloodracer lain yang lebih tidak kreatif dan lebih tidak orisinil dibandingkan Evey dalam memilih perwujudan manusianya. Dia benar-benar mirip Avril Lavigne, demi kewarasan. Dari postur tubuh, wajah, sampai gaya rambutnya adalah duplikat dari si penyanyi pop/rock ternama. Hanya ada sedikit modifikasi di tekstur rambut dan warna mata. Bentuk bibir dan pipi juga dirubah oleh Evey, meskipun masih terlalu mirip. Ingatkan aku untuk menyuruhnya merubah sosoknya sedikit, jika kami masih berteman setelah apa yang Evey perbuat padaku hari ini: menyeretku ke kelab malam, memaksaku mabuk, dan tidak membiarkanku pergi sebelum dua jam berlalu untuk mengukur pengendalian diriku. “Harus dua jam. Tingkat kesulitan latihan harus ditingkatkan. Kemarin kita sudah sukses melewatkan satu setengah jam di toserba yang ramai. Jadi kenapa harus ada pengecualian untuk dua jam di kelab malam?”
“Karena ini membuatku muak!” aku praktis melemparkan tanganku ke samping, mempertegas maksudku pada Evey. “Jika kau ingin aku menghabiskan dua jam di tempat penuh manusia, kenapa kita tidak pergi ke bioskop atau taman hiburan sekalian?” aku menjaga agar suaraku tetap rendah agar tidak didengar oleh si bartender yang sibuk membuat segelas Singapore Sling. Namun seharusnya aku tidak khawatir―tidak akan ada seorang pun yang bisa mendengarkan apa yang diucapkan oleh orang lainnya dari jarak tiga meter di tempat seberisik ini.
“Tidak, tidak,” Evey menggoyangkan telunjuknya di depan hidungku sambil berbicara, seakan aku adalah anak kecil nakal yang tidak bisa diberitahu―bukannya Bloodracer tangguh yang sudah membunuh ratusan manusia dan memengangkan puluhan perkelahian bengis. “Kita tidak hanya mencoba menguji pengendalian dirimu. Kita juga berusaha menemukan cara untuk melenyapkan sakaw-darahmu.”
Sakaw-darah adalah istilah yang dipakai Evey untuk menggambarkan kecanduan darahku. Istilah itu tolol namun mumpuni. Jika kecanduanku tidak terpuaskan, maka aku tidak ada bedanya dengan pencandu heroine yang putus obat: menggigil, merasakan sakit tak tertahankan di seluruh badan, dan menderita pening yang membuat dunia seakan berputar.
“Dengan apa? Dengan menyuruhku minum bersloki-sloki wiski?” sinisku. “Minuman sialan itu hanya membuat kepalaku bertambah pusing, Evey.”
“Itulah poinnya, Khazayn,” Evey bersikeras. “Jika kita tidak bisa meringankan pusingmu, kita harus bisa melipatgandakannya. Jika kau sudah benar-benar pusing, maka rasanya akan sama saja dengan tidak pusing.”
“Rumus darimana pula itu?” aku nyaris mengerang mendengar perkataan tidak berlogika Evey. Apa salahku sampai-sampai aku harus ditemani oleh si sinting Evey selama sekitar... euh... bertahun-tahun ke depan? Tapi aku tahu bahwa terlibatnya diriku dengan Evey bukanlah karena kesalahan atau kesialanku sendiri. Evey menemaniku semata karena permintaan kakakku Nergha. Menurutnya, kami akan saling membutuhkan satu sama lain. Aku butuh Evey untuk mengajariku cara mengendalikan kecanduan darahku, dan Evey juga membutuhkanku untuk melindunginya dari para Bloodracer lain yang mengincar Bloodracer lemah sepertinya. Simbiosis mutualisme. Itulah istilah Nergha untuk hubunganku dan Evey.
Tapi menurutku, meskipun secara teori hubungan kami adalah simbiosis mutualisme, prakteknya lebih menyerupai parasitisme terselubung. Kerugian moral yang kualami karena menghabiskan sedemikian banyak waktu bersama Evey lebih tinggi dibandingkan keuntungan yang kuperoleh terkait meningkatnya pengendalian diriku terhadap darah manusia. Namun, sekalipun tidak suka, lama kelamaan aku mulai terbiasa bersama dengan Evey. Dia mau memahami aku sebagai Anomali, dan aku juga―sedikit banyak―mampu memahaminya yang juga Anomali.
Anomali adalah istilah yang digunakan bagi Bloodracer yang berbeda dari kebanyakan dalam hal apa pun juga. Sementara Bloodracer adalah... well... aku tak tahu bagaimana cara terbaik untuk menjelaskan seperti apa kami. Mungkin lebih baik jika aku menggunakan analogi. Kami, Bloodracer, bisa diibaratkan seperti vampir, drakula, atau makhluk apa pun yang diceritakan suka mengisap darah dalam dongeng konyol manusia. Semua dongeng dan mitos konyol manusia tidak ada yang benar. Bukan vampir atau incubus yang berkeliaran membunuhi manusia di tempat gelap, melainkan Bloodracer.
Sama seperti vampir, kami Bloodracer butuh darah manusia untuk bertahan hidup. Selain itu, semakin banyak darah manusia yang kami minum, maka semakin hebat kemampuan sihir kami. Namun kami tidak meminum darah manusia seperti manusia yang rutin memakan roti gandum―tiga kali sehari. Seorang Bloodracer cukup meminum darah manusia seminggu sekali, tidak kurang dan tidak lebih. Hal itu bahkan diatur dalam undang-undang Dewan, agar kerahasiaan keberadaan kami tetap terjaga. Kami memang bisa bertahan dengan menyerap cahaya matahari―ini elemen yang berlawanan dengan semua legenda vampir konyol itu―namun hal itu tidak pernah cukup. Cahaya matahari membuat kami tetap hidup, namun tidak pernah membuat kami kuat.
Sebagai Anomali, aku memiliki kelainan dibandingkan Bloodracer lain dalam hal selera terhadap darah. Aku melanggar aturan Dewan yang menganjurkan agar kami meminum darah seminggu sekali agar kerahasiaan keberadaan kami tetap terjaga. Itu sama sekali tidak cukup untukku. Aku selalu menginginkan lebih. Jadilah aku bolak balik dimensi manusia sekali sehari untuk membunuh setidaknya satu manusia setiap kalinya. Tindakan kelewatanku awalnya ditoleransi―para Dewan menutup mata sementara karena aku adalah adik Nergha Sung Chares yang menduduki posisi tinggi di antara Dewan Bloodracer. Namun lama-lama mereka gerah juga dan merencanakan untuk membunuhku demi kerahasiaan kaum. Aku mengetahui hal ini dari Nergha dua minggu yang lalu...
“Khazayn, kau harus pergi,” perintah Nergha padaku waktu itu.
Aku ingat aku sedang meringkuk di sel gelap yang dibuat khusus oleh Nergha untukku, menggigil karena kecanduan darahku yang tidak terpuaskan. Nergha mengurungku di sel itu agar aku tidak bisa berkeliaran ke dunia manusia dan membunuhi penghuninya untuk memuaskan kecanduanku.
“Mengapa?” tanyaku lagi, masih menggigil dan sulit memfokuskan orientasi. Wajah Nergha hanya tampak seperti bayangan samar di mataku―gadis bertubuh tinggi langsing dengan rambut merah bergelombang sepanjang pinggul. Kulitnya yang pucat terlihat kontras dengan warna mata biru cerahnya. Garis wajahnya sendiri tampak rapuh sekaligus keras di saat bersamaan.
Kurasa, jika dilihat dari sudut pandang manusia, Nergha pasti cantik sekali. Tapi dari sudut pandang Bloodracer... well... kami tidak memiliki patokan bagus soal penampilan fisik yang menarik, karena pada dasarnya kami tidak memiliki wujud fisik. Kami serupa dengan bayangan dari air, atau gas yang dipadatkan, atau sesuatu seperti itu. Wujud fisik kami bisa disesuaikan dengan semua keinginan kami, apa pun itu. Namun wujud manusia adalah wujud favorit para Bloodracer―termasuk aku―karena memudahkan kami untuk membaur bersama para manusia ketika butuh darah mereka.
“Karena para Dewan sudah memutuskan untuk melakukan Pembersihan. Kau dan para Anomali lain akan dihabisi seminggu dari sekarang,” Nergha menjawab datar.
“Namun aku sudah berhenti meminum darah manusia,” sergahku. “Kau sudah mengurungku disini selama... seminggu? Dua minggu? Aku tidak pernah meminum setitik darah pun selama itu. Memangnya apa salahku?”
“Kesalahan masa lalu,” balas Nergha enteng. “Tidak ada toleransi. Anomali, bertobat atau tidak, harus dihabisi. Lagipula, kau seperti tidak mengenal Bloodracer saja. Kapan ada Bloodracer yang menolak kesempatan berkelahi dan menghabisi sesamanya? Yang lemah harus dibantai, begitu pula yang terlalu kuat.”
Aku langsung tahu bahwa aku masuk dalam daftar ‘yang terlalu kuat’ itu. Seringnya meminum darah manusia membuat sihirku semakin mantap dan kuat, sehingga tidak heran para Bloodracer lain mencari kesempatan untuk menghabisiku sebelum aku menghabisi mereka. Berkelahi dan membunuh adalah sesuatu yang menjadi perilaku dasar kami.
“Kalau begitu, biarkan aku keluar, Nergha. Aku akan menghabisi mereka.”
“Jika kau tidak habis duluan,” Nergha mengatakan kalimat itu dengan nada merendahkan. “Sehebat apa pun kau, Khazayn, kau tetap sendirian. Para Dewan dan Assassin terbaik mereka akan mengunyah-ngunyahmu dengan mudah. Pergilah, Khazayn. Itulah satu-satunya peluang yang tersisa bagimu. Aku akan menutupi perihal kaburnya dirimu. Akan kukatakan kau sudah mati karena terlalu lama tidak meminum darah―apa pun bisa dikarang jika sudah menyangkut Anomali.”
“Tapi kemana, Nergha? Tidak ada lagi tempat yang tersisa bagiku. Gelombang energiku sudah terlalu familiar bagi semua Bloodracer di Bloodarchane. Kabur kemanapun, cepat atau lambat aku pasti ketahuan,” aku mencoba memberi Nergha pengertian.
Sebuah senyum tipis penuh kemenangan tersungging di wajah Nergha. “Aku sudah memikirkan soal itu. Kau tidak mungkin tetap berada di Bloodarchane―gelombang energimu terlalu mencolok. Namun tidak begitu halnya jika kau berada di dimensi manusia―gelombang energimu akan tersamarkan dengan sempurna di antara para manusia itu. Bertahanlah selama sebulan, Khazayn. Hanya sebulan. Berikan aku waktu untuk meyakinkan para Dewan bahwa kau sudah mati. Lagipula, mungkin bagus juga. Puasa selama itu akan meningkatkan kemampuan pengendalian dirimu―bagaimanapun setelah sebulan itu kau harus terbiasa meminum darah dalam frekuensi normal agar tidak memancing kecurigaan...”
“Nergha... masa kau tidak melihat betapa konyol rencanamu? Jika aku dibiarkan seorang diri disana, tanpa kau atau Rhowan yang mengawasi, maka aku akan menghabisi semua manusia di New York... L.A... Miami... dimana pun itu. Aku akan berpesta pora tanpa bisa mengendalikan diri, dan semua Dewan serta Assassin akan mencariku. Idemu akan menjadi vonis mati bagiku.”
Nergha memutar bola matanya. “Oh, ayolah, Khazayn. Kau tahu kau lebih baik dari ini. Kau bisa melakukannya. Hanya sebulan tanpa darah... apa susahnya? Aku pernah tidak meminum darah selama dua bulan penuh dan tetap baik-baik saja.”
“Itu kau, bukan aku,” sergahku cepat. “Aku Anomali, Nergha. Jika seleraku terhadap darah normal-normal saja, maka aku tidak akan perlu dikurung disini dan kau juga tak usah mengelabui Dewan.”
“Kalau begitu kita harus menormalkan seleramu,” renung Nergha. “Ya. Benar. Kau harus dilatih untuk mengendalikan diri... Dia pasti bisa membantu.”
Setelah bergumam sendiri seperti itu, Nergha lantas pergi meninggalkanku diiringi tatapanku yang bertanya-tanya. Setengah jam kemudian, dia kembali bersama dengan seorang gadis pirang dengan sikap kikuk yang tampak bingung menatapku.
“Ini Eveyline Le Louille. Dia juga Anomali, sama sepertimu. Tapi Evey membenci darah, bukan mencandunya―Evey tidak pernah meminum setetes darah manusia pun seumur hidupnya. Dia pasti bisa mengajarimu cara mengendalikan diri terhadap kecanduanmu.”
“Nergha... aku tak bisa...,” Evey menatap kakakku dengan mimik ketakutan. Matanya menatapku sekilas, sebelum kembali menatap Nergha. “Aku...”
“Kau bahkan belum mencobanya, Evey,” Nergha mulai kehilangan kesabaran. “Tenang saja. Khazayn tidak akan menyakitimu. Adikku tidak pernah tertarik dengan Bloodracer lemah―dia hanya menyerang yang kuat. Kau akan bersikap manis pada Evey, bukan?” Nergha menatapku dengan senyuman manis yang entah mengapa terkesan memaksa di detik yang sama.
“...,” aku dan Evey sama-sama tak menemukan suara kami, terlalu kaget untuk berkomentar.
“Diam berarti ya. Kalau begitu, begitu kedua rembulan bertemu, aku akan mengurus pembukaan gerbang antar dimensi dan mengirim kalian ke dimensi manusia. Bertemanlah dengan baik. Buatlah simbiosis mutualisme. Evey, Khazayn akan melindungimu. Dan Khazayn, menurutlah pada Evey. Dia akan mengajarimu pengendalian diri. Pergilah dan jangan pernah kembali ke Bloodarchane. Aku akan mencoba mengunjungi kalian jika sempat. Sudah tidak ada lagi tempat bagi kalian disini...”
Sadar bahwa Nergha benar, aku lantas menuruti anjurannya untuk meninggalkan Bloodarchane. Mungkin lebih baik begini. Aku toh tidak mungkin terus menerus berlindung di belakang punggung Nergha. Aku harus bisa mengurus diriku sendiri dan menanggung konsekuensi perbuatanku. Jadi, diiringi sebuah pelukan singkat dan lambaian perpisahan dari Nergha, aku dan Evey pergi ke dimensi manusia. Untuk selamanya.
...
“Ha! Aku tahu kau pasti bisa!” suara melengking Evey membuyarkan memori masa laluku. “Tinggal lima belas menit, Khazayn!”
Kata ‘lima belas menit’ dengan sukses mengembalikan orientasiku ke masa kini, melupakan semua kenangan akan perpisahan dan kepergian daruratku dari Bloodarchane. “Oh, ya? Syukurlah. Aku senang kita bisa keluar dari tempat terkutuk ini.”
“Sebenarnya tidak separah itu,” Evey menggeleng tidak setuju. “Tempat ini lumayan asyik,” ujar Evey sambil mengetuk-ngetukkan telunjuknya dengan berirama ke meja kayu bar.
“Bagimu,” sinisku. “Dimana-mana, tempat tidak berkelas hanya disukai oleh orang yang sama tidak berkelasnya.”
Evey berpura-pura tidak mendengarkan komentar sarkastisku dan meneruskan mengetuk-ngetukkan jarinya sesuai irama musik sampah yang diputar. Aku sedikit iri pada Evey, diakui atau tidak. Bukan, bukan berarti aku iri pada betapa lemahnya dia. Namun aku ingin bisa membaur di dimensi ini seperti Evey. Evey tidak pernah merasakan sensasi terbakar sebagaimana yang kualami tiap kali berdekatan dengan manusia. Evey tidak pernah menggigil tiap malam karena sakaw-darah. Evey tidak pernah menemukan kesulitan mengendalikan diri tiap berada dalam keramaian. Evey bisa membaur dengan baik disini, tidak sepertiku.
“Aku tidak tahu mengapa kau mau-maunya meninggalkan Bloodarchane. Padahal kau baik-baik saja disana,” gumamku pada Evey. Selama ini aku jarang berbicara padanya―lebih sering Evey yang berbicara padaku. Namun aku merasa wajib memuaskan rasa penasaranku, selain untuk menemukan topik menarik yang bisa dibahas selama menunggu lima belas menit berlalu.
Evey menatapku kaget. “Mengapa tiba-tiba kau menanyakan itu, Khazayn?”
Aku mengangkat bahu. “Sekedar penasaran biasa, kurasa. Jika masalahnya terletak pada ancaman Bloodracer lain―sudah menjadi sifat dasar kaum kita untuk saling menyerang dan membunuh satu sama lain―kurasa alasan itu terbilang tidak relevan. Bagaimanapun, kau cukup dekat dengan Nergha dan tunangannya, Rhowan. Mereka tangguh. Mereka pasti bisa melindungimu.”
“Mungkin sama denganmu,” Evey menghela napas, menyilangkan kakinya dan memperbaiki posisi duduknya. “Aku hanya tidak ingin lagi merepotkan Nergha. Aku tak ingin menjadi pihak yang selalu dilindungi―itu menyebalkan dan menimbulkan perasaan bersalah yang tidak sedikit. Selain itu, siapa bilang aku baik-baik saja di Bloodarchane? Aku juga Anomali, Khazayn. Sudah menjadi aturan umum bahwa Anomali harus dibantai. Pilihan untukku adalah menunggu untuk dibunuh di Bloodarchane atau kabur ke dimensi manusia.”
“Tapi kau tidak membahayakan kerahasiaan kaum,” sergahku. “Kau tidak pernah membunuh satu manusia pun untuk mengisap darah mereka. Mereka tak punya alasan untuk menyakitimu.”
“Anomali tetap Anomali. Yang berbeda harus dilenyapkan,” jawab Evey tegas. “Apalagi aku terlalu lemah untuk ukuran Bloodracer. Tidak pernah meminum darah dan hidup dari sinar matahari membuatku tidak memiliki sihir yang berguna. Kelemahan adalah pengganggu, sebuah cacat. Kaum membenci sesamanya yang terlalu kuat, sebagaimana mereka membenci sesamanya yang terlalu lemah.”
Aku tersenyum mendengar kalimat terakhir Evey. Yang terlalu kuat, yang terlalu lemah. Aku dan Evey. Dua Anomali. Dua tambahan orang aneh di dunia ini. Orang-orang aneh yang berbeda, yang harus dilenyapkan.
“Sudah dua jam berlalu. Kau ingin pulang sekarang atau masih mau berada disini?” Evey menatap jam meja yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
“Pulang,” kataku tanpa ragu, segera bangkit dari kursi tinggi dan berjalan cepat ke pintu keluar. Kali ini Evey tidak mencegahku. Dia mengekor di belakangku, setengah berlari untuk mengimbangi langkah-langkah lebarku. Ketika menerobos kerumunan orang-orang yang berdansa di floor, sentakan aneh yang familier bagiku terasa di ulu hatiku, diiringi rasa panas membakar yang menjalar ke sekujur tubuhku. Pemicunya adalah bau darah manusia-manusia di sekelilingku. Tadi di bar aku tidak terlalu merasakan efeknya, karena bar relatif sepi dan jauh dari kerumunan manusia. Namun sekarang...
Meskipun aku masih bisa mencium campuran bau keringat dan bau parfum yang mereka pakai, bau darah mereka entah mengapa tetap mendominasi, menjadi satu-satunya bau yang terasa signifikan bagiku. Perlahan, tanpa bisa kucegah, badanku mulai menggigil pelan tidak karuan. Ada untungnya juga Evey membawaku kesini―kondisiku sekarang pasti tampak aneh di tempat lain, namun tidak di kelab ini, dimana orang sakaw adalah wajar adanya.
“Hei, kau kenapa?” seorang gadis mungil berambut merah ikal menepuk bahuku dengan sikap prihatin sekaligus menggoda. “Putus obat? Mau ekstasiku? Gratis untukmu,” gadis itu mengedipkan sebelah matanya dengan genit. Bau darahnya menyergap hidungku, membuat orientasiku menjadi kacau. Ini akan menjadi mudah. Satu senyuman, satu kalimat manis, dan satu tarikan ke tempat gelap. Setelah itu aku bisa membunuhnya... meminum darahnya. Tapi tidak... aku...
“Aku...”
“Jangan malu-malu,” gadis itu menggamit lenganku. Aku bisa merasakan darahnya berdesir di balik kulit tipisnya. Aku bisa mencium bau darahnya di balik parfum beraroma manis yang dikenakannya. “Aku sendirian malam ini dan...”
“Dan dia tidak,” kata Evey cepat sembari melepaskan lenganku dari cengkraman si gadis. “Dia bersamaku hari ini. Dan kau, Jalang, silakan cari pria lain untuk digoda.”
Gadis itu mengacungkan jari tengahnya pada Evey, namun Evey tidak menggubrisnya dan setengah mendorongku keluar dari kelab. Ketika sudah jauh dari bau darah yang menggodaku, barulah pikiranku bisa kembali jernih.
“Trims,” gumamku setengah malu pada Evey. “Aku nyaris lepas kontrol lagi.”
“Bukan masalah,” Evey tersenyum padaku. “Aku akan mencoba menghentikanmu sebisaku. Aku sudah berjanji pada Nergha untuk melakukannya.”
“Tapi ini agak memalukan. Darah manusia... sumber kekuatan sekaligus sumber kelemahanku. Entah bagaimana cara melenyapkan kecanduan sialan ini.”
“Jika kau memiliki sesuatu yang tak bisa kau buang atau kau singkirkan, maka pilihan terakhir adalah menerimanya dan berdamai dengannya. Kau pernah mendengar hal itu?” Evey mendongak menatapku. Mata hitamnya memancarkan sorot polos dan tulus seperti biasa. “Penolakanmu... penyangkalanmu... semuanya hanya akan membuatnya bertambah berat.”
Aku tahu apa yang sedang dibicarakan Evey. Sifat haus darahku. Meskipun dia tidak menyebutnya terang-terangan, namun aku tahu kesanalah arah pembicaraan ini.
“Jika aku tidak menolak dan menyangkalnya, maka aku akan membunuh seluruh manusia yang kulihat.”
“Maksudku bukan begitu. Ada perbedaan nyata antara menerima dan menahannya serta menolak dan menahannya. Lebih susah fokus pada dua hal negatif sekaligus, Khazayn. Sama seperti mencoba untuk tidak memikirkan gajah. Jika aku memintamu untuk tidak memikirkannya, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Tanpa bisa kau cegah, kau akan memikirkan gajah. Hal serupa berlaku untuk penyangkalan sifat haus darahmu.”
Aku tercengang menatap Evey. Baru kali ini dia bicara seserius itu padaku―Evey yang biasanya adalah sosok gadis konyol yang sering melakukan perbuatan tolol. Terkadang dia luar biasa kikuk, dan terkadang pula terlalu percaya diri. Namun serius tak termasuk dalam daftar tabiat khasnya.
Aku berusaha mencari bantahan untuk khotbah Evey, namun sama sekali tak menemukannya. Mungkin Evey benar. Mungkin aku harus mencoba lebih menerima diriku sendiri...
Sekitar lima belas menit kemudian, kami sampai di gudang tua di daerah suburban terpencil yang menjadi tempat tinggalku dan Evey selama dua minggu terakhir. Gudang itu sudah sedemikian bobrok sehingga tidak lagi digunakan sebagai tempat penyimpanan logistik bagi pekerja di pabrik pemintalan benang. Gudang itu sebenarnya merupakan bangunan terlantar tak berpenghuni. Tempat menjijikkan itu masih disebut sebagai ‘gudang’ hanya karena kebiasaan saja―fungsinya sebenarnya sudah tak memadai untuk itu. Kaca jendela dan atapnya dipenuhi lubang besar yang menjadi celah masuknya angin dingin membekukan dan teriknya sinar matahari. Di dalamnya, di area yang tak terkena cahaya, bertebaran genangan air berbau busuk yang dipenuhi katak betung gemuk. Temboknya sudah penuh retakan dan tampaknya bisa roboh dengan satu dorongan. Bukan tempat yang menarik untuk dijadikan tempat tinggal. Namun aku dan Evey sudah sepakat akan terus tinggal disana sampai kecanduanku membaik―aku ingin menghindari manusia sebisa mungkin, kecuali saat latihan pengendalian diriku. Dan gudang itu sempurna untuk bersembunyi―tak akan ada yang berminat mendekatinya selain kami.
Setidaknya sebelum-sebelumnya. Hari ini, asumsi itu terbukti salah.
Tepat di depan gudang, dalam radius seratus meter dari aku dan Evey, berdiri seorang pemuda tampan berwajah serius yang mengenakan pakaian serba hitam. Pakaian itu senada dengan rambutnya yang dipotong pendek acak. Kulitnya yang pucat tampak berkilau diterpa cahaya bulan. Segala sesuatu dalam penampilannya membuatnya tampak seperti pangeran-pangeran dalam dongeng manusia yang suka dibaca oleh Evey dan ditertawakan olehku.
Hanya sekali lihat, aku langsung tahu bahwa pemuda itu adalah Bloodracer. Ketampanannya terlalu berlebihan, terlalu tak bercacat. Manusia tak bisa sesempurna itu. Hanya Bloodracer yang bisa. Selain itu, gelombang energinya yang halus namun kuat juga sudah familier bagiku. Dia...
“Rhowan!” Evey memekik senang.
“Rhowan,” ulangku setengah berbisik. Pemuda itu adalah Rhowan La Ruffyan. Tunangan Nergha. Aku dan Evey dengan mudah mengenalinya karena gelombang energinya yang khas dan kekonsistenannya dalam hal memilih perwujudan―sejak aku mengenal Rhowan dua tahun lalu, penampilan manusianya selalu seperti itu. Dia mungkin bisa digolongkan sebagai Bloodracer kedua yang tidak kreatif dalam memilih perwujudan selain Evey...
“Hai, Evey. Hai, Khazayn,” Rhowan mengangguk ramah pada kami. Evey sudah akan berlari mendekatinya, namun aku mencekal tangan gadis itu dan memaksanya tetap berdiri di dekatku. Bukannya bagaimana, namun Rhowan adalah seorang Assassin. Dia memang baik padaku dan Evey. Tetapi sama dengan Assassin lainnya, Rhowan memiliki loyalitas yang sedikit keterlaluan pada Dewan dan kaum kami. Siapa tahu kedatangannya kali ini bukan untuk kunjungan sosial, melainkan demi membunuh kami. Kau tak pernah bisa memercayai Assassin sepenuhnya.
“Mau apa kau kemari?” tanyaku tanpa basa-basi.
Rhowan tampak sedikit tersinggung melihat raut wajah defensifku. Tampaknya dia kecewa karena aku masih tidak bisa memercayainya setelah mengenalnya dua tahun penuh. “Oh, singkirkan nada suara penuh permusuhan itu, Khazayn. Aku memang Assassin, namun aku tetap merupakan teman kalian. Tunangan Nergha, kakakmu sendiri. Sampai kapan kau baru mau melunakkan sikapmu padaku?”
Ketegangan yang melandaku sedikit mengendur. “Maaf, Rhowan. Sudah kebiasaan. Aku bukannya berniat memusuhimu atau apa. Hanya waspada, kau tahu. Hidup sebagai pelarian akan membuatmu sedikit paranoid.”
“Itu hanya berlaku bagi Khazayn saja,” sinis Evey sambil menyentakkan tangannya dari cekalanku. “Aku tidak separanoid dia.”
“Aku hanya menjagamu agar tetap hidup. Jika bukan Nergha yang memintaku langsung, maka dengan senang hati aku akan menendang bokongmu menjauh,” balasku cepat. Evey tampaknya akan mendebat ucapanku, namun aku memilih memfokuskan perhatian pada Rhowan. “Ada apa, Rhowan? Mengapa kau mengunjungi kami?”
Berbeda denganku, Rhowan adalah tipe yang pandai berbasa-basi. Setiap ucapan yang terlontar dari mulutnya pasti melewati sedemikian banyak penyaringan ketat. Jadi aku agak kaget saat Rhowan menjawab pertanyaanku dengan blak-blakan. “Aku mencari kalian untuk menanyakan keberadaan Nergha. Dia menghilang.”
“Nergha? Nergha Sung Chares? Kakakku?” ulangku kaget bercampur bingung. “Menghilang bagaimana?”
“Entahlah,” Rhowan mengangkat bahunya. Ekspresinya merupakan perwujudan nyata dari ketakutan dan kekhawatiran yang melandanya. “Yang jelas dia menghilang. Kejadiannya sekitar tiga hari yang lalu. Saat itu, Nergha mendapat titah dari Dewan Tertinggi untuk menyelidiki makhluk aneh pembunuh Bloodracer yang berkeliaran di dimensi ini. Agak membingungkan juga, mengingat bahwa tugas-tugas seperti itu biasanya menjadi tugas para Assassin―Dewan hanya bertindak sebagai pemikir, sementara kamilah pelaksananya. Namun karena titah itu datang dari Dewan Tertinggi, maka suka tidak suka Nergha mematuhinya. Dia pergi kemari tiga hari yang lalu dan tidak pernah kembali.”
“Mungkin dia masih sedang menyelidiki. Ini bukan pertama kalinya Nergha meninggalkan Bloodarchane dalam waktu lama,” aku berusaha menenangkan Rhowan.
“Tapi semuanya dilakukan atas tugas,” Rhowan bersikeras. “Dari surat perintah yang kutemukan, Nergha hanya mendapatkan waktu selama satu hari untuk mengadakan penyelidikan. Tidak biasanya dia mengabaikan perintah seperti itu, Khazayn. Kau tahu seperti apa Nergha.”
Yeah. Aku tahu. Kakakku itu agak sedikit terobsesi dengan surat perintah. Dia akan melakukan apa saja, termasuk menggadaikan nyawanya sekalipun, untuk memenuhi titah yang diberikan dalam surat perintah. Melanggar titah―terutama yang diberikan oleh Dewan Tertinggi―mustahil dilakukan oleh Nergha. Sama mustahilnya dengan Nergha membacok kepalanya sendiri.
“Memangnya makhluk apa yang membunuhi Bloodracer?” Evey bertanya dengan mata membulat cemas. Kecemasannya beralasan. Selain soal Nergha yang lenyap, tidak biasanya ada makhluk yang membunuhi Bloodracer―biasanya kamilah yang menjadi pembunuh.
“Aku tidak tahu!” Rhowan mulai kehilangan kendali―sesuatu yang jarang terjadi pada dirinya. “Aku tidak tahu, Evey! Nergha lenyap sementara menyelidiki soal makhluk tidak jelas yang tercantum dalam surat perintah! Disana tidak dijabarkan seperti apa makhluknya, atau dari dimensi mana dia, atau apa sebenarnya dia! Hanya dijelaskan bahwa si pembunuh Bloodracer itu adalah makhluk berwujud gadis manusia dengan rambut pirang stroberi dan aura aneh―jangan tanya apa maksudnya.”
Aku dan Evey bertukar pandang. Ini agak sedikit... sinting. Ya. Sinting. Tak ada kata yang lebih bagus untuk menggambarkannya.
“Kau tahu dimana Nergha memulai pencariannya?” tanyaku.
Rhowan menjawabnya dengan gelengan, membuat kefrustasian di wajahnya seketika menular padaku dan Evey.
Kakakku hilang dalam upayanya menyelidiki soal makhluk tidak jelas. Tidak ada yang tahu darimana dia memulai pencariannya. Tidak ada yang tahu bagaimana cara menemukannya lagi.
“Aku sudah mencoba bertanya pada Dewan Tertinggi terkait masalah ini, namun mereka tidak mau menjawabku. Terlalu krusial, katanya. Posisiku terlalu rendah untuk mengetahui hal penting macam itu. Dan soal Nergha... mereka memang mengerahkan orang untuk mencarinya. Namun kurasa tak akan berhasil,” Rhowan menggigit bibirnya.
Aku mengangguk paham―aku tahu pasti bagaimana para Dewan Tertinggi. Mereka terkenal pelit dengan informasi. Namun jika kami tidak tahu apa-apa bagaimana kami mencari Nergha?
“Kurasa sebaiknya aku kembali ke Bloodarchane,” gumam Rhowan tiba-tiba, membuyarkan pikiranku. “Aku tidak meminta izin untuk pergi ke dimensi ini. Aku takut mereka akan mencariku dan menemukan kalian juga. Aku pamit dulu. Akan kutemui kalian disini seminggu lagi jika salah satu dari kita menemukan informasi soal Nergha...”
Aku dan Evey mengangguk. Kami mengamati Rhowan berjalan pergi sebelum sosoknya mengabur begitu saja di kegelapan; dia pasti sudah memasuki portal menuju Bloodarchane. Begitu Rhowan pergi, aku dan Evey kembali bertukar pandang. Evey menatapku dengan pandangan panik dan bingung―mata hitamnya bahkan sedikit berkaca-kaca.
“Khazayn... Nergha... Bagaimana...”
“Ya, aku tahu,” bisikku. “Aku tahu, Evey. Aku juga mencemaskannya.” Nergha memang tangguh, namun aku tak tahu setangguh apa si pembunuh Bloodracer itu. Bagaimana jika dia lebih kuat daripada Nergha? Bagaimana jika Nergha berhasil dibunuh olehnya? Bagaimana jika Nergha dipergoki tengah memata-matainya, dan makhluk itu beserta kawanannya―jika ada―membawanya pergi ke dimensi antah berantah yang tak kukenal untuk menyekapnya? Puluhan ‘bagaimana jika’―semuanya rata-rata negatif―melintas di otakku secara nyaris bersamaan. Diakui atau tidak, hal itu membuat kepalaku yang sakit karena sakaw-darah bertambah sakit. Rasanya seakan ada yang mencabik otakku dengan gerinda dari dalam.
“Sekarang bagaimana?” Evey bertanya padaku.
“Tidak tahu. Yang jelas kita harus masuk ke dalam gudang dan menyembunyikan diri―siapa tahu bangsat pembunuh itu tergoda untuk ikut membunuh kita,” pungkasku cepat sembari berjalan ke gudang. Evey berjalan mengikutiku di belakang seperti seekor anak anjing yang setia. Bagaikan dua maling profesional, kami melompat masuk ke dalam lewat kaca jendela yang pecah. Kegelapan yang nyaris mutlak seketika menyambut kami.
“Tempat ini bahkan lebih busuk dibandingkan sebelumnya,” sinis Evey ketika kami sudah berada di dalam gudang. Dengan gesit, dia menarik senter kecil dari tasnya dan memindai keseluruhan ruangan untuk melihat apakah ada orang lain disini. Ternyata tidak ada, seperti biasa.
“Mau bagaimana lagi. Tidak ada yang mengatakan padamu bahwa gudang ini sama berkelasnya dengan Hilton Hotel,” balasku tak kalah sinis sembari menghempaskan diri di atas terpal biru muda yang kugunakan sebagai alas tidur.
“Aku tahu, aku tahu. Namun haruskah katak-katak sialan itu memenuhi tempat ini? Dan apakah ini hanya perasaanku saja atau kecoak-kecoak disini memang bertambah banyak?”
“Evey, jika kau berani membuka mulutmu lagi dan tidak berhenti mengeluh, maka yakinlah bahwa aku akan membunuhmu. Aku tidak bercanda. Suasana hatiku sedang buruk karena kasus Nergha dan sakaw-darah. Jangan berani-berani mencoba kesabaranku hari ini.”
“Baik, Tuan Sinis. Aku diam. Kau puas? Aku diam!” Evey setengah merajuk dan menghempaskan diri di atas terpal birunya sendiri, yang berjarak setengah meter dari terpalku. Selama lima menit yang melegakan, Evey berhasil menutup mulutnya, membuatku leluasa memikirkan cara terbaik untuk menemukan Nergha. Namun saat-saat indah itu mendadak diakhiri oleh pekikan Evey.
“Khazayn! Aku tahu! Aku tahu!” Evey menarik-narik lengan kemejaku dengan antusias.
“Tahu apa? Bahwa ajalmu akan segera tiba? Apa yang tidak jelas dari permohonanku agar kau diam sesaat dan...”
“Dan aku mendapat ide. Ide untuk menemukan Nergha.”
“Pasti hancur.”
“Separuhnya,” Evey mengangguk setuju. “Tapi tidak juga. Agak brilian, kalau dipikir ulang. Khazayn, Nergha lenyap ketika mencari si pembunuh Bloodracer bukan? Jadi tidak salah jika kita berasumsi bahwa lenyapnya Nergha terkait dengan si pembunuh brengsek itu.”
“Ya. Lalu?”
“Lalu, jika kita bisa menemukannya, maka kita bisa menemukan Nergha. Rhowan memang tidak tahu dimana kita bisa mencari si pembunuh itu, namun kita bisa membuatnya mencari kita. Kita pancing dia keluar. Kita berdua adalah Bloodracer, dan si pembunuh itu pasti akan mengincar kita.”
Aku mulai paham maksud rencana Evey. “Maksudmu... untuk menemukannya, kita harus menonjolkan ke-Bloodracer-an kita. Kita tunjukkan bahwa kita Bloodracer.”
“Persis,” Evey menjentikkan jarinya yang panjang kurus. “Kita ‘iklankan’ diri kita pada pembunuh itu. Kalau perlu kita buat jingle yang menunjukkan bahwa kita adalah duo Bloodracer... tidak. Tidak usah senorak itu. Tapi kau mendapatkan maksudku.”
“Ternyata kau tidak sebodoh dugaanku.”
“Aku berterima kasih atas pujianmu, meski aku masih bisa mengendus hinaan di baliknya,” dengus Evey, sementara aku tertawa lepas. Ya. Pasti akan berhasil. Memang akan memakan waktu untuk menemukan si pembunuh, namun ini lebih baik dibandingkan duduk diam dan tidak mencoba melakukan apa pun.

***
 
ceritanya bersambung ya??

ditunggu lanjutannya


masukan dikit, tulisannya lebih bagus disesuain sama kolom postingan, jadi tulisannya jadi rapih, n kita jadi gak puyeng bacanya, :D
 
Back
Top