Rekonsiliasi dalam Budaya Tolaki, Sulawesi Tenggara

Megha

New member
sulsel.gif




Oleh : Wellem W. Patasik

Pendahuluan

Semenanjung Sulawesi Tenggara didiami oleh dua suku asli, yaitu suku Mekongga (Kolaka) dan suku Tolaki (Kendari). Kedua suku ini memiliki persamaan dari segi budaya maupun bahasa yang dipakai sehari-hari. Selain persamaan-persamaan tersebut kedua suku ini juga memiliki simbol adat yang sama yakni "KALO.‘ Kalo terbuat dari rotan dan dibuat secara melingkar. Kalo merupakan simbol persatuan dan kesatuan. Biasanya, masyarakat Mekongga dan Tolaki jika terjadi suatu masalah sosial yang memerlukan penyelesaian, maka mereka akan kembali pada makna Kalo.

Kalo bermakna ketulusan, kesucian, dan keterbukaan dalam menerima setiap perbedaan yang ada, sehingga makna yang terkandung di dalamnya merupakan tauladan yang patut diikuti untuk menciptakan perdamaian antarsesama umat beragama yang berbeda keyakinan.

Mempelajari simbol-simbol adat setiap suku, dalam hal ini simbol suku Tolaki-Mekongga (Kalo), dapat membawa suatu pola pemikiran baru yang dapat memberikan kita jalan keluar dari konflik-konflik sosial yang selama ini terjadi akibat kesalahpahaman dalam menanggapi perbedaan yang ada. Kalo adalah simbol adat yang bermakna keterbukaan untuk menerima perbedaan dan menjalin perbedaan menjadi suatu ikatan yang kuat dalam suasana persaudaraan. Makna Kalo yang demikian dapat dijadikan landasan berpikir dalam menciptakan rekonsiliasi antarbudaya dan antaragama di Indonesia.

A. Kalo

Setelah membaca pendahuluan di atas, maka kita dapat melihat bahwa salah satu wujud dari adat istiadat suku Tolaki-Mekongga yang hingga saat ini masih mempengaruhi cara perpikir, bersikap dan bertingkah laku mereka sehari-hari --salah satu dasar dalam menciptakan rekonsiliasi-- adalah Kalo. Kalo adalah suatu benda suku Tolaki-Mekongga yang dijadikan simbol tertinggi untuk menciptakan suasana harmonis antara dua pihak atau beberapa pihak yang ingin berkomunikasi dalam suatu urusan. Misalnya urusan menyangkut perkawinan, peminangan, kekeluargaan dan perdamaian.

Sebenarnya Kalo adalah sebuah benda berupa lingkaran rotan pilihan berwarna kuning berpelin tiga dan kedua ujungnya disimpul. Ia merupakan simbolisasi dari berbagai unsur meliputi keluarga inti dan adat dalam kehidupan rumah tangga itu sendiri sebagai media pengikat hubungan keluarga inti secara timbal-balik. Keluarga Inti yang dimaksud di sini terdiri atas: ayah, ibu dan anak. Penggunaan Kalo biasanya bersama dengan sehelai kain putih sebagai alas dan talam persegi empat yang terbuat dari anyaman daun palam hutan. Kain putih merupakan simbol adat dalam kehidupan berumah tangga. Sedangkan rumah tangga itu sendiri disimbolkan oleh wadah anyaman tempat meletakkan lingkaran rotan yang berpilin tiga tersebut.

Kalo juga adalah simbol dari unsur-unsur keluarga luas, adat dalam kehidupan komuniti keluarga luas dan pola komuniti itu sendiri yang saling berkait secara timbal balik.

Selain itu dalam berbagai aspek kehidupan suku Tolaki-Mekonga, Kalo juga selalu digunakan sebagai simbol yang mencakup unsur-unsur masyarakat dan nilai budaya. Hal ini terlihat dalam beberapa kebiasaan di mana Kalo selalu digunakan –misalnya-- untuk mengikat tiang rumah bagian tengah yang selalu diikat dengan rotan. Hal ini juga dapat dilihat pada model semua jenis jerat penangkap hewan liar dan unggas yang bahan asalnya dari rotan/akar yang selalu mengacu pada bentuk Kalo.

B. Makna Kalo

Kalo adalah simbol bagi suku Tolaki-Mekongga dalam memandang kehidupan. Kalo yang terbuat dari pilinan tiga rotan pilihan yang berwarna kuning itu mengandung beragam makna bagi suku Tolaki-Mekongga. Adapun makna/pengertian dari Kalo tersebut adalah sebagai berikut:


  1. Bentuk Kalo yang bulat melingkar melambangkan kesatuan rohani dan jasmani dari unsur manusia yang utuh.
  2. Pilinan rotan yang terdiri dari tiga jalur jalinan dengan satu ikatan simpul di kedua ujung dari rotan tersebut melambangkan keharusan untuk bersatu antara Tuhan dengan unsur penguasa dunia atau pemerintah dengan unsur orang banyak/rakyat.
  3. Sehelai kain putih yang menjadi alas pertama dari Kalo tersebut melambangkan kesucian, ketentraman, kesejahteraan dan kemakmuran.
  4. Talam persegi empat yang terbuat dari anyaman daun palam hutan sebagai alas paling bawah dari Kalo melambangkan unsur-unsur kesucian terhadap air dan tempat sumber mata angin yang memberi kehidupan dan kesegaran rohani serta jasmani kepada setiap manusia.

Kalo itu sendiri apabila diletakkan bersamaan dengan aksesorisnya dalam sebuah upacara adat (Kalo sara), selain sebagai kelengkapan upacara juga menunjukkan pandangan suku Tolaki-Mekongga mengenai manusia dan alam semesta sebagai sistem nilai budaya. Selain itu juga bermakna keseluruhan hal terkait norma-norma, sistem hukum dan aturan-aturan khusus yang berlaku.

Bagi suku Tolaki-Mekongga, Kalo juga adalah simbol dari tiga komponen stratifikasi sosial. Golongan bangsawan disimbolkan dengan lingkaran rotan, golongan orang kebanyakan disimbolkan dengan kain putih dan golongan budak disimbolkan dengan wadah anyaman. Lingkaran rotan yang diletakkan pada posisi di atas dari kain putih dan wadah anyaman menunjukkan bahwa golongan bangsawan itu adalah pemerintah dan penguasa yang harus melindungi golongan orang kebanyakan dan golongan budak. Kain putih yang diletakkan pada posisi di bawah dari lingkaran rotan dan di atas wadah menunjukkan bahwa golongan orang kebanyakan/pemangku adat itu adalah pendukung golongan bangsawan dan pembela dari golongan budak/rakyat jelata. Sedangkan wadah anyaman yang diletakkan di bawah kain putih dan lingkaran rotan menunjukkan bahwa golongan budak atau rakyat jeata itu adalah pendukung golongan pemangku adat dan pemuja golongan bangsawan.

Dalam hubungannya dengan kosmologi dan sistem keagamaan orang Tolaki-Mekongga, Kalo mengandung tiga hal, yaitu Kalo sebagai simbol yang mengekspresikan bentuk dan susunan alam semesta serta isinya, baik alam nyata maupun alam gaib, bentuk tubuh manusia dan susunannya; dan Kalo dalam upacara adat merujuk pada pandangan orang Tolaki-Mekongga bahwa Kalo itu adalah benda keramat (sacred). Lingkaran rotan adalah simbol dunia atas, kain putih adalah simbol dunia tengah dan wadah anyaman adalah simbol dunia bawah. Kadang-kadang juga ada yang mengatakan bawah lingkaran rotan itu adalah simbol matahari, bulan dan bintang-bintang; Kain putih adalah langit dan wadah anyaman adalah simbol permukaan bumi. Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah simbol SANGIA MBU‘U (Dewa tertinggi/Allah Taala), SANGIA I LOSOANO OLEO (Dewa di Timur) dan SANGIA I TEPULIANO WANUA (Dewa penguasa kehidupan di bumi). Sedangkan wadah anyaman adalah simbol SANGIA I PURI WUTA (Dewa di dasar bumi). Kalo juga adalah simbol manusia. Lingkaran rotan adalah simbol kepala manusia, kain putih adalah simbol badan dan wadah anyaman adalah simbol tangan dan kaki (anggota badan).

Dalam upacara adat Kalo juga sangat berperan. Tanpa Kalo suatu upacara tidak berlangsung karena Kalo adalah inti upacara. Kalo disini mengekspresikan unsur-unsur upacara yang bersifat timbal balik dan menggambarkan maksud dan tujuan dari diadakannya sebuah upacara. Bentuknya yang melingkar sebagai lambang persatuan dan kesatuan, melalui atribut kain putih sebagai lambang kesucian dan ketentraman dan melalui atribut wadah anyamannya yang terbuat dari tangkai daun palam sebagai lambang kemakmuran dan kesejahteraan.

Bagi orang Tolaki-Mekongga, Kalo juga adalah suatu benda keramat yang merupakan representasi dari nenek moyang mereka. Bagi orang Tolaki-Mekongga menghargai, mensucikan dan mengkeramatkan Kalo, berarti mentaati ajaran nenek moyang. Hal itu berarti berkah bagi kehidupan mereka. Dan sebaliknya bila tidak menghargai dan mensucikan Kalo berarti kualat, durhaka yang akan menimpa mereka.

C. Makna Kalo bagi Rekonsiliasi.

Dalam masyarakat Indonesia pada saat ini dapat dikatakan bahwa kemajemukan adalah suatu tantangan yang besar. Perbedaan suku, ras, golongan dan agama sering menjadi pemicu pertikaian, walaupun hal itu pada hakekatnya bukanlah inti dari sumber pertikaian yang terjadi. Kesalahpahaman karena kurangnya wawasan terhadap apa yang menjadi keyakinan agama lain, membuat setiap agama hidup dalam kefanatikan yang berujung malapetaka bagi dirinya secara khusus dan bagi bangsa dan negara secara umum. Untuk menepis terjadinya hal-hal yang kurang bermoral tersebut, sangat diperlukan adanya rekonsiliasi agar timbul saling pengertian dari kehidupan yang penuh toleransi antara satu agama dengan agama yang lain.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa bagian di atas, di mana disebutkan tentang Kalo yang merupakan lambang adat suku Tolaki-Mekongga yang mengekspresikan persatuan dan kesatuan dari seluruh realitas, baik jasmani maupun rohani. Kalo menggambarkan adanya kesatuan yang dinamis diantara beberapa perbedaan, baik dalam hal pemikiran, perbuatan dan perasaan. Pilinan tiga rotan yang dibuat melingkar yang disebut Kalo adalah bermakna persatuan dan kesatuan dalam persaudaraan yang sejati. Seorang yang datang kepada orang lain dengan maksud mengadakan hubungan baik, jika ia membawa Kalo maka ia akan diterima sebagai saudara meskipun orang itu adalah musuh besarnya. Dalam adat istiadat suku Tolaki-Mekonga, rekonsiliasi dapat terjadi dengan mudah jika seseorang yang menginginkan perdamaian datang dan membawa Kalo sebagai bukti kesediaan berdamai dengan segala ketulusan. Dalam hal ini, seorang yang dengan sukarela membawa Kalo adalah seorang yang membuang segala bentuk keegoisan demi tercapainya kehidupan yang damai dan akrab.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kalo tidaklah hanya sekedar lambang adat biasa, tetapi lebih dari itu Kalo mempunyai makna yang sangat mendalam bagi kehidupan umat manusia dalam dunia yang telah diciptakan Allah untuk menjalin kehidupan dalam suasana persaudaraan dan merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan. Jika kita berbicara soal rekonsiliasi di mana di dalamnya terdapat tujuan untuk mencapai suatu bentuk saling memahami setiap perbedaan, maka makna Kalo sangat besar untuk itu. Hal ini dapat dikatakan demikian karena konsep perdamaian, persatuan, dan kesatuan bukanlah suatu konsep yang kurang memperhatikan perbedaan yang ada, karena Kalo adalah lambang pemersatu yang harus disertai dengan ketulusan/kesucian hati untuk hidup bersahabat dalam kepelbagaian. Dalam konsep tersebut perbedaan bukanlah suatu halangan untuk hidup bersama jika setiap orang menyadari bahwa dalam kepelbagaian dan dalam perbedaan semua manusia hidup dalam satu lingkaran persaudaraan yang terjalin dan tersimpul dengan kuat seperti Kalo yang melingkar dan tersimpul dengan kuat.

Kesimpulan

Kalo sebagai lambang kesatuan/persatuan suku Tolaki-Mekonga adalah lambang persaudaraan yang diiringi oleh ketulusan tanpa keegoisan untuk hidup dalam suatu situasi yang dinamis, di mana setiap orang dalam berbagai perbedaan suku, ras dan agama hidup dalam satu lingkaran yang terjalin dan tersimpul dengan kuat. Dan tentunya hal ini harus dipahami sebagai bentuk persaudaraan yang tidak mudah lepas hanya karena adanya perbedaan pemikiran yang berakibat timbulnya kesalahpahaman atau bahkan yang lebih parah dari itu, yakni timbulnya pertikaian. Rekonsiliasi akan dapat terjadi dan mencapai tujuan jika setiap orang mampu untuk menghilangkan keegoisan dan kefanatikan yang kurang berdasar.




Sumber : www.geocities.com

Kredit foto : www.ict4pr.org
 
Back
Top