Pembantaian Rawagede 1947

Dipi76

New member
Thread tentang ini sebenarnya sudah ada, tapi karena pembahasannya terlalu melebar, dan sudah lama sekali tidak ada yang reply, maka pembahasan soal ini aku ulang kembali dengan pembahasan yang lebih khusus, seperti perjuangan para korban untuk menuntut pemerintah Belanda.

Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk Kampung Rawagede (sekarang terletak di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang), di antara Karawang dan Bekasi, oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 sewaktu melancarkan agresi militer pertama. Sejumlah 431 penduduk menjadi korban pembantaian ini.

Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang. Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi, mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa dari kalangan sipil. Pada tanggal 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan pembersihan. Dalam peristiwa ini 35 orang penduduk Rawagede dibunuh tanpa alasan jelas. Peristiwa inilah yang menjadi inspirasi dari sajak terkenal Chairil Anwar berjudul Antara Karawang dan Bekasi.

Jalannya peristiwa

Di Jawa Barat, sebelum Perjanjian Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember melancarkan pembersihan unit pasukan TNI dan laskar-laskar Indonesia yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pasukan Belanda yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah Detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen).

Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda memburu Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi - kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi - yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok.

Pada 9 Desember 1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang mayor mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjata pun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satu pun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.

Pemimpin tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin –istilah penduduk setempat: "didredet"- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.

Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties), sebuah tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431 jiwa, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.

Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan dua orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secara Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.

Kejahatan perang

Pimpinan Republik kemudian mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).

Tahun 1969 atas desakan Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesiė begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi buku dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman. Di dalamnya terdapat sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede hanya sekitar 150 jiwa. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke pengadilan militer.

Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter ini belum pernah ditunjukkan.

Pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede serta berbagai pelanggaran HAM berat lain, hanya sebagian kecil bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun hingga kini, Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Pemerintah Belanda tetap menyatakan, bahwa pengakuan kemerdekaan RI telah diberikan pada 27 Desember 1949, dan hanya menerima 17.8.1945 secara politis dan moral –de facto- dan tidak secara yuridis –de jure- sebagaimana disampaikan oleh Menlu Belanda Ben Bot di Jakarta pada 16 Agustus 2005.

Pada 15 Desember 2005, Batara R. Hutagalung, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda dan Laksamana Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisono, Ketua Dewan Penasihat KUKB bersama aktifis KUKB di Belanda diterima oleh Bert Koenders, juru bicara Fraksi Partij van de Arbeit (PvdA) di gedung parlemen Belanda di Den Haag.

KUKB menyampaikan petisi yang ditujukan kepada Pemerintah Belanda. Selain itu, KUKB juga mewakili para janda korban pembantaian di Rawagede untuk menyampaikan tuntutan para janda dan keluarga korban pembantaian atas kompensasi dari Pemerintah Belanda. Pada 15 Agustus 2006, KUKB bersama beberapa janda dan korban yang selamat dari pembantaian di Rawagede melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Belanda di Jakarta, dan menyampaikan lagi tuntutan kepada Pemerintah Belanda.

Parlemen Belanda cukup responsif dan cukup terbuka mengenai pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh tentara Belanda antara 1945 – 1950, walaupun kemudian belum ada sanksi atau tindakan hukum selanjutnya. Juga tidak pernah dibahas, mengenai kompensasi bagi para korban dan keluarga korban yang tewas dalam pembantaian akibat agresi militer, yang baru pada 16.8.2005 diakui oleh Menlu Belanda, bahwa agresi militer tersebut telah menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang salah.

Pemerintah Belanda Dinyatakan Bersalah

Tujuh janda korban pembantaian, satu anak perempuan korban, dan seorang lelaki penyintas (survivor) lantas menggugat pemerintah Belanda atas kejadian di tahun 1947 itu. Jaksa pemerintah Belanda berpendapat tuntutan mereka kadaluwarsa.

Namun, pengadilan Den Haag pada 14 September 2011 menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab. Pemerintah Belanda diperintahkan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya.



-dipi-
 
Last edited:
Kisah Duka Dari Rawagede

KAPTEN Lukas Kustarjo alias “Begundal Karawang” kepalanya dihargai 10 ribu gulden oleh Belanda. Kustarjo dan pasukannya yang dicari-cari Belanda itu menjadikan Desa Rawagede (sekarang Desa Balongsari Kecamatan Rawamerta) sebagai basis gerilya. Seperti gaya hit and run, dari desa itu dia menyusup ke kota Karawang di malam hari untuk melakukan penyergapan pasukan Belanda dan langsung menghilang usai menjalankan aksinya. Entah berapa banyak pos Belanda yang diserang olehnya, yang pasti membuat Belanda geram dan bernafsu menangkapnya: hidup atau mati.

“Desa Rawagede sangat strategis,” tulis Her Suganda dalam Rengasdengklok, Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945. Desa Rawagede berada di tengah segi tiga konsentrasi tentara Belanda yang bermarkas di Karawang, Cikampek, dan Rengasdengklok. Sejak lama, tentara Belanda mengincar desa tersebut karena pusat pemerintahan kecamatan yang dipimpin oleh Camat Ili Wangsadidjaja itu menjadi markas gabungan pejuang Republikein seperti Satuan Pemberontakan 88 (SP 88) dan sisa-sisa Tentara Republik Indonesai (TRI) yang tidak ikut hijrah ke Jawa Tengah.

“SP 88 memusatkan diri untuk perang psikologis atau perang pemikiran,” tulis Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949. Intimidasi adalah modal utama psywar dan SP 88 menyebarkan poster-poster: “Barang siapa berani bekerja untuk Belanda adalah pengkhianat. Semua pengkhianat harus dibunuh. Barang siapa menjadi kakitangan NICA dan lurah-lurah serta wakil pilihan NICA harus dibunuh, demikian juga putra Indonesia yang bertugas dalam ketentaraan dan kepolisian Belanda. Macan Jakarta, Sapu Dunia, alias Halilintar.”

Lukas Kustarjo lahir di Magetan, Jawa Timur, pada 1920. Dia kemudian masuk Pembela Tanah Air (Peta) pada masa pendudukan Jepang. Setelah kemerdekaan bergabung dengan Brigade III/Kian Santang Purwakarta pimpinan Letkol Sidik Brotoatmodjo. Brigade ini terdiri dari empat batalyon menguasai wilayah Purwakarta dan Karawang. Lukas Kustarjo menjadi komandan kompi Batalyon I Sudarsono/kompi Siliwangi –kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi– yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda.

Karawang jadi tempat pelarian para pejuang dari Jakarta yang terdesak oleh Operasi Sergap Sekutu yang dilancarkan sejak 27 Desember 1945. Menurut Cribb, Sekutu memasang barikade di sekeliling kota, menempati bangunan-bangunan publik yang krusial, merampas semua mobil yang dimiliki penduduk sipil, menahan kepolisian Indonesia dan orang-orang Indonesia lain yang dianggap ekstrimis. Pada akhir 1945, sebanyak 743 orang dijebloskan ke penjara dan Jakarta sepenuhnya dalam cengkeraman Sekutu.

Pagi Selasa 9 Desember 1947, tanah becek karena hujan deras semalaman tidak hanya membawa berkah karena musim tanam padi rendeng dimulai tapi juga menjadi pertanda peristiwa berdarah. Penduduk Desa Rawagede dikejutkan oleh rentetan senjata tentara Belanda dari detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen), dipimpin oleh Mayor Alphons J.H. Wijnen. Desa Rawagede dikepung dari arah timur, utara, dan selatan; sebelah barat berbatasan dengan kali Rawagede terlambat diblokir. Setiap rumah didatangi dan pintunya digedor. Warga desa ditanya: “Di mana Lukas Kustarjo?”

Lukas Kustarjo lolos dari maut. Sehari sebelum pembantaian terjadi, dia sempat bermalam di Desa Pasirawi, tetangga Desa Rawagede. Namun nasib malang menghampiri warga desa Rawagede. Gagal temukan Lukas, tentara Belanda mengumpulkan warga desa dalam kelompok kecil antara 10-30 orang. Di bawah todongan moncong bedil, mereka dipaksa untuk mengatakan posisi Lukas Kustarjo. Tapi tak seorang pun membuka mulut. Hilang kesabaran, tentara Belanda pun membantai habis mereka.

Salah seorang korban selamat, Saih bin Sakam menuturkan kisahnya kepada Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Saat kejadian, dia bersama ayah dan tetangganya, sekitar duapuluh orang laki-laki diperintahkan berdiri berjejer lalu diberondong senapan. Saih kena tembakan di tangan, menjatuhkan diri pura-pura mati. Ketika tentara Belanda pergi, dia melarikan diri.

“Kami semua dibantai,” kata Surya, seorang saksi hidup lainnya seperti dikutip Her Suganda. Surya berhasil melarikan diri dengan sebutir peluru bersarang di pinggulnya. Karena ingin selamat, dia mengabaikan rasa sakit dan terus berlari. Untuk membuktikan kebenciannya kepada Belanda, namanya ditambahi Suhanda, akronim dari Surya “musuh Belanda”.

Berapa korban pembantaian Rawagede? Beberapa sumber menyebut angka berbeda. Menurut laporan setebal 201 halaman yang dibuat sejarawan Belanda, Jan Bank di bawah supervisi komisi antardepartemen Pertahanan, Dalam Negeri, Kehakiman, Luar Negeri, Pendidikan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda, berjudul De Excessennota (1995), tentara Belanda mengeksekusi sekitar 20 orang. Dan jumlah korban tewas selama operasi berlangsung 150 jiwa. Sementara pada peringatan di Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga, jumlah korban tewas sebanyak 431 jiwa.

Harm Scholtens, seorang sejarawan Belanda menemukan angka lain dari arsip het Hooggerechtshof (Pengadilan Tinggi) di Batavia, yaitu antara 100 hingga 120 jiwa. Tentara Belanda mengeksekusi sebanyak delapan atau sembilan kali dengan cara membariskan sejajar penduduk yang akan dieksekusi. Setiap jejeran terdiri dari duabelas orang. Di luar desa, mereka juga masih menembak mati sekitar tujuh atau sepuluh orang penduduk.

“Arsip dokumen tersebut juga memuat informasi bahwa komandan kompi tentara Belanda tidak lupa menekankan, agar jangan mengeksekusi orang yang tidak bersalah, semua orang yang dieksekusi berambut panjang dan telapak tangan serta kaki mereka tidak kapalan. Selain itu, mereka membawa surat-surat yang bersangkut-paut dengan Hizbullah atau organisasi semacamnya,” tulis Radio Nederland Wereldomroep, 8 September 2011.

Menurut sumber koran Berita Indonesia yang dikutip Nieuwsgier, 16 Desember 1947, menyebutkan bahwa korban operasi Belanda selama empat hari itu sebanyak 312 orang dan melukai sekitar 200 orang. Sejak lima tahun terakhir keluarga korban peristiwa Rawagede gigih menuntut Belanda.


Credit to Hendri F Isnaeni [<:)



-dipi-
 
Jalan Panjang Memenangkan Gugatan

attachment.php

Pengacara sekaliber Liesbeth Zegveld pun turun tangan untuk membela korban peristiwa Rawagede.​

SUDAH sejak 1969, berbagai kasus kejahatan perang tentara kolonial Belanda, termasuk peristiwa Rawagede diangkat ke media, menjadi perdebatan publik bahkan berkali-kali menjadi tekanan buat pemerintah Belanda. Semuanya kandas. Tak satu pun dibawa ke meja hijau. Namun kini, 65 tahun setelah peristiwa berlangsung, penyintas (survivor) peristiwa Rawagede memenangkan gugatannya.

Pada 8 November 2010 Saih bin Sakam datang ke Belanda, ingin bertemu Ratu Beatrix, namun ditolak. Tapi kesaksian Saih dianggap hidup, segar, kuat dan sarat bukti kesaksian, termasuk bekas tembakan di kakinya. Kini Saih telah tiada. Dia wafat pada 7 Mei lalu dan tak sempat lagi mendengar kabar baik kemenangan ini.

Inilah apa yang disebut onrechtmatig handelen, suatu eksekusi sebagai kenyataan yang polos dan telanjang. Vonis majelis hakim yang diucapkan Pengadilan Sipil Den Haag Rabu (14/9) kemarin bagai petir di siang bolong setelah selama enam dekade kasus Rawagede terpendam di bawah karpet di tengah pergolakan sejarah mulai kemerdekaan, kemudian pemulihan hubungan dan persahabatan Belanda-Indonesia.

Lihat saja perjalanan kasusnya. Sebulan setelah peristiwa Rawagede 9 Desember 1947 terjadi pihak Republik Indonesia melaporkan kejadian itu kepada Komisi Jasa Baik untuk persoalan Indonesia (Committee of Good Offices on the Indonesian Question). Tak ada tindak lanjut kecuali satu pernyataan dari Dewan Keamanan PBB ke Indonesia tertanggal 12 Januari 1948 yang menyebutkan aksi brutal tentara Belanda di Rawagede sebagai “deliberate and ruthless” (dilakukan dengan sengaja dan keji). Baru pada 22 Juli 1948, Letjen. S.H. Spoor, komandan tentara Belanda di Indonesia menulis ke Kejaksaan di Jakarta tentang insiden tersebut. “Saya sangat kerepotan, secara hukum orang itu (pelaku eksekusi) dapat dituntut di Krijgsraad (Dewan Pengadilan Perang)”, tapi katanya pula “kalangan di Krijgsraad itu cenderung ‘lebih baik tidak usah mendakwanya’”. (Surat Spoor kepada Jaksa H.W. Felderhof)

Spoor mengakui terjadi eksekusi di luar hukum, tapi dia bimbang. Kalau mengajukan dakwaan kepada si pelaku, “situasinya bisa lebih gawat,” katanya. Menjawab surat Spoor, Jaksa Felderhof menganjurkan, “Deponir saja kasusnya”. Sikap mendua dan kebimbangan, dengan alasan yang tak jelas itulah yang membuat kasus kekejaman tentara Belanda diam-diam lenyap tak berbekas.

Tiga dekade berlalu, pada 1969, seorang bekas prajurit KNIL angkat suara. Kisah-kisah yang diungkap oleh teman-teman dan dirinya sendiri menjadi perdebatan publik pertama di Belanda tentang kejahatan tentara kolonial. Pemerintah sayap kiri dibawah kepemimpinan Joop Den Uyl (PvdA) bersikap defensif. Jawab Den Haag yang termasyhur dengan sebutan “Excessennota” menerima laporan Tim PBB tadi dan menyebut “150 orang Indonesia tewas, di kampung (Rawagede) itu tak ditemukan senjata dan di pihak Belanda tak ada korban luka mau pun tewas.” Jadi kejahatan perang yang terjadi dianggap tindakan yang berlebihan dari suatu tindak perang. Pantas nota pemerintah pun menyebut diri “Nota Ekses”.

Anehnya, nota pemerintah itu melanjutkan saran Spoor dan menyimpulkan “si mayor yang memimpin satuan eksekutor penduduk Rawagede tersebut diputuskan tidak didakwa”.

Pengganti Den Uyl, Perdana Menteri J.P. de Jong (Partai Katolik), melangkah lebih jauh lagi: “Sebagian terbesar kasus-kasus, kebanyakan yang tergawat, tidak mungkin lagi dipidanakan.” Silat lidahnya begini: “Bukan keseriusan delik itu yang menentukan, (tapi) delik-delik yang serius itu sendiri sudah kadaluwarsa sehingga tidak memungkinkan proses yang adil”.

Hakim rupanya mengutip data di atas dan menghimpunnya dengan teliti sebagai senjata untuk menilai gugatan para janda Rawagede yang diajukan ke meja hijau sejak 2008. Tapi sebelumnya sejumlah siaran televisi Belanda sudah mulai menayangkan dokumenter mengenai kasus Rawagede. Maka pada 1995 PM Wim Kok (PvdA) berjanji menyelidikinya. Menurut kabinet Kok dalam suratnya 5 September 1995 kepada Parlemen, “dokumenter itu tidak memberi titik terang baru atas fakta-fakta yang telah diketahui”. Dengan kata lain, kasus Rawagede tidak disangkal, namun prosesnya tetap jalan di tempat.

Hakim juga menyoroti “De Stichting” (yayasan-red), maksudnya Stichting Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), sebuah yayasan yang dipimpin Jeffry M. Pondaag, berkedudukan di Heemskerk, Belanda yang mengangkat kasus Rawagede sejak 2008. Pondaag, pemuda asal Sulawesi ini, getol berkampanye dengan berbahasa Belanda yang lincah dan ramah. Hakim mengakui KUKB memang mewakili kepentingan warga sipil Indonesia yang menjadi korban kekerasan di masa kolonial. KUKB menuntut pemerintah Belanda mengakui mereka sebagai korban yang menanggung kerugian akibat perang dan memerlukan pemulihan secara hukum.

Tak tanggung-tanggung, KUKB memilih kantor advokat Böhler yang tenar dan pengacara Prof. Dr. Liesbeth Zegveld sebagai pengacaranya. Liesbeth adalah pakar hukum spesialis korban kejahatan perang dan mengantongi cum laude untuk disertasinya. Perempuan berusia 41 tahun itu berpengalaman menangani kasus Srebrenica (1993), Kenya, Palestina dan membela kasus-kasus lingkungan hidup. Sejak Liesbeth menjadi pengacara KUKB, gugatan kepada Belanda semakin menemukan jalan terang.


Aboeprijadi Santoso, Amsterdam.




-dipi-
 

Attachments

  • 66lintasan_rawagede1.jpg
    66lintasan_rawagede1.jpg
    41.6 KB · Views: 5,485
Back
Top