Serial Pahlawan Nasional: Tjilik Riwut

Dipi76

New member
attachment.php


Tjilik Riwut merupakan tokoh Dayak dari Kalimantan Tengah. Beliau telah mengabdikan hidup untuk mempersatukan keragaman dalam satu tempat bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum berkarir di bidang militer, Tjilik Riwut telah aktif mendukung pergerakan kebangsaan melalui tulisan di berbagai koran di Balikpapan. Ketika berkarir di bidang militer, Tjilik Riwut membuktikan kinerjanya dengan duduk sebagai Komandan Pasukan Terjun Payung Pertama Angkatan Udara Republik Indonesia pada tahun 1947. Selanjutnya antara tahun 1958-1959 ketika menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Swantara Tingkat I Kalimantan Tengah, Tjilik Riwut memimpin pembangunan Desa Pahundut menjadi Kota Palangkaraya sebagai Ibukota Kalimantan Tengah.

Riwayat Hidup

Tjilik Riwut adalah orang asli Kalimantan dari suku Dayak Ngaju. Beliau bangga disebut sebagai orang hutan. Semasa hidupnya, Tjilik Riwut telah 3 kali mengelilingi Pulau Kalimantan, baik dengan berjalan kaki maupun menggunakan sampan dan rakit. Sebagai gambaran, luas Pulau Kalimantan sekitar 5,5 kali luas Pulau Jawa (Tjilik Riwut, 2003:xvi).

Kebiasaan beliau untuk bertelanjang dada, bertelanjang kaki, dan hanya menggunakan celana panjang untuk kemudian masuk ke dalam hutan, menjadikan geraknya sulit untuk ditandingi oleh para pengawalnya selama menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Tengah. Tjilik Riwut adalah pribadi yang sederhana – kepribadian yang tetap dibawanya meskipun dalam kapasitasnya sebagai Perwira Tinggi Angkatan Udara Republik Indonesia dan Gubernur Kalimantan Tengah. Beliau juga tidak segan-segan untuk tetap turun langsung ke masyarakat, tidak segan untuk makan dengan alas daun pisang, dan duduk bersila di lanting (rakit dari bambu) yang basah (Riwut, 2003:xiii).

Tjilik Riwut adalah putra dari pasangan suami-istri Riwut Dahiang dan Piai Djelau (http://www.pelita.or.id/). Beliau lahir pada tanggal 2 Februari 1918 di Desa Kasongan, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah (http://id.wikipedia.org/). Tjilik Riwut kecil menghabiskan hari-harinya dengan bermain di sekitar hutan Kasongan sebagaimana layaknya anak Kalimantan pada umumnya.

Pendidikan formal Tjilik Riwut dimulai dengan masuk ke Sekolah Desa (Volkschool) di Kasongan. Setelah lulus pada tahun 1930, Tjilik Riwut dibawa oleh seorang pendeta dari Swiss bernama Pendeta Sehrel dari Kasongan ke Jawa untuk disekolahkan di Sekolah Perawat Perawat Taman Dewasa hingga lulus pada tahun 1933 (http://www.pelita.or.id/).

Setelah lulus dari Taman Dewasa, Tjilik Riwut disarankan oleh Pendeta Sehrel untuk kembali ke Kasongan dan menjadi perawat. Kebetulan di Kasongan saat itu telah berdiri dua rumah sakit yang merupakan peninggalan dari Zending (misionaris) dari Perancis. Tjilik Riwut tidak kembali ke Kasongan tetapi justru merantau ke Balikpapan.

Selama di Balikpapan, Tjilik Riwut mulai tertarik pada dunia tulis-menulis. Dimulai pada tahun 1936, Tjilik Riwut mengikuti kursus wartawan sampai lulus. Pada tahun 1940, Tjilik Riwut telah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Pakat Dayak yang bernama Suara Pakat. Dalam kurun yang sama (1940-1941), Tjilik Riwut juga bekerja sebagai koresponden Harian Pembangunan yang kala itu digawangi oleh Sanusi Pane dan Harian Pemandangan pimpinan M. Tabrani (http://yohanesss.multiply.com/).

Berawal dari minatnya di dunia jurnalisme, Tjilik Riwut secara langsung telah menyumbangkan tenaga, pikiran, dan kemampuannya untuk turut serta berjuang di dalam arus pergerakan nasional. Lewat koran yang dikelolanya, Tjilik Riwut turut menyebarkan berbagai berita seputar pergerakan nasional di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.

Karya Tjilik Riwut di dunia pers tidak berlangsung lama karena pada tahun 1942 Jepang mendarat di Balikpapan. Jiwa kewartawanannya kini beralih dari koresponden menjadi intelijen militer Jepang (http://www.pelita.or.id/). Tjilik Riwut bekerja pada pihak Jepang dengan mengumpulkan data-data seputar keadaan di Kalimantan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Tjilik Riwut karena dengan jabatan yang diberikan oleh Pemerintah Pendudukan Jepang, Tjilik Riwut mempunyai akses ke seluruh daerah di Kalimantan. Akses inilah yang digunakan oleh Tjilik Riwut untuk menjalin komunikasi dan koordinasi dengan berbagai suku di Kalimantan dengan tujuan untuk meyakinkan mereka agar tetap setia mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Setelah Indonesia Merdeka, pada tahun 1945, suami dari Clementine Suparti ini dipercaya sebagai Perwakilan Dewan Pimpinan Penyelenggaraan Ekspedisi ke Borneo di Yogyakarta. Satu tahun kemudian Tjilik Riwut dipercaya sebagai Pimpinan Rombongan II Utusan Pemerintah RI Yogyakarta ke Kalimantan (http://yohanesss.multiply.com/).

Pada penghujung tahun 1946, tepatnya pada tanggal 17 Desember 1946, Tjilik Riwut atas nama 185.000 rakyat Dayak di pedalaman Kalimantan (142 suku yang terdiri dari 145 kepala kampung, 12 kepala adat, 4 kepala suku, 3 panglima, 10 patih, 2 tumenggung, dan 2 kepala burung) menyatakan sumpah setia menurut adat leluhur Dayak asli kepada Pemerintah Republik Indonesia di hadapan P.J.M. Presiden Ir. Soekarno, P.J.M. Wakil Presiden drs. Mohammad Hatta, dan P.T. Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Gusti Muhammad Noor. Sumpah setia tersebut berupa kesanggupan dari para suku ini untuk mempertahankan daerahnya masing-masing yang kemudian disebut sebagai “garis daha” dari NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie). Sehingga, meskipun nantinya presiden dan wakil presiden kembali ke Batavia, secara de facto, pedalaman Kalimantan tetap menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumpah setia ini dilakukan di Istana Kepresidenan Gedung Agung, Yogyakarta (Riwut, 1947:7-9).

Ayah dari 5 orang anak, yaitu Emiliana Enon Heryani, A Ratna Hawun Meiarti, Theresia Nila Ambun Triwati (Nila Riwut), Kameluh Ida Lestari, dan Anakletus Tarung Tjandra Utama, ini kemudian melanjutkan karir di bidang kemiliteran. Antara tahun 1946-1954, Tjilik Riwut menjadi Komandan Pasukan MN 101 Mobiele Brigade MBT/TNI Kalimantan sampai pangkat Mayor.

Ketika bertugas sebagai Komandan Pasukan MN 1001 Mobiele Brigade, tepatnya pada tanggal 17 Oktober 1947, Tjilik Riwut menorehkan prestasi yang membanggakan karena sukses bertindak sebagai komando Penerjun Payung Pertama Angkatan Udara Republik Indonesia. Misi dari operasi terjun payung ini adalah merebut dan mengembalikan Kalimantan ke pangkuan Republik Indonesia.

Era perjuangan fisik telah berakhir ketika Belanda menandatangani pengakuan kedaulatan Indonesia di Amsterdam pada tanggal 27 Desember 1949. Tjilik Riwut yang meniti karir di kemiliteran hingga mempunyai pangkat terakhir Marsekal Pertama Kehormatan TNI-AU mulai masuk ke ranah politik (http://www.indowebster.web.id/).

Dalam kurun waktu tahun 1950-1959, Tjilik Riwut mulai menjabat di beberapa jabatan strategis di pemerintah. Jabatan-jabatan tersebut antara lain menjadi Wedana di Sampit, Kalimantan Tengah (1950), Bupati Kotawaringin Timur (1950-1951), Bupati Kepala Daerah Swantara TK II Kotawaringin Timur (1951-1956), residen pada kantor persiapan/pembentukan daerah swantara TK 1 Kalimantan Tengah di Banjarmasin (1957), residen DPB pada pemerintahan Swantara TK I Kalimantan Tengah (1958), Penguasa/Pemangku Jabatan Gubernur Kepala Daerah Swantara Tingkat I Kalimantan Tengah (1958-1959), Anggota Dewan Nasional RI (1957-1959), dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Kalimantan Tengah pertama (1959-1967) (http://yohanesss.multiply.com/).

Berbagai jabatan strategis tersebut tetap dijalankan oleh Tjilik Riwut sebagai bagian dari darma bagi bangsa dan daerah asalnya. Salah satu langkah yang sampai sekarang masih dikenang oleh masyarakat di Kalimantan Tengah adalah kepemimpinan Tjilik Riwut dalam membuka hutan serta membangun daerah di sekitar Desa Pahandut menjadi Kota Palangkaraya, Ibukota Kalimantan Tengah (http://yohanesss.multiply.com/).

Selain berkiprah dengan mengampu berbagai jabatan di pemerintahan, sebagai wujud kepeduliannya terhadap bangsa dan daerah asalnya, Tjilik Riwut juga menulis tentang kebudayaan dan adat-istiadat suku Dayak. Beberapa di antaranya adalah Makanan Dayak (1948), Sejarah Kalimantan (1952), Kalimantan Memanggil (1958), Maneser Panatau Tatu Hiang (1965, stensilan, dalam bahasa Dayak Ngaju), dan Kalimantan Membangun (1979 dan kemudian diterbitkan kembali pada tahun 1993).

Kiprah Bapa Enom, demikian sapaan akrabnya, akhirnya harus selesai ketika Tjilik Riwut meninggal di Rumah Sakit Suaka Insan, Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tanggal 17 Agustus 1987 pukul 05.00 WITA (http://www.kalteng.go.id/). Jenazahnya dimakamkan di makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangkaraya Kalimantan Tengah. Seorang pahlawan telah pergi tepat di Hari Proklamasi.

Pemikiran

"Nggati hewah umba dasi. Ilah buli amun dia tau mengubah utus tutang lewu" (Gantikan cawat dengan dasi. Jangan kembali jika tidak mampu mengubah nasib komunitas dan kampung halaman) (http://osdir.com/). Kalimat dalam budaya orang Dayak ini lazim dikatakan oleh orangtua kepada anaknya yang masih belia (kira-kira berusia 10 tahun) ketika si anak akan merantau keluar dari kampung, minimal untuk menempuh pendidikan.

Selarik kalimat itu melecut pula jiwa Tjilik Riwut untuk mengubah nasib komunitas dan kampung halaman. Guna merealisasikan usaha tersebut, Tjilik Riwut setidaknya melakukan tiga hal, yaitu menghimpun dukungan dari komunitas Dayak untuk menyatakan kesetiaan pada Republik Indonesia pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, mengenalkan kebudayaan suku Dayak melalui jalur tulis-menulis, dan pembangunan daerah di sekitar Desa Pahandut menjadi Kota Palangkaraya, Ibukota Kalimantan Tengah (http://yohanesss.multiply.com/).

Dukungan untuk Kemerdekaan Indonesia

Jiwa nasionalis Tjilik Riwut sebenarnya telah terbentuk sejak beliau terjun di dunia pers di Balikpapan. Diawali dengan keikutsertaannya dalam kursus kewartawanan pada tahun 1936, Tjilik Riwut kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Pakat Dayak yang bernama Suara Pakat pada tahun 1940. Dalam kurun yang sama (1940-1941), Tjilik Riwut juga bekerja sebagai koresponden Harian Pembangunan yang kala itu digawangi oleh Sanusi Pane dan Harian Pemandangan pimpinan M. Tabrani (http://yohanesss.multiply.com/).

Lewat dunia jurnalisme inilah Tjilik Riwut menjadi penyambung informasi tentang pergerakan nasional. Lewat koran yang dikelolanya, Tjilik Riwut turut menyebarkan berbagai berita seputar pergerakan nasional di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.

Nasionalisme Tjilik Riwut kembali terlihat ketika Jepang datang ke Balikpapan pada tahun 1942. Tjilik Riwut yang kala itu memutuskan untuk bekerjasama dengan Jepang dan mendapat tugas sebagai intelijen militer Jepang, memanfaatkan jabatannya untuk bergerak masuk ke pedalaman. Jabatan yang disandangnya dimanfaatkan agar geraknya lebih leluasa di tengah berbagai kebijakan dari Pemerintah Pendudukan Jepang yang sangat ketat dan disiplin.

Tjilik Riwut berhasil mendirikan fondasi kesamaan visi-misi untuk tetap setia pada Republik Indonesia. Fondasi kebangsaan ini menunjukan hasil nyata ketika Indonesia telah merdeka dan Belanda, dengan bersulih muka sebagai NICA, datang kembali ke Indonesia dengan tujuan mempertahankan penjajahan di Indonesia. Berbekal kesamaan visi-misi di antara para penduduk Dayak di Kalimantan, pada tanggal 17 Desember 1946, Tjilik Riwut atas nama 185.000 rakyat Dayak di pedalaman Kalimantan memimpin sumpah setia untuk tetap menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di hadapan Presiden Soekarno (Riwut, 1947:7-9).

Selain upaya untuk menghimpun dukungan dari suku Dayak, di bidang kemiliteran, Tjilik Riwut melakukan sebuah terobosan yang kemudian dikenal dengan nama Peristiwa Penerjunan Pasukan Payung Pertama Angkatan Udara Republik Indonesia.

Ketika bertugas sebagai Komandan Pasukan MN 1001 Mobiele Brigade inilah Tjilik Riwut menorehkan prestasi yang membanggakan karena sukses bertindak sebagai komando Penerjun Payung Pertama Angkatan Udara Republik Indonesia. Misi dari operasi terjun payung ini adalah merebut dan mengembalikan Kalimantan ke pangkuan Republik Indonesia.

Mayor Tjilik Riwut, Komandan Pasukan M.N. 1001 Mobiele Brigade yang bertindak selaku komando pasukan payung persiapan Kalimantan dan duduk dalam Staf Sekretaris bagian Siasat Perang pada Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia, menyusun siasat sekaligus menjadi otak operasi militer penerjunan pasukan terjun payung pertama Angkatan Udara Republik Indonesia (Nila Suseno, 2003:4). Operasi penerjunan ini digagas oleh Ir. Muhammad Noor, Gubernur pertama Kalimantan, dan Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU) Republik Indonesia, Suryadharma.

Pada tanggal 17 Oktober 1947, Pasukan Payung melakukan operasi militer terjun payung di Kampung Sambio, Kotawaringin, Kalimantan Tengah (Suseno, 2003:4). Tujuan digelarnya operasi terjun payung ini adalah membuka hubungan radio antara daerah dan pusat serta mengembangkan basis perlawanan menghadapi penjajah yang ingin berkuasa kembali di Kalimantan, mengusahakan dan menyempurnakan dropping zone untuk persiapan penerjunan selanjutnya, membantu perjuangan para pejuang di Kalimantan, dan membuka mata dunia bahwa Kalimantan adalah salah satu bagian dari Republik Indonesia (Suseno, 2003:9-10).

Peristiwa ini dikenal dengan nama Peristiwa Penerjunan Pasukan Payung Pertama Angkatan Udara Republik Indonesia. Untuk mengenang peristiwa heroik dan bersejarah tersebut, pada tahun 1978 didirikan sebuah monumen penerjun payung di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Nila Suseno, 2003:i).

Berawal dari peristiwa penerjunan tersebut, setiap tanggal 17 Oktober ditetapkan sebagai hari Kopasgat (Komando Pasukan Gerak Cepat). Kopasgat sekarang dikenal sebagai Paskhas (Pasukan Khas) TNI Angkatan Udara berdasarkan Keputusan Men/ Pangau No. 54 Tahun 1967 tanggal 12 Oktober 1967 (Suseno, 2003:10).



Bersambung...



-dipi-
 

Attachments

  • 20100618-tjilik.jpg
    20100618-tjilik.jpg
    14.9 KB · Views: 7,363
Tjilik Riwut merupakan sosok yang sangat menjunjung tinggi Tatu Hiang (leluhur) (Riwut, 2003:xvi). Beliau beralasan bahwa dengan menjunjung tinggi Tatu Hiang berarti kita tidak melupakan leluhur dan tetap ingat akan asal-usul kita. Hal inilah yang setidaknya tercermin dalam tiga buku karya Tjilik Riwut, yaitu Kalimantan Memanggil (1958), Kalimantan Membangun (1979 dan kemudian diterbitkan kembali pada tahun 1993), dan Manaser Panatau Tatu Hiang: Menyelami kekayaan leluhur (2003). Ketiga buku tersebut secara khusus mengupas tentang adat-istiadat dan leluhur orang Kalimantan (suku Dayak).

Bagi Tjilik Riwut, kebudayaan adalah sebuah identitas yang harus dipelihara. Mengingat pentingnya identitas tersebut, maka berbekal ketertarikannya akan dunia tulis-menulis (jurnalistik) Tjilik Riwut menuliskan tentang kebudayaan suku Dayak. Meskipun masih bersifat deskriptis, tulisan-tulisan Tjilik Riwut tersebut telah menjadi awal dari pengetahuan tentang suku Dayak. Tjilik Riwut telah memulai untuk mengenalkan dan mengabadikan kebudayaan suku Dayak. Suatu tradisi yang kini mulai luntur, bahkan di kalangan masyarakat Dayak sendiri.

Di dalam buku Kalimantan Membangun misalnya, Tjilik Riwut mencoba mendeskripsikan tentang pulau Kalimantan dilihat dari berbagai sudut, mulai dari segi geografi, sumber daya alam (baik flora maupun fauna), kerajaan-kerajaan, sejarah nama Kalimantan, suku-suku, agama, huruf, bahasa, sampai adat-istiadat dan kebudayaan.

Tulisan Kalimantan Membangun memang tidak bisa dikatakan telah mencapai tahap penulisan yang sistematis. Tetapi berkat tulisan Tjilik Riwut tersebut, kebudayaan dan sejarah Kalimantan sedikit demi sedikit mulai terkuak dan dikenal oleh masyarakat luas. Buku Kalimantan Membangun disebut sebagai salah satu buku yang memuat secara menyeluruh kumpulan tetek tanum atau tradisi sastra lisan Dayak (Riwut, 1993:vii).

Selain buku Kalimantan Membangun, pemikiran Tjilik Riwut juga tercermin lewat tulisannya, yang kemudian dibukukan oleh Nila Riwut, dalam buku yang berjudul Manaser Panatau Tatu Hiang: Menyelami kekayaan leluhur (2003). Di dalam buku ini, Tjilik Riwut lebih menyoroti tentang leluhur atau nenek moyang (Tatu Hiang) orang Dayak. Menurut Nila Riwut, alasan Tjilik Riwut untuk menuliskan tentang leluhur adalah karena dengan mengangkat keluhuran nama leluhur berarti tidak melupakan leluhur dan akan selalu mengingat asal-usul yang pada akhirnya akan membentuk jatidiri sehingga mempunyai identitas yang kuat dalam mengarungi kehidupan (Riwut, 2003:xvi).

Buku Manaser Panatau Tatu Hiang: Menyelami kekayaan leluhur pada dasarnya merupakan kumpulan tentang adat-istiadat dan kebudayaan suku Dayak. Buku ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari buku Tjilik Riwut sebelumnya, yaitu Kalimantan Memanggil (1958) dan Kalimantan Membangun (1979).

Menurut J.J. Kusni, salah satu keponakan Tjilik Riwut, Manaser Panatau Tatu Hiang adalah awal dari usaha mengenal budaya diri sendiri untuk menjadi diri sendiri dan untuk keperluan hidup hari ini serta generasi berikutnya (http://www.forums.apakabar.ws/). Pengumpulan data yang telah dimulai oleh Tjilik Riwut sejak tahun 1939 semata-mata dilakukan sebagai wujud perhatiannya terhadap kebudayaan suku Dayak. Tjilik Riwut melakukan proses tersebut dengan harapan agar panatau atau kekayaan budaya dapat tercatat dan tersimpan dalam bentuk karya tulis.

Kalimantan (Tengah) Membangun

Tjilik Riwut adalah pribadi yang ingin melihat bangsanya bisa maju. Salah satu bukti keinginan Tjilik Riwut tersebut diujudkan dengan pembangunan Desa Pahundut menjadi Palangkaraya.

Pemilihan Desa Pahundut sebagai berawal dari tahun 1957 ketika Tjilik Riwut beserta 7 orang tokoh yang ditugaskan untuk mencari ibukota Provinsi Kalimantan Tengah berkunjung ke Desa Pahandut (http://borneoinlove.7.forumer.com/). Desa Pahundut dipilih karena sejak zaman penjajahan Belanda, desa di Kalimantan Tengah ini telah dikenal sebagai pusat kegiatan perdagangan dan memiliki jaminan keamanan meskipun masyarakatnya terdiri dari berbagai suku.

Salah satu faktor pendukung terbentuknya pusat perdagangan di daerah aliran sungai Kahayan bagian hilir ini adalah melimpahnya sumber daya alam yang ada di Desa Pahundut. Sumber daya alam tersebut misalnya hasil hutan seperti damar, getah jelutung (pantung), getah hangkang, katiau, dan rotan serta perairan sungai yang kaya dengan berbagai jenis ikan terutama dikawasan Dataran Aliran Sungai (DAS) Sebangau (http://borneoinlove.7.forumer.com/).

Keamanan juga menjadi faktor utama yang harus diperhatikan dalam memutuskan sebuah tempat untuk dijadikan sebagai ibu kota. Di Kalimantan Tengah, nama Desa Pahundut telah terkenal sebagai salah satu daerah yang paling aman meskipun dihuni oleh berbagai suku bangsa. Jaminan keamanan inilah yang kemudian dijadikan alasan oleh para misionaris dari Belanda untuk mendirikan pangkalan (stasi) dari kegiatan penyebaran agama Kristen di sepanjang sungai Kahayan pada tahun 1859 (http://borneoinlove.7.forumer.com/).

Alasan pemilihan desa Pahundut sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah telah didapatkan. Kini berdasarkan UU Darurat No. 10/1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan tengah (http://id.wikipedia.org/), Tjilik Riwut memimpin proses pendirian dan pembangunan Desa Pahundut menjadi Palangkaraya. Tjilik Riwut memimpin orang-orang sekitar Desa Pahundut (khususnya suku Dayak) untuk menebangi pohon di hutan, membuka lahan, dan mendirikan permukinan.

Loyalitas Tjilik Riwut untuk melihat Kalimantan yang lebih maju bukan isapan jempol semata. Tjilik Riwut tidak hanya memimpin pembangunan melainkan juga menyumbangkan berbagai materi yang dimilikinya. Bahkan status sebagai seorang Gubernur Kepala Daerah Swantara Tingkat I Kalimantan Tengah (1958-1959) seakan luntur ketika Tjilik Riwut turut menyumbangkan tenaga membaur bersama warga untuk menebang hutan.

Tidak hanya turut menyumbangkan tenaga, Tjilik Riwut bahkan menyumbangkan keuangan pribadinya untuk memberi makan orang-orang yang turut membangun Palangkaraya. Diceritakan bahwa sebelum kantor dinas Gubernur Kepala Daerah Swantara Tingkat I Kalimantan Tengah berpindah ke Palangkaraya, Tjilik Riwut mempunyai kantor di Banjarmasin, tepatnya di depan gedung bioskop Kalimantan di dekat kantor Komando Militer Kota (http://www.mail-archive.com/).

Ketika Desa Pahundut tengah dibangun untuk menjadi ibu kota, terdengar kabar bahwa Tjilik Riwut telah memerintahkan agar jatah beras yang diperuntukkan bagi gubernur dan keluarganya supaya dikirimkan ke Desa Pahundut untuk memberi makan orang-orang yang tengah bekerja. Bahkan dikatakan bahwa kantor gubernur sempat kehabisan beras. Gubernur Kalimantan Selatan saat itu, Syarkawi, yang sekaligus juga sebagai sahabat Tjilik Riwut, tidak percaya akan kabar yang menceritakan bahwa seorang gubernur sampai kehabisan stok beras di rumahnya. Sebagai ujud solidaritas antarsahabat, maka Gubernur Kalimantan Selatan akhirnya mengirimkan beras kepada Tjilik Riwut (http://www.mail-archive.com/).

Pembangunan Palangkaraya adalah salah satu obsesi Tjilik Riwut yang telah tercapai. Obsesi Tjilik Riwut lainnya, seperti diceritakan oleh J.J. Kusni adalah membangun bandar udara internasional di Kalimantan Tengah (http://www.mail-archive.com/).

Seperti diceritakan oleh Kusni, pada tahun 1957-an, ketika Palangkaraya masih dibangun, Tjilik Riwut telah mempunyai gambaran bahwa di Palangkaraya nantinya akan dibangun dua buah bandar udara. Satu bandar udara untuk melayani rute dalam negeri dan satu bandar udara lagi bertaraf internasional. “Lapangan terbang internasional ku rancangkan diberi nama lapangan terbang Panarung (fighter),” demikian kata Tjilik Riwut kepada keponakannya (http://www.mail-archive.com/).

Tetapi sangat disayangkan, obsesi Tjilik Riwut untuk mendirikan bandar udara bertaraf internasional belum terwujud. Kini di Palangkaraya hanya ada satu bandara dengan taraf nasional. Bandara tersebut diberi nama Bandar Udara Tjilik Riwut (http://id.wikipedia.org/)

Karya

Sejumlah buku yang bertemakan Kalimantan telah ditulis oleh Tjilik Riwut. Buku-buku tersebut antara lain:
  • Tjilik Riwoet, 1947. Dajak Kalimantan. Jogjakarta: Pertjetakan Negara.
  • Tjilik Riwut. 1958. Kalimantan memanggil. Jakarta: Endang
  • Tjilik Riwut, 1962. Memperkenalkan Kalimantan Tengah dan “Palangkaraja”.
  • Tjilik Riwut, 1993. Kalimantan membangun: Alam dan budaya. Yogyakarta: tiara Wacana.
  • Tjilik Riwut, 2003. Manaser Panatau Tatu Hiang: Menyelami kekayaan leluhur. Palangkaraya: Pusaka Lima.
Di luar karya yang berupa buku, Tjilik Riwut juga telah melahirkan sejumlah prestasi, antara lain:
  • Pelaksanaan sumpah setia 142 suku di pedalaman Kalimantan yang ia wakili kepada pemerintah Republik Indonesia secara adat dihadapan Presiden Soekarno di Gedung Agung, Yogyakarta 17 Desember 1946 (Riwoet, 1947:7-9).
  • Komando Pasukan Terjun Payung Pertama Angkatan Udara Republik Indonesia pada tanggal 17 Oktober 1947 di Kampung Sambio, Kotawaringin, Kalimantan Tengah (Suseno, 2003:4).
  • Memimpin rakyat Kalimantan Tengah untuk membuka hutan serta membangun daerah di sekitar Desa Pahandut menjadi Kota Palangkaraya, Ibukota Kalimantan Tengah (http://yohanesss.multiply.com/).

Penghargaan

Sejumlah penghargaan diberikan kepada Tjilik Riwut atas jasanya, baik kepada masyarakat Dayak pada khusunya maupun untuk Indonesia pada umumnya. Penghargaan tersebut antara lain penggunaan nama Tjilik Riwut sebagai nama:

1. Bandar Udara “Tjilik Riwut” di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
2. Pesawat udara milik Maskapai Penerbangan Sriwijaya Air diberi nama “Pesawat Tjilik Riwut”
3. Stadion “Tjilik Riwut” di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Kandang dari klub sepakbola Persipar Palangkaraya.
4. Nama Tjilik Riwut dipakai sebagai nama jalan. Misalnya nama jalan yang menghubungkan antara Palangkaraya dan Sampit.
5. Museum “Tjilik Riwut” di Kalimantan Tengah
6. Stasiun Meteorologi “Tjilik Riwut”, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
7. Salah satu pasukan di TNI AU dengan nama Pasukan “Tjilik Riwut”.

Tjilik Riwut juga mendapatkan penghargaan berupa Bintang Mahaputra Adipradana dan pad tahun 1998 mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Republik Indonesia atas nama Pemerintah Republik Indonesia (http://yohanesss.multiply.com/).




-dipi-
 
Nggak usah anak SD, yang anak SMA aja belum tentu tahu... Karena biasanya pahlawan2 seperti beliau ini nggak ada di kurikulum....
Ada puluhan unpopular hero di negara ini....



-dipi-
 
Back
Top