cerpen: Cuma Laki-laki Biasa

Kalina

Moderator
Oleh: Astrid M. Berendsen
NATA
Aku cuma laki-laki biasa. Wajah yang biasa-biasa saja, rumah yang biasa-biasa saja, dan ketebalan dompet yang setiap harinya sangat biasa-biasa saja. Hanya ada dua hal yang aku rasa sangat luar biasa di hidupku, perempuanku dan calon ibu mertuaku.

Perempuanku, gadis manis berambut ikal yang sudah dua tahun menghiasi hari-hariku. Kehadiran, ditambah auranya yang luar biasa, berhasil membuat semua menjadi beyond my imagination.

Dulu, bermimpi memilikinya pun aku tidak berani. Dia terlalu hebat di mataku, dan ditambah dia sudah mempunyai kekasih. Aku pun waktu itu sudah punya anjing betina (sebutan yang aku simpan baik-baik dalam kepala), seorang perempuan biasa-biasa saja, dengan kestabilan emosi yang menyamai anjing betina setelah melahirkan. Dengan berbekal keberanian yang terhimpun secara tiba-tiba dan terpaksa (karena melihat kesempatan dalam kesempitan), aku mendekati dan sukses mendapatkan hatinya.

Calon ibu mertuaku, perempuan berumur 45 tahun, mengaku berjiwa muda dan tidak mau kalah dengan anak-anak gadisnya. Mengaku demokratis, padahal masih menganut paham kuno orang timur zaman dulu.

Perempuan yang sudah tiga tahun menjanda dan masih mempertahankan budaya konsumerisme dalam harga dirinya. Menilai semua orang dari bibit, bebet, dan bobot. Tidak terkecuali aku. Orang yang biasa-biasa saja, yang menurut beliau sangat tidak pantas bersanding dengan anaknya.

"Apa sih yang kamu cari dari laki-laki macam dia?" tanyanya keras pada perempuanku yang tanpa gentar membalas tatapan garang ibunya.

"Nggak semuanya harus dipandang dari harta, Ma!" balasnya tak kalah ketus.
"Berani jawab kamu ya! Dasar anak bajingan! Anak setan!" calon mertuaku mulai kalap, mengata-ngatai perempuanku dengan segenap makian dari semua bahasa di dunia yang dia tahu. Belum lagi ditambah penyebutan semua binatang yang ada di Kebun Binatang Ragunan.

"Jangan harap Mama mau merestui kamu sama monyet hitam itu," teriaknya mengakhiri sambil membanting pintu kamar.

Kembali padaku, laki-laki biasa. Nasib baik yang tak kunjung datang, membawaku kepada kenyataan bahwa aku belum punya pekerjaan. Sekeras aku mencari, sekeras itu pula pintu ditutup di depan mukaku.

Orang-orang yang berpaham judge the book by its cover serasa memutuskan untuk tidak menerima aku sebagai karyawan. Akhirnya, terdamparlah aku di sini. Toko baju yang memberiku gaji terlalu rendah daripada UMR yang sudah rendah. Toko baju milik calon ibu mertuaku. Sial!

"Nata, kita putus saja," kata perempuanku pada suatu malam.
"Hah?" Air mukaku yang berubah pucat menjawab.

"Aku nggak tahan sama tekanan Mama. Aku ingin bebas dari semua," jelasnya sambil menunduk memandang lantai.

"Jangan ambil keputusan itu, Sayang!" seruku sambil memeluknya.
Ya, aku menghiba agar dia tidak pergi dariku. Tak tebersit rasa malu karena memang aku membutuhkannya.

"Awal tahun depan, kamu harus sudah dapat kerja. Kalau nggak, kita sudahi semuanya. Aku berhak untuk bahagia!" katanya sambil menangis.

Dia memberiku deadline. Perempuanku memberiku ultimatum. Tidak dapat kupercaya sekaligus memaklumi tindakannya. Apa yang bisa diharapkan dari laki-laki biasa macam aku? Membelikannya sesuatu saja tidak bisa dan bahkan tidak pernah. Hanya lulusan SMU, yang tentu saja tidak sebanding dengannya yang calon sarjana di universitas paling bergengsi di kota ini.

Malam itu, aku tidak bisa memejamkan mata. Bayangan perempuanku serasa melekat erat di ujung pelupuk mataku. Habis rasanya air mata untuk menangisi nasib. "Tentu saja aku mau berubah. Tapi, nasib baik yang rasanya malas mendekati laki-laki biasa seperti aku," kataku pada diri sendiri.

Sudah seperti orang gila saja aku malam itu. Membenamkan kepala ke dalam bantal dan berteriak sekeras-kerasnya, menghantamkan tinju ke tembok sekeras-kerasnya, menangis deras tanpa suara.

Bermalam-macam setelah itu, nasib baik tak kunjung datang. Hubunganku dengan perempuanku dan calon ibu mertua malah memburuk dari waktu ke waktu. Sampai datang tawaran untuk bekerja. Bekerja jauh, di Dubai.

"Ada saudara yang mengajak kerja di sana." Aku menjelaskan pada perempuanku. Dia diam sejenak kemudian menjawab, "Ya nggak apa-apa, kan kamu cari uang. Nggak apa-apa," jawabnya singkat. Aku tahu dia sebenarnya tidak setuju. Tapi, dia memilih diam karena dia juga ingin aku maju.

Ketika calon ibu mertuaku mendengar hal itu, seketika berubah perangainya. Dia berbaik-baik, menyuruhku untuk mencari uang yang banyak.
"Dasar perempuan tua munafik. Sudah tua nggak ingat dosa," makiku dalam hati.

"Nanti, kalau sudah banyak uang kan bisa kirim-kirim uang buat Nina," kata calon ibu mertuaku sambil tertawa
"Rasanya ingin kurontokkan saja giginya. Apalagi mau perempuan ini? Mau uangku? Dasar perempuan materialistis!" Tetap aku mencari-makinya dalam hati.

"Iya tante, doain saya ya," jawabku menyembunyikan kejengkelan.
Pada hari keberangkatan, aku mengingatkan janjiku dulu pada perempuanku.

"Aku pasti pulang untuk menikahimu. Ingat itu ya?"
Perempuanku bersimpah air mata. Ahhh, andai saja dia bisa kubawa serta. Kuberikan padanya sepucuk surat yang sudah aku siapkan malam sebelumnya.

"Baca ini tiap kamu kangen sama aku ya, Sayang?" pintaku sebelum meninggalkannya. Sebab, panggilan terakhir untuk penumpang tujuan Dubai sudah terdengar. Tangisnya semakin histeris. Berat, aku meninggalkannya, tapi apa boleh buat. Toh, ini juga untuk kebaikannya. Dalam pesawat, aku berdoa, agar nasib baik dapat cepat mempertemukan aku dengan perempuanku.


NINA

Aku melangkah gontai keluar dari kamar, baru tiga jam lalu aku melepas kepergian laki-laki luar biasaku untuk pergi mencari kerja. Surat yang diberikan padaku belum kubaca karena pasti aku akan menangis lagi. Tapi, karena himpitan rasa rindu, akhirnya kubaca juga surat itu, sambil sebelumnya menyalakan televisi. Pelan-pelan, kubaca sambil mendengarkan berita di televisi...

"Pemirsa, pesawat Garuda Airlines jurusan Jakarta-Dubai mengalami kecelakaan setelah dua jam lepas landas dari bandana Soekarno-Hatta. Belum dapat dipastikan alasan pesawat tersebut jatuh. Tetapi, dikabarkan bahwa seluruh penumpang termasuk awak pesawat tidak dapat diselamatkan. Pihak Garuda Airlines menjelaskan?.," Aku mengangkat kepala, bergegas membesarkan volume televisi yang sekarang sedang mencantumkan nama-nama korban kecelakaan pesawat yang baru saja kudengar. Aku mengira sedang bermimpi ketika membaca nama Nata di sana.

Alexius Natanael, laki-laki, 24 tahun
Aku merasa bumi berputar 180 derajat. Aku berteriak histeris, melolong seperti hewan sedang disembelih. Dan kemudian semua gelap?


NATA

Aku dapat melihatnya membaca surat dariku. Aku melihatnya menitikkan air mata lagi. Aku melihatnya membesarkan volume televisi. Aku melihatnya berteriak histeris. Aku menghampirinya, membelai rambut yang tak bisa kubelai, mencium kening yang tak bisa kucium, memeluk tubuh yang tak tersentuh. Aku berbisik padanya... "Ahh perempuanku, maafkan aku hanya bisa sampai di sini menjagamu. Aku curna laki-laki biasa. Kau pukul aku akan berdarah. Aku cuma laki-laki biasa. Yang luar biasa adalah cintaku padamu perempuanku. Selamat tinggal, Sayang..." ***
Penulis adalah PelajarUK Petra Surabaya
 
Aku pun waktu itu sudah punya anjing betina (sebutan yang aku simpan baik-baik dalam kepala), seorang perempuan biasa-biasa saja, dengan kestabilan emosi yang menyamai anjing betina setelah melahirkan. Dengan berbekal keberanian yang terhimpun secara tiba-tiba dan terpaksa (karena melihat kesempatan dalam kesempitan), aku mendekati dan sukses mendapatkan hatinya.

Anjing betina = B-i-t-c-h?
 
Back
Top