orang kecil di tengah birokrasi

Aan

New member
MESKI era kali ini dipahami rakyat sebagai era reformasi, apa yang mereka rasakan tak banyak berbeda dengan di masa represi Orde Baru (Orba). Apa yang berbeda dengan masa sebelumnya jika tindakan represif aparat negara semakin hari semakin dirasakan rakyat kecil sebagai penindasan?

LIHAT foto Kompas Edisi Jatim (16/4/2003), tatkala salah seorang rakyat di-endheng-endheng polisi dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), saat ia membela hak agar lahan berdagangnya di Pasar Wonokromo tidak digusur. Mereka hanya rakyat kecil yang menuntut agar haknya dipenuhi; mereka hanya mencari sesuap nasi.

Salahkah aparat kepolisian dan Satpol PP itu? Mungkin tidak. Mereka hanya menjalankan pekerjaannya, dan juga sama-sama mencari sesuap nasi. Yang pasti harus disalahkan adalah sistem yang menghardik para aparat itu agar melakukan tindak kekerasan di lapangan.

Sistem itu direproduksi oleh negara, melalui alat yang bernama pemerintah, dan melalui kontrak-kontrak tertentu dengan pemilik modal. Sistem ini merupakan karya Orba yang ternyata masih terus lestari di era yang disebut reformasi.

Praktisnya, kita menyatakan jalan reformasi yang telah dibuka gerakan mahasiswa tahun 1998 hanyalah menyentuh kulit ari saja. Batin para penguasa itu, baik lokal maupun nasional, masih tetap Orba. Dialog tampaknya menjadi barang yang teramat mahal, dan tidak banyak diperlukan lagi. Yang penting tujuan tercapai.

Penggusuran ladang usaha wong cilik atas nama kecantikan, kebersihan, dan keindahan kota, ternyata menafikan hal yang lebih utama, yaitu moralitas. Birokrasi pemerintahan dan modernisasi cara berpikir aparatnya telah membuat rasa kemanusiaan musnah. Semua dilakukan atas dasar kepicikan. Mata hati aparatur negara buta karena mereka berdiri di atas sistem yang memang tak memperbolehkannya terbuka.

APA maknanya dalam Paskah kita kali ini? Di tengah kebuasan sistem birokrasi yang penuh rekayasa dan nafsu, kita diajak merenungkan kembali keimanan kita. Perjamuan akhir sebagai sebuah memori sejarah dan talenta manusia yang gelap. Yesus sebagai tuan rumah mengundang kita bersama. Kita diundang bukan sekadar merayakan pesta, melainkan juga diajak merefleksi wong cilik yang hari-harinya tidak tenang karena diteror oleh negara berikut kepentingan-kepentingannya.

Kita juga diundang pesta di tengah kepanikan masyarakat yang tidak lagi merasa aman karena wabah penyakit; di tengah harga gula yang sangat pahit di mata rakyat; di tengah situasi-situasi mencekam. Intinya kita diundang pesta di tengah ketidakpastian dan kekacauan segala hal.

Kita diundang untuk merayakan perjamuan Tuhan. Perayaan perjamuan adalah sebuah kemenangan karena Tuhan tidak membalas tindakan pengkhianatan dengan kekerasan, tetapi dengan cinta kasih. Cinta kasih yang begitu besar yang ada di dalam diri Tuhan inilah yang membuat Ia melakukan tindakan yang sulit diterima akal.

Dia mengundang para murid tidak hanya sekadar merayakan liturgi Paskah, tetapi Dia mau menyatakan bahwa tindakan para murid itu diampuni-Nya. Dia tahu bahwa di antara mereka ada yang menjadi pengkhianat, bunglon dan penipu, tetapi semua itu disadari oleh Yesus Kristus bahwa kerapuhan para murid tak mungkin disangkal.

Yesus sadar dan tahu bahwa saatnya akan tiba. Dia akan kembali kepada Bapa-Nya. Dia melakukan tindakan yang hina dan hanya akan dilakukan oleh para budak. Para murid terkejut mengapa semua ini harus diperbuat? Bukankah hal ini tidak masuk akal? Seorang Rabi yang memiliki kuasa dan wibawa luar biasa tiba-tiba Dia melakukan perbuatan yang hina dina? Bukankah hal ini merupakan pelecehan terhadap sebuah wibawa? Demikian pikir para murid.

Mengapa semua itu dilakukan? Ini tidak dimengerti oleh Petrus. Petrus bertanya, Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku? Tindakan Yesus itu melawan tradisi Rabbini di mana tindakan pembasuhan kaki itu hanya dilakukan oleh para budak? Mengapa tindakan seperti itu harus dilakukan untuk aku yang hina ini?

Akan tetapi, Yesus tahu bahwa Petrus sulit memahami tindakan-Nya. Dia berkata, ?Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang tetapi engkau mengertinya kelak.? Apa yang dimaksud Yesus dengan kalimat ini? Pembasuhan kaki bukan sekadar upacara ritual.

Engkau yang mengaku sebagai murid-Ku harus mengalami hal yang sama seperti apa yang Aku lakukan. Tindakan membasuh kaki adalah sebuah tanda cinta yang dicurahkan sehabis-habisnya demi kemuliaan manusia.

Simbol perjamuan adalah penerimaan satu dengan yang lain, di mana tidak ada saling kecurigaan, permusuhan, penggusuran, dan pemaksaan. Semua bahasa dan perilaku kekerasan dilebur dalam bahasa kasih. Kasih akan menjadi nyata tidak hanya dengan penghalusan kata-kata, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana praktiknya dalam realitas sosial. Kasih adalah sebuah tindakan nyata seperti Tuhan sendiri merelakan harga diri mau menjadi hamba dengan membasuh kaki. Itu bukan sekadar pengakuan bahwa dosa-dosa sudah diampuni. Lebih jauh lagi, jika engkau menyebut diri sebagai murid maka harus melakukan hal sama seperti diperbuat Tuhan.

Itulah yang dilakukan oleh Yesus dalam perjamuan. ?Inilah tubuhku yang dikorbankan bagimu. Inilah piala perjanjian baru yang diikat dalam darah-Ku dan merupakan pembaruan dalam kasih. Pembaruan yang diminta Allah kepada setiap orang yang mengaku murid-Nya adalah pembaruan dalam kasih. Pembaruan dalam kasih bukan sekadar bualan kata-kata, melainkan tindakan moral. Bertindak atas nama moral berarti harus menggunakan bahasa kemanusiaan. Bukan bahasa kekerasan seperti yang selalu dilakukan negara dan aparaturnya itu.

Dalam Paskah kali ini kita perlu memperjuangkan terwujudnya kasih, sebab kasih itu membebaskan manusia dari segala kejahatan! Dan sebagai insan yang memahami kasih, kita perlu membela wong cilik, membela mereka yang tergusur, membela mereka yang tertindas. Salah satu caranya adalah dengan menghidupkan dialog, mempersempit ruang kekerasan dan terus-menerus menghalangi negara dan aparaturnya yang represif.
 
Back
Top