UU Perumahan Baru Dianggap Ancam Daya Beli Rumah Rakyat

GuruRumah

New member
Sumber : http://www.rumah.com/berita-properti

RumahCom - Tahun 2012 mungkin merupakan periode yang buruk bagi perumahan rakyat. Selain kebijakan FLPP yang dinilai merugikan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), hadirnya UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) juga menuai kontroversi. Pasal yang dinilai bermasalah adalah pasal 22 ayat 3 yang menyatakan luas lantai rumah paling sedikit 36 m2.

“Undang-undang itu melanggar UUD 45 Pasal 28 H ayat 1 dimana setiap orang berhak memiliki tempat tinggal,” tukas Eddy Ganefo, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi). “Di UUD 45 tidak ada pembatasan luas rumah,” tegasnya.

“Pasal 22 Undang-undang PKP tersebut tentu melanggar hak rakyat untuk memperoleh rumah,” kata Eddy. “Jika diatur luas rumah minimal 36 meter persegi, bagaimana nasib rakyat yang hanya mampu membeli rumah tipe 21?”

Belakangan ini, kata Eddy, ada pendapat yang mengatakan bahwa permasalah dari Undang-undang PKP adalah soal harga. “Sebenarnya yang dipermasalahkan bukan harga, tetapi hak orang untuk memiliki tempat tinggal. Daripada mereka tinggal di kolong jembatan, alangkah baik mereka memiliki tempat tinggal, meskipun kecil,” tegasnya.

Keberadaan UU PKP ini, bagi Eddy, berbahaya bagi kelangsungan perumahan rakyat. “Jika undang-undang ini berlaku, maka perbankan tidak akan bisa membiayai perumahan di bawah tipe 36. Pasalnya, izin rumah di bawah tipe 36 tidak bakal keluar, artinya rumah yang dibangun tidak legal. Dan tentu saja bank tidak mau membiayai perumahan ilegal,” tutur Eddy, panjang lebar.

Eddy menambahkan, selain merugikan rakyat, undang-undang ini juga menampar Pemerintah, karena pasti akan menambah jumlah backlog secara signifikan. Data BPS pada 2010 menunjukkan backlog sebanyak 13,6 juta unit. “Ini berdasarkan hasil survei rumah dengan luasan mulai 10 meter persegi. Jika dalam undang-undang diatur luas rumah minimal 36 m2, maka backlog akan makin banyak,” tukas Eddy yang memperkirakan jumlah backlog akan mencapai 48,96 juta.

Untuk mengantisipasi dampak buruk UU No.1/2011 tersebut, Apersi pun mengambil langkah pasti. Asosiasi yang menaungi sekitar 1.800 pengembang—dimana 95% diantaranya adalah pengembang perumahan bersubsidi— tersebut, telah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Sidang pertama telah digelar pada Jumat (10/2) lalu dengan agenda pembacaan gugatan.

Anto Erawan
(antoerawan@rumah.com)
 
Kemelut UU Perumahan, Pemerintah Dituding Setengah Hati Bantu Rakyat

Sumber : http://www.rumah.com/berita-properti

RumahCom – Beberapa regulasi yang dikeluarkan pemerintah terkait perumahan rakyat belakangan ini, membuat gusar pihak-pihak yang dirugikan. Penghentian sementara program FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) sejak awal Januari lalu misalnya, membuat pengembang perumahan bersubsidi menjerit, karena tidak dapat melakukan akad kredit, sementara tunggakan bunga bank terus menumpuk.

“Pemerintah setengah hati membantu rakyat,” tegas Eddy Ganefo, Ketua Umum DPP Apersi (Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia). Terkait program FLPP, kata Eddy, pemerintah ingin menurunkan suku bunga, tetapi porsi pemerintah yang semula 60% diturunkan jadi 50%. “Mestinya, dijadikan 100 persen, baru itu namanya pro poor,” tukasnya.

Dengan subsidi 100%, lanjut Eddy, maka suku bunga bank bisa turun jadi 5%, karena bank tidak perlu menghitung cost of fund, alias cost of fund nol. “Jika demikian, yang perlu dipertimbangkan hanya marjin keuntungan dan biaya overhead bank,” katanya.

Terkait pasal 22 ayat 3 Undang-undang No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) yang menyatakan luas lantai rumah paling sedikit 36 m2, Eddy juga mengatakan bahwa undang-undang tersebut tidak berpihak pada rakyat miskin.

“Pembatasan ini hanya berlaku bagi perumahan landed, tetapi tidak berlaku bagi rusun atau apartemen. Artinya, pemilik apartemen yang merupakan kalangan menengah ke atas, boleh tinggal di unit yang kurang dari 36 meter persegi. Di sinilah letak ketidakadilannya,” jelas Eddy.

Eddy mengatakan, Apersi adalah salah satu pihak yang paling dirugikan karena kebijakan-kebijakan ini. Di sisi lain, katanya, asosiasi perumahan lain terlihat masih tenang-tenang saja, karena mereka tidak merasakan dampaknya. “Dari 1800 anggota kami, sebanyak 95 persen diantaranya adalah pengembang kecil yang membangun perumahan untuk MBR (masyarakat berpenghasilan rendah),” tuturnya.

“Belum lagi, setiap tahun sebanyak 200 pengembang baru bergabung dengan Apersi. Jadi jelas bahwa kami ini ikut menciptakan lapangan pekerjaan baru,” tambah Eddy.

“Kami mengharapkan, Presiden dan Menko Perekonomian membuka mata dan telinga mereka terhadap masalah ini. Jangan sampai masyarakat marah,” pungkasnya.

Anto Erawan
(antoerawan@rumah.com)
 
Back
Top