Sekolah Inklusif Lebih Dibutuhkan daripada SLB

Kalina

Moderator
Kebutuhan terhadap sekolah inklusif belum sebanding dengan ketersediaan sekolah reguler yang bisa menampung anak berkebutuhan khusus (ABK).

Tengok saja jumlah sekolah inklusif di Indonesia. SD inklusif baru 548, SMP berjumlah 52, dan SMA hanya 40 sekolah. Sedangkan, jumlah siswa untuk SD sebesar 9.294, siswa SMP berjumlah 879, dan siswa SMA ada 195.

Terbatasnya sekolah inklusif itu disebabkan banyak faktor. Salah satunya, banyak sekolah sekolah yang belum mengembangkan layanan lembaga pendidikannya ke arah sana. Menurut Budiyanto, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa), kebutuhan sekolah inklusif sangat diperlukan para ABK. Sebab, tidak semua ABK harus dimasukkan ke SLB. "Pendidikan SLB lebih cocok bagi ABK yang berat. Sedangkan sekolah inklusif ini lebih tepat untuk ABK yang sedang dan ringan," paparnya. Karena itu, lanjutnya Direktorat PSLB juga tengah mendorong sekolah-reguler mengarah ke sekolah inklusif.

Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Daniel M. Rosyid menambahkan, melayani anak berkebutuhan khusus memang tak mudah. Bukan hanya anggaran lebih yang dibutuhkan, tapi juga fasilitas serta tenaga pendidik. "Dananya mungkin bisa separo lebih banyak atau dua kali lipat," katanya.

Menurut Daniel, pemerintah memang harus mendukung penuh perkembangan sekolah-sekolah ABK. Namun, menggantungkan nasib sepenuhnya pada pemerintah juga bukan pilihan bijak. Menurut dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) itu, bekerja sama dengan pihak swasta juga tak ada ruginya. Model ini dibutuhkan untuk membantu para guru dalam bentuk pelatihan. "Tak perlu menunggu guru yang benar-benar mengambil pendidikan khusus inklusi. Semua guru dapat melakukannya. Mereka hanya perlu diberi pelatihan tambahan," lanjut Daniel.

Banyaknya guru yang mampu menangani berbagai macam siswa, akan membuat sekolah inklusi (percampuran antara mereka yang normal dan ABK, Red) bertumbuh semakin besar. "Ingat, peran sekolah inklusi sangat besar bagi anak-anak normal normal maupun ABK. Hubungan mereka bisa lebih sehat tanpa ada bentuk pengucilan," sambungnya.

Dengan bersatunya anak yang normal dan ABK, diharapkan bukan hanya hak belajar saja yang terpenuhi. Lebih dari itu, Daniel berharap para siswa dapat belajar saling menghargai dan memahami satu sama lain.
 
Back
Top