Kutukan Mekele Seroja

Status
Not open for further replies.

Kalina

Moderator
CERPEN SUNARYONO BASUKI KS

DI halaman rumah tua itu tidak ada siapasiapa kecuali Mekele Seroja yang duduk di bawah gelebeg1. Dengan santai dia mengunyah sirih, dan terkadang membuang ludah yang berwarna merah ke dalam semacam panci terbuat dari kuningan. Perangkat memakan sirih itu, sebuah kotak kuningan beroda berisi kapur, sirih, buah pinang, dan tembakau.

Pikirannya menerawang ke masa lalu, ketika rumah tua ini masih banyak penghuninya. Bangunan utama terletak di tengah, berupa kamar besar dengan pintu kayu di tengah-tengahnya yang sselalu berbunyi engselnya bila dibuka, di kanan kiri dinding tembok yang panjang dengan hanya dua buah jendela yang berupa tingkap berukir. Jendela yang tak bisa dibuka, sekadar menyalurkan angin masuk ke dalam rumah.

Bagian depan berupa lantai terbuka dengan tiang-tiang penyangga atap, lalu tangga turun ke tanah. Di sebelah kiri ada bangunan lain, juga rumah kecil, dua buah kamar dalam posisi sudut segi tiga. Kedua kamar menghadap ke teras yang berlantai semen. Dulu dia tinggal bersama menantunya yang berumah di dekat pasar. Lantaran sakit, menantunya itu dirawat di rumah sakit di Denpasar sampai sebulan, kemudian meninggal dunia. Lama-kelaman rumah dekat pasar itu dijual dan dia pindah ke rumah ini beserta anak lelakinya.

Tak terlihat seorang pun di halaman rumah. Hanya seekor induk ayam dan beberapa anaknya mengais tanah ke sana-kemari, mencari sisa makanan. Di dahan pohon sawo yang daunnya rimbun dan menaungi gelebeg tempat dia duduk beberapa ekor burung gereja berkeciap menghiburnya. Kadang seekor dua burung itu hinggap di tanah seolah mengajaknya bercanda, tetapi tak pernah sebentar pun berada terlalu dekat dengannya, apalagi sampai hinggap di tangannya. Tangan kosong, tak membawa sebutir nasi pun.

Sejak suaminya menikah lagi dan menikah lagi, dia tak lagi tinggal serumah dengannya. Istri keduanya masih dari lingkungan keluarga suaminya, berbeda dengan dirinya yang berasal dari kampung di tepi kota. Karenanya dia menyandang panggilan mekele, karena dia menikah dengan seorang berkasta. Dia sudah memberikan tiga orang putera laki-laki, meneruskan garis keturunan suaminya. Garisnya sendiri tak pernah dipertanyakan atau dihargai. Perempuan sekadar melahirkan anak, meneteki mereka, memandikan mereka. Kepada anak-anak sendiri dia tidak boleh berbahasa sembarangan.

"Gusti Putu minta apa sekarang?" tanyanya dalam bahasa halus. Itu yang harus dia lakukan. Kalau mereka makan, dia harus melayaninya. Dia hanya menunggu sampai mereka semua selesai makan, barulah boleh memulai makannya sendiri. Istri kedua, Gusti Ayu Suprabawati, memberinya empat orang anak, tiga laki-laki dan si bungsu perempuan. Punya anak lelaki merupakan kewajiban dan kebanggaan, tetapi punya bungsu perempuan merupakan kebahagiaan. Si bungsu ini saat kawin keluar lingkungan keluarga, kehilangan hal warisnya. Pada saat pembagian tanah sawah dan tegalan, dia hanya menonton saja sambil mengurai air mata, sosok pribadi asing di antara saudara-saudarnya sedarah seketurunan.

Istri ketiga berasal dari Badung, tapi tidak memberi suaminya seorang anak pun, dan dalam usia perkawinan yang pendek mungkin memberi suaminya kebahagiaan. Dan perempuan itu harus pergi menghadap Hyang Widhi.

Dia mungkin juga akan segera menyusul langkahnya. Tetapi perempuan itu sudah lama meninggal, entah sepuluh, entah dua puluh tahun lalu. Dia tak ingat lagi, dan wajahnya sekarang sudah berkerut, dan buah dadanya tak lagi menantang kencang. Hanya dua buah pepaya yang tergantung layu dan tak seorang pun berminat memetiknya.

Entah pula berapa tahun dia dibiarkan telantar. Beras memang dikirim. Lauk pauk juga juga dikirim melalui orang suruhan. Tak ada sapaan, tak ada cumbuan. Bercumbu? Dia sudah melupakannya. Semua tenggelam di bawah air mata yang tak henti tetes. Terusik gigitan nyamuk yang desingnya tak kunjung berhenti.

Saat pertama keluarga datang melamar, seluruh keluarganya bekumpul dalam suka cita. Komang Sutini akan disunting seorang pejabat berpangkat dan berkasta. Dia akan kehilangan nama aslinya dan akan dipanggil dengan nama baru, terserah kepada suaminya. Dia tak punya hak apa-apa. Dia hanya duduk bersimpuh dalam dandanan kain kebaya terbaik yang dipunyai keluarga. Untuk pertama kali hatinya tergetak oleh lelaki tampan dan gagah yang duduk menghadap keluarganya. Para sesepuh keluarga berkumpul, dan mereka saling mengucap kata-kata penuh harapan. Harapan agar anak gadis mereka tidak disia-siakan. Permintaan maaf sebab Komang kurang mahir memasak, kurang mahir merawat diri. Mungkin ungkapan-ungkapan itu sudah menjadi ungkapan baku untuk merendahkan diri, Komang tak tahu. Tapi, begitulah dirinya, diletakkan dalam posisi yang tak tahu apa-apa, padahal dia pandai memasak, pandai menjahit, dan pandai membuat banten. Semua itu dia pelajari dari Meme,2 ibu kandungnya yang tak pernah mengecap pendidikan di sekolah. Dia masih bersekolah beberapa tahun dan bisa membaca dan menulis, tetapi ibunya sama sekali tak bisa.

Komang dipamitkan dengan sebuah upacara di sanggah3 keluarga. Di merajan di tempat suaminya dia didaftarkan sebagai anggota keluarga baru. Diadakan upacara pernikahan. Pakaian putri kerajaan dikenakan di badannya. Semua diatur oleh keluarga suami. Komang merasa bangga sebab lelaki itu masih jejaka, belum menikah. Dia bersumpah akan mengabdi kepadanya. Mengabdikan jiwa dan raganya. Sepenuh-penuhnya mengabdi. Dia rela. Apa alasan untuk berkeberatan? Lelaki itu berkasta. Tampan. Kaya. Punya kedudukan cukup baik. Dan masih jejaka!

Berapakah usiaku waktu itu? Enam belas tahun? Tujuh belas? Yang jelas dia sudah datang bulan. Dan pertama kali hal itu terjadi dia ketakutan dan mengadu kepada Meme. Perempuan itu hanya tertawa saat dia menunjukkan darah yang membasahi kainnya.

"Itu tandanya kamu sudah perempuan dewasa. Kamu sudah boleh menikah kalau sudah ada jodoh."

Menikah? Dengan lelaki yang tak dia kenal? Punya anak? Dia berdebar mendengar penjelasan ibunya. Dia sering mendengar bisik-bisik perempuann yang lebih tua darinya tentang perkawinan. Dia dengar kalau lelaki seperti bayi, suka menetek. Lalu tentang suami Kadek yang kuat sekali, selalu memaksa Kadek untuk tidur walau hari sudah jam sembilan pagi. Sesudah itu, sore hari suaminya memaksanya tidur lagi.

Lelaki memang pemalas. Sukanya tidur saja. Waktu itu begitu yang dia pikirkan. Tetapi kemudian ketika dia sudah menikah, baru tahu apa sebenarnya makna bisik-bisik teman-temannya itu. Suaminya memang kuat sekali, sampai dia kelelahan. Tulang-belulangnya terasa copot semua, tetapi suaminya malah tertawa saja.

"Kamu suka, ya?" Dia hanya tersipu. Tak berani menjawab. Walau hatinya gembira. Dan saat suaminya bergelora menjelajahi tubuhnya, dia menyerah tapi merasakan kenikmatan luar biasa. Jauh lebih nikmat dari makan nasi be guling4, lebih enak dari lawar babi.

Dia kelelahan, tubuhnya berkeringat, tetapi merasakan kenikmatan luar biasa. Itu dulu, sekarang kenangannya tinggal sayup-sayup. Sejak suaminya menikah lagi yang kedua kali, dan yang ketiga kali, dia menjadi bukan siapa-siapa. Perempuan terbuang. Padahal kulit pipinya masih kencang. Matanya masih indah, dan giginya juga masih utuh. Apalagi dia rajin makan sirih. Bibirnya selalu merah, tetapi mungkinkah suaminya justru jijik melihat warna merah di mulutnya. Perempuan sekarang memakai gincu. Tapi, apakah aku juga harus bergincu? Lucu.

Mula-mula dia dpat menerima keadaan dirinya. Sebagai orang biasa, dia tak ingin memprotes walau disingkirkan. Tapi, hari demi hari, lelaki itu sama sekali tak pernah menyapanya. Kalau bertemu dalam upacara di desa, suaminya sama sekali tak mengubrisnya.Menoleh pun tidak, seolah dia bukan siapa-siapa. Hari demi hari, makin dalam kebenciannya, sebagaimana dulu, makin hari makin dalam cintanya pada suaminya. Apalagi suaminya sangat perkasa dan dia selalu merasakan puncak kenikmatan luar biasa bila bersamanya. Sekarang, makin dalam bencinya. Makin melebar rasa jijiknya. Semua kegiatan yang dulunya indah sekarang terasa menjijikkan.

Sampai pada suatu malam, gelap gulita saat purnama tilem5, saat rasa benci paling menggelora, terlompat kutuknya: "Kau siksa begini dirimu, Gusti Aji. Hidupmu tak akan tenang. Kalau aku mati, semuanya akan kurusak!"

Waktu itu petir menyambar bergelegar, sampai dia terperanjat. Apakah Hyang Widhi mendengar kutukannya? Dan akan mengabulkannya?

Dia tak gentar. Biarlah kutuknya terpenuhi.

Mekele Seroja sekarang memang sudah tiada. Rumah keluarga itu kosong. Anak pertamanya juga sudah tiada.

Lelaki itu sudah tua. Usianya mungkin sudah mencapai delapan puluh tahun, tetapi dia masih bertahan. Dua istrinya sudah tiada. Lalu, dia hidup sendirian. Mula-mula orang datang dan menipunya. Kebun kelapanya terjual dan uangnya ditipu orang. Mereka datang dengan membawa barang-barang pusaka, mengatakan bahwa semua berupa paice, barang yang didapat secara mistis, bisa membawa berkah, membawa kesejahteraan. Tetapi semua tak terbukti sebentara sawahnya pun terjual.

Anak-anaknya dari istri kedua hancur hidupnya sementara tiga anak lelakinya semua sudah meninggal. Hartanya habis. Keluarganya ditimpa penyakit modern. Sakit jantung. Kanker payudara.

Apakah semua lantaran kutukan Mekele Seroja? Tak ada yang tahu. Siapa yang tahu soal nasib manusia? ***

Singaraja, Februari 2007

KETERANGAN

1 Bangunan sebagai lumbung padi, bagian bawahnya biasa dipakai duduk bersantai. Waktu terjadi gempa besar tahun 1976 di Bali, gelebeg tak tergoyahkan oleh gempa.
2 Meme= ibu.Juga panggilan pada ibu yang tk berkasta.
3 Sanggah= tempat bersembahyang keluarga. Kekuarga berkasta menamainya merajan.
4 Be guling, daging guling. Yang dimaksud babi guling, disasap beberapa jam dan bumbu dimasukkan ke dalam perut babi. Kulit babi yang berubah yang dari putih saat mentah menjadi coklat tua enak dimakan.
5 Tilem= saat bulan mati, umat Hindu Dharma menyelenggarakan upacara persembahyangan.
 
Status
Not open for further replies.
Back
Top