kisah anak pencari kaleng

jainudin

New member
Tujuh April 1993 adalah tahun dimana saya dan saudara kembar saya (Wandi) lahir. Kami berdua hidup dan bertumbuh dalam keluarga yang sangat sederhana. Tentu, orang pada umumnya menginginkan hidup enak (baca : berkecukupan). Kondisi kami jauh dari hidup berkecukupan . Sepertinya itu hanya sebuah mimpi belaka. Apapun yang kami miliki, tidak mencukupi hidup sehari-hari. Walau begitu, kami selalu diajar untuk mengucap syukur lewat kesempatan hidup yang masih diberikan kepada keluarga kami hari lepas hari.

Tahun berganti tahun, kami berdua pun bertumbuh. Di usia enam tahun, hasrat ingin menggunakan seragam merah putih mulai bangkit. Sudah waktunya kami bersekolah. Namun, karena keterbatasan ekonomi yang dialami keluarga, impian itu pun menjadi pupus.

Setahun lamanya saya harus menunggu masuk bangku sekolah. Karena campur tangan Tuhan pula, maka orangtua dapat menyekolahkan kami. Ada perasaan malu sewaktu masuk sekolah hari pertama. Karena usia saya yang lebih satu tahun dari teman-teman lainnnya. Walaupun begitu, tidak mengurangi semangat kami untuk terus bersekolah.

Sepertinya tantangan tidak habis-habisnya datang menyapa kehidupan kami. Keterbatasan peralatan sekolah juga sempat kami alami. Yang kami punya kala itu adalah sepasang seragam sekolah. Buku yang kami punya juga adalah pemberian orang. Saya ingat, pergi ke sekolah kami tidak menggunakan alas kaki (baca : sepatu).

Suatu hari, ayah saya menemukan sepasang sepatu sepulang dari tempat kerjanya. Sepatunya agak mirip seperti sepatu balet. Ukurannya pun agak lebih besar dari kaki kami. Saya dan Wandi pun mulai berebutan. Saya memutuskan mengalah dan membiarkan Wandi memakainya. Tetapi kemudian, saya dan Wandi pun bergantian memakainya.

Karena keterbatasan ekonomi ini, kami tidak mampu membayar uang sekolah dan juga seragam olahraga, termasuk buku-buku pelajaran yang wajib untuk dibeli. Oleh karena itu, kami berdua mencari pekerjaan sepulang sekolah. Terpaksa kami membagi istirahat siang dengan bekerja mencari kaleng dan besi tua. Uang dari hasil menjual kaleng kami gunakan untuk membayar uang sekolah dan perlengkapan sekolah lainnya. Itulah alasan mengapa anak-anak di sekitar rumah menyebut kami berdua si anak kaleng, anak pemungut sampah. Dulunya, sebutan anak kaleng itu terasa menyakitkan. Sering kami dibuat menangis oleh teman-teman kami. Kalau ingat itu, saya jadi tertawa sekarang.

Pernyertaan Tuhan Yesus itu selalu ada bagi kami. Berkat dan anugerah Tuhan kami rasakan. Selama berseragam merah, Wandi selalu berhasil mendapatkan peringkat. Itu pula yang membedakan kami berdua. Saya sering sakit-sakitan. Puji Tuhan, saya diberikan kesehatan hingga hari ini.

Masuk sekolah menengah pertama, kami pun sudah ditagih membayar uang sekolah lagi. Beruntungnya, uang sekolah pada masa itu digratiskan. Tidak seperti waktu SD, semasa SMP kami memiliki waktu yang lebih banyak untuk bermain dan bersantai. Di masa SMP ini, saya dan kembaran saya sering bertanding sepakbola. Permainan ini pun menjadi kegemaran kami berdua. Satu waktu, sekolah kami mengikuti pertandingan sepakbola. Sekolah kami berhasil menjadi juara 1 mewakili tingkat kabupaten. Oleh karena itu, kami pun mengikuti pertandingan sepakbola mewakili provinsi. Sayang, kami gagal mewakili provinsi. Walaupun begitu, kami diberikan hadiah uang saku.

Pada awalnya kami berdua bersepakat untuk membelikan kulkas untuk ibu. Tetapi kami menyadari bahwa kami lebih membutuhkan perlengkapan sekolah. Dalam hati kami berjanji suatu saat nanti kami akan berikan hadiah kepada kedua orangtua kami sebagai ganti hadiah kulkas yang tertunda.

Tawaran bermain sepakbola pun berdatangan, diantaranya tawaran bermain di tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten U-15. Saya dan kembaran saya sangat senang sekali. Kami dapat menunjukkan bakat dan talenta kami dalam olahraga sepak itu. Posisi kapten dipercayakan pada saya. Semuanya berkat, doa dan perjuangan yang selama ini sudah kami lalui.

Momentum yang paling luar biasa adalah saat saudara saya, Wandi, mengikuti tes yang diselenggarakan oleh Institut Yohanes Surya. Ia lolos ujian masuk dan akan bersekolah di Karawaci, Tangerang. Sebuat prestasi yang sangat membanggakan buat saya sebagai saudara kembarnya. Walaupun dalam lubuk hati, saya rasa sedih juga karena akan berpisah dengannya. Sebabnya selama ini kami selalu bersama-sama menghadapi suka dan duka.

Sekarang dia melanjutkan sekolahnya di China. Berbeda dengan saya, dia memang lebih unggul dalam hal prestasi di sekolah. Tetapi saya tetap terus termotivasi dan bersemangat dari orangtua saya. Kakak-kakak WVI juga selalu mengingatkan saya untuk tidak berkecil hati. Saya terinspirasi untuk menjadi seorang motivator bagi semua anak-anak yang hidupnya seperti masa kecil saya. Tentunya mewujudkan itu tidak mudah. Itu pula yang menuntun saya untuk bekerja di tempat ini (baca :WVI Kantor Operasional Keerom).

Inilah bingkisan terindah yang mampu berikan yaitu nama baik keluarga. Dulu kami sering dihina, yaitu si anak kaleng. Setidaknya sekarang kami lebih dihargai. Inilah sekilas cerita yang merupakan pengalaman pribadi saya. Semoga dapat menginspirasi anak-anak lainnya.

Sumber : http://www.mywvindonesia.org/front/...leng-bagian-2&catid=39:visi-online&Itemid=143
 
Last edited:
Back
Top